Minggu, 23 Desember 2012

Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Dalam Perspektif Pendidikan Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Globalisasi cepat atau lambat dipastikan akan dihadapi oleh manusia. Secara logis masalah yang akan dihadapi manusia semakin kompleks dan transenden serta memerlukan pemecahan masalah yang sistematis dan kontinuitas. Dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin kompetitif ini, masih banyak para praktisi muslim memiliki komitmen untuk lebih memprioritaskan pendidikan religiusitas dibandingkan pendidikan umum lainnya. Sekaligus mengabaikan dan menolak segala pesan dan invensi perkembangan yang dibawa oleh komuniti Barat. Sehingga mempermudah mereka untuk menanamkan idealisme sekuleristik terhadap masyarakat muslim.
Moralitas, akhlak, dan nilai-nilai islamiyah menjadi bagian yang tabu dan tidak lagi membatasi manusia antara kekufuran dan kemaslahatan dan jika dibiarkan berlarut-larut akan mengantarkan Islam pada kemunduran dan kehancuran.,Antisipatif problema seperti ini yang harus direncanakan seoptimal mungkin. Hal ini mengindikasikan bahwa umat muslim harus mampu mengadopsi serta memfilterisasi setiap budaya dan perkembangan yang masuk. Upaya pembenahan ini dapat dilakukan melalui pendidikan, yaitu menciptakan sumber daya manusia yang utuh, yang selalu bertanggung jawab terhadap keberadaannya didunia dan merencanakan untuk kehidupan akherat. Sehingga keseimbangan antara dunia dan akherat yang menjadi tujuan terakhir manusia sebagai khalifah Allah SWT dapat di aktualisasikan dengan maksimal.

B.   Rumusan  Masalah
1.    Pengertian sistem pendidikan Islam ?
2.    Bagaimana perspektif ontologi sistem pendidikan Islam ?
3.    Bagaimana perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam ?
4.    Bagaimana perspektif aksiologi sistem pendidikan Islam?

C.   Tujuan  Pembahsan  Masalah
1.    Untuk mengetahui pengertian sistem pendidikan Islam.
2.    Untuk mengetahui bagaimana perspektif ontologi sistem pendidikan Islam.
3.    Untuk mengetahui bagaimana perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam
4.    Untuk mengetahui bagaimana perspektif aksiologi sistem pendidikan Islam.

D.      Batasan Masalah
Agar pembahasan makalah ini tidak melebar, maka penulis memberikan batasan pada masalah yang akan dikaji pada makalah ini. Adapun masalah yang akan dikaji pada makalah  ini adalah pengertian sistem pendidikan islam,perspektif ontologi sistem pendidikan Islam, perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam, dan perspektif aksiologi sistem pendidikan Islam.

E.       Manfaat Penelitan

a.    Secara teoritis
Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan khazanah ilmu pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan psikologi pendidikan islam terutama dalam masalah kajian teori tentangsistem pendidikan Islam.

b.   Secara Praktis
a.       Bagi para peneliti selanjutnya maka penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan ataupun pijakan dalam melakukan penelitian selanjutnya yang memfokuskan dalamsistem pendidikan Islam.
b.      Bagi kalangan akademis, maka makalah ini berguna sebagai bahan referensi dalam aktifitas akademik yang diselenggarakan yang berhubungan dengan kajian sistem pendidikan Islam.

F.       Penegasan Istilah

Teoritis
Sistem pendidikan Islam yaitu suatu kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.

G.      Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Jenis peneitian dalam penelitian ini adalah library research yaitu penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis.
2.      Obyek Penelitian
Yang menjadi fokus obyek penelitian dalam penelitian ini adalah konsep sistem pendidikan Islam.
3.      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini di bagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data primer disini meliputi berbagai macam informasi baik yang berupa orang maupun buku, literatur, dokumen, serta data-data lain yang langsung memiliki keterkaitan dengan pembahasan penelitian ini. Sedangkan sumber data sekunder adalah segala sesuatu yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung terhadap penelitian ini. Sumber data ini juga meliputi arsip, buku, majalah, dokumen-dokumen ataupun artikel-artikel yang bisa mendukung penyusunan makalah ini.

H.      Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan dalam penelitian ini, maka sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan, meliputi latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan Penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan
Bab II : Pembahasan meliputi pengertian sistem pendidikan islam,perspektif ontologi sistem pendidikan Islam, perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam, dan perspektif aksiologi sistem pendidikan Islam.
Bab III : Penutup, meliputi penutup, daftar rujukan, dan saran

A.      Pengertian Sistem pendidikan islam

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang artinya: suatu keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several parts).[1] Di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan Anas Sudjana yang mengutip pendapat Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut “Suatu sistem adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks.[2]
Sedangkan Campbel menyatakan bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Dalam Islam, istilah pendidikan diyakini berasal dari bahasa Arab yaitu tarbiyah yang berbeda dengan kata ta’lîm yang berarti pengajaran atau teaching dalam bahasa Inggris. Kedua istilah (tarbiyah dan ta’lîm) berbeda pula dengan istilah ta’dzîb yang berarti pembentukan tindakan atau tatakrama yang sasarannya manusia.[3] 
Walaupun belum ada kesepakatan di antara para ahli, dalam kajian ini yang dimaksud pendidikan Islam adalah al-tarbiyah, istilah bahasa Arab yang menurut penulis dapat meliputi kedua istilah di atas. Hal yang sama dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inhern dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lîm dan ta’dzîb yang harus dipahami secara bersama-sama.[4]
Dari pemaparan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara sesuai dengan ajaran Islam.[5] 
Rumusan ini sesuai dengan pendapat Endang Saefudin Anshari yang dikutip Azra bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan oleh pendidik terhadap perkembangan fisik dan psikis siswa dengan bahan-bahan materi tertentu dengan metoda tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu sesuai dengan ajaran Islam.[6] 
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud  sistem pendidikan adalah sistem pendidikan Islam yaitu suatu kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
Dari beberapa sumber yang dipelajari, dapat disimpulkan bahwa terdapat 6 komponen pendidikan yang digunakan dalam acuan penelitian ini yaitu : 1. Tujuan, 2. Siswa, 3. Pendidik, 4. Isi/materi, 5. Situasi lingkungan dan 6. Alat pendidikan.
Maka untuk menghasilkan output dari sistem pendidikan yang bermutu, hal yang paling penting adalah bagaimana membuat semua komponen yang dimaksud berjalan dengan baik. Yang mana pendidik, sisawa, materi pendidikan, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan semuanya satu langkah menuju pencapaian tujuan pendidikan itu.

1)      Komponen Tujuan
Tujuan pendidikan  berfungsi sebagai arah yang ingin dituju dalam aktivitas pendidikan. Dengan adanya tujuan yang jelas, maka komponen-komponen pendidikan yang lain serta aktivitasnya senantiasa berpedoman kepada tujuan, sehingga efektivitas proses pendidikannya selalu diukur apakah dapat dan dalam rangka mencapai tujuan atau tidak. Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat luas, banyak tujuan pendidikan yang diinginkan oleh pendidik agar dapat dicapai oleh siswa. Menurut Langeveld yang dikutip Noeng Muhadjir terdapat beberapa tujuan pendidikan yaitu: (1) tujuan umum (2) tujuan tak sempurna, (3) tujuan sementara, (4) tujuan perantara, (5) tujuan insidental.[7] Di Indonesia tujuan pendidikan terdiri dari lima tingkatan yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan pendidikan yang menjadi acuan tertinggi di Negara Indonesia apapun bentuk dan tingkatan pendidikannya. Tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam perspektif Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Amir Faisal, tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan diturunkannya agama Islam yaitu untuk membentuk manusia yang bertakwa (muttaqîn).[8] Selanjutnya Faisal merinci manusia yang bertakwa itu adalah yang:
1)  Dapat melaksanakan ibadah mahdah dan ghair mahdah,                             
2)  Membentuk warga Negara yang bertanggungjawab kepada masyarakatnya, bangsanya, dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah.
3)  Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil untuk memasuki teknostruktur masyarakatnya.
4)  Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam.


2)      Komponen Siswa

Siswa/peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam pendidikan tradisional, siswa dipandang sebagai organisme yang pasif, hanya menerima informasi dari orang dewasa. Kini makin cepatnya perubahan sosial, dan berkat penemuan teknologi maka komunikasi antar manusia berkembang amat cepat. Siswa di samping sebagai objek pendidikan, ia juga sebagai subjek pendidikan, karena sumber belajar bukan hanya guru, tapi siswa juga dapat menjadi sumber belajar terutama dalam pembelajaran aktif. Sebagai salah satu input di lembaga pendidikan juga sebagai komponen yang turut menentukan keberhasilan sistem pendidikan.

3)      Komponen Pendidik
Pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan melatih peserta didik. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik sebagai pendidik dan memenuhi beberapa kompetensi sebagai pendidik. Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang  yang dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan. Sedangkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak pada usia dini meliputi, (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, (4) kompetensi sosial.[9]

4)      Komponen Materi/isi Pendidikan
Materi/isi pendidikan adalah segala sesuatu pesan yang disampaikan oleh pendidik kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha pendidikan yang diselenggarakan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, terdapat syarat utama dalam pemilihan beban/materi pendidikan, yaitu: (a) materi harus sesuai dengan tujuan pendidikan, (b) materi harus sesuai dengan kebutuhan siswa.[10]

5)      Komponen Lingkungan Pendidikan
Lingkungan Pendidikan adalah suatu ruang dan waktu yang mendukung kegiatan pendidikan. Proses pendidikan berada dalam suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat. Siswa dengan berbagai potensinya akan berkembang maksimal jika berada dalam sebuah lingkungan yang kondusif. Sesuai dengan pendapat A. Noerhadi Djamal  bahwa lingkungan berpengaruh besar dan menentukan terhadap kelangsungan berkembangnya potensi diri siswa.[11]
Situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural. Dalam hal-hal di mana situasi lingkungan ini berpengaruh secara negatif terhadap pendidikan, maka lingkungan itu juga menjadi pembatas pendidikan.[12] Indikator lingkungan pendidikan adalah sebagai berikut interaksi pelaku, iklim organisasi, dan hubungan antara madrasah dengan masyarakat.

6)      Komponen Alat Pendidikan
Alat pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang berfungsi sebagai perantara pada saat menyampaikan materi pendidikan, oleh pendidik kepada siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Peristiwa pendidikan ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping dibutuhkan pemilihan bahan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula. Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat disebut baik diperlukan patokan (kriterium) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.
Dalam prakteknya paling tidak ada dua macam alat pendidikan. Pertama alat pendidikan dalam arti metode, kedua alat pendidikan dalam arti perangkat keras yang digunakan seperti media pembelajaran dan sarana pembelajaran. Alat pendidikan dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran aktif dan efektif. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).[13] ditentukan bahwa setiap satuan pendidikan  wajib memiliki sarana yang meliputi, perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan, seperti perpustakaan dan laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

B.       Perspektif Ontologi Sistem Pendidikan Islam

Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakekat hidup. Ontologi diartikan juga dengan  hakekat apa yang terjadi. Masalah – masalah pendidikan islam yang menjadi perhatian ontologi menurut muhaimin adalah dalam penyelenggaraan pendidikan islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia.[14] Lalu pendririan mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia yang seperti apa atau yang bagaimana yang dikehendaki sesuai dengan pendidikan nasional. Menurut Al-Qur’an, manusia diberi tugas Allah sebagai kholifah. Manusia mendapatkan wewenang dan kuasa untuk melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri dan manusiapun mempunyai potensi untuk melaksanakannya. Dengan demikian pendidikan merupakan tanggung jawab manusia sendiri.
Untuk dapat mendidik dirinya sendiri, manusia harus memahami dirinya sendiri. Apa hakekat manusia, bagaimana hakekat hidup dan kehidupannya? Apa tujuan hidup dan apa pula tugas hidupnya

C.      Perspektif Epistemologi Sistem Pendidikan Islam
Apa sebenarnya epistemologi itu, Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan.[15] D.W. Hamlyn Mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pengandai-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[16] Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[17]
Bertolak dari beberapa pengertian di atas, kiranya dapat dirinci aspek-aspek yang menjadi cakupan epistemologi atau ruang lingkupnya, yaitu meliputi hakekat, sumber, dan validitas pengetahuan.

1.    Objek dan Tujuan Epistimologi

Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “Segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”.[18]  Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran atau objek teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi menghantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran , mustahil tujuan bisa terealisasi, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah.
Selanjutnya, apa yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “Tujuan epistemologi bukanlah hal utama menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.” Hal ini menunjukkan bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan -kendatipun tidak bisa dihindari- akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan ini menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentakan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya acapkali tidak mengetahui prosesnya.
Contoh, seorang guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa empat kali lima sama dengan dua puluh (4 X 5 = 20) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, bagi siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan da hafalannya itu. Dia akan mengejar bagaimana prosesnya, empat kali lima sama dengan dua puluh. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lain. Dengan demikian, seseorang tidak sekedar mengetahui sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian kontektual melalui proses itu.

2.    Landasan Epistemologi

Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam meyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, imu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan. Dari pengertian, ruang lingkup, objek, dan landasan epistemologi ini, dapat kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu diperoleh.
Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang.
Pendekatan epistemologi membuka kesadaran dan pengertian siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Berbeda siswa yang hanya diberikan roti kemudian dia menikmatinya, dengan siswa yang diajak untuk membuat roti, kemudian menikmatinya. Tentunya pengetahuan siswa yang mengetahui proses pembuatan roti sampai menikmati itu lebih utuh, kokoh, dan berkesan.
Seandainya pendekatan epistemologi ini benar-benar diimplementasikan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, maka dalam waktu dekat -insyaAllah-siswa dapat memiliki kemampuan memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. Jika pendidikan Islam mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar mengajar, maka pendidikan Islam akan banyak menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa produsen, peneliti, penemu, penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan. Karena epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis, yaitu :
1.      Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan, dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional. Selain itu, perlu ditambahkan lagi dengan penggunaan indera dan akal pada wilayah obyek ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan atau menuntun akal untuk mewarnai ilmu itu dengan keimanan dan nilai-nilai spiritual.
2.      Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
3.      Merubah paradigma idiologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma idiologis ini -karena otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma idiologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) 17dengan petunjuk wahyu Allah SWT.18 Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah.
4.      Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap ayat qouliyah atau naqliyah (al-qur’an dan sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komperhensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, spikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.
5.      Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada perumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. 19 Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada “semua bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan tugasnya sebagai kholifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali kepada Allah (mentauhidkan Allah)”. Bisa dikatakan bahwa hasil produk integrasi ini adalah manusia yang beriman tauhidiyah, berilmu amaliyah, beramal ilmiah, bertaqwa ilahiyah, berakhlak robbaniyah dan berperadaban islamiyah.
6.      Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW : “tafakkaruu filkholqi walaa tafakkaruu fil khooliq, fainnakum laa taqdiruuna qodrohu” yang artinya “berpikirlah kamu sekalian tentang makhluk ciptaan Allah, jangan kamu berpikir tentang Allah, sesungguhnya kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya.” (HR.Abu Syekh dari Ibn Abas).
7.      Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang komperhensif tentang materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.

D.      Perspektif Aksiologi Sistem Pendidikan Islam

1.    Pengertian Aksiologi

Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.[19]
Menurut Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.[20]
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[21]
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.[22] Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[23]

2.    Karakteristik dan Tingkatan Nilai

1.    Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teroi nilai, yaitu:  :

a.    Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.

b.   Nilai absolute atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abash sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai :
1.      Kaum Idealis, Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (niai material). 
2.      Kaum Realis, Mereka menempatkan niai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hokum-hukum alam dan aturan berfikir logis. 
3.      Kaum Pragmatis, Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang meghargai masyarakat.

3.    Jenis Nilai

Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2 yaitu :

a. Etika dan Pendidikan

EtestikaIstilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyubutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang meuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan.

Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat.

Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama.

Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.

Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam.

Oleh sebab itu -berdasarkan pada pendekatan etik moral- pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.[24]

b. Estetika dan Pendidikan

Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dan sebagainya. Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan. Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni.

Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni : Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman, Seni sebagai alat kesenangan, Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.

Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis ajukan dimuka tadi maka penulis membuat kesimpulan sebagai berikut :
1.      Sistempendidikan Islam yaitu suatu kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
2.      Ontologi diartikan juga dengan  hakekat apa yang terjadi. Masalah – masalah pendidikan islam yang menjadi perhatian ontologi menurut muhaimin adalah dalam penyelenggaraan pendidikan islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Lalu pendririan mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia yang seperti apa atau yang bagaimana yang dikehendaki sesuai dengan pendidikan nasional.
3.      Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan. Atau juga bisa dipahami bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pengandai-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
4.      Dalam perspektif aksiologi berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).

B.       Saran

Sekiranya dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan mohon pembaca dengan kritik dan sarannya dapat mengirimkan ke alamat website saya:  http://alawiyahblog2.blogspot.com/


[1] Tatang Amirin, Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press, 1886), 11
[2] Anas Sudjana, Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya, 1997), 21-26
[3] Rusli Karim, Pendidikan Islam antara Fakta dan Cita (Yogyakarta:Tiara Wacana,1991), 67
[4] Ibid, 68
[5] Imam Barnadib, Sistem Pendidikan Nasional Menurut Konsep Islam dalam ”Islam dan Pendidikan Nasional” (Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN, 1983), 135-136.
[6] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 65
[7] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan…, 79
[8] Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 96
[9] PP No. 19 TAHUN 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 2004),  21
[10] Djohar, Evaluasi atas Arah Pendidikan dan Pemikiran Fungsionalisasi Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik (Jakarta: Yayasan Fase Baru Indonesia, 25 Oktober 1999),  7
[11] A Nurhadi Djamal, ”Ilmu Pendidikan Islam Suatu Telaah Reflektif Qur’an” dalam Ahmad TafsirEpistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam (Bandung:  Fakultas Tarbiyah IAIN SGD, 1995), 27
[12] A. A. Navis, ”Pendidikan dalam Membentuk Bangsa” makalah  disampaikan dalam Diskusi Ahli tentangPendidikan untuk Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik (Jakarta: Yayasan Fase Baru Indonesia, 25 Oktober 1999), 7
[13] A. A. Navis, ”Pendidikan dalam Membentuk Bangsa” makalah  disampaikan dalam Diskusi Ahli tentangPendidikan untuk Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik …, 4
[14] Muhaimin & Mujib, Pemikiran pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda karya, 1993),115
[15] Ihsan, Hamdani, “Filsafat Pendidikan Islam” (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 16
[16] Ibid…, 16
[17] Syahminan Zaini, “Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam” (Jakarta:Kalam Mulia, 1986), 4
[18] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 152
[19] http://adikke3ku.wordpress.com/2012/02/110/aksiologi-ilmu diakses tgl 10 Februari 2012
[20] Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak Syari’ah IAIN SUSQA). Filsafat Umum Suatu  Pengantar. Untuk Kalangan Sendiri, 33
[21] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono( Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996), 327
[22] Dikutip dari http://dedihendriana.wordpress.com/2012/02/10/filsafat-pendidikan
[23] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,(Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007), 36
[24] http://elmuttaqie.wordpress.com dari A. Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan Islam & Dakwah (Yogyakarta : SIPress, 1994), 256

Tidak ada komentar: