Selasa, 25 Desember 2012

Al-Ghazali dan Pemikiran Tasawufnya

1. Biografi Singkat Al - Ghazali

Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi.

Setelah lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.

Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.

2. AjaranTasawuf-Al-Ghazali

Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.

a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat

Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.

b. PandanganAl-Ghazali tentang-As-As’adah

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
           
Dalam konteks ini semua aktivitas ketasawufan, langsung atau tidak bekaitan dengan penghayatan dan ma’rifah pada Allah. Hal ini bukan hasil pengamatan panca indera atau penalaran rasio, tetapi merupakan penghayatan spiritual atau pengalaman yang bersifat mistik (mysticalexperience). Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia tasawuf disebut fana’. Terjadinya kondisi fana’ kerena begitu mendalamnya rasacinta yang termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari. 

Dalam mabuk cinta itu, sang sufi akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud, apa saja yang dipandang tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli, misalnya, pernah menyatakan:“Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan”.Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah zikir. Melalui konsentrasi dalam zikir, yang oleh sufi disebut dengan menenggelamkan hati dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada pengalaman dan prenghayatan fana’ secara total pada Allah. Fana’ adalah proses beralihnya kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan atau alam batin. 

Oleh karena itu kondisi fana’ merupakan bagian yang esensial dalam tasawuf. Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad aau menyatu dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut:Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah.

Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatanma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.

Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ alfana’.


Tidak ada komentar: