Minggu, 23 Desember 2012

Pendidikan Islam Indonesia Masa Reformasi


BAB I
PENDAHULAN

Sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu pesantern dan madrasah bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa serta keseluruhan, sedangkan secara khusus pendidikan Islam dan bertanggung jawab atas kelangsungan tradisi ke Islaman dalam arti yang seharusnya. Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai.
Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Reformasi

Sebagian menganggap bahwa reformasi sudah tercapai manakala penyelenggara negara yang sudah 32 tahun berhenti, sehingga bagi mereka mundurnya Presiden Soeharto pada hari kamis, 21 mei 1998 merupakan puncak kemenangan. Ada yang memandang reformasi sebagai upaya pembersihan penyakit KKN dan kawan-kawan, sehingga identik dengan penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Reformasi juga diartikan perubahan terhadap semua sistem kepemerintahan secara Totolitas.[1]

Pendidikan Islam di Indonesia

Dari berbagai karya tentang pendidikan Islam yang sempat di telaah oleh Azra (1999), menunjukkan bahwa kajian pemikiran dan teori kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan,yaitu:

A. Mendekatinya secara sangat doktrinal, normatif, idealistik yang kadang-kadang justru mengaburkan kajian atau konteksnya dengan Pemikiran Islam itu sendiri.
B. Mengadopsi filsafat, pemikiran, dan teori-teori kependidikan Barat, tanpa kritisisme yang memadai bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah.
C. Memberi lagi timasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan Barat dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits tertentu, sehingga menjadi titik tolak adalah pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran kependidikan Islam), yang belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran kependidikan Islam.
D. Pemikiran kependidikan Islam atau relevan dengannya yang dikembangkan para ulama, pemikir-pemikir dan filosof muslim sedikit sekali diungkapkan dan dibahas.


Indonesia yang masyarakat penduduknya beragama Islam ternyata belum mampu menumbuhkan budaya teknologi dan deversifkasi sumber budaya manusia. Hal ini dapat terjadi di samping masalah strategi pendidikan yang belum sepenuhnya mengarah pada penuasaan teknologi tinggi. Kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia masih banyak berantung pada beberapa aspek, seperti sumber daya alam. Penyebaran pendudukan dan kesejahteraan yang belum merata.

Oleh sebab itu, pendidikan Islam Indonesia pada masa kini memerlukan suaru arientasi baru sebagai uapay terhadap perubahan kearah pengembangan teknologi atau merombak pola pikir pendidikan Islam.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara struktur Intelektual masa akan datang masih sama seperti yang ada pada saat sekarang yaitu:
1. Pendidikan model Pondok Pesantren.
2. Pendidikan Madrasah.
3. Pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
4. pendidikan umum yang mengajarkan mata pelajaran/kuliah agama Islam.

Dua yang pertama tidak menuntut penjelasan. Sementara yang terakhir dapat menumbuhkan pemahaman yang tumpang tindih.

Jenis ketiga dapat dijelaskan dengan contoh: seperti AMP Al-Irsyad, SMA Muhammadiyah dan Universitas Islam Indonesia, sementara jenis yang keempat dapat dijelaskan dengan contoh: seperti SMP PGRI, SMU Negeri dan UGM.

Pada tingkat tinggi, depag telah menyelenggarakan program pembibitan dosen bagi para lulusan IAIN. Program MA dan Ph. D di Universitas terkemuka di negara-negara Barat. Setelah mereka kembali ke Indonesia, mereka direkrut sebagai dosen di Program Pascaserjana, alasan pengiriman pada lulusan IAIN adalah sederhana yaitu untuk mengintegrasikan Intelektualisme Islam dengan Intelektualisme nasional. Bila para ekonomi, sosial, sarjanawan dan lain-lainnya dapat didik di barat, mengapa Intelektual Islam tidak bisa dilaksanakan dan tidak terlalu bergantung dengan cendekiawan Muslim di Timur tengah saja.[2]

Pembinaan Pendidikan Islam

Salah satu tuntunan reformasi adalah adanya otonomi daerah, berkenaan dengan itu berlakunya dua undang-undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Arus dari tuntunan otonomisasi ini adalah demokratisasi. Suara dari segala penjuru dunia sangat gencar saat sekarang ini untuk menegekkan demokratisasi dan hak Asasi manusia (HAM).

Uraian tentang dasar pemikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diungkapkan beberapa hal yang relevan dengan pembahasan ini, yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi kewenanggan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang keadilan erta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksaan otonomi daerah itu dilaksanakan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Salah satu bagian dari penyelenggara negara yang diotonomkan adalah pendidikan. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menurut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan. Beberapa dampak ari sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformasi. Uniformasi itu mematikan inisiatif dan kreativitas serta inovasi. Di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini sangat perlu pula dihargai adanya sisi perbedaan itu akan tumbuh kreativitas dan inovasi.

Selama ini pendidikan Islam terutama kelembagaan madrasah secara full dan otonom berada di bawah pengolaan Departema Agama. Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 salah satu bidang yang tidak diotonomikan adalah agama, sedangkan pendidikan termasuk bagian yang diotonomikan.

Banyak pemikiran yang timbul di sekitar persoalan tersebut. Pertama, ada pendapat yang menginginkan agar pendidikan agama dan keagamaan tetap berada di bawah naungan Departeman Agama, untuk menjaga kemurnian visi dan misi pendidikan agama. Dengan anggaran biaya Pemerintah Pusat. Kedua, ada pemikiran yang menginginkan bahwa pendidikan agama dan keagamaan berada di bawah naungan Pemerintah Daerah, dalam hail ini Dinas Pendidikan, agar pendidikan agama dan keagamaan lebih berkembang. Ketiga, adanya keinginan mencari konvergensi di antara keduanya, yaitu kebijakan tetap berada di tangan Depertemen Agama, teknis operasional berada di tangan Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan.

Pemikiran tentang pengelolaan lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah telah lama muncul di Indonesia, jarak sebelum lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 UU tentang sistem Pendidikan Nasional. Pada tahun 192 telah pernah keluar Surat keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan Pasal 33 Surat Keputusan tersebut berbunyi: ruang lingkup pembidangan tugas dan tanggung jawab dalam melaksakan pembinaan pendidikan dan latihan dimaksudkan dalam Pasal 1 Keputusan presiden ini diatur sebagai berikut:

1. Menteri Pendidikan dan kebudayaan bertanggung jawab atas pembinaan dan pendidikan umum dan kejuruan.
2. Menteri Tenaga Kerja bertugas bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri (Darajat, 1980; 48).

Setelah mempelajari arus pemikiran dan aspirasi yang berkembang selama proses dan pengumpulan bahan-bahan masukan bagi penyusun konsep undang-undang Sistem Pendidikan nasional yang kemudian malahirkan UU No. 2 tahun 1989 serta seperangkat Peraturan Pemerintah tentang pendidikan, yang menyimpulkan bahwa madrasah tetap berada pengelolaannya di bawah naungan Departemen Agama.

Dari berbagaia uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa diskusi tentang perkembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian para perkembangan dan pemikirnya, semakin memperkaya Khazanah pemikran tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.[3]


BAB III
PENUTUP

Dari titik pandangan ini, pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri. Pada dasarnya pendidikan Islam mengutamakan pada aspek keagamaan dengan metode klasiknya, tidak jarang sekolah atau madrasah yang menolak bantuan dari pemerintah.

Kesadaran akan kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga pergolakan pendidikan Islam di Indonesia dengan pokok-pokok pemerintah atau penguasa terkadang masih merupakan kendala-kendala dan mewujudkan peran pendidikan Islam dalam era pembangunan dimasa ini.

Inti kajian ini adalah proses pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam dengan memperhatikan segi-segi dalam dan segi-segi luar atau faktor internal dan eksternal, sehingga mempengaruhi terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Daulay, H. Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhandan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Siradj, Said Adiel, Islam Kebangsaan, Jakarta::Pustaka Ciganjur, 1999.
Muhaimin, Wacana Perkembangan Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar: Jogja, 2003.



[1] Prof. Dr. KH. Said Adiel Siradj, MA, Islam kebangsaan (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999). Hal: 126
[2] Drs. H. A. Mustafa – Drs. Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam DI Indonesia (bandung:Pustaka Setia, 1999). Hal” 165-166
[3] Dr. Muhaimin, MA, Wacana Perkembangan Pendidikan Islam (Jogja: Pustaka Pelajar, 2003), hal: 100.


Tidak ada komentar: