Minggu, 12 Oktober 2014

Pemikiran Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Ali Jinnah

A. PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Pada pertengahan abad ke dua puluh, tepatnya pada tahun 1947 di India secara resmi muncul sebuah negara yaitu Pakistan. Jika kita mau menelusuri sejarah terbentuknnya negara tersebut maka akan didapatkan bahwa umat Islam adalah pendiri dan penggagas terbentuknya negara  tersebut, dalam artian yang meng-konsep, dan mencita-citakan terbentuknya negara adalah umat Islam.
Terkait pembahasan mengenai konseptor, maka tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang tokoh, oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang tokoh yang berperan besar terkait dengan terbentuknya negara Pakistan, yaitu  Sayyid Amir Ali,  Muhammad Iqbal yang dikenal sebagai Bapak Pakistan dan Muhammadi Ali Jinnah yang dikenal sebagai tokoh yang mewujudkan terbentuknya Negara Pakistan.

2.     Rumusan Masalah
a.      Siapakah Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Ali Jinnah?
b.  Bagaimana pemikiran ketiga tokoh tersebut dalam pembaharuan Islam di India-Pakistan?
c.  Apa hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dari pemikiran 3 tokoh pembaharu tersebut?

3.     Tujuan Penulisan
a.  Untuk mengetahui latar belakang pendidikan dari 3 tokoh pembaharu di India-Pakistan.
b.  Dapat mengerti dan memahami dasar pemikiran 3 tokoh tersebut dalam pembaharuan Islam di India-Pakistan.
c.   Untuk bisa mengambil hikmah dari hasil pemikiran 3 tokoh pembaharu tersebut.


B. PEMBAHASAN

1. SAYYID AMIR ALI
a.     Biografi Sayyid Amir Ali
Sayyid Amir Ali berasal dari keluarga Syiah di zaman Nadir Syah (1736-1747) pindah dari Khurasan di Persia ke India. Keluarga itu kemudian bekerja di istana Raja Mughal. Sayyid Amir Ali lahir pada tahun 1849, dan meninggal pada tahun 1928 dalam usia 79 tahun. Pendidikannya ia peroleh di perguruan tinggi Muhsiniyyah yang berada di dekat Kalkuta. Ia belajar bahasa Arab dan Inggris, kemudian sastra Inggris dan hukum Inggris.[1]
Di tahun 1869, ia pergi ke Inggris untuk meneruskan studi dan selesai tahun 1873 dengan memperoleh kesarjanaan dalam bidang hukum. Ia kembali ke India dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Inggris, pengacara, hakim, dan guru besar dalam hukum Islam. Pada tahun 1877, ia membentuk National Muhammedan Association, sebagai wadah persatuan umat Islam India, dan tujuannya ialah untuk membela kepentingan umat Islam dan untuk melatih mereka dalam bidang politik.
Di tahun 1883, ia diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota Majelis Wakil Raja Inggris di India. Ia adalah satu-satunya anggota Islam dalam majelis itu. Selanjutnya di tahun 1904, ia meninggalkan India dan menetap untuk selama-lamanya di Inggris.
Pada tahun 1906, ia diangkat menjadi anggota The Judicial Committee of the Privy Council (Komite Kehakiman Dewan Raja) di London, dan merupakan orang India pertama yang menduduki jabatan tersebut.[2] Amir Ali sendiri adalah seorang pemimpin yang dekat dengan pemerintah Inggris di India. Dia melihat pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari kemungkinan dominasi orang Hindu di India setelah kemerdekaan diperolehnya. Setelah berada di London, ia mendirikan cabang Liga Muslimin (didirikan tahun 1906). Ia terlibat pula dalam perundingan-perundingan di London tentang rancangan pembaharuan politik di India.

b.      Pemikiran Sayyid Amir Ali
Sayyid Amir Ali berpendapat dan berkeyakinan bahwa Islam bukanlah agama yang membawa kepada kemunduran. Sebaliknya Islam adalah agama yang membawa kepada kemajuan, dan untuk membuktikan hal itu ia kembali ke dalam sejarah Islam klasik. Karena ia banyak menonjolkan kejayaan Islam di masa lampau, ia dicap penulis-penulis orientalis sebagai seorang apologis[3], seorang yang memuja dan rindu kepada masa lampau dan mengatakan kepada lawan; “Kalau kamu sedang maju sekarang, kami juga pernah mempunyai kemajuan di masa lampau.”[4]
Umat Islam, terutama umat Islam sebelum abad ke-20, karena perhatian terlalu banyak dipusatkan pada ibadah dan hidup kelak di akhirat, tidak memperhatikan sejarah lagi, dan oleh karena itu lupa pada kemajuan mereka di zaman klasik.
Berikut beberapa pandangan Sayyid Amir Ali yang cukup menonjol:[5]
1.     Terhadap perbudakan, Islam berbeda pendapat dengan agama lain. Menurut Amir Ali, Islam berusaha menghapus perbudakan dengan cara memberikan kesempatan untuk membeli kemerdekaannya, baik dengan upah yang diperolehnya maupun dengan cara yang lain. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat harus dipandang sederajat dengan anggota masyarakat lainnya.
2. Poligami pada dasarnya terlarang kecuali dengan syarat-syarat tertentu dan perceraian harus ditolak. Poligami dan perceraian adalah merupakan kelemahan moral. Dalam ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sistem perbudakan diterima sebagai suatu kenyataan yang terdapat dalam masyarakat dan dapat diterima hanya untuk sementara. Ajaran-ajaran mengenai perlakuan baik dan pembebasan terhadap budak, pada akhirnya harus membawa kepada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam.

2 .  MUHAMMAD IQBAL
a.     Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal berasal dari keluarga golongan menengah. Ia lahir pada tahun 1876 di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan (sekarang)[6]. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, Sialkot, di bawah bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian ia mendapatkan biasiswa untuk melanjutkan ke Goverment College, di Lahore, sampai mendapat gelar MA. Di kota Lahore ia berkenalan dengan Thomas Arnold dan sekaligus menjadi pembimbingya, seorang orientalis yang menurut keterangan mendorong Iqbal untuk studi ke Inggris. Setelah selesai menempuh pendidikan di Lahore, Iqbal diangkat menjadi staf dosen di Goverment College dan mulai menulis syair-syair dan buku.
Akan tetapi, profesinya sebagai dosen tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1905, atas dorongan Arnold, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studi di Trinity College, Universitas Cambridge  London, sambil ikut kursus advokasi di Lincoln Inn. Di lembaga ini ia banyak belajar pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian.
Ia juga sering diskusi dengan para pemikir lain serta mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman mengikuti kuliah selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian mengantarkannya meraih gelar doctoris philosophy gradum, gelar doctor dalam bidang filsafat pada Nopember 1907, dengan desertasi The Development of Metaphysics in Persia, di bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya, kembali ke London untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of political science.

b.     Pemikiran Muhammad Iqbal
Satu hal yang menarik tentang ide pembaharuan Iqbal ialah meskipun ia memiliki latar belakang pendidikan Eropa ia tidak berpendapat bahwa Barat-lah yang harus dijadikan contoh, menurutnya yang harus diambil umat Islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya. Sementara kapitalisme dan imperialisme barat ditentangnya, karena Barat menurutnya sangat dipengaruhi oleh materealisme dan telah meninggalkan agama. Pemikiran Iqbal yang dikenal sebagai seorang filosof sekaligus penyair, perihal kondisi Islam mempunyai pengaruh yang luas terhadap gerakan pembaharuan dalam Islam.
Sebagaimana para pembaharu lain, Iqbal juga beranggapan bahwa kemunduran umat Islam yang berlangsung sangat panjang disebabkan oleh: Pertama, kebekuan dalam pemikiran umat Islam, hukum dalam Islam telah bersifat statis, padahal menurutnya hukum dalam Islam sebenarnya tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Kedua, angagapan kaum konservatif yang menganggap rasionalisme yang dipelopori kaum mu’tazilah membawa kepada disintergrasi yang dapat mengganggu kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Iqbal mengkritik pendapat ini dengan menyatakan bahwa menurutnya Islam, pada hakikatnya mengajarkan dinanisme, dan sangat menganjurkan pemakaian akal. Paham dinamisme Islam yang ditonjolkan Iqbal menjadikannya mendapat kedudukan penting dalam pembaharuan di India.
Iqbal juga menyatakan bahwa hancurnya Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam di pertengahan abad ke-3 adalah faktor dominan yang menyebabkan kemundura umat Islam, ia juga menyatakan bahwa zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf yang hanya mengharuskan pemusatan perhatian kepada Tuhan dan apa yang berada dibalik alam materi menjadikan umat Islam kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam. 
Oleh karena itu, Iqbal dalam ceramahnya sering menganjurkan agar ditingkatkan solidaritas antar umat dan persaudaraan Muslim untuk bisa melepaskan dari jajahan asing. Ide ini didukung oleh semua rakyatnya baik dari agama Islam maupun agama Hindu. Akan tetapi, ide Iqbal terkait nasionalisme yang berupa solidaritas antar agama mengalami perubahan, nasionalisme India yang mencakup Muslim dan Hindu sangat bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat diwujudkan, bahkan ia curiga akan adanya konsep new-hinduisme dibalik “Nasionalisme” yang mendapat dukungan dari umat Hindu.
Menurut Iqbal, di India terdapat dua umat besar, dan dalam pelaksanaan demokrasi Barat di India, kenyataan itu harus diperhatikan, karena nasionalisme ala Barat menurutnya akan melahirkan materialisme dan atheisme yang dapat mengancam bagi peri kemanusiaan.[7] Hal itu selain disebabkan penolakan Iqbal terhadap ide-ide Barat, juga dikarenakan adanya tuntutan umat Islam untuk membentuk sebuah pemerintahan sendiri. Sehingga kemudian terbentuklah pemerintahan Pakistan yang secara resmi merdeka pada tahun 1947.
Terkait dengan berdirinya Pakistan, Iqbal adalah seorang tokoh politik dan pembaharu yang memiliki peran besar bahkan disebut sebagai Bapak Pakistan, karena sejak ia menjabat sebagai presiden Liga Muslimin, ia banyak memaparkan tentang perlunya membentuk negara muslim, bahkan dalam pidato kepresidenannya ia menyatakan bahwa terbentuknya negara muslim itulah yang menjadi tujuan akhir umat Islam.
Tujuan membentuk negara tersendiri ini, ia tegaskan dalam rapat tahunan Liga Muslimin tahun 1930. “Saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan Utara, Sindi dan Balukhistan bergabung menjadi satu negara.”[8] Disinilah ide dan tujuan membentuk negara tersendiri diumumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India.

3.  MUHAMMAD ALI JINNAH
a.     Biografi Muhammad Ali Jinnah
Muhammad Ali Jinnah lahir pada tanggal 25 Desember 1876 di Karachi, orang tuanya adalah seorang saudagar.[9] Sejak kecil ia dikenal sebagai seorang yang memiliki kecerdasan pikiran yang lebih dari pada teman-temannya, sehingga teman ayahnya yang merupakan orang inggris menganjurkan agar Jinnah melanjutkan pendidikannya ke inggris. Atas nasehat tersebut, pada umur 16 tahun ia berangkat ke inggris untuk melanjutkan pendidikannya, dan baru kembali ke India pada tahun 1896, dan bekerja sebagai pengacara di Bombay.
Sepulang dari Inggris, Ali Jinnah memulai kariernya dengan menjadi seorang advokat di Bombay. Pada tahun 1906, Ali Jinnah bergabung dengan partai Kongres Nasional India, akan tetapi politik patuh dan setia kepada Inggris yang terdapat dalam partainya tidak sesuai dengan pendiriannya yang menginginkan penentangan terhadap Inggris untuk kepentingan nasional India.[10] Ia juga menjauhkan diri dari Liga Muslim sampai dengan tahun 1913, yaitu ketika organisasi tersebut merubah sikap dan menerima ide pemerintahan sendiri bagi India sebagai tujuan perjuangan.
Pada saat itu ia masih mempunyai keyakinan bahwa kepentingan umat Islam India dapat dijamin melalui ketentuan-ketentuan tertentu dalam undang-undang Dasar, ia juga masih sepakat dengan ide nasionAlisme India, sehingga ia masih mengadakan perundingan dan pembicaraan dengan pihak kongres nasional India terkait dengan nasionalisme India.
Akan tetapi, kemudian ia melihat bahwa untuk memperoleh pandangan yang sama antara umat Islam dan hindu amat sangat sulit, bahkan ia menolak dan menentang konsep nasionAlisme India Gandhi yang didalamnya umat Islam dan Hindu bergabung menjadi satu Bangsa, yang pada akhirnya mengharuskan ia keluar dari partai kongres.
Setelah ia mengikuti Konferensi Meja Bundar di London ia memutuskan untuk keluar dari arena politik dan menetap di inggris. Di sana ia menjadi advokat, tetapi pada tahun tahun 1934 atas permintaan teman-temannya termasuk Iqbal ia kembali ke India, dan pada tahun itu juga ia terpilih sebagai ketua tetap liga Muslimin. 
Sekarang ini  muslimin dibawah  pimpinan Jinnah memiliki semangat baru, dan berubah menjadi gerakakan yang kuat. dengan adanya perkembangan ini umat Islam India mulai sadar, bahwa apa yang dikhawatirkan ulama terdahulunya telah menjadi kenyataan, diamana kekusaan hindu mulai terasa, umat Islam di daerah mayoritas mulai melihat perlunya adanya barisan kuat umat islam diseluruh Indonesia.

b.     Pemikiran Muhammad Ali Jinnah
Terbentuknya negara Pakistan, pemikiran pembaharuan Ali Jinnah sebenarnya lebih pada ranah politik, pada awalnya ia beranggapan dan menganjurkan adanya nasionalisme India, untuk melepaskan diri dari jajahan Inggris, akan tetapi dari hasil realitas dan pengalaman yang ia rasakan membuatnya merubah haluan politiknya sejak ia menemukan kekecewaan bersama partai kongres.
Sejak itulah ia beranggapan bahwa kepentingan umat Islam di India tidak bisa lagi dijamin melalui perundingan dan terbentuknya sebuah undang-undang dasar India secara keseluruhan. Tetapi kepentingan umat Islam akan terjamin hanya melalui pembentukan negara tersendiri yang terpisah dari negara umat Hindu di India.
Ali Jinnah mulai membahas masalah pembentukan negara Islam di rapat tahunan Liga Muslimin yang diadakan di Lahore pada tahun 1940, yang kemudian menghasilkan persetujuan bahwa pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam sebagai tujuan perjuangan Liga Muslimin. Sejak itulah Jinnah mulai memperjelas tentang negara Islam yang akan dibentuk (Pakistan). Menurutnya negara tersebut ialah sebuah negara yang berada dibawah kekuasaan umat Islam, tetapi tidak melupakan peran serta non-muslim dalam pemerintahan dengan menyesuaikan jumlah mereka disetiap daerah.
Pembentukan negara Islam (Pakistan) Jinnah dan Liga Muslimin mendapatkan dukungan umat Islam India, hal itu terlihat dari hasil pemilihan 1946, dimana Liga Muslimin memperoleh kemenangan di daerah-daerah yang nantinya masuk Pakistan. Kedudukan Ali Jinnah dalam perundingan dengan Inggris dan Partai Kongres Nasional India mengenai masa depan Islam semakin kuat.
Dan pada tahun 1947 Inggris mengeluarkan putusan untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua dewan konstitusi, satu untuk Pakistan dan satu untuk India.[11] Pada tanggal 14 Agustus 1947 dewan konstitusi Pakistan dibuka dan pada tanggal 15 Agustus 1947 diresmikan, Ali Jinnah diangkat menjadi Gubernur Jendral atau Pemimpin besar bagi rakyat Pakistan, dan pada hari itulah Pakistan lahir sebagai sebuah Negara umat Islam yang merdeka baik dari inggris ataupun India.



C. PENUTUP
1.     Kesimpulan
Melihat keberhasilan para tokoh pembaharuan di India-Pakistan tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikannya. Karena memang latar belakang pendidikan itu sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang dihasilkan. Selain itu keberhasilan yang bisa dicapai tak begitu saja menyampingkan peran dari umat Muslim di India. Keinginan untuk mendirikan negara tersendiri sudah menjadi cita-cita bersama.
Sayyid Amir Ali beranggapan bahwa Islam bukan agama yang membawa kemunduran, justru malah sebaliknya Islam dapat membawa kemajuan. Ia melihat kamajuan yang dicapai umat Islam pada masa klasik merupakan bukti nyata bahwa Islam dapat membawa kemajuan.
Iqbal mengatakan bahwa umat Islam di India harus membebaskan diri dan membentuk negara tersendiri agar terlepas dari cengkraman Barat. Dan tekad untuk mendirikan negara Islam di India akhirnya terwujub setelah Iqbal memproklamirkan berdirinya negera Pakistan.

2.     Kritik dan Saran
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyampaian makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi teknik penulisan, isi, maupun yang lainnya. Maka, kami mengharapkan kepada para pembaca kritik dan sarannya yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa mendatang.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. 1998. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung:
Mizan.
Asmuni, Yusran. 1995. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
 dalam Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan
 Gerakan), Cet. 12. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Nasution, Harun. 2003 Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
      Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang
Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah pemikiran Perkembangan modern Dalam
 Islam. PT. Raja Grafindo persada





[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hal. 181.
[2] H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Cet. 3; Bandung: Mizan, 1996), hal. 143.
[3] Apologis berasal dari kata apologi yang berarti tulisan atau pembicaraan formal yang digunakan untuk mempertahankan gagasan, kepercayaan, dan sebagainya. Lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
[4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hal. 182.
[5] H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Cet. 1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 43-44.
[6] Harun  Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hal. 190.
[7] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Cet. 12; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hal. 193.
[8] Ibid., hal. 194.
[9] Ibid. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 195.
[10] Ibid
[11] Ibid. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 199.

Tidak ada komentar: