Selasa, 10 Maret 2015

Kriteria Orang Yang Matang Dalam Beragama

A.    PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Kemampuan seseorang  untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia mengalami dua macam  perkembangan, yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Puncak perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis, perkembangan  jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan  rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).[1]
Sebaliknya, dalam kehidupan tidak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman agama serta tipe kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.[2]
Dengan bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu apabila individu matang dalam beragamanya, maka individu tersebut akan konsisiten dalam ajaran agamanya. Konsisten ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh lagi, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan.
Untuk menambah wawasan kita pada mata kuliah psikologi agama maka dalam makalah ini penulis membahas tentang kriteria orang yang matang beragama.
B.    PEMBAHASAN
1.     Pengertian Matang Beragama
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang dalam kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan ajaran agamanya. Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu untuk mengintegrasikan ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong umat untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri kematangan beragama. Jadi kematangan beragama merupakan kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.[3]

2.     Kematangan Jiwa Beragama Sebuah Proses
Penggambaran tentang kematangan jiwa beragama tidak terlepas dari kriteria kematangan kepribadian. Kesadaran beragama yang mantap hanya terdapat pada orang yang memiliki kepribadian yang matang. Akan tetapi kepribadian yang matang belum tentu disertai kesadaran beragama yang mantap.
Pendapat beberapa aliran psikologi tentang kriteria orang yang matang beragama, yaitu :
a.      Aliran Psikoanalisis
Psikoanalisis telah membangkitkan cara baru dalam melihat dan membahas gejala lama, yaitu hubungan psikologi dan agama serta memperluas dasar untuk memahami pengalaman keagamaan. Sumbangan penting psikoanalisis bagi psikologi agama adalah bahwa faktor yang ada di luar bidang kesadaran mempengaruhi pembentukan dan kelanjutan hidup keagamaan.
Secara singkat bisa disimpulkan bahwa kriteria orang yang matang beragama menurut aliran psikoanalisis adalah :
1)     Mereka mampu memahami bahwa ada Tuhan yang menciptakan kita.
2)     Mampu mengendalikan diri baik dalam hal nafsu agresi dan ketakutan.[4]

b.     Aliran Behavioristik
Aliran ini tidak memberi perhatian banyak terhadap agama, karena ia menilai bahwa kita tidak perlu berusaha menemukan apa yang sesungguhnya diri kita, jiwa, perasaan, dan siapa pula yang menciptakannya. Dan yang terpenting adalah diri kita bisa berubah sesuai dengan usaha kita untuk menciptakan segala perubahan. Oleh karena itu aliran ini kurang begitu menyoroti apa itu agama dan seperti apa orang yang matang beragama.

c.      Aliran Humanistik
Karena aliran ini lebih menekankan pada perorangan, individual dengan mengorbankan kekuatan sosial yang ada, maka agama menurut aliran ini adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Orang yang sudah matang agamanya menurut aliran ini adalah orang yang mampu menyadap sumber kekuatan pribadi, mampu mengatur perilaku sendiri dan memilih menurut pegangan yang dipilih.[5]


3.     Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia
Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang dicapai diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan pribadi maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang.
Keterlambatan pencapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan sebagai keterlambatan dalam perkembangan kepribadian. Faktor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: faktor yang terdapat pada diri anak dan faktor yang berasal dari lingkungan.
Adapun faktor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah: konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua faktor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya yang termasuk pengaruh faktor lingkungan adalah: keluargaa, sekolah. Selain itu ada faktor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan kematangan beragama.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.

4.     Ciri dan Sikap Keberagamaan
Berdasarkan temuan psikologi agama, latar belakang psikologis, baik  dipengaruhi beberdasarkan faktor intern maupun hasil pengaruh lingkungan bemberi ciri pada pola tingkah lakudan sikap seseorang dalam bertindak. Pola seperti itu memberi bekas pada sikap seseorang terhadap agama. William James melihat adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience, William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe orang yang sakit jiwa dan tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda:[6]
a.   Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Latar belakang itulah yang kemudian menyebabkan perubahan sikap yang mendadak terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya.
William Starbuck, berpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor utama yaitu yang pertama dilatar belakangi oleh faktor intern (dari dalam diri), sedangkan yang kedua adalah karena faktor ekstern ( burupa penderitaan).[7]
1)     Faktor interen yang Diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah:[8]
a)     Temperamen
Temperamen merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan kejiwaan seseorang. Tingkah laku yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap keagamaan seseorang.
b)     Gangguan Jiwa
Orang mengidap gangguan jiwa menunjukan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampilkanya tergantung dari gejala gangguan jiwa yang mereka idap.
c)     Konflik dan Keraguan
Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaanya. Mungkin berdasarkan kesimpulannya ia akan memilih salah satu agama yang diyakininya ataupun meninggalkannya sama sekali. Keyakinan agama yang dianut berdasarkan pemilihan yang matang sesudah terjadinya konflik kejiwaan akan lebih dihargai dan dimuliakan. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama.
d)     Jauh dari Tuhan
Orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Ia seakan merasa tersisih dari curahan rahmat Tuhan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan serta berupaya mengabdikan diri secara sungguh-sungguh. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam sikap keagamaan pada dirinya.

2)     Faktor ekstern yang diperkirakan turut mempengaruhi sikap  keagamaan secara mendadak adalah :
a)     Musibah
Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan   kejiwaan seseorang. Keguncangan jiwa ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup, umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan kepada dirinya.
Tafsiran seperti itu tak jarang memberi wawasan baru baginya untuk kembali hidup ke jalan agama, sehingga makin berat musibah yang dialaminya maka akan semakin tinggi ketaatannya kepada agama. Bahkan mungkin pula mereka yang mengalami peristiwa semacam itu akan menjadi penganut agama yang fanatik.
Kasus serupa juga dapat terjadi pada mereka yang terkena musibah lainya dan menilai penderitaan itu sebagai bentuk kutukan atau kualat, baik terhadap orang tua maupun tokoh-tokoh keagamaan. Mungkin saja musibah itu kebetulan menimpa mereka, setelah sebelumnya terjadi pelanggaran terhadap larangan atau nasihat yang ada hubunganya dengan ajaran agama. Akibat musibah seperti itu tak jarang pula menimbulkan perasaan menyesal yang mendalam dan mendorong mereka untuk mematuhi ajaran agama secara sungguh-sungguh.
b)     Kejahatan
Mereka yang menekuni kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku maupun sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami keguncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan itu mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensasif, seperti melupakan sejenak dengan menenggak minuman keras, judi maupun berfoya-foya. Namun upaya untuk menghilangkan keguncangan batin tersebur sering tidak berhasil. Karena itu jiwa mereka menjadi labil dan terkadang dilampiaskan dengan tindakan yang brutal, pemarah, mudah tersinggung dan berbagai tindakan negatif lainya.
Perasaan seperti itu biasanya menghantui terus menerus diri sendiri hingga menyebabkan hidup mereka tidak pernah mengalami ketenangan dan ketentraman. Sesekali mungkin saja timbul perasaan kemanusiaannya yang fitri seperti kasih sayang, menyesal, dan merasa berdosasebagai akibat karena kehilangan harga diri serta dikucilkan masyarakat.
Perasaan-perasaan tersebut biasanya mendorong mereka untuk mencari penyaluran yang menurut penilaianya dapat memberi ketentraman batin. Lazimnya, mereka ini akan kembali kepada agama. Kesadaran ini sering mendorong orang untuk bertobat. Sebagai penebus terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya, tak jarang orang-orang seperti ini kemudian menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.[9]
    Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap sebagai berikut[10] :
1)     Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima. Penderitaan yang mereka alami menyebabkan peningkatan ketaatannya.


2)     Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
3)     Menyenangi paham yang ortodoks
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
4)     Mengalami proses keagamaan secara non-graduasi
Proses timbulnya keyakinan terhadap ajaran agama umumnya tidak berlangsung melalui prosedur yang biasa. Tindak keagamaan yang mereka lakukan didapat dari proses pendadakan dan perubahan secara tiba-tiba.

b.       Tipe Orang Yang Sehat Jiwa (Healthy Minded Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion psychology adalah :
1)     Optimis dan Gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandanganya adalah sebagai hasil jerih payahnya yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
2)     Ekstrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses religiusitas tindakanya. Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari kungkungan ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran agama. Sebagai akibatnya mereka kurang senang mendalami ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.

3)     Menyenangi Ajaran Ketauhitan yang Liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung:
a)     menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
b)     menunjukan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c)     menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d)     mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e)     Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f)      Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
g)     Selalu berpandangan positif.
h)     Berkembang secara graduasi.[11]

Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan dan kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun negatif, namun dalam kenyataan yang ditemuimasih banyak juga orang dewasayang berubah keyakinan dan kepercayaan. Perubahan itu bisa kearah acuh tak acuh terhadap agama, atau kearah ketaan terhadap agama. Salah satu bentuk perubahan dalam keyakinan dan kepercayaan suatu agama yang terpenting adalah “konversi agama”.[12]

5.     Kriteria Orang yang Matang dalam Beragama
Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan,reaksi, pengolahan,dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari luar. Kesadaran beragama tidak hanya melandasi tingkah laku yang tampak, tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran, i’tikad, niat, kemauan, dan tanggapan terhadap nilai-nilai abstrak yang ideal seperti keadilan, persatuan, perdamaian, dan kebahagiaan.
Walaupun kesadaran beragama itu melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah pada bermacam objek, akan tetapi tetap merupakan suatu sistem yang terorganisasi sebagai bagian dari mental seseorang. Dapat dikatakan bahwa kesadaran beragama yang mantap adalah suatu disposisi dinamis dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadiannya untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup dan penyesuaian diri merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian kesadaran beragama seseorang tidak pernah mencapai kesempurnaan.
Gordon W. Allport dari penelitiannya dapat menyimpulkan enam ciri-ciri sentimen beragama yang matang, yaitu adanya diferensiasi, dinamis, produktif, komperehensif, integral, dan keikhlasan pengabdian. Berdasarkan pendapat Allport tersebut maka dapat dikembangkan bahwa karasteristik orang yang telah matang kesadaran beragamanya apabila memiliki enam ciri khusus, yaitu :
a.      Diferensiasi yang Baik
Diferensiasi berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan makin majemuk suatu aspek psikis yang dimiliki seseorang. Semua pengalaman, rasa, dan kehidupan beragama makin lama semakin matang, semakin kaya, kompleks dan bersifat pribadi. Pemikirannya makin kritis dalam memecahkan berbaqgai permasalahan yang dihadapi dengan berlandaskan ketuhanan. [13]
Perasaan, penghayatan, pemikiran, kemauan dan keinginan yang bergolak pada situasi dan kondisi yang berbeda tersebut merupakan diferensiasi beragama. Harapan akan keridhaan Tuhan, kecemasan dan ketakutan terhadap siksaan Tuhan, cinta kasih terhadap sesama pemeluk agama serta kebencian terhadap hawa nafsu dan godaan setan, kesemuanya itu merupakan hasil diferensiasi kesadaran beragama yang terpolakan ke dalam suatu sistem mental.
Kesadaran beragama yang terdiferensiasi merupakan perkembangan tumbuhnya cabang-cabang baru dari pemikiran kritis, alam perasaan dan motivasi terhadap berbagai rangsangan lingkungan serta terjadinya reorganisasi yang terus menerus. Masalah ketuhanan, rohaniah, nilai hidup dan kehidupan yang diamatinya dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sasaran pengolahan pemikirannya, sehingga memperkaya orientasi kesadaran beragama. Ia berusaha memecahkan permasalahan tersebut dengan sikap rasional dan emosional yang tepat serta konsisten berdasarkan kesadaran beragama.
Kesadaran beragama yang tidak terdiferensiasi menunjukkan sikap dan tingkah laku yang tidak kritis, statis, dan menerima nasib. Ia menerima ajaran agama tanpa pengolahan serta mempercayai begitu saja, apa yang diutarakan oleh guru maupun tokoh agama. Ia merasa puas dengan keimanan yang dimilikinya. Sering kali tampak adanya kebencian, dengki, iri hati, hasud, kecemasan dan prasangka terhadap suku dan agama lain sebagai akibat tidak tersalurkan atau penekanan konflik batin ke alam bawah sadar serta tidak terolahnya permasalahan, pertentangan dan perbedaan paham yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.[14]

b.     Motivasi Kehidupan Beragama yang Dinamis
Dari sudut psikologi, motivasi kehidupan bragama pada mulanya berasal dari berbagai dorongan, baik biologis, psikis, maupun sosial. Pertama, dorongan biologis, seperti rasa lapar, rasa haus, kemiskinan, penderitaan, penjajahan, dan penindasan. Orang akan termotivasi mendekatkan diri kepada Tuhan dikala dilanda kekurangan, kemiskinan, bencana alam, sakit, atau penderitaan lainnya.
Kedua, dorongan psikologis, seperti kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan diri, rasa ingin tahu, harga diri dan sebagainya. Dalam realitas kehidupan beragama,banyak hasil observasi menunjukkan bahwa pelajar maupun mahasiswa akan lebih disiplin beribadah di saat-saat mendekati ujian, tetapi akan berkurang bahkan melupakannya di saat ujian sudah berlalu. Kebutuhan psikologis telah menjadi motif seseorang untuk meningkatkan semangat pendekatan diri kepada Tuhan. Hal ini tampaknya memang sudah menjadi tabiat manusia.
Ketiga, dorongan sosial seperti ingin popular, agar diterima oleh suatu kelompok maupun ambisi pribadi akan kebutuhan kekuasaan juga seringkali menjadi motif seseorang ataupun kelompok lebih intens melakukan kehidupan beragama. Agar diterima di lingkungannya yang bernuansa agamis, tak sedikit orang aktif mengikuti kegiatan keagamaan seperti tahlilan atau yasinan walaupun dalam kehidupan sehari-harinya tak pernah shalat.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut jika mendapat pemuasan dalam kehidupan beragama dapat menimbulkan dan memperkuat motivasi keagamaan yang lama-kelamaan akan menjadi otonom, yaitu orang yang akan termotivasi untuk beribadah, baik didorong oleh kebutuhan atau tidak. Derajat otonom dalam bahasa agama sering disebut beribadah yang dilandasi niat “ikhlas”, yang artinya murni beribadah karena ingin melaksanakan kewajiban sebagai hamba yang baik.
Derajat kekuatan motif beragama itu sedikit banyak dipengaruhi oleh pemuasan yang diberikan oleh agama, makin kokoh dan makin otonom motif tersebut yang akhirnya merupakan motif yang berdiri sendiri sendiri dan secara konsisten serta dinamis mendorong manusia untuk bertingkah laku keagamaan. Salah satu perbedaan penting antara orang yang memiliki kesadaran beragama yang beragama dengan orang yang belum matang terletak pada derajat otonomi motivasi keagamaannya. Makin matang kesadaran beragama seseorang akan semakin kuat energi motivasi keagamaan yang otonom itu.[15]
Orang yang memiliki kesadaran keagamaan yang belum matang, motivasi keagamaannya masih berhubungan erat dengan dorongan-dorongan jasmaniah dan rohaniah serta kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan ambisi pribadinya. Tingkah laku keagamaannya seolah-olah dikendalikan oleh dorongan biologis, hawa nafsu, kebutuhan ekonomi dan kekuasaan. Sedangkan orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang justru mampu mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu, dorongan materi dan ambisi pribadi ke arah tujuan yang sesuai dengan motivasi keagamaan yang tinggi, sehingga motivasi beragama dari waktu ke waktu semakin dinamis.
Bila kesadaran beragama telah menjadi pusat sistem mental keperibadian yang mantap, maka ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan, mengolah serta mewarnai semua sikap dan tingkah laku seseorang. Walaupun kesadaran beragama yang matang mewarnai cara hidup seseorang, namun sikap dan perilakunya tidaklah menunjukkan fanatisme, kaku, ekstrem, dan radikal. Sikap-sikap tersebut justru menunjukkan kesadaran beragama seseorang tidak matang.

c.      Pelaksanaan Ajaran Agama Secara Konsisten dan Produktif
Pelaksanaan kehidupan beragama atau peribadatan merupakan realisasi penghayatan ketuhanan dan keimanan. Ibadah yang menekankan realisasi hubungan manusia dan Tuhan, sering disebut ibadah dalam arti khusus. Formalitas, tata cara dan peraturan ibadah khusus telah ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi sehingga tidak boleh diubah atau dimodifikasikan. Ibadah dalam arti luas mencakup seluruh kehendak, cita-cita, sikap dan tingkah laku manusia berdasarkan penghayatan ketuhanan disertai niat atau kesengajaan  dengan ikhlas karena dan demi Allah. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap dan penuh tanggung jawab dan dilandasi warna pandangan agama yang luas. [16]
Dalam melaksanakan hubungan dengan Tuhan, orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang benar-benar menghayati hubungan tersebut. Ibadahnya bersifat subjektif, kreatif dan dinamis. Ia selalu berusaha mengharmoniskan hubungannya dengan Tuhan, manusia lain dan alam sekitarnya melalui sikap dan tingkah lakunya.

d.     Pandangan Hidup yang Komprehensif
Kepribadian yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh dan komprehensif. Keanekaragaman kehidupan dunia harus diarahkan pada keteraturan. Akan tetapi keteraturan itu meliputi pula alam perasaan, pemikiran, motivasi, norma, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan agar dapat menentukan pilihan tingkah lakunya secara pasti. Agama memberikan dorongan dan motivasi lebih kuat dan lebih bermakna terhadap semangat dan arti hidup.
Bagi orang yang matang beragamanya, maka memahami dan melakukan agama tidak bersifat formalitas dan parsial, tetapi berusaha memahami dan melaksanakan agama secara logika, perasaan dan tindakan, bahkan memasuki wilayah agama secara utuh.

e.      Pandangan Hidup yang Integral
Disamping pandangan yang komprehensif, pandangan dan pegangan hidup harus terintegrasi, yakni merupakan suatu landasan hidup yang menyatukan hasil diferensiasi aspek kejiwaan yang meliputi fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam kesadaran beragama, integrasi tercermin pada keutuhan pelaksanaan ajaran agama, yaitu keterpaduan ihsan, iman dan peribadatan.[17]
Orang yang memiliki kesadaran beragama yang terintegrasi akan berusaha menganalisis bahkan mengolah penafsiran ajaran agama dan meneliti norma penemuan baru dengan kritis, sehingga menghasilkan pandangan baru yang dapat dijadikan pegangan. Tentang kematangan jiwa agama seseorang yang didorong oleh pandangan hidup yang integral tersebut sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Fajr ayat 27-30:
Artinya : “Hai jiwa yang tenang.  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.
f.      Semangat Pencarian dan Pengabdian Kepada Tuhan
Ciri lain dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang ialah adanya semangat mencari kebenaran, keimanan, rasa ketuhanan dan cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Ia selalu menguji keimanannya melalui pengalaman-penglaman keagamaan sehingga menemukan keyakinan yang lebih tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar menemukan nikmat penghayatan “kehadiran” Tuhan. Walaupun demikian ia masih merasakan bahwa keimanan dan peribadatannya belum sebagamana mestinya dan belum sempurna.[18]
Orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang, meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan itu ada. Hal yang menimbulkan keraguan dan selalu dicarinya adalah penghayatan akan “kedekatan” dan “kehadiran” Tuhan. Keadaan ini selalu dan merupakan hipotesis yang makin lama semakin lebih tepat pembuktiannya, walaupun tidak pernah sempurna. Dengan demikian cirri orang yang matang beragama adalah setiap nafas, setiap langkah dan aktifitasnya selalu diupayakan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mencari ridha-Nya dengan sesegera mungkin.

Berikut adalah tujuh kriteria dari Allport tentang sifat-sifat khusus kepribadian yang sehat, yaitu :
a.      Perluasan Perasaan Diri
Ketika orang menjadi matang, ia mengembangkan perhatian-perhatian di luar diri. Tidak cukup sekadar berinteraksi dengan sesuatu atau seseorang di luar diri. Lebih dari itu, ia harus memiliki partisipasi yang langsung dan penuh, yang oleh Allport disebut "partisipasi otentik".  Dalam pandangan Allport, aktivitas yang dilakukan harus cocok dan penting, atau sungguh berarti bagi orang tersebut. Jika menurut kita pekerjaan itu penting, mengerjakan pekerjaan itu sebaik-baiknya akan membuat kita merasa enak, dan berarti kita menjadi partisipan otentik dalam pekerjaan itu. Hal ini akan memberikan kepuasan bagi diri kita.  
Orang  yang semakin terlibat sepenuhnya dengan berbagai aktivitas orang, atau ide, ia lebih sehat secara psikologis. Hal ini berlaku bukan hanya untuk pekerjaan, melainkan juga hubungan dengan keluarga dan teman, kegemaran, dan keanggotaan dalam politik, agama, dan sebagainya.

b.     Relasi Sosial yang Hangat
Allport membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan dengan orang lain, yaitu kapasitas untuk mengembangkan keintiman dan untuk merasa terharu. Orang  yang sehat secara psikologis mampu mengembangkan relasi intim dengan orangtua, anak, pasangan, dan sahabat. Ini merupakan hasil dari perasaan perluasan diri dan perasaan identitas diri yang berkembang dengan baik. 
Ada perbedaan hubungan cinta antara orang yang neurotis (tidak matang) dan yang berkepribadian sehat (matang). Orang-orang neurotis harus menerima cinta lebih banyak daripada yang mampu diberikannya kepada orang lain. Bila mereka memberikan cinta, itu diberikan dengan syarat-syarat. Padahal, cinta dari orang yang sehat adalah tanpa syarat, tidak melumpuhkan atau mengikat.
Jenis kehangatan yang lain, yaitu perasaan terharu, merupakan hasil pemahaman terhadap kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. Orang  sehat memiliki kapasitas untuk memahami kesakitan, penderitaan, ketakutan, dan kegagalan yang merupakan ciri kehidupan manusia.

c.      Keamanan Emosional
Kualitas utama manusia sehat adalah penerimaan diri. Mereka menerima semua segi keberadaan mereka, termasuk kelemahan-kelemahan, dengan tidak menyerah secara pasif terhadap kelemahan tersebut.  Selain itu, kepribadian yang sehat tidak tertawan oleh emosi-emosi mereka, dan tidak berusaha bersembunyi dari emosi-emosi itu. Mereka dapat mengendalikan emosi, sehingga tidak mengganggu hubungan antarpribadi. Pengendaliannya tidak dengan cara ditekan, tetapi diarahkan ke dalam saluran yang lebih konstruktif.
Kualitas lain dari kepribadian sehat adalah "sabar terhadap kekecewaan". Hal ini menunjukkan bagaimana seseorang bereaksi terhadap tekanan dan hambatan atas berbagai keinginan atau kehendak. Mereka mampu memikirkan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Orang-orang yang sehat tidak bebas dari perasaan tak aman dan ketakutan. Namun, mereka tidak terlalu merasa terancam dan dapat menanggulangi perasaan tersebut secara lebih baik daripada kaum neurotis.

d.     Persepsi Realistis
Orang-orang sehat memandang dunia secara objektif. Sebaliknya, orang-orang neurotis kerapkali memahami realitas disesuaikan dengan keinginan, kebutuhan, dan ketakutan mereka sendiri. Orang  sehat tidak meyakini bahwa orang lain atau situasi yang dihadapi itu jahat atau baik menurut prasangka pribadi. Mereka memahami realitas sebagaimana adanya.

e.      Keterampilan dan Tugas
Allport menekankan pentingnya pekerjaan dan perlunya menenggelamkan diri di dalam pekerjaan tersebut. Kita perlu memiliki keterampilan yang relevan dengan pekerjaan kita, dan lebih dari itu harus menggunakan keterampilan itu secara ikhlas dan penuh antusiasme. Komitmen pada orang sehat atau matang begitu kuat, sehingga sanggup menenggelamkan semua pertahanan ego.
Dedikasi terhadap pekerjaan berhubungan dengan rasa tanggung jawab dan kelangsungan hidup yang positif. Pekerjaan dan tanggung jawab memberikan arti dan perasaan kontinuitas untuk hidup. Tidak mungkin mencapai kematangan dan kesehatan psikologis tanpa melakukan pekerjaan penting dan melakukannya dengan dedikasi, komitmen, dan keterampilan.
f.      Pemahaman Diri
Memahami diri sendiri merupakan suatu tugas yang sulit. Ini memerlukan usaha memahami diri sendiri sepanjang kehidupan secara objektif.  Untuk mencapai pemahaman diri yang memadai dituntut pemahaman tentang dirinya menurut keadaan sesungguhnya. Jika gambaran diri yang dipahami semakin dekat dengan keadaan sesungguhnya, individu tersebut semakin matang. 
Demikian juga apa yang dipikirkan seseorang tentang dirinya, bila semakin dekat (sama) dengan yang dipikirkan orang-orang lain tentang dirinya, berarti ia semakin matang. Orang  yang sehat terbuka pada pendapat orang lain dalam merumuskan gambaran diri yang objektif. Orang yang memiliki objektivitas terhadap diri tak mungkin memproyeksikan kualitas pribadinya kepada orang lain (seolah orang lain negatif). Ia dapat menilai orang lain dengan seksama, dan biasanya ia diterima dengan baik oleh orang lain. Ia juga mampu menertawakan diri sendiri melalui humor yang sehat.

g.     Filsafat Hidup
Orang yang sehat melihat ke depan, didorong oleh tujuan dan rencana jangka panjang. Ia memiliki perasaan akan tujuan, perasaan akan tugas untuk bekerja sampai tuntas sebagai batu sendi kehidupannya. Allport menyebut dorongan-dorongan tersebut sebagai keterarahan (directness). 
Keterarahan itu membimbing semua segi kehidupan seseorang menuju suatu atau serangkaian tujuan, serta memberikan alasan untuk hidup. Kita membutuhkan tarikan yang tetap dari tujuan yang bermakna. Tanpa itu mungkin kita mengalami masalah kepribadian.
Kerangka dari tujuan-tujuan itu adalah nilai, yang bersama dengan tujuan sangat penting dalam rangka mengembangkan filsafat hidup. Memiliki nilai-nilai yang kuat merupakan salah satu cirri orang matang. Orang-orang neurotis tidak memiliki nilai atau memiliki nilai yang terpecah-pecah dan bersifat sementara, yang tidak cukup kuat untuk mempersatukan semua segi kehidupan. 
Suara hati berperan dalam menentukan filsafat hidup. Allport mengemukakan perbedaan antara suara hati yang matang dengan suara hati tidak matang. Yang tidak matang, suara hatinya seperti pada kanak-kanak: patuh dan membudak, penuh larangan dan batasan, bercirikan perasaan "harus". 
Orang yang tidak matang berkata, "Saya harus bertingkah laku begini." Sebaliknya, orang yang matang berkata, "Saya sebaiknya bertingkah laku begini."  Suara hati yang matang adalah perasaan kewajiban dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain, dan mungkin berakar dalam nilai-nilai agama atau etis.

Faktor intern anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah :
1)     Konstitusi tubuh
2)     Struktur dan keadaan fisik
3)     Koordinasi motorik
4)     Kemampuan mental dan bakat khusus, intelegensi tinggi, hambatan mental, dan bakat khusus
5)     Emosional

6.     Kematangan Beragama Menurut Islam
Di dalam ajaran Islam terdapat berbagai sumber hukum yang bisa dijadikan sebuah literature untuk menentukan hukum, baik itu Al-qur’an, hadits maupun ijtihad. Begitu pula hal yang berkaitan dengan psikologi apalagi yang erat kaitannya dengan kriteria orang yang matang agamanya, pastilah dalam Al-qur’an dijelaskan dengan detail. Di dalam Al-qur’an terdapat beberapa kriteria orang yang bisa dikategorikan matang agamanya, antara lain :
a.      Orang Tersebut Sangat Cinta Kepada Allah
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S al-Baqarah: 165)
Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.[19]

b.     Beriman Kepada Semua Nabi
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Q.S al-Baqarah: 136)

c.      Mereka Senantiasa Mengabdi dan Beribadah Kepada-Nya.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S al-Baqarah: 194)[20]

d.     Mereka Juga Orang Yang Selalu Setia Pada Janji
 “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S al-Baqarah: 177)

e.      Selalu bantu membantu dalam kebajikan dan bukan dalam hal kejahatan
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S al-Maidah: 2)

f.      Bersikap adil walaupun harus merugikan dirinya dan golongan.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S an-Nisa 135)[21]

g.     Bersikap jujur sekalipun pada lawan
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”(Q.S al-Maidah: 2)

h.     Hidup secara wajar
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S al-Baqarah: 62)

i.       Selalu menafkahkan sebagian harta dan memaafkan orang lain
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S Ali-Imran: 133-134)

j.       Hidupnya dikorbankan demi mencari ridha Allah SWT
 “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”(Q.S al-Baqarah: 207)[22]

7.     Kriteria Kematangan Beragama Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
a.      Kematangan Beragama Berdasarkan Al-Qur’an
Kematangan Beragama telah digambarkan dalam surat Al- Mu’minun Ayat 1-10 dan surah Al-Furqon ayat 63-67 sebagai Berikut:

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi (Al-Mu’minun : 1-10).

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqon : 63-67)

Kriteria yang diberikan Oleh Al-Qur’an bagi mereka yang dikategorikan orang yang matang bergama islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama pada surat al-mu’minun dan bagian akhir dari surat al-furkon. Adalah mereka yang khusyu’ shalatnya, menjauhkan diri dari hal-hal yang tak berguna, menunaikan zakat menjaga kemaluannya kecuali kepada istri-istri yang sah, jauh dari perbuatan melampaui batas. Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya, memlihara shalatnya, merendahkan diri dan berrtawadhu. Menghidupkan malam-malamnya dengan bersujud, selalu takut dan meminta ampun agar jauh dari jahanam, membelajankan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula kikir.

b.     Kematangan Beragama Berdasarkan Hadits
Rasulullah SAW memberikan batas minimal bagi seorang yg disebut muslim yaitu disebut muslim itu apabila muslim-muslim lain merasa aman dari lidah dan tangannya . Sementara ciri-ciri lain disebutkan cukup banyak bagi orang yg meningkatkan kualitas keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW menganjurkan dengan cara peringatan seperti “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaknya dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri” . “Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari gangguannya” . “Tidak beriman seseorang kepada Allah sehingga dia lbh mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada kecintaan lainnya..” .
Dengan demikian petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang yang beragama Islam agar dia menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak mengganggu orang lain demikian juga dia menghormati tetangganya saudara sesama muslim dan sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Ringkas kata dia berpedoman kepada petunjuk Al-Qur’an dan mengikuti contoh praktek Rasulullah SAW sehingga dia betul-betul menjaga hubungan “hablum minallah” dan “hablum minannaas” .
Peringatan shahabat Ali r.a. bahwa klimaks orang ciri keagamaannya matang adalah apabila orang tersebut bertaqwa kepada Allah SWT. Dan inti taqwa itu ada empat menurut Ali r.a.
1.     Mengamalkan isi Al-Qur’an
2.     Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
3.     Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT meskipun terasa sedikit
4.     Persiapan untuk menjelang kematian dengan meningkatkan kualitas keimanan dan amal shaleh.


8.     Kriteria Kematangan Beragama Menurut Para Ahli
a.      Kriteria Orang Yang Matang Beragama Menurut  Ibnu Qoyyim
Ibnul Qoyyim ulama abad ke 7 menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang beragama Islamnya :
1)     Dia terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar selalu bertambah kualitasnya
2)     Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan keagungan Allah serta segala yg dijanjikan di akherat kelak sehingga dia menyibukkan diri untuk meraihnya
3)     Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan utk memikirkan ayat-ayat Allah Al-Kauniyah dan Al-Qur’aniyah .
4)     Dia terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada Allah senang atau benci marah atau rela semuanya karena Allah.
5)     Dia terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak mulia sehingga kalau berbicara dia jujur bermuka manis menyantuni yang tidak mampu tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak mulia
6)     Dia terbina kemasyarakatannya krn menyadari sebagai makhluk sosial dia harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia berperan aktif mensejahterakan masyarakat baik intelektualitasnya ekonominya kegotang-royongannya dan lain-lain
7)     Dia terbina keamuannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yg distruktif tetapi justru diarahkan sesuai dgn kehendak Allah. Kemauan yg mendorongnya selalu beramal shaleh
8)     Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan untuk ketaatan kepada Allah krn Rasulullah SAW bersabda “Orang mukmin yg kuat itu lbh baik dan dicintai Allah daripada mukmin yg lemah
9)     Dia terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkan kepada perkawinan yang dihalalkan Allah SWT sehingga dapat menghasilkan keturunan yang shaleh dan bermanfaat bagi agama dan negara.

b.     Kriteria Orang yang Matang Beragama Menurut  Allport
1)     Kemampuan melakukan differensi, artinya kemampuan differensi dengan baik dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan berperilaku terhadap agama secara objektif, kritis, reflektif, berpikir terbuka atau tidak dogmatis. Individu yang memiliki kehidupan bergama yang differensiasi, akan mampu menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan bergamanya, sehingga pandangan terhadap agama menjadi lebih kompleks dan realistis, tidak terjebak dengan pemikiran yang dogmatis.
2)     Berkarakter dinamis, artinya apabila individu telah berkarakter dinamis, agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas keagamaan semuanya dilaksanakan demi kepentingan agama itu sediri.
3)     Konsistensi moral, kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada konsikuensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah laku dengan nilai moral. Salah satunya adalah adanya keselarasan dan kesamaan antara tingkah laku dengan nilai agama, kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu mengubah atau memtransfomasikan tingkah laku.
4)     Komprehensif, kebergamaan yang komprehensif dapat diartikan segabai kebaragamaan yang luas, universal dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan.
5)     Integral, keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek-aspek lain dalam kehidupan termasuk di dalamnya dengan ilmu pengetahuan
6)     Heuristik, ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam bergama. 


9.     Agama Sebagai  Dasar  Perkembangan Ilmu
Ilmu pengetahuan, teknologi dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan  dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Dengan keunggulan dan keterbatasanya dua sosok subyek ini dalam taraf tertentu terbukti telah memberikan sumbangan yang nyata bagi peningkatan taraf kehidupan manusia. Permasalahan yang muncul adalah bahwa kedua kekuatan itu berjalan sendiri-sendiri dan terlepas satu sama lain.
Ternyata, terlepasnya ilmu dan teknologi dari ikatan spiritual keagamaan menyebabkan kerusakan di dunia ini semakin parah. Kemajuan iptek yang tidak didasarkan pada moral spiritual agama akan semakin menyesatkan manusia, tapi terjadi juga pada kualitas lingkungan hidupnya. Kerusakan fisik lingkungan alam karena ulah manusia kini semakin nyata.Dengan demikian relevan bila saat ini kita berbicara tentang integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama. [23]

10.  Agama adalah Pengendali Moral
Moral adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang sudah rusak moralnya, maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu.
Yang dimaksud dengan moral sendiri adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada keinginan-kepentingan pribadi.
Jika kita ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting, dimana kejujuran, kebenaran, keadilan dan pengabdian adalah diantara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.
Dari manapun kita dasarkan definisi tentang moral, maka definisi itu akan menunjukan bahwa moral itu sangat penting bagi setiap orang dan tiap bangsa. Bahkan ada seorang penyair Arab yang mengatakan bahwa ukuran suatu bangsa adalah moral atau ahlaknya. Memang moral sangat penting bagi masyarakat, bangsa dan umat. Kalau moral sudah rusak, ketentraman dan kehormatan bangsa itu akan hilang. Untuk memelihara kelangsungan hidup secara wajar, maka perlu sekali adanya moral yang baik.[24]


C.    SIMPULAN
Kematangan beragama merupakan kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Ciri dan sifat keberagamaan dibagi menjadi dua tipe, yaitu : tipe orang yang sakit jiwa, dan tipe orang yang sehat jiwa. Ilmu pengetahuan, teknologi dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan  dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia
Sedangkan, yang dimaksud dengan moral sendiri adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut.
Menurut G.W Allport karakteristik orang yang matang beragama, yaitu: memiliki diferensiasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pelaksanaan ajaaran agama yang konsisten dan produktif, pandangan hidup yang komprehensif, pandangan hidup yang integral dan semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan.
Di dalam ajaran Islam dijelaskan karak teristik orang-orang yang matang dalam beragama, antara lain: 1. memiliki rasa cinta yang kuat kepada Allah, 2. beriman kepada semua nabi, 3. senantiasa bersama Allah, memiliki iman yang mantap, tujuan hidupnya menegakkan tauhid beribadah kepada Allah, 4. Setia kepada janji, 5. Saling tolong menolong dalam kebajikan bukan kejahatan, 6. Bersikap adil walaupun harus merugikan dirinya dan golongannya, 7. Bersikap jujur sekalipun pada lawan, 8. Hidup secara wajar 9. Menafkahkan sebagian hartanya baik dalam kondisi lapang maupun sempit, 10. Hidupnya dikorbankan demi mencari ridha Allah SWT.   


DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, Dr. H. M. Pd. I dan Mulyono, M.A. 2008. Psikologi Agama dalam
 Perspektif Islam. Malang: UIN – Malang Press.
Darodjat. Zakiah 1982.  Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung
     Agung.
Djalaludin Ancok & Fuat Nasori Suroso. 1994. Psikologi Isami. Yogyakarta :
 Pustaka Belajar.
Jalaluddin. Prof. Dr. H. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jalaludin. Prof. Dr. H. 2009. Psikologi Agama Edisi Revisi 2009. Jakarta : PT. Raja
 Grafindo Persada.
·    Jalaludin. Prof. Dr. H. 2010. Psikologi Agama. Jakarta : Rajawali pers.




[1] Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009 (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2009). Hal. 123
[2] Ibid. Jalaluddin. Psikologi Agama Edisi Revisi 2009. Hal. 125
[3] Ibid. Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009. Hal. 125
[4] Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam (Malang: UIN – Malang Press, 2008). Hal. 170-172
[5] Ibid. Baharuddin dan Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Hal. 172
[6] Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009 (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2009). Hal. 126.
[7] Ibid. Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009. Hal. 126
[8] Ibid. Jalaluddin. Psikologi Agama ( Jakarta : Rajawali Pers, 2010 Edisi Revisi.14 ) Hal 125-126.
[9] Ibid. Jalaludin. Psikologi Agama.  Hal. 129-131.
[10]  Ibid. Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009 (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2009). Hal. 128.
[11] Ibid. Jalaludin. Psikologi Agama. Hal. 132-134.
[12] Ibid. Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008). Hal. 123-131
[13] Baharuddin dan Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam (Malang: UIN Malang Press, 2008). Hal. 174-176
[14] Ibid. Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam.  Hal. 177-178
[15] Ibid. Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Hal.179-182
[16] Ibid. Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Hal. 182-186
[17] Ibid. Baharuddin dan Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Hal. 189-192
[18] Ibid. Baharuddin dan Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Hal. 193-194
[19] Ibid. Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Hal. 198-199.
[20] Ibid Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Hal. 199-200.
[21] Ibid. Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Hal. 200-202
[22] Ibid. Baharuddin dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Hal. 202-205
[23] Djalaludin Ancok &Fuat Nasori Suroso. Psikologi Isami. (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 1994) Hal. 123.
[24] Zakiah Darodjat. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental. (Jakarta : Gunung Agung, 1982) Hal. 63.