Sabtu, 24 November 2012

Lebih Baik (Tak) Sendiri

Hal paling menakutkan dalam hidup adalah berada dalam kesendirian, dan kesulitan terbesar dalam hidup yakni ketika kita tak memiliki seseorang pun untuk berbagi. 

***
Waktu kecil, saya paling takut dengan anjing. Saya lebih memilih berputar arah dan rela mencari jalan yang lebih jauh ketimbang melintasi rumah yang ada anjingnya. Mungkin karena saya pernah melihat lan
gsung teman saya, Kun, digigit anjing sampai menangis. Tak hanya itu, saya sendiri pernah dikejar anjing, berlari sekencang-kencangnya sambil menangis, berteriak minta tolong.

Perasaan trauma itu yang terus menghantui, sehingga setiap kali berpapasan dengan anjing saya langsung gemetar. Biasanya, saya tunggu sampai anjing itu menyingkir atau saya menunggu orang dewasa atau anak lain yang tidak takut anjing yang hendak melintasi jalan yang sama.

Kadang, saya berdua dengan teman sepermainan melewati jalan yang sama. Kami sama-sama takut kepada hewan itu. Ketika menyalak, bulu kuduk pun berdiri. Tapi karena berdua, perasaan takutnya sedikit berkurang dibanding saat sendiri. Setidaknya kami bisa bilang, “Sama-sama lari, kalau pun digigit ya sama-sama digigit”. Meskipun hukum yang berlaku berkata lain, “siapa cepat dia selamat!”

Sama halnya ketika di malam hari saya bertemu atau melintasi rumah yang dianggap angker, ada hantunya. Beberapa meter sebelum rumah tersebut, saya sudah berancang-ancang mengambil langkah seribu. Tetapi kalau berdua, jangankan melintas, kadang kami berani menyambangi rumah angker itu. Meski sebenarnya sama-sama takut, tetapi jika ada yang menemani perasaan itu bisa berkurang.

Dalam kesedihan pun demikian. Menjalani lara sendiri, seolah sepanjang hari berwarna kelabu. Tetapi ketika kita menemukan seseorang yang mau menyediakan bahunya untuk bersandar, terbagilah kesedihan itu. Saat menangis, ada yang mengusap bulir air mata kita dengan jemari atau punggung tangannya. Bulir-bulir air mata yang jatuh sebelumnya, seketika berubah menjadi bunga berwarna-warni yang membuat hidup begitu indah.

Tak hanya perasaan takut dan sedih, sebaliknya di waktu-waktu bahagia pun kita memilih tak sendiri. Merayakan hari kelahiran, sebagian kita kerap menunggu orang-orang tercinta mengirim pesan singkat atau menelepon sekadar berucap, “Selamat ulang tahun…”

Bayangkan, kalau sampai tengah hari belum satupun yang kirim ucapan selamat? Belum ada doa dari suami, isteri, anak-anak, orang tua, kakak, adik, sahabat, mungkin kita akan bertanya-tanya, “Kemana semua orang?” atau “Lupa hari ini saya ulang tahun?”

Ketika seseorang merasa senang, mungkin karena mendapat hadiah kejutan, rezeki yang tak disangka-sangka, dilamar calon suami, naik pangkat, naik gaji, punya mobil baru, memenangkan pertandingan, misalnya. Ia akan mencari orang lain untuk meluapkan kegembiraannya. Ia memerlukan seseorang yang mau ikut berteriak histeris merayakan kesenangannya itu.

Andai tak seorang pun peduli dengan kegembiraan Anda itu. Misalkan tak satupun menanggapi atau menyadari betapa hari itu Anda tengah berbahagia, membiarkan Anda senyum-senyum atau berteriak kegirangan sendirian, ada sesuatu yang kurang dalam kebahagiaan itu.

Ya, kita selalu memerlukan orang lain baik dalam keadaan takut, sedih, maupun bahagia. Seseorang yang mau berlari bersama dalam ketakutan, menggigil bersama dalam kedinginan, menangis bersama dalam kesedihan, juga tertawa bersama merayakan kemenangan dan kebahagiaan.

Sobat, jika pun Anda tak sendirian menjalani kehidupan, mungkin sahabat Anda tidak demikian. Sapalah sahabat yang sudah lama tak disapa, temuilah mereka sekarang juga, mungkin ia tengah sendiri menjalani segala rasanya. Katakan kepadanya, “Sobat, saya ada untukmu”

Tidak ada komentar: