Selasa, 10 Maret 2015

Islam Pada Masa Orde Baru

A. PENDAHULUAN
   Segera sesudah Soeharto mengukuhkan kekuasaannya dan berhasil melengserkan Soekarno pada 1968, dia menjanjikan pemilihan umum pada 1967. Namun, dengan beberapa alasan, pemilihan umum itu baru dapat dilaksanakan pada 1971  ̶ ̶  pemilu ke dua sejak Indonesia merdeka. Pemilu 1971 ini, rezim Soeharto tidak banyak memberi tempat kepada sebagian partai atau politisi yang telah mendapat kedudukan penting pada masa rezim Soekarno. Baik Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara nasionalis. Atas dasar ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam.[1]
Pemerintah Orde Baru menganggap partai-partai politik telah ikut berperan dalam memunculkan kekacauan, yang puncaknya terjadi pada peristiwa 30 September 1965. Karenanya, pemerintah Orde Baru lebih condong kepada konfederasi golongan-golongan karya yang disebut dengan Sekretariat Bersama Golongan Karya. Sekber Golkar tersebut sudah dibentuk pada 1964, yang semula untuk menggabungkan organisasi-organisasi anti-komunis. Pada 1971, Golkar ikut dalam pemilihan umum, walaupun dinyatakan sebagai bukan partai politik.[2]
Puncak kekecewaan umat Islam terhadap pemerintah Orde Baru adalah ketika pemerintah menetapkan keharusan pencantuman Pancasila bagi seluruh kekuatan politik dan organisasi massa. Keharusan penerapan asas tunggal Pancasila itu berarti meniadakan asas ciri yang menjadi identitas dan simbol ideologis organisasi politik dan organisasi massa, tak terkecuali dari kalangan Islam. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, peluang untuk membangkitkan kembali “Islam Politik” secara ideologis menjadi tertutup. Walaupun demikian, diterimanya Pancasila oleh umat Islam mempunyai konsekuensi-konsekuensi positif pada satu sisi.[3]


B. PEMBAHASAN
1.     Depolitisasi Umat Islam
Hakikat dasar Islam mengakui prinsip keterpaduan kekuasaan agama dan politik karena di dalam Islam hal yang spiritual dan duniawi bukanlah dua bidang yang berbeda. Konsekuensi dari hal ini adalah tidak terdapat pemisahan antara agama dan negara dalam Islam. Islam justru menganjurkan hubungan yang sangat erat antara agama dan politik.[4] Alasan inilah yang menjadikan umat Islam terlibat dalam politik dan pemerintahan.
Berdasarkan pemaparan di atas, Taufik Abdullah menyebutkan 3 asumsi dasar yang saling berkaitan yang ikut membentuk wajah politik Islam. Ketiga hal tersebut memberikan pengaruh hingga sekarang. Pertama, Islam merupakan satu konsep kesatuan utuh yang tidak memisahkan kenyataan yang konkret. Kedua, pengalaman dan peranan historis Islam dalam proses pembentukan bangsa. Ketiga, kenyataan kuantitatif bahwa kenyataan mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk Islam.[5] Ketiga asumsi dasar yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah ini menjadi patokan dalam menilai sepak terjang umat Islam di dalam pemerintahan.
Alasan-alasan di atas menjadikan kalangan Islam mengambil tempat dalam perpolitikan di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman Orde Baru meskipun mengalami pasang surut tiap masanya.[6] Akan tetapi, umat islam tetap mengambil tempat untuk berperan. Peranan umat Islam di masa Orde Baru akan dipaparkan pada sub selanjutnya.
Orde Baru diamanahkan untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Upaya yang dilakukan untuk melakukan tugas tersebut adalah melakukan rehabilitasi dan stabilisasi dan keamanan (polkam) agar pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dapat dimulai. Pemerintah Orde Baru melakukan pendekatan yang populer dengan sebutan pendekatan keamanan (security approach). Pendekatan keamanan termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik yang dinilai akan merongrong kewibawaannya.[7]
Depolitisasi umat Islam sudah terjadi sejak masa Demokrasi Terpimpin, ketika Masyumi menolak tegas ideologi Nasakom yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Sikap Masyumi ini menempatkan Masyumi berkonfrontasi secara langsung dengan presiden Soekarno. Berbeda dengan Masyumi, umat Islam yang menerima ideologi Nasakom tetap diakomodasi dalam kekuasaan seperti NU, PSII, dan Perti. Meskipun demikian, partai Islam pada masa ini kehilangan identitasnya karena politik akomodiasionis terhadap pihak penguasa.
Orde Baru dimulai dengan penuh harapan oleh kalangan yang tidak lagi mempercayai kepemimpinan Soekarno.[8] Kalangan Islam, seperti Masyumi, berharap dapat berperan kembali di bidang pemerintahan seperti zaman Demokrasi Liberal. Akan tetapi, perkiraan kalangan Islam itu ternyata jauh dari harapan. Soeharto ternyata tidak hanya menyingkirkan kepentingan-kepentingan PKI dari pemerintahan, tetapi juga menyingkirkan kepentingan umat Islam di pemerintahan yang dianggap pernah melanggar UUD 1945 dan melakukan penyimpangan terhadap pancasila.[9]
Depolitisasi umat Islam pada masa Orde Baru makin meluas dibanding masa Demokrasi Terpimpin. Penilaian ini berdasarkan pada kebijakan politik Orde Baru yang lebih anti politik Islam dibandingkan masa Demokrasi Terpimpin. Orde Baru menerapkan kebijakan terhadap Islam yang hampir sama seperti yang pernah diterapkan Belanda terhadap Islam. Kebijakan Belanda terhadap Islam dicetuskan oleh Christian Snouck Hurgronje.[10] Kebijakan tersebut berpendapat dukung sepenuhnya Islam agama dan pukul sampai ke akar-akarnya Islam politik.[11] Atas dasar inilah Orde Baru menjauhkan peranan politik dari kalangan Islam.
Orde Baru masih toleran terhadap partai-partai Islam yang dinilai moderat dan dapat bekerja sama dengan pemerintah seperti NU, PSII, dan Perti. Akan tetapi, Orde Baru bersikap keras terhadap kekuatan Islam Radikal atau yang biasa disebut “ekstrem kanan”.[12] Kalangan Islam yang dikategorikan sebagai ekstrem kanan dianggap oleh pemerintah akan mengganggu stabilitas dan keamanan. Anggapan Orde Baru ini terbentuk dari pengalaman sebelumnya yang mencatat keterlibatan tokoh-tokoh Masyumi dalam DI (Darul Islam) dan PRRI.
Lalu, pada tahun 1971 pemerintah mengadakan Pemilu. Pemilu ini menjadi Pemilu pertama di masa Orde Baru. Pemilu 1971 mencatat sembilan partai politik peserta pemilu, yaitu : NU, Parmusi, PSII, Perti, PNI (Partai Nasional Indonesia), Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Murbha, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), ditambah Sekber Golkar[13] (Sekretariat Bersama Golongan Karya).
Tabel 1.1 : Hasil Perolehan Suara Partai Pemilu 1971

Partai
Jumlah Suara
Jumlah Kursi di DPR
Presentase (0%)
Golkar
34.348.673
227
62,8
NU
10.213.650
58
18,67
Parmusi
2.930.740
24
7,365
PNI
3.793.266
20
6,94
PSII
1.308.237
10
2,39
Parkindo
745.359
7
1,34
Katholik
605.740
3
1,11
Perti
381.309
2
0,70

Sumber : M. Rusli. Karim. 1993. Perjalanan Partai Politik di Indonesia : Sebuah Potret
               Pasang Surut. Jakarta : Rajawali Press. Hlm. 170

Berdasarkan tabel di atas Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) atau yang biasa disebut Golkar dinyatakan sebagai pemenang pemilu dengan jumlah perolehan suara sebanyak 62,8%.
Golkar merupakan organisasi sipil baru yang lebih mudah dikendalikan oleh Soeharto.[14] Golkar tidak mendeklarasikan sebagai partai politik, tetapi dalam praktiknya Golkar bertindak layaknya partai politik. Kemenangan Golkar pada pemili ini menimbulkan berbagai interpretasi yang bernada “miring” terhadap Golkar. Reaksi ini timbul karena Golkar mendapat perlakuan istimewa dengan mendapat bantuan dari pemerintah dan ABRI. Kemenangan Golkar menjadi legitimasi bagi kekuasaan yang tidak tertandingi. Kekuatan Golkar ini juga berhasil mengikis kekuatan kalangan Islam. Hal ini terlihat dari jumlah perolehan kalangan Islam yang hanya mendapat 29%.
Berbeda dengan kondisi sebelumnya, umat Islam lebih menekankan institusi politik sedangkan pada masa Orde Baru lebih mementingkan visi politik. Hal ini terlihat pada hilangnya partai politik Islam di Indonesia yang ditandai dengan penyederhanaan partai politik yang dilakukan Presiden Soeharto tahun 1973. Hilangnya partai politik Islam juga dikatakan sebagai indikasi surutnya politik Islam hingga titik yang paling rendah.
Berdasarkan kondisi di atas, ada tiga faktor yang menyebabkan surutnya politik Islam, yaitu :
1.     Besarnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan politik atau biasa disebut birokratisasi politik. Upaya birokratisasi politik terlihat dalam peranan pemerintah yang tidak mengizinkan tokoh-tokoh ex-Masyumi terpilih sebagai pemimpin Parmusi. Birokratisasi politik juga dilakukan pemerintah dalam fusi (penggabungan) sembilan peserta pemilu 1971 menjadi dua partai politik dan satu golongan.
2.     Diferensiasi sosial yang menyebabkan perhatian umat terbagi-bagi, tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam bidang-bidang lain.
3.     Lembaga konsep politik Islam. Pemerintah lebih menekankan pada program-program dibanding perdebatan masalah ideologi. Perdebatan tentang ideologi diangganp menjadi penghalang kesuksesan pembangunan.[15]
Pada masa Orde Baru, pembinaan politik diartikan sebagai satu usaha dan upaya agar rakyat banyak dapat berpartisipasi positif dalam program pembangunan nasional. Semua potensi yang dimiliki oleh rakyat diarahkan untuk kemajuan pembangunan nasional, sedangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan perbedaan ideologi harus dikesampingkan karena dapat mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Konsep massa mengambang membuat seluruh kegiatan politik dilarang dari tingkat desa, kelurahan, dan kecamatan. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya depolitisasi rakyat agar pemerintah dan rakyat dapat memusatkan perhatian pada pembangunan. Pada praktiknya, hanya PPP dan PDI yang dilarang melakukan aktivitas politik, sedangkan Golkar bisa melakukan pembinaan kader-kadernya di desa-desa.[16]
Pada masa Orde Baru, pemerintah lebih menekankan pada program dibandingkan ideologi. Ideologi dianggap sebagai sumber dari pertikaian yang terjadi selama Demokrasi Terpimpin.[17] Partai politik dituntut untuk memfokuskan pada program-program untuk menyukseskan pembangunan. Perdebatan mengenai ideologi menjadi hal yang dilarang karena pemerintah menganggap dapat mengganggu stabilitas dan secara sosial tidak produktif.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat pemerintah melakukan upaya depolitisasi terhadap kalangan Islam yang dianggap sebagai ekstrem kanan. Kalangan ekstrem kanan dikategorikan sebagai kalngan yang juga menginginkan mengganti pancasila sebagai dasar negara. Keadaan tersebut akhirnya mendorong kalangan Islam memilih fokus pada peningkatan dakwah dibanding peranan besar dalam pemerintahan.
Pemerintah juga mendorong adanya keseragaman ideologi dengan adanya indoktrinasi wajib mengenai ideologi Pancasila bagi semua warga negara. Indoktrinasi ini berdasarkan pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Dalam ketetapan tersebut, disebutkan bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi setiap Warga Negara Indonesia.[18]
Penerapan P4 dilakukan dengan cara memberikan kursus penataran P4 yang dilakukan di departemen-departemen pemerintahan, tempat-tempat kerja, sekolah, dan tempat-tempat lainnya. Tokoh utama yang merancang program ini adalah Roeslan Abdulgani yang sebelumnya merupakan seorang pendukung aktif ideologi Demokrasi Terpimpin Soekarno.[19]

4.     Respon Kalangan Islam Terhadap Kebijakan Orde Baru
Sejak pemerintah Orde Baru, depolitisasi terhadap umat Islam semakin meluas. Hal ini dilakukan oleh pemerintah karena ketakutan akan kalangan Islam yang sering disebut sebagai kalangan “ekstrem kanan” melakukan tindakan “subversif”[20] yang akan mengganggu stabilitas dan keamanan nasional. Kebijakan depolitisasi ini menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam. Respon tersebut sebagai cara agar kalangan Islam tetap bisa mengambil peranan dalam masa kepemimpinan Orde Baru.
Atas kebijakan depolitisasi yang dilakukan oleh pemerintah, Kuntowidjojo melihat gerakan Islam pada masa Orde Baru terbagi menjadi beberapa kubu. Di dalam kubu-kubu itu terdapat golongan integrasionis-konformis yaitu pemimpin Islam yang duduk dalam pemerintahan dan Golkar, golongan integrasionis-nonkonformis, yakni yang duduk dalam partai Islam. Golongan isolasionis-nonkonformis, yakni yang menolak lembaga keislaman yang mapan dan arus utama politik serta sistem sosial dan pemerintahan.[21]
Respon dari kalangan integrasionis-nonkonformis direalisasikan dalam keterlibatan di PPP. Kalangan Islam yang tergabung di PPP diartikan tanda kesetiaan Islamnya serta kekecewaan yang umum terhadap pemerintah. Tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam partai politik menghadapi dilema besar. Dilema itu dialami ketika mereka harus diterima sepenuhnya oleh pemerintah sebagai politisi. Para pemimpin Islam harus menunjukkan bahwa mereka secara politik bersifat moderat dan dapat menunjang ideologi serta politik pemerintah. Namun, disisi lain para pemimpin Islam tersebut kehilangan kredibilitasnya dimata konstituennya.[22]
Golongan isolasionis-nonkonformis terdapat pada kalangan ex-Masyumi.[23] Tokoh-tokoh dari golongan ini melihat tidak ada jalan untuk kembali ke dalam politik karena pemerintah terlalu banyak campur tangan. Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan untuk kembali berperan dalam politik dan pemerintahan mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, tokoh-tokoh ex-Masyumi ini membentuk DDII sebagai wadah menyalurkan aspirasi mereka. Lembaga ini lebih menitikberatkan tujuannya pada bidang kemajuan dakwah. Mengenai DDII akan dibahas pada bab selanjutnya. Kondisi inilah yang membuat bidang dakwah lebih maju ketimbang politik di masa Orde Baru.
Selain respon Islam yang telah dipaparkan di atas, terdapat pendukung Orde Baru yang berusaha menciptakan pemikiran-pemikiran yang mendukung Orde Baru. Pendukung Orde Baru ini memunculkan ide “pragmatisme”, “de-ideologisasi”, “de-parpolisasi”. Ide-ide positif yang lahir dari para pendukung Orde Baru adalah program oriented, pembangunan oriented, modernisasi, dan lain sebagainya.[24]
Hal tersebut menjadi tantangan bagi umat Islam mengenai bagaimana melihat “modernisasi” dalam kacamata Islam. Modernisasi ditakutkan akan berkembang menjadi proses sekularisasi[25] umat Islam dan pemahaman keagamaan serta meninggalkan kesan westernisasi.[26]
Terdapat tiga bahan pemikiran yang mendorong intelektual Islam pasca Orde Baru memberikan perspektif pemikiran baru terutama yang menyangkut persoalan umat Islam dan politik kenegaraan waktu itu. Pertama, kenyataan bahwa situasi yang tidak menyenangkan itu telah menimbulkan konflik keagamaan dan politik. Keadaan tersebut pada akhirnya telah menyudutkan posisi umat Islam yang ketika itu dianggap tidak mampu bersaing dengan kelompok lain yang minoritas dalam proses pembangunan nasional. Kedua, kondisi demikian tidak dapat dibiarkan. Sebagai kelompok intelektual, mereka mempunyai beban moral untuk memberikan penjelasan kepada umat tentang makna dan dampak modernisasi dalam rangka kepentingan Islam dan kepentingan bangsa. Untuk itu, tantangan dan kesempatan yang dimiliki umat Islam terlebih dahulu harus dirumuskan. Dengan demikian, identifikasi persoalan umat yang dilakukan secara cermat akan membantu dalam alternatif-alternatif pemecahan. Ketiga, para intelektual Islam berpendapat bahwa umat Islam Indonesia memiliki hak yang sama dengan siapapun untuk ikut menyumbangkan pikiran-pikiran mereka dalam setiap pembangunan nasional. Pendapat demikian diperkuat dengan pengalaman empirik yang berupa kerja sama pemuda dan mahasiswa Islam dengan ABRI yang bekerja sama ketika melawan PKI.[27]
Deliar Noer sebagai kalangan intelektual Islam modernis melihat bahwa modernisasi tidak menjadi masalah dalam Islam asalkan tidak menimbulkan problema teologis. Justru, inti modernisasi sesuai ajaran agama Islam. Dalam tulisannya Noer menguraikan bahwa untuk mencapai modernisasi di tubuh umat Islam. Umat Islam harus menghilangkan persoalan intern di kalangan umat Islam, seperti taqlid terhadap pikiran-pikiran lama, keterikatan sufisme yang berlebihan. Ia menginginkan persoalan tradisionalisme yang selama ini dianggap sebagai penghalang kemajuan berpikir harus dihilangkan terlebih dahulu. Mengenai modernisasi yang diusung Orde Baru, ia berpendapat sebaiknya umat Islam melihat modernisasi secara obyektif dan keseluruhan. Artinya modernisasi dilihat dengan menggunakan daya kritis yang sesuai dengan ajaran Islam.[28]
Perdebatan mengenai modernisasi ini juga melibatkan Hamka, salah seorang tokoh senior muslim yang memberikan pendapatnya mengenai wacana modernisasi. Hamka menilai modernisasi akan membuka peluang masuknya bantuan luar negeri dari negara-negara eks-kolonial Barat ke Indonesia. Hamka menilai bantuan luar negeri terhadap Indonesia sebagai penjajahan dalam bentuk baru atu neo-kolonialisme di Indonesia. Jika modernisasi yang sedang di usung diarahkan seperti itu, modernisasi hanya sekedar kamuflase yang berbeda dengan nilai-nilai Islam. Menurut Hamka, modernisasi dalam pandangan Islam adalah perubahan situasi dari penjajahan ke situasi kemerdekaan, dari struktur budaya masyarakat feodalistik ke terciptanya suasana demokrasi, dan dari suatu masyarakat agraris menuju terciptanya masyarakat Industri.[29]
Kalangan Islam pada umumnya melihat modernisasi dengan hati-hati dan secara keseluruhan. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan Islam karena ditakutkan modernisasi akan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Jika modernisasi berarti westernisasi di kalangan umat Islam, umat Islam akan menolak konsep modernisasi yang di usung masa Orde Baru.

C. KESIMPULAN
Islam mengakui prinsip keterpaduan kekuasaan agama dan politik, di dalam Islam tidak terdapat pemisahan antara agama dan negara dalam Islam. Islam justru menganjurkan hubungan yang sangat erat antara agama dan politik. Alasan inilah yang menjadikan umat Islam terlibat dalam politik dan pemerintahan. Kalangan Islam mengambil tempat dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman Orde Baru meskipun mengalami pasang surut tiap masanya.
Taufik Abdullah mengemukakan ada 3 asumsi dasar yang saling berkaitan yang ikut membentuk wajah politik Islam. Pertama, Islam merupakan satu konsep kesatuan utuh yang tidak memisahkan kenyataan yang konkret. Kedua, pengalaman dan peranan historis Islam dalam proses pembentukan bangsa. Ketiga, kenyataan kuantitatif bahwa kenyataan mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk Islam. Ketiga asumsi dasar ini menjadi patokan dalam menilai sepak terjang umat Islam di dalam pemerintahan.
Pada Masa Orde Lama maupun Baru kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara nasionalis. Atas dasar ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir Kemenangan Barisan Megawati
          Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta, 1999.
Anhar Gonggong dan Musa Asy’ari, 60 Tahun Perjalanan Bangsa
          Berdemokrasi, Jakarta, 2005.
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,
Jakarta, 2003.
Deliar Noer, “Islam Politik : Mayoritas atau Minoritas”. Prisma no.5  tahun 1988
Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda : Dilema Islam di Indonesia” Prisma
No.4 tahun 1984
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, 1986.
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
          tahun 1978. Departemen Penerangan R.I.
M.C. Ricklefs, Sejarah Islam Modern, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2005
M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia : Suatu Tinjauan Sosial dan
          Politik, Yogyakarta: PT. Hanindita, 1985.
M. Rusli. Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia : Sebuah Potret Pasang
          Surut, Jakarta : Rajawali Press.
Muhammad Hisyam, (peny). Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta, 2003.
Nor Huda, Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
          Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru. Yogyakarta, 1993.
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Jakarta, 1996.


[1] Nor Huda, Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 133
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi
  Nasionalis Sekuler, (Jakarta, 1999), hlm. 68-69.
[5] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta: 1996), hlm 37-39.
[6] Deliar Noer, “Islam Politik : Mayoritas atau Minoritas”. Prisma no.5  tahun 1988, hlm. 19.
[7] Anhar Gonggong dan Musa Asy’ari, 60 Tahun Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, (Jakarta: 2005), hlm. 144.
[8] M. Rusli Karim, Dinamika Islam Indonesia, (Yogyakarta: 1985), hlm. 191-192.
[9] Muhammad Hisyam. (peny). Krisis Masa Kini dan Orde Baru. (Jakarta: 2003), hlm. 355.
[10]   Snounk berpendapat Islam sama sekali tidak bisa dianggap remeh baik secara kekuatan politik maupun agama di Indonesia. Snouck memiliki pendapat yang berbeda dengan sarjana-sarjana yang lain dalam memandang Islam di Indonesia. Pertama, Snouck berpendapat orang-orang Islam sebagai orang yang baik dan setia sehingga dia menolak pendapat umat Islam secara besar-besaran akan pindah agama ke Kristen. Kedua, Snouck memprediksikan persebaran Islam akan semakin meluas seiring perkembangan Pax Nederlandica. Kedua faktor di atas memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan yang akan diberlakukan pada kalangan Islam. Snouck berpendapat musuhnya bukanlah Islam sebagai agama tapi Islam sebagai doktrin politik. Islam sebagai doktrin politik akan menimbulkan fanatisme terhadap persatuan umat Islam (pan-islamisme). Para ulama pun dapat menghasut pengikutnya untuk berjihad melawan orang Belanda yang kafir. Lihat dalam Harry J. Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta, 1980), hlm. 41-44
[11]   Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta, 2003), hlm. 553.
[12] Orde Baru mengkategorikan ekstrem kanan sebagai kekuatan Islam Radikal atau fundamentalis.
[13]  Golkar didirikan tanggal 20 Oktober 1964 oleh ABRI. Kelompok-kelompok masyarakat, dan  kelompok-kelompok profesional sebagai bentuk koalisi non-pemerintah untuk mengimbangi dominasi PKI dalam pemerintahan Soekarno. Wadah baru ini menghimpun hampir 300 organisasi fungsional non-politis yang berorientasi kepada karya dan kekaryaan, yang dulunya tidak berorientasi kepada politik dengan tiga organisasi sebagai tulang punggungnya, yaitu SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia), MKGR, KOSGORO. Setelah Orde Lama tumbang. Soeharto segera memanfaatkannya sebagai alat legitimasi kekuasaan.
[14] Anhar Gonggong, 60 Tahun Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, hlm. 149
[15] Sudirman Tebba, Islam Orde Baru, (Yogyakarta, 1993), hlm. 4
[16] Muhammad Hisyam, Krisis Masa Kini..., hlm 361
[17]  Deliar Noer, Islam dan Politik, hlm 15-16
[18]  Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1978. Departemen Penerangan R.I. Hlm., 49-59
[19]  M.C. Ricklefs, Sejarah Islam Modern, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 604.
[20]  Subversif artinya gerakan yang mengambil bagian dari usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar Undang-undang.
[21]  M. Rusli Karim, Dinamika Islam Indonesia, hlm. 192
[22] Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda : Dilema Islam di Indonesia” Prisma No.4 tahun 1984, hlm. 13
[23] Ibid. Dewi Fortuna Anwar, Ka’bah dan Garuda : Dilema Islam di Indonesia. Hlm.13
[24] Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung, 1986), hlm. 95
[25] Istilah sekularisasi yang memiliki kata dasar sekular berasal dari kata latin saeculum, mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan lokasi : waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’ dan lokasi menunjuk kepada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum berarti ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’, dan zaman ini atau masa kini menunjuk pada peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti ‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Secara makna sekularisme berarti menunjuk pada soal keduniawian, atau pemisah agama dari negara. Lihat dalam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung, 1981), hlm 18-19. Istilah secularism lahir pada tahun 1851 yang dipaparkan oleh G.S. Holyoake. Menurut Holyoake, sekularisme merupakan sistem etika plus Filsafat yang bertujuan memberikan interpretasi atau pengaturan kepada kehidupan manusia tanpa kepercayaan Tuhan.
[26] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan..., hlm 107-108
[27]  Ibid.
[28] Ibid
[29] Ibid

Tidak ada komentar: