Jumat, 31 Agustus 2012

Hadits Mu'allal

a. Pengertian hadits mu’allal

Dalam bahasa mu’allal berasal dari akar kata ‘illah ( ) yang diartikan al-maradh artinya penyakit. Seolah-olah hadits ini terdapat penyakit yang membuat tidak sehat dan tidak kuat. Bagi kesehatan, penyakit ini merupakan cacat dan penghalang bagi kesehatan seseorang. Seseorang menjadi lemah kesehatannya ketika terserang suatu penyakit. Dalam istilah, ‘illah atau mu’allal adalah:

Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pada hadits kemudian membuat cacat dalam keabsahannya padahal lahirnya selamat dari padanya.
Hadits muallal adalah:


Hadits yang dilihat didalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat keshahihan hadits, padahal lahirnya selamat daripadanya.

Dari definisi diatas dapat difahami bahwa kriteria ‘illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu hadits. Jika cacat itu tidak tersembunyi dan tidak mengurangi keabsahan suatu hadis tidak disebut ‘illah.

Namun bagi selain muhadditsiin, ‘illah terkadang diartikan cacat secara umum dalam hadits baik tersembunyi dan mencacatkan keabsahan suatu hadis atau tidak seperti sifat dusta, banyak

kelupaan, dan lain-lain. Contoh ‘illah hadis, adakalanya seorang perawi meng-irsal-kan hadis yang marfu’/ maushul, memawqufkan suatu hadis yang marfu’ atau menyisipkan suatu matan hadis pada matan lain menjadi satu hadis. 

Hadis mu’allal disebut juga dengan hadis ma’lul atau mu’all.

Illat hadis adakala dengan mengirsalkan yang mausul, yakni suatu hadis yang sebenarnya mausul _bersambung sanadnya kepada Nabi saw_tetapi diriwayatkan dengan sanad yang mursal. 

Atau hadis yang yang marfu’ diriwayatkan dengan sanad yang mauquf. 

Sedangkan menurut M. Ajaj Al-Khatib bahwa hadis mu’allal adalah hadis yang tersingkap di dalamnya ‘illah qidihah, meski lahiriahnya terbebas darinya. ‘illatnya terkadang ada pada sanad, kadang pada matan, atau pada kedudanya. Umumnya ‘illat pada sanad seperti halnya irsal, al-waqt, inqita’ dan sejenisnya. Semua itu mempengaruhi kemuttasilan sanad dan menjadikan hadis tergolong dha’if.

b. terjadinya ‘illah

‘Illah bisa terjadi pada:
  1. sanad saja dan ini yang lebih banyak, seperti me-mawqufkan suatu hadis yang semestinya mursal atau sebaliknya.
  2. Pada matan, seperti hadis tentang membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah secara jahar (keras) dalam shalat jahar (shalat wajib malam hari) menurut beberapa ‘ulama, diantaranya Syafi’I, ad-Daruquthni, Abdul Barr, al-Baihaqi, dan as-suyuti.
  3. pada sanad dan matan sekaligus sehingga pengaruhnya jelas pada sanad dan matan sekaligus.

 c. contoh hadis mu’allal

hadis yang diriwayatkan oleh at-tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb al-Mala’I dari al-a’masy dari Anas berkata:

adalah Nabi saw ketika hendak hajat tidak mengangkat kakinya sehingga dekat dengan tanah.

Hadis di atas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanadnya adalah orang yang tsiqoh, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan, bahwa al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat di belakang maqam Ibrahim.

Mengetahui ‘illah hadis termasuk ilmu hadis yang sangat tinggi, karena tidak semua orang mampu menyingkap cacat yang tersembunyi dan tidak mudah mengetahuinya kecuali para ahli hadis yang memiliki ketajaman dan kejernihan dalam berfikir. Diantara mereka Ibnu Al-Madini, Ahmad, Al-Bukhari, Abi Hatim dan Daruquthni. Namun secara umum dapat diketahui dengan cara menghimpun beberapa sanad, kemudian dianalisis perbedaan para perawi dalam meriwayatkan, tingkat hapalan, dan kedhabitan.

Contoh hadis yang mu’allal pada sanad:

Hadis yang diriwayatkan oleh ya’la Ibnu Ubaid At-Thanafisi, seorang yang tsiqoh, dari sufyan ats Tsauri dari ‘Amer Ibn Dinar, dari Ibnu Umar dari Nabi saw sabdanya:

“Penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”

Hadis ini, menurut sanad diatas muttasil, diriwayatkan oleh ornag yang adil, dari orang yang adil pula. Padahal sanad ini sebenarnya ma’lul _walaupun matannya sahih_ karena Ya’la bin ‘Ubaid telah bersalah pada perkataannya :Amer bin Dinar. Yang sebenarnya Abdullah bin Dina. Beginilah riwayat segala ahli hadis yang lain dari Ya’la bin ‘Ubaid itu. Dengan demikian jadilah riwayat Ya’la ma’lul sanadnya, sahih matannya, lantaran dikuatkan oleh sanad yang lain. 

Contoh mu’allal pada matan hadis:

Riwayat IbrahimThuman dari Hisyam ibn Hisan dari Muhammad ibn Sirin dari Abu Huroiroh dan Suhail ibn Abi Shaleh dari ayahnya dari Abu Huroiroh, katanya: Rasulullah saw bersabda:

Bila salah seorang diantara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah ia membasuh dua telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkan keduanya kedalam wadah. Karena ia tidak tahu kemana saja tangannya semalam. Kemudian ciduklah air dengan tangan kanannya dari wadah itu, lalu siramkannlah ke tangan kirinya dan lalu basuhlah pantatnya.

Abu Hatim ar-Raziy mengatakan, selayaknya kalimat “kemudian ciduklah…”merupakan pernyataan Ibrahim Ibn Thuhman, yang menyambungkan pernyataannya itu dengan hadis sehingga pendengar tidak bisa membedakan.Lihat ‘ilalulhadis karya Ibnu Hatim hal 65, juz 1. pernyataan perawi yang ditemukan atau disambungkan dengan hadis disebut “idraj”.

Namun bila perawi menandai pernyataannya dan menjelaskan bahwa pernyataannya itu merupakan penegasan dari hadis maka kita tidak menilainya sebagai ‘illah qadihah (‘illah yang mencacatkan hadis). Adapun bila ia ditanya apakah semuanya merupakan hadis lalu ia menjawab “ya” maka kita bisa mentolerirnya. Karena yang terjaga hanya yang bagian petama saja sehingga ‘illah itu mencacatkan hadis. 

Contoh hadis yang mu’allal pada sanad dan matan:


Hadis riwayat Baqiyyah dari Yunus dari Azzuhri dari salim dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda:
“Orang yang menemukan satu roka’at salat jum’at dan yang lain, maka ia telah menemukan pahala jama’ah”

Abu Hatim ar-Razi mengatakan ini merupakan kesalahan sanad dan matansekaligus. Yang benar adalah az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu hurairah dari Nabi saw beliau bersabda:

“Orang yang menemukan satu roka’at di suatu sholat, maka ia telah menemukannya.”

Adapun pernyataan “Min Shalat Al-Jum’ah” tidak termasuk ke dalam 
hadis. Sehingga terdapat kesalahan dalam sanad dan matan sekaligus. 

d. Kitab-kitab hadis mu’allal

Diantara kitab yangmenjelaskan hadis mu’allal adalah sebagai berikut:
1.    kitab al-‘ilal, karya Ibnu al-Madini
2.    ‘ilal al-hadits, karya Ibnu Abu Hatim
3.    Al-‘Ilal wa Ma’rifah ar-Rijal, karya Ahmad bin Hanbal.
4.    Al-‘ilal Ash-Shagir wa al-‘Ilal Al-Kabir, karya At-Tirmidzi
5.    Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits An-Nabawiyah, karya Ad-Daruquthi. 

C. HUKUM HADIS MU’ALLAL

Menurut M. “ajaj Al-Khatib, bahwa hadis tersebut tergolong pada hadis dho’if. Maka hukum kedua hadis tersebut sama dengan hukum hadis dho’if.

Ada tiga pendapat dikalangan Ulama dalam penggunaan hadis dho’if.

a.    hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadho’il maupun ahkam. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu al-arabiy. Tampaknya ini juga merupakan pendapat imam Bukhori dan imam muslim, berdasarkan kriteria-kriteria yang kita fahami dari keduanya, ini merupak pendapat ibnu Hazm pula.

b.    Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat hadis dho’if lebih kuat dari pada ra’yu perseorangan.

c.    Hadis dha’if dapat digunakan dalam masalah fadho’il, mawa’idz atau yang sejenis bila memebuhi syarat. Ibnu hajar menyebutkan syarat-syarat itu sebagai berikut:
·         kedha’ifannya tidak terlalu
·         hadis dha’if itu masuk cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan 
·         ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.

KESIMPULAN

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa 

hadis mu’allal adalah hadis yang tersingkap di dalamnya ‘illah qidihah, meski lahiriahnya terbebas darinya. ‘illatnya terkadang ada pada sanad, kadang pada matan, atau pada kedudanya. Umumnya ‘illat pada sanad seperti halnya irsal, al-waqt, inqita’ dan sejenisnya. Semua itu mempengaruhi kemuttasilan sanad dan menjadikan hadis tergolong dha’if.Ã

Hukum menggunakan hadis tersebut di atas adalah tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadho’il maupun ahkam. Karena kita memiliki hadis-hadis shahih tentang fadho’il, targhib dan tarhib yang merupakan sabda Nabi saw yang sangat padat dalam jumlah besar.

Hal ini cukup menjadikan kita tidak perlu meriwayatkan hadis dha’if mengenai masalah fada’il ataupuan sejenisnya. Lebih-lebih fadha’il dan makarimul akhlak termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal itu dengan ahkam ditinjau dari segi kekuatan sumbernya, yakni shahih maupuan hasan. Sehingga wajiblah sumbernya adalah khabar-khabar yang bisa diterima.


Tidak ada komentar: