Selasa, 10 Maret 2015

Pengertian Studi Islam, Islam Sebagai Objek Kajian, Pendekatan Islam Normatif dan Islam Historis

A.    PENDAHULUAN
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti feodalistik, mencintai kebersihan, megutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya. [1]
Sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, Islam banyak memberikan konstribusi  yang sangat besar bagi kehidupan manusia dalam menjalankan tugasnya sehingga diharapkan dapat menyelamatkan sebagaimana makna Islam yang ia pegang sebagai jenjang menuju keselamatan. Sehingga dari abad ke-19 agama Islam khususnya dijadikan sebagai objek studi dan kajian agama hingga saat ini.
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama sebelum abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang antara lain, sinkritisme, penemuan arca baru, dan untuk kepentingan misionari dipicu oleh semangat dan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi islam mengalami perubahan.
Adapun studi islam sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi ini, pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan kepada Allah SWT. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu.
Jadi dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa Islam sebagai agama memiliki dimensi yang luas banyak memberikan kontribusi, sehingga Agama Islam banyak dijadikan sebagai objek kajian. Dan kita juga dapat mengetahui bahwa studi agama saat ini mengalami perbedaan orientasi yang jauh dari abad ke 19 yang memiliki beberapa karakteristik. Dan dengan studi Islam ini kita bisa mengetahui dan mengukur seberapa banyak ilmu, iman, serta amal kita kepada Allah SWT


B.    PEMBAHASAN
1.     Pengertian Studi Islam : Etimologi dan Terminologis
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[2]
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk  berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.[3]
Jadi, studi Islam adalah segala kajian yang tidak terlepas dari unsur Islam, baik sebagai objek langsung dalam kajian tersebut atau objek tidak langsung. Studi Islam itu meliputi segala kajian tentang Islam pada tiga tingkatan yakni Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemikiran atau dalam pemahaman dan Islam sebagai pengamalan.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh  kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar.
Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sentuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.[4]
Dengan adanya kontak budaya modern dengan budaya Islam, mendorong para Ulama’ tersebut untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan luar yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan menampilkan kajian yang objektif dan ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal bisa menjadi berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam serta betul-betul mampu menjawab tantangan zaman

2.     Islam Sebagai Objek Kajian
Dari fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam mengkaji Islam, tentu kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni Alquran dan hadis. Orang yang memeluk Agama Islam, yang disebut muslim adalah orang yang bergerak menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian yang tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri.
Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap Alquran dan hadis sehingga timbulah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Islam sebagai agama, pemikiran atau penafsiran Alquran dan hadis, juga sebagai objek kajian, sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi sebuah matriks mengenai nilai dan konsep yang abadi. Hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban. Karena Islam merupakan suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini menyerap setiap aspek kehidupan manusia.
Islam sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragan pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indiksi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti mereduksi atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Bukankah dalam Islam telah memotivasi pelibatan akal pikiran untuk dikenali, diketahui dan diimplementasikan ajarannya. Ajarannya yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia baru menjadi bentuk.[5]  
Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya, maka dalam proses dan bentuknya kemudian, Islam dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini tentu bukan saja apa yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis (tekstual dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan pengejawantahan nilai-nilainya
Islam berbentuk nilai-nilai,  jika pemikiran (akal pikiran) dilibatkan dalam proses memahami dan mengaktualisasikannya dalan senarai sejarah Pemikiran Islam terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil kreatif dan signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis, filsafat Islam, ulumul Qur’an dan hadis, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya.[6]
Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.

3.     Pendekatan Islam Normatif dan Islam Historis
a.     Islam Normatif
Islam normatif adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-an.[7]
Kajian islam normatif melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
1.     Tafsir        :  Tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
2.     Teologi     :  Tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
3.     Fiqh           :  Tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata
                     hukum)
4.     Tasawuf    :  Tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada
   Tuhan
5.     Filsafat      :  Tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan,
   kebenaran
Jadi dapat kita simpulkan bahwa dalam model pendekatan normatif ini, pengkajian agama lebih didominasi oleh motivasi dan kepentingan suatu agama tertentu. Prinsip dasar pendekatan ini adalah melihat Islam atau agama-agama lain berdasarkan teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama yang bercorak literal,  tekstual dan absolut.

b.     Islam Historis
Dalam bahasa Arab, sejarah disebut “tarikh”, artinya “ ketentuan masa “. Selain itu, kata tarikh juga dipakai dalam arti” perhitungan waktu”. Dalam bahasa Inggris, sejarah disebut “history” yang berarti the development of everything in time ( perkembangan segala sesuatu dalam masalah). Dalam kamus bahasa inggris dijelaskan bahwa sejarah adalah event in the past (peristiwa-peristiwa masa lampau).[8]
Jadi, sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa masa lampau yang meliputi tempat, waktu, obyek, subyek, dan latar belakang peristiwa tersebut.
Pendekatan sejarah merupakan metode yang penting dalam penelitian agama. Sebab agama itu sendiri tidak turun dalam suasana kehampaan, melainkan turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan erat dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Selain itu, jika kita perhatikan, maka Al-Qur’an sendiri seakan memberi “ lampau hijau” bagi pendekatan sejarah dengan mengemukakan ayat-ayat seputar kisah-kisah sejarah dan perumpamaan. 
Metode ilmu sejarah, menurut Taufik Abdullah[9] menekankan pada proses terjadinya suatu perilaku manusia dalam masyarakat. Proses itu menjelaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang ikut berperan dalam proses tersebut. Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang  sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Jadi, dengan melakukan pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta, dan dapat melakukan rekonstruksi proses perubahan dan perkembangan. Melalui pendekatan sejarah dapat diketahui asal-usul pemikiran / pendapat / sikap tertentu dari seorang tokoh / mazhab / golongan. Tujuan analisis sejarah adalah untuk menemukan kebenaran tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa penting terjadi.
Sedangkan Islam historis (sejarah) adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an.[10]
Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip: bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai parameter dalam menilai segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.[11]
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Kajian islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi empiris: antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.
1.     Antropologi agama  :  disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
2.     Sosiologi agama  :  disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
3.     Psikologi agama  :  disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.

Jadi, dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa antara Islam Normatis dan Islam Historis antara keduanya dapat membentuk hubungan yaitu dialektis dan ketegangan. Hubungan Dialektis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks dan konteks. sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.
Menentukan bentuk hubungan yang pas antara keduanya adalah merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melakat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.
Menurut ijtihad, Amin Abdullah, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.[12]


SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan  dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
Studi islam sendiri sangat penting untuk dilakukan, karena agama islam merupakan agama yang mayoritas di anut oleh sebagian besar penduduk di dunia. Dengan adanya studi islam ini diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan secara ekstern dan intern.
Islam normatif merupakan Islam pada dimensi sakral, Islam ideal atau yang seharusnya, Islam sebagai realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Sedangkan islam historis merupakan islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu, Islam yang senyatanya, yang terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, dan berada di bawah realitas ke-Tuhan-an.
Hubungan diantara keduanya dapat berbentuk dialektis maupun ketegangan. Perlu kiranya dikaji dan ditelaah ulang secara kritis-analitis-akademis dan sekaligus dialektis sesuai denga kaidah keilmuan historis-empiris pada umumnya. Dengan demikian hubungan antara kedunaya terasa hidup, segar, terbuka, open ended dan dinamis.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kurang dan lebihnya kami mohon maaf, dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar makalah yang akan datang menjadi lebih baik. Terima Kasih.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abuddin Nata.2003. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ali, Mukti. 1993. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Cet. II; Bandung:
Mizan.
Hanan Asrohah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logo.
Kartini Kartono. 1990.  Psikologi umum. Bandung: Mandar Maju.
M. Nurhakim. 2004 Metode Studi Islam. Malang: Universitas Muhammadiyah
            Malang.
Muhaimin. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana.
Muqowim dkk. 2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga.
Taufik Abdullah. ” Studi  Islam Kontemporer: Sintesis Pendekatan Sejarah,
            Sosiologi dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan “.
Yusuf, Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja
 Akademik UIN Sunan Kalijaga.


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 1.
[2] Muhaimin. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005) hal.2
[3] M. Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hal.13
[4] Yusuf, Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
[5] Ali, Mukti. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Cet. II; Bandung: Mizan, 1993 hlm. 15
[6] Ali, Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. hal. 15
[7] Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka
  Pelajar. Hlm 5
[8] Hanan Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta: Logo, 1999), hlm.8
[9]  Taufik Abdullah ,” Studi  Islam Kontemporer: Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi dan
    Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan “, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim
    (Editor) hlm 9
[10] Ibid. Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. hlm. 5
[11] Muqowim dkk.2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
[12] Kartini Kartono,  Psikologi umum, ( Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 1

Tidak ada komentar: