Pengertian Ulumul Hadis
Ilmu Hadis atau
yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis yang
mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa
arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan
banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan
kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah
beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”.
Sedangkan menurut ahli ushul fiqh,
hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap
sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang
menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang
terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang
selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu
yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.
Pada mulanya, ilmu
hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang
berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu
al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan
lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh
para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad
ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al—Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Nasikh wal Mansukh,
serta banyak lagi yang lainnya.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat
parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan
tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu
yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya
dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan
dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis,
sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis
setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal,
yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz
tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu
disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul Hadis.1
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Masa Nabi Muhammad SAW.
Ketika masa Nabi masih hidup ditengah-tengah para sahabat,
hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis
dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek
kebenarannya. Pada masa itu pemalsuan hadits-pun tidak pernah terjadi menurut
pendapat para ulama ahli hadits.
Sekalipun pada masa nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits,
tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Al-Qur’an
dan hadits Rasulullah SAW. Misalnya anjuran pemeriksaan berita datang dan
perlunya persaksian yang adil. Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Hujarat
(49): 6, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”.
Demikian juga dalam surat Al-Baqarah
(2): 282, yang artinya “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.begitupun dalam
surat At-Thalaq (65):2 Allah SWT berfirman, yang artinya: “Persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”.
Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang
fasik tidak diterima. Muslim mengatakan, sekalipun pemberitaan dan persaksian
tidak sama pengertiannya, tetapi dalam beberapa hal mempunyai arti yang sama.
Ayat-ayat diatas tersebut berarti memerintahkan untuk memeriksa, meneliti, dan
mengkaji berita yang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita
yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa
isi berita tersebut.
Masa Para Sahabat Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah meninggal,
kondisi para sahabat Rasul sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits karena
konsentrasi mereka kepada Al-Qur’an yang baru dikondifikasikan pada masa Abu
Bakar tahap awal dan pada masa Utsman tahap kedua. Pada masa ini lebih dikenal
dengan masa “taqlil ar-riwayah”. Para sahabat tidak meriwayatkan hadits
kecuali dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar
dari Rasulullah SAW.
Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan
hadits, karena pada waktu itu orang-orangnya masih jujur-jujur, saling
mempercayai satu dengan yang lainnya. Tetapi setelah terjadinya konflik fisik
(fitnah) antar elit politik yaitu antara pendukung Ali dan Mua’wiyah, maka
terjadilah perpecahan. Perpecahan tersebut menjadi beberapa sekte; yaitu
Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan
hadits dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa
yang lebih luas.
Melihat kondisi seperti hal yang
disebutkan diatas maka para ulama bangkit dan membendung hadits dari pemalsuan
dengan beebagai cara di antaranya kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada
siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus disertai dengan sanad. Ibnu
Al-Mubarak berkata: “Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada
isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang ddikehendaki”.
Keharusan sanad dalam penyertaan
periwayatan berlaku bahkan menjadi tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu
Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadits dari para ulama di atas lembaran
kodifikasi. Sanad merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan haddits maka
dapat disimpulkan bahwa pada saat itutelah timbul pembicaraan periwayat mana
yang adil dan periwayat mana yang cacat (al jarh wa at-ta’dil), sanad
mana yang terputus (munqathi)dan yang bersambung (muttashil), dan
cacat (‘illat)yang tersembunyi, sekalipun dalam taraf yang sederhana
karena pada masa itu masih sedikit sekali diantara periwayat yang cacat
keadilannya.
Masa Thobiin besar
Priode ini adalah Masa sesudah
meninggalnya Khalifah Abbasyah ke XVII Al-Mu’tasim (W. 656 H). Sampai sekarang.
Priode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi Wa Al-Tami’ Wa At-Takhriji Wa
Al-Bahtsi,yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan
pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah
menerbitkan isi Kitab-kitab Hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab
tahrij, serta membuat Kitab-Kitab Tami’ yang umum.
Pada priode ini disusun kitab Zawa’id,
yaitu usaha mengumpulkan Hadits yang terdapat dalam Kitab sebelumnya kedalam
sebuah Kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id susunan
Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubradisusun oleh Bushiry,
dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain.
Pada pertengahan abad kedua Hijriyah
sampai abad ketiga Hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan alam
bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri
sendiri, masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku serta berdiri
secara terpisah. Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti
dalam kitab Ar-Risalah yang ditulis oleh Asy-Syfi’I, atau campur dengan fiqh
seperti kitab al-Umm dan solusi hadits-hadits yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf
Al-Hadits karya Asy-Syafi’I (W.204 H.)
Sesuai dengan pesatnya perkembangan
kodifikasi hadits yang disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadits yaitu
pada abad ketiga hijriyah perkembangan penulisan ilmu hadits juga pesat, karena
perkembangan keduanya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih
terpisah-pisah belum menyatu dan menjadi lmu yang berdiri sendiri ia masih
dalam bentuk bab-bab saja.
Mushtafa As-Shinba’imengatakan orang
yang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali Bin Al-Madini syaikhnya
Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi[1].
Dr. Ahmad Umar Hasyim juag menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu
hadits adalah Ali Bin Al-Madini dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis
oleh Al-Bukhari dan Muslim.[2] Di
antara kitab-kitab ilmu hadits pada abad ini adalah kitab Mukhtalif
Al-Hadits yaitu Ikhtilaf Al-Hadits karya
Ali Bin Al-Madini, dan Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits karya Ibnu
Qutaibah (W.276 H). kedua kitab tersebut di tulis untuk menjawab tantangan dari
serangan kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa ituterutama dari
golongan Mu’tazilah dan ahli Bid’ah.
DAFTAR PUSTAKA
- Majid Khon Abdul, 2009.Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah
- Solahudin Agus, 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia
- Muhammad teungku hasby ash-shiddieq, 2009. Ulumul Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra
- As-Shiba’I, As-Sunnah…, hlm. 107
- Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah…, hlm. 398
Tidak ada komentar:
Posting Komentar