A.
PENDAHULUAN
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa
tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini
memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat
mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih
filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali,
seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan
filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang
mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan
banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf,
dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang
berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap
filosof Muslim lainnya.
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi
dan Pendidikan Imam Al-Ghazali
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu
Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun
450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan
menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum
meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin
Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali
menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam
Ghazali.[1] Ia wafat di Tusia, sebuah kota
tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh
al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri
Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar
pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkan tanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa
itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya
itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak
bertepi...”.[2]
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk
menuju ke Mu’askar,[3] ia pergi ke Mu’askar untuk
melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani
Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang
ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali.
Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M.
Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di
kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama
4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik
yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri
dari keramaian.[4]
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga
diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh
pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.
Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat
adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat
(Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah:
pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali
dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal
adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M),
perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati
dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga,
dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah,
Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang
selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai
menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.[5]
Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh
daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan
kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094
M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di
mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi
penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham
Al-Muluk.[6]
2.
Pandangan Imam Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan
seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya.
Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul
Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama
filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan
lain-lainnya..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya
dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian
ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi.
..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan
agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini
bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan ...”
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat
digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan
pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber
lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk
maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan
menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din.
Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru
menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan,
bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan
menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat
orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.[7]
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali
mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
a.
Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu,
kosmos ini ada dengan sendirinya.
b.
Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam
ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di
alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan
Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab
mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
c.
Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles.
Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan
Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia
kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir
dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di
dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl
al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh
al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20
bagian, antara lain:
1)
Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali
2)
Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal
3)
Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan
sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya
4)
Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yammng Maha Pencipta
5)
Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya
dua Tuhan
6)
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat
7)
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan
al-fashl
8)
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple)
dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat)
9)
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang
selain-Nya
10)
Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir)
11)
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12)
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya
mengetahui zat-Nya
13)
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14)
Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak
dengan kemauan-Nya
15)
Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet
16)
Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang
juz’iyyat
17)
Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu
di luar hukum alam
18)
Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi)
yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh
19)
Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap)
jiwa manusia
20)
Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam
nereka hanya roh.[8]
Kemudian al-Ghazali menjelaskan
lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang
filosof itu menjadi kafir, antara lain :
1)
Alam Semesta dan Semua Substansi Qadim.
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada
sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari
para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam,
keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai
permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa
alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti
bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali,
alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan
alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya
Tuhan.[9]
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof muslim itu. Katanya; tidak ada
halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang
qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya
karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu
sifat bagi Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama.
Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat.
Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama
kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat
iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat
disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau
dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting
adalah isinya.[10]
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam
itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan
adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan
sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual.
”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia
bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia
menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk
yang Dia kehendaki”.
2)
Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang
terjadi di alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang
sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para
filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu
adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof
Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya
mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali
mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut
al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa
perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat,
dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian
al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan
Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi
kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan
tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.[11]
Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an
yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang
kecil.
a)
Dalil pertama:
”Kamu tidak berada
dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula)
yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh
mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
b)
Dalil kedua:
”Katakanlah:
"Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal
Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat ini jelaslah bahwa
Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan
Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).
Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini:
Yang menjadi persoalan adalah
pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang
bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan
ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan
ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun
di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.” [12]
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd
maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan
juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang
berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully,
mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui
melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak
terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu
Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i
dan kully.
3)
Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya
di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur.
Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun
kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad)
merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat
bersifat rohani pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat
atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa
pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas
badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama
kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak
ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi
menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada
pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah
tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak
ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan
disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua,
atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan
yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan
anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa
manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang
semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah
manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan manusia
disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).[13]
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil
mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut
mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah
berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru
yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti
mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi,
jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit
dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia
buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat
kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya.
Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah
proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.[14]
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi
Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan
rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan
disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan
nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang
bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga
dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang
mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian,
menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits,
karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan
itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan
mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada
hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala
dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan
bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan
adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada
secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman
yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan
dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[15]
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak
hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lainnya. Semua
ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani
secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan
pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru
dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari
kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang
terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan
kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan
KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma
menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf,
otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit
berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang
berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan
rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.[16]
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji
secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan
Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog
al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085)
pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh
aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya
tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim
dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih
liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat
nanti ada kebangkitan.[17] dari yang abadi.
C.
KESIMPULAN
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu
Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun
450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan
menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum
meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin
Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali
menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam
Ghazali.[18] Ia wafat di Tusia, sebuah kota
tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan
seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya.
Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul
Tahafut al-Falasifah.
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi
Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan
rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan
disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan
nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. Muksyafatul Qulub (Rahasia
Ketajaman Mata Hati). Surabaya: Terbit
Terang. t.t.
----------------. Al-Munqiz min al-Dhalal terj.
Abdullah bin Nuh. Jakarta: Tinta Mas.
1960.
A. Hanafi. Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika.
A. Hanafi. Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika.
Jakarta: Pustaka al-Husna. 1981.
A. Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1999.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof
dan Ajarannya. Bandung:
Pustaka Setia. 2009.
Zainal, Abidin Ahmad. Riwayat Hidup Al-Ghazali. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
[3] Mu’askar adalah suatu lapangan luas di dekat Kota Naishabur yang di
dalamnya didirikan barak-barak militer oleh Nizam al-Muluk.
[6] Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia. 2009. Hal.148
[10] A. Hanafi. Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1981. Hal. 29
[15] Al-Ghazali. Al-Munqiz min al-Dhalal. Terj. Abdullah bin Nuh. Jakarta: Tinta Mas. 1960. Hal. 129