Selasa, 10 Maret 2015

An-Nisa : 105

A. PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. membawa umat manusia dari kegelapan (kebodohan) menuju cahaya terang benderang yakni agama Islam. Al-Qur’an juga menjelaskan yang haq dan mengungkap berbagai kebathilan.
Berbagai kebathilan telah mewarnai dimensi kehidupan manusia. Salah satu bentuk kebathilan yang sering dijumpai adalah sikap khianat. Orang yang khianat terkadang mendapat perlindungan dari orang atau pihak-pihak tertentu. Sikap khianat banyak dijumpai di lingkungan politik dan hukum. Salah satu lapangan politik dan hukum yang kerap diwarnai sikap khianat yaitu Pengadilan.
Banyak pihak yang tak bersalah terkena jeratan hukum di pengadilan. Hal ini terjadi karena orang itu telah dikhianati dan hakim juga termakan sikap dan ucapan orang yang berkhianat. Dengan begitu, banyak orang yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum namun dia yang terkena jeratan hukum.
Islam melarang keras terhadap perlakuan hakim yang membela orang yang berkhianat di muka hukum. Islam pun memberikan rambu-rambu kepada umat Islam terutama hakim untuk bersikap hati-hati di dalam meneliti yang haq agar tidak tertipu oleh pembicaraan orang-orang yang berkhinat dan tidak menjadi penantang kebenaran demi membela orang yang khianat.
Berangkat dari gambaran dan pemaparan sekilas di atas, penyusun mencoba membahas mengenai larang membela orang yang berkhinat di muka hukum. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap sikap khianat di muka hukum? 



B.    PEMBAHASAN

1.     Surah An-Nisa : 105

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْن النَّاسِ ِبمَآ اَرَاكَ اللهُ وَلاَ تَكُنْ لِّلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا  (النساء : ٥.١)

Artinya:  “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.  (QS. An-Nisa : 105)

2.     Tafsir Mufrodat

              الْكِتَابَ            maksudnya, Al-Qur`an.[1]
               لِتَحْكُمَ بَيْن النَّاسِ ِبمَآ اَرَاكَ اللهُ   maksudnya, Al-Qur`an diturunkan Allah supaya kamu mengadili antara manusia sesuai dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu di dalamnya.[2]
               وَلاَ تَكُنْ لِّلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا   maksudnya, janganlah kamu menjadi orang yang tidak bersalah untuk membela orang yang berkhianat, seperti Tha’mah bin Ubairiq yang telah mencuri baju besi dari rumah tetangganya, Qatadah. [3]

3.     Pokok Kandungan Ayat  
               Teguran Allah kepada Rasul karena membela orang yang salah.

4.     Asbabun Nuzul

                                    Di dalam keluarga Bani Ubairiq terdapat seorang munafik bernama Busyair yang tingkat sosial ekonominya sangat lemah. Dia tinggal serumah dengan Bisyrin dan Mubasyir. Orang munafik itu pada suatu waktu pernah menggubah syi’ir (puisi) yang isinya mencaci maki Rasulullah SAW dan para sahabat. Dan dia memutarbalikkan fakta dengan mengatakan bahwa syi’ir itu gubahan orang lain. Sementara makanan mereka orang-orang yang lemah ekonominya adalah kurma dan sya’ir (sejenis gandum) yang didatangkan dari Madinah. Sedangkan makanan pokok orang-orang yang mampu pada saat itu adalah tepung terigu.
                                    Pada suatu waktu Rifa’ah bin Zaid — paman Qatadah — membeli beberapa karung terigu yang kemudian disimpan di gudang miliknya, di mana di dalam gudang itu biasa untuk menyimpan alat-alat perang, baju besi, pedang dan lain-lain. Di tengah malam yang gelap gulita gudang tersebut dibongkar orang dan seluruh isinya dicuri. Keesokan harinya Rifa’ah datang kepada Qatadah seraya berkata: “Wahai anak saudaraku, semalam gudang kita dibongkar orang, makanan yang ada dan seluruh senjata yang ada dicuri habis-habisan”.
Kemudian kaum muslimin melakukan pelacakan dan penelitian siapa pelaku pencurian itu. Kepada penduduk di sekitar kampung tersebut ditanyakan tentang pelaku pencurian di gudang. Dari keterangan mereka ada yang mengatakan, bahwa semalam Bani Ubairiq mengadakan pestapora, menyalakan api dan memakan tepung terigu  yang dimasak dengan lezat.
                                    Mendengar keterangan yang seperti ini, Bani Ubairiq  mengelak dari tuduhan seraya berkata: “Kami telah mengadakan penyelidikan di sekitar kampung ini, demi Allah, bahwa pencurinya adalah Labid bin Sahlin”. Padahal Labid bin Sahlin adalah seorang muslim yang sangat taat kepada Allah SWT dan jujur, kemuliaan akhlaknya  telah masyhur di kalangan mereka.
Ketika Labid bin Sahlin mendengar perkataan Bani Ubairiq ini, mukanya menjadi merah padam, sangat marah. Dengan pedang yang terhunus di tangannya dia pergi menemui Bani Ubairiq seraya berkata: “Kamu telah menuduh aku melakukan pencurian. Demi Allah, pedangku ini akan ikut  berbicara, sehingga dengan jelas dapat ditemukan siapa sebenarnya  pelaku pencurian itu”.  Bani Ubairiq berkata: “Janganlah engkau mengatakan kami menuduhmu, wahai Labid. Bukankah sebenarnya engkau yang melakukan pencurian!”.  
                                    Sementara Rifa’ah dan Qatadah berangkat mencari data yang lebih kongkrit lagi, dan akhirnya dapat diambil kesimpulan berdasarkan fakta dan data, bahwa pelaku pencurian itu adalah Bani Ubairiq. Setelah diketahui secara pasti, Rifa’ah langsung berkata: “Wahai anak saudaraku, bagaimana kalau sekiranya engkau pergi menghadap Rasulullah SAW untuk menceritakan kejadian ini?”. Tanpa menawar lagi Qatadah langsung berangkat menghadap Rasulullah SAW, yang dengan tegas menerangkan bahwa di kampung itu ada satu keluarga yang tidak baik, yaitu mau mencuri makanan dan senjata milik pamannya. Qatadah menyampaikan kepada Rasulullah SAW , bahwa pamannya bernama Rifa’ah hanya menghendaki agar senjatanya saja yang dikembalikan, sedangkan bahan makanannya diikhlaskan untuk dimakan oleh mereka. Sehubungan dengan itu Rasulullah bersabda: “Aku akan mengadakan penelitian lebih dahulu tentang masalah ini”.
                                    Ketika Bani Ubairiq mengetahui bahwa Rasulullah SAW akan mengadakan penelitian tentang kasus pencurian itu, maka Bani Ubairiq segera mendatangi saudaranya yang bernama Asir bin Urwah untuk menceritakan dan mengadukan permasalahan tersebut. Sehubungan dengan itu seluruh masyarakat di kampung  Bani Ubairiq mengadakan perkumpulan untuk bermusyawarah, dan memutuskan untuk menghadap Rasulullah SAW. Setelah mereka berada di hadapan Rasulullah SAW, langsung berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya yang bernama Rifa’ah telah menuduh seorang di antara kami yang berakhlak budi pekerti baik telah melakukan pencurian. Padahal orang yang dituduh itu seorang yang baik hati lagi jujur. Dia menuduh tanpa disertai fakta dan data yang kuat”.
                                    Oleh karena kata-kata Bani Ubairiq tersebut, maka sewaktu Qatadah menghadap Rasulullah SAW beliau langsung bersabda: “Kamu telah menuduh seorang muslim yang baik budi dan jujur melakukan pencurian tanpa dengan fakta yang kuat!”. Kemudian Qatadah pulang dan menyampaikan apa yang terjadi di hadapan Rasulullah SAW kepada pamannya Rifa’ah. Mendengar berita itu Rifa’ah langsung berkata: “Allahul-musta’an = Allah tempat berlindung bagi kita”. Sesaat kemudian Allah SWT langsung menurunkan ayat ke-105 sebagai teguran kepada Rasulullah SAW yang mengadakan pembelaan terhadap Bani Ubairiq yang ternyata berada dalam posisi yang salah.[4]

5.     Asbabun Nuzul Versi Lain

Diriwayatkan oleh Hakim dan Tirmizi dan lain-lain dari Qatadah bin Nu'man, katanya, "Ada suatu keluarga pada kami yang disebut Bani Abiraq yang nama mereka ialah Bisyr, Basyir dan Mubasysyir. Basyir adalah seorang munafik, mengucapkan syair berisi celaan kepada para sahabat Rasulullah yang menjadi cemooh bagi sebagian orang Arab. Kata mereka, 'Si Anu mengatakan begitu...,' baik di masa jahiliah maupun di zaman Islam.' Keluarga Abiraq ini adalah keluarga miskin dan melarat. Ketika itu yang menjadi bahan makanan manusia di Madinah hanyalah gandum dan kurma. Maka paman saya, Rifa'ah bin Zaid, membeli satu pikul bahan makanan itu dari Darmak dan menaruhnya di warung kopinya yang juga disimpannya alat senjata, baju besi dan pedangnya. Rupanya ada pencuri yang melubangi warung itu dari bagian bawah lalu mengambil makanan dan alat senjata.
Waktu pagi, paman Rifa'ah datang mendapatkan saya, katanya, 'Keponakanku, kita telah dianiaya tadi malam. Warung kita dibobol pencuri yang mengambil makanan dan alat-alat senjata kita.' Kami pun berusaha menyelidiki dan menanyakannya di sekeliling perkampungan itu. Ada yang mengatakan, 'Kami lihat Bani Abiraq menyalakan api tadi malam, dan menurut dugaan kami sasarannya ialah tentunya makanan tuan-tuan itu.' Ketika kami tanyakan, maka kata Bani Abiraq, 'Demi Allah, siapa lagi orangnya kalau bukan Lubaid bin Sahal,' yang menurut pendapat kami seorang yang baik dan beragama Islam. Ketika mendengar itu, Lubaid menyambar pedangnya lalu katanya, 'Siapa mencuri? Demi Allah, orang-orang itu harus menghadapi pedang saya ini, atau kalau tidak, mereka harus menjelaskan siapa sebenarnya yang melakukan pencurian itu!' Kata mereka, 'Bersabarlah Anda, sebenarnya bukanlah Anda yang kami maksud!' Lalu kami teruskan penyelidikan hingga kami tidak ragu lagi bahwa Bani Abiraqlah yang menjadi pelakunya.
Kata paman saya kepada saya, 'Hai keponakanku! Bagaimana kalau kamu datang kepada Rasulullah dan menyampaikan hal ini kepada beliau?' Maka saya pun datanglah, kata saya, 'Ada suatu keluarga di lingkungan kami yang bertabiat kasar dan menganiaya paman saya. Mereka melubangi warungnya dan mencuri bahan makanan dan alat-alat senjata. Maka kami harap agar senjata kami dikembalikan dan tentang makanan, biarlah, kami tidak memerlukannya.' Jawab Rasulullah saw., 'Baiklah kami selidiki dulu.' Mendengar itu Bani Abiraq mendatangi seorang laki-laki dari kalangan mereka juga yang bernama Asir bin Urwah lalu membicarakan hal itu dengannya. Kemudian berkumpullah orang-orang dari perkampungan itu lalu menemui Rasulullah saw. kata mereka, 'Wahai Rasulullah! Qatadah bin Nu'man bersama pamannya, menuduh keluarga kami yang beragama Islam dan termasuk orang baik-baik telah mencuri tanpa keterangan dan bukti yang nyata.'
Qatadah mendatangi Rasulullah saw. lalu katanya kepada saya, 'Betulkah kamu telah menuduh suatu keluarga baik-baik yang dikenal saleh dan beragama Islam melakukan pencurian tanpa sesuatu bukti atau keterangan?' Mendengar itu saya pun kembali mendapatkan paman saya dan menceritakannya. Maka kata paman saya, 'Hanya Allahlah tempat kita memohon pertolongan.' Maka tidak lama turunlah ayat Al-Qur’an, 'Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili manusia dengan apa yang telah diwahyukan Allah kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat, maksudnya Bani Abiraq, dan mohonlah ampun kepada Allah; artinya mengenai apa yang telah kamu katakan kepada Qatadah,...' sampai dengan, '.....Maha Besar.'
Setelah turun Al-Qur’an, Rasulullah pun mengambil pedang dan mengembalikannya kepada Rifa'ah sedangkan Basyir menggabungkan diri kepada orang-orang musyrik dan tinggal di rumah Sulafah binti Saad. Maka Allah pun menurunkan, 'Barangsiapa yang menentang Rasul setelah nyata kebenaran baginya...,' sampai dengan firman-Nya, '...maka sesungguhnya ia telah sesat sejauh-jauhnya.'" (Q.S. An-Nisa 115-116).
Kata Hakim, Hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Ibnu Saad mengetengahkan dalam Ath-Thabaqat dengan sanadnya dari Mahmud bin Lubaid, katanya, "Basyir bin Harits membongkar sebuah gudang Rifa'ah bin Zaid, paman dari Qatadah bin Nu'man dengan melubanginya dari bagian belakangnya, lalu mengambil makanan dan dua buah baju besi dengan alat-alatnya. Maka Qatadah pun datang menemui Nabi SAW. lalu menyampaikan berita itu hingga Basyir dipanggil oleh Nabi dan ditanyainya. Ia menyangkal dan menuduh Lubaid bin Sahal yang berbuat demikian. Lubaid ini adalah seorang yang terpandang dan mempunyai kedudukan di kampung itu. Maka turunlah Alquran mendustakan Basyir dan membersihkan diri Lubaid, 'Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili manusia dengan apa yang telah diwahyukan Allah kepadamu...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 105)
Dan tatkala turun Al-Qur’an mengenai Basyir dan berita itu sampai ke telinganya, ia pun lari ke Mekah dalam keadaan murtad dan tinggal di rumah Sulafah binti Saad. Di sana ia menjelek-jelekkan Nabi SAW. dan kaum muslimin hingga turunlah pula ayat mengenainya, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul...sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 115). Ia selalu dikecam oleh Hasan bin Tsabit lewat syairnya hingga ia kembali dan peristiwa ini terjadi pada bulan Rabi' tahun 4 Hijriah.



C.    KESIMPULAN

                           Rasulullah SAW telah membela orang-orang yang bersalah karena hanya mendengar keterangan sepihak, kemudian langsung Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai teguran. Seharusnya beliau memeriksa dulu kedua belah pihak, baru menjatuhkan vonis siapa yang bersalah.
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ ِللهِ وَلَوْ عَلَى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَاْلاَقْرَبِيْنَ ع اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ اَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوْا اْلهَوَى اَنْ تَعْدِلُوْا وَاِنْ تَلْوُآ اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ ِبمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا  (النساء : ١٣٥)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (tergugat atau terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang  kamu kerjakan”.  (QS. An-Nisa : 135)


DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin Al -Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain______
Jalaluddin Al –Mahalli. Asbabun Nuzul______



[1] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Mahalli, Asbabun Nuzul..., hal. 272-273

Tidak ada komentar: