1. Pengantar
Apabila Anda menggali
sumur, Anda harus menggalinya jauh ke dalam sampai Anda menemukan sumber mata
airnya. Dapatkah sumur itu penuh tanpa mencapai sumber yang dalam itu? Bila
Anda bergantung pada hujan atau sumber luar lain untuk mengisi sumur itu, maka
air itu hanya akan menguap atau diserap oleh tanah. Lalu, bagaimana Anda dapat
membasuh diri Anda atau menghilangkan dahaga Anda? Hanya jika Anda menggali
cukup dalam untuk mendapatkan mata air, maka Anda akan sampai pada sumber air
yang tak habis-habisnya.
Demikian juga halnya,
jika Anda hanya membaca ayat-ayat dari kitab suci, tanpa menggali lebih dalam
untuk mencari maknanya, hal itu seperti menggali sebuah sumur tanpa mencapai
mata airnya atau seperti mencoba mengisinya dengan air hujan. Kedua cara ini
tidak akan memadai. Hanya apabila Anda membuka mata air yang ada di dalamnya
dan ilmu Tuhan mengalir dari sana, maka mata air sifat-sifat Tuhan akan mengisi
hatimu.
Hanya setelah itu Anda
dapat menerima kekayaan-Nya. Hanya setelah itu Anda akan mendapatkan kedamaian
dan ketenangan. Kearifan dan ilmu Tuhan ini harus timbul dari dalam diri Anda;
kisah Tuhan dan doa mesti dipahami dari sisi batin. Maka Anda akan memperoleh
semua yang Anda butuhkan untuk diri Anda, dan Anda juga akan merasa cukup untuk
berbagi dengan orang lain.
Tasawuf dalam wacana
keilmuan barat disebut misticism (mistisisme Islam), kalangan orentalis
menyebutnya sufisme. Kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani “myein” artinya
“menutup mata”. Mistisisme dalam pengertian umum, khususnya dalam artian lektur
barat dipahami sesuatu yang bertalian dengan “rahasia-rahasia Tuhan” atau
pengetahuan bercampur cinta, yang jauh dari kenyataan irrasional, atau sumber
pemikiran yang pancarannya menjernihkan pikiran dan memberikannya pengetahuan
tentang tarekat kerohanian.
Sedangkan mistisisme
Islam adalah aspek dalam (esotoris) dari agama wahyu atau ortodoks, terikat
kepada metode-metode dan tekhnik-tekhnik kerohanian yang bersumber dari wahyu
itu, dan bukan kepada mimpi kabur, tingkah laku individualistik dan khayalan
atau yang paling celaka dari semuanya sampai kepada bentuk-bentuk
pseudo-okultisme yang terpisah jauh dari konteks keagamaan.
Tasawuf juga disebut pengetahuan tentang
diri. Tasawuf adalah pencapaian karakter mulia melalui penyucian hati. Tasawuf
adalah adab. Seseorang yang tergerak untuk mencapai pengetahuan tentang Allah
adalah mustashawwif. Seseorang yang telah tersucikan, disebut seorang sufi.,
Sufi sempurna yang diketahui oleh manusia, disebut seorang malamatiyyah.
Tasawuf adalah pengetahuan yang membawa sang penempuh (salik) mendaki
pengetahuan tanpa akhir tentang Allah.
Tujuan utama tasawuf adalah “Ilahi”. “Engkau
jua yang menjadi tujuan dan keredaan Engkau yang daku cari”. Tasawuf menjurus
sepenuhnya kepada usaha mendekatkan kepada Allah S.W.T. mengabdikan diri
kepada-Nya sebaik mungkin dan mengenali-Nya sebagaimana layaknya. Pokok ajaran
tasawuf adalah penyucian hati. Hati yang suci bisa dibawa menghadap Allah,
bahkan bisa bersatu dengan Allah.
Memperhatikan pentingnya penyucian hati maka
dalam menetapkan esensi ajaran tasawuf terdapat dua pandangan berbeda. Pendapat
pertama, memandang bahwa ajaran tasawuf adalah zuhud. Yaitu, cara hidup yang
terkonsentrasi penuh dengan ibadah kepada Allah, dan meninggalkan kemewahan dan
perhiasan duniawi. Menurut pandangan ini, figur seorang sufi sejati adalah
Hasan Basri, Sofyan al-Tsauri dan para sahabat Nabi seperti Abu Dzar
al-Ghafiri, Abu Hurairah dan lainnya. Pendapat kedua, menjelaskan bahwa tasawuf
sesungguhnya adalah pencapaian penghayatan batin sampai ke fana’ dan ma’rifat
kepada Allah, yaitu pencapaian penghayatan tertinggi dengan mengadakan tatap
muka kepada Allah melalui trance atau ectasy.
Beberapa pandangan ahli tentang apa yang
dimaksud dengan tasawuf, antara lain:
Pertama:
·
Al-Hujwiri, menyebutkan bahwa tasawuf itu berarti suci, lawan dari kotor.
Tasawuf juga berarti hanya melihat kepada Allah semata-mata-mata. Barangsiapa
yang memberikan perhatian pada makhluk maka ia akan binasa dan siapa saja yang
memgembalikan sesuatu kepada yang memiliki (Allah) maka ia akan mendapatkan
sesuatu yang diinginkan.
·
Imam Junayd (w. 297/909) berkata, Tasawuf adalah satu sifat yang di
dalamnya terletak kehidupan manusia artinya hakikat tasawuf adalah bahwa sifat
Tuhan dan sifat manusia lenyap pada hakikat Tuhan.
·
Abu al-Hasan Nuri mengatakan, Tasawuf adalah penyangkalan terhadap semua
kesenangan diri sendiri. Artinya, yang dimaksud dengan tasawuf adalah sifat
yang meninggalkan segala kesenangan diri.
·
Muhammad bin Ali bin Husen bin Ali bin Abi Thalib menyebut, Tasawuf adalah
kebaikan budi pekerti yang lebih baik; orang yang mempunyai budi pekerti lebih
baik adalah sufi lebih baik.[5]
Kedua :
Imam Qusairy al-Naisyaburi mengutip beberapa
difinisi yang diberikan oleh para sufi sesuai dengan pengalaman rohani yang
dimilikinya, antara lain ;
·
Muhammad Al-Jariri (w.311H) berkata, bahwa tasawuf ialah: mengerjakan
akhlak yang baik dan meningalkan akhlak yang buruk.
·
Zun Nun al-Misry (w.279H) menyebutkan ; Tasawuf adalah engkau tidak
memiliki sesuatu dan dimiliki oleh sesuatu.
·
Ruwaim berkata ; Tasawuf ialah membiarkan diri bersama Allãh menurut apa
yang dikehendaki oleh Allãh.
·
Al-Kattani (w.222H) mengatakan :Tasawuf ialah akhlak, barang siapa yang
bertambah akhlaknya bertambah pula tasawufnya.
Ketiga:
Tasawuf pada dasarnya adalah berusaha
mencintai Allah, Abu al-Hawary berkata ; bahwa tanda orang yang cinta pada
Allah adalah cinta pada taat dan dzikir kepada Allah. Bukti cinta kepada Allah
itu adalah berupaya secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Allah. Ia
melanjutkan bahwa orang yang tahu tentang dunia maka ia akan zuhud terhadapnya,
siapa yang mengenal akhirat maka ia akan mengingininya dan barangsiapa yang
kenal akan Allah maka ia akan berusaha mendapatkan ridha-Nya.
3. ESENSI TASAWUF
Islam sebagai agama yang
diturunkan pada masyarakat madani (kota), yaitu Mekah dan Medinah dengan mudah
dan cepat telah diserap masyarakat secara logis dan rasional. Pemahaman,
penghayatan dan pengamalan Islam yang benar dan lurus diperagakan Nabi dengan
baik, sehingga dalam waktu singkat nabi berhasil membentuk masyarakat Islam
yang kokoh. Mereka hidup tunduk dan patuh melaksanakan kewajiban keagamaan,
seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Kehidupan yang sederhana dan zuhud
dikembangkan sedemikian rupa, sehingga memunculkan istilah Ihsan.
Ihsan ialah menurut
suatu hadits yang artinya : “Sembahlah Allãh seakan-akan engkau sungguh
melihatnya dan bila tidak melihatnya (memang engkau tidak bisa melihatnya) maka
sadarilah bawa Dia sungguh melihatmu (Hadis Riwayat Bukhari- Muslim).
Ihsan dimaknai sebagai
suatu kondisi atau keadaan seseorang dalam beribadah dan dalam hidup
kesehariannya seolah-olahnya melihat Tuhan atau paling tidak merasakan bahwa
Tuhan selalu melihat apapun yang sedang dilakukan seorang.
Ihsan adalah penyembahan
kepada Tuhannya dengan penuh kesadaran, merasakan bahwa Tuhan melihatnya, Tuhan
mengawasinya, Tuhan pun tahu setiap sudut kehidupan, hamba selalu berdiri hadir
dihadapan-Nya. Ihsan berarti, bahwa penglihatan Tuhan terhadap hambanya, secara
terus menerus tanpa dibatas ruang dan waktu.
·
Abu Nasr
al-Sarajj menjelaskan; bahwa Islam itu adalah zahir, Iman itu zahir dan batin
sedangkan Ihsan itu adalah hakikat zahir dan batin.
Usaha para zahid mengembalikan kehidupan sosial
masyarakat pada kesederhanaan (qanâ’ah), dan berusaha mengidentifikasikan diri
dengan Allãh melalui perbuatan terpuji (takhallûqu bi akhlâqil Allãh) dengan
menjaga kesucian diri serta melakukan ibadah-ibadah yang membersihkan hati,
menjauhkan diri dari pengaruh buruk. Inilah yang kemudian menjadi karakteristik
tasawuf, yang meliputi ; the code of the heart (fiqh al-bâtin), or the
purification of the soul ( tazkîyatu al-nafs) or feeling of God’s presence
(al-Ihsân).
·
Muhammad
Syibly berucap tentang zuhud, zuhud itu sebenarnya adalah gaflah (lalai) di
dunia ini tidak ada sesuatu apapun jua yang dia punyai. Zuhud pada yang tak
bernilai adalah lalai. Dari bermacam-macam difinisi dan penjelasan tentang
zuhud dapat ditarik suatu pengertian bahwa zuhud itu bukanlah orang yang anti
dunia, tetapi orang yang tidak mau dijajah oleh dirinya dan dunia material.
Pemahaman tentang zuhud
sebagaimana di atas didasarkannya pada ayat-ayat al-Qur’an antara lain :Surat
al-Syams :(91:7-8), Surat Al-Jâtshiyah (45: 24),Surat Yusuf (12:53) Surat
Al-Ankabut (29 :69 )
Sebagai ilmu tasawuf,
merupakan media yang dapat mengantar manusia mengenal penciptanya secara cepat,
tepat dan dapat berhubungan dengan terus menerus. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka mereka mengunakan instrument rasa (dzouq). Disamping itu, juga
ada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang berkaitan erat
dengan taqwa, memelihara diri dari kesalahan, memakai pakaian wool kasar.
Pendapat yang ekstrim lagi adalah menempatkan tasawuf sebagai sumber kesesatan
dan zindik.
Pengembaraan sipritual
seseorang mencari Tuhan (salik) tidak mungkin dilaksanakan, kecuali setelah
melewati proses penyucian hati. Untuk mendapatkan kebersihan hati maka langkah
utama adalah menjalani proses :
·
Pertama, Takhalli, yaitu penyuciaan hati dari sifat-sifat
tercela, baik tercela dalam pengertian akhlak zahir demikian juga halnya
pembersihan hati dari akhlak batin, misalnya taubat, zuhud, dan wara’.
·
Kedua, Tahalli, yang
memenuhi hati dengan sifat terpuji seperti shabar, tawakul, faqir, taqwa, dan
ridha.
·
Ketiga, Tajjali, yaitu adanya bukti konkrit hubungan
manusia dengan Tuhan bisa dalam bentuk ma’rifah, mahabbah, uns, wajd dan
lainnya. Menurut Al-Kalabazi ada sepuluh maqam, yaitu taubat, zuhud, sabar,
faqir, tawadhu’, taqwa, tawakkul, ridha, mahabbah dan makrifah. Al-Thusi
mengajukan tujuh maqam, yaitu taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakkul, cinta,
ma’rifah, ridha. Al-Ghazali menyebut delapan maqam, yaitu taubat, shabar,
faqir, zuhud, tawakul, mahabbah, ma’rifah dan ridha.
Pada diri
manusia terdapat dua hal yang sangat pokok, yaitu jasmani dan rohani, keduanya
memiliki kebutuhan masing-masing. Jasmani memerlukan makan, minum, berpakaian,
pelampiasan syahwat, tempat tinggal dan lain-lain. Sedangkan unsur rohani yang
ada pada diri manusia memerlukan ketenangan hati, kedamaian, kesejahteraan akan
tetapi kebahagian yang hakiki menurut para kalangan sufi kesucian hati dengan
melalui kedekatannya kepada tuhan.
Para sufi
menegaskan hal yang terpenting yang menjadi ujung tombak dari segala kehidupan
terletak pada rohaninya. Karena kebahagiaan jasmani tergantung pada
kebahagiaan rohaninya. Rohani manusia dapat terpenuhi jika selalu dapat
mendekatkan diri kepada tuhan dengan sedekat-dekat mungkin sehingga dapat
memperoleh hubungan khusus, seakan-seakan diri manusia selalu berada di
kehadhiratnya. Dan tasawwuf tidak lain mempunyai tujuan.
·
pola hidup sederhana dengan cara zuhud
·
memperoleh kedekatan dengan tuhan dengan cara melakukan semua
amalan-amalan, para sufi mengemukakan ibadah Wajib saja tidak cukup untuk
menambah kedekatan terhadap tuhan harus ditambah dengan amalan-amalan sunnah.
·
mensucikan hati dari hal keburukan.
·
menjauhi larangan Allah dan melaksanakan perintahnya serta menjauhi
perilaku yang hina yang tidak sesuai dengan Tatanan sosial.
4. Teladan Sufi Nabi dan Sahabat Nabi
·
Rosulullah (Muhammad saw) Teladan yang Baik
Sesungguhnya pada diri Rasulullah (Muhammad)
terdapat teladan yang baik.
(QS Al-Ahzâb [33]: 21)
(QS Al-Ahzâb [33]: 21)
Setidaknya, ada tiga pelajaran berharga yang
bisa kita petik dari sosok Muhammad, sang rasul penyebar agama Islam. Pertama,
ketekunannya dalam melakukan ibadah. Kedua, kepeduliannya terhadap persoalan
sosial. Ketiga, kehidupannya yang tidak diperbudak oleh nafsu duniawi.
Muhammad
melakukan ritual ibadah, antara lain dengan shalat, zikir, puasa, zakat, haji,
dan lain-lain. Dalam momen ibadah ritual, kita berusaha “berinteraksi” dengan
Allah, Tuhan yang mengenggam alam semesta dan mengendalikan kehidupan. Dengan
beribadah, kita memasuki keheningan dan terus-menerus memperbarui ikrar untuk
meneguhkan ikatan batin kita dengan kehidupan.
Dalam momen
ibadah ritual, seseorang juga berusaha mengasah ruang “batin” dan “ruhani”-nya
terus-menerus agar bisa menapaki kehidupan secara lebih baik, indah, bijak, dan
bermakna. Dengan beribadah pulalah, kita berusaha menyelami kesejatian untuk
melampaui fenomena duniawi yang fana dan sementara. Kita saat ini menapaki
“alam dunia”. Alam yang pernah kita lalui adalah “alam ruh” dan “alam rahim”,
sementara dua lainnya yang akan kita jelang adalah “alam barzakh” dan “alam
akhirat”.
Kembali pada
persoalan ibadah ritual; karena setiap manusia dalam kesehariannya—sadar atau
tidak—sering kali terpancing (lagi) untuk melakukan hal-hal yang buruk, jahat,
dan tidak terpuji, maka ruang batin dan ruhaninya sebaiknya terus diasah dalam
suasana yang tenang, khusyuk, dan hening. Nafsu-nafsu destruktif yang
potensinya ada pada diri setiap manusialah yang harus terus-menerus
dikendalikan, antara lain, dengan laku-laku ritual semisal shalat, zikir,
puasa, dan haji.
Kalau kita
cermati secara kritis, momen ritual pun sebenarnya menyimpan makna moral dan
sosial yang cukup kental. Dalam Islam, ritual bukanlah hal yang steril dari
persoalan sosial. Ritual, dengan demikian, bukan merupakan tindakan untuk
menghindar (eskapisme) dari persoalan sosial yang nyata dan mengelilingi
kehidupan manusia setiap hari.
Sufi yang
Peduli Sosial
Tak
diragukan lagi, bercermin dari sejarah kehidupannya, Muhammad adalah sosok
manusia yang terlibat aktif dalam persoalan sosial serta melakukan upaya
transformasi sosial yang nyata. Kepedulian sosial Muhammad, antara lain tampak
dari sepak terjangnya dalam membantu dan membela kaum miskin, sengsara, dan
tertindas di satu sisi, serta melawan komunitas (baca: rezim politik dan
ekonomi) yang otoriter dan zalim di sisi yang lain. Komunitas yang otoriter dan
zalim ini misalnya adalah orang-orang Quraisy yang kaya dan berkuasa.
Muhammad
juga sering mendamaikan beberapa komunitas (suku-suku Arab) yang bertikai satu
sama lain. Visi sosial Muhammad sangat tampak dalam upaya menegakkan keadilan
(sosial), kesetaraan, dan perdamaian.
Selain tekun
melakukan ibadah dan punya kepedulian sosial, Muhammad juga seorang pribadi
yang tidak pernah diperbudak oleh nafsu duniawi, semisal harta, kekuasaan, dan
jabatan. Muhammad adalah sosok yang bersahaja. Meskipun mempunyai seorang istri
yang kaya-raya bernama Siti Khâdijah serta cukup sukses sebagai seorang
pedagang, Muhammad tidak pernah silau oleh materi.
Sosok zuhud dan sufi adalah orang yang mampu
mengatasi dan mengendalikan “keinginan”-nya akan harta, kekuasaan, dan jabatan
di satu sisi, serta tekun melakukan ibadah di sisi yang lain. Ibadah ini sangat
penting bagi setiap umat Islam, sebagai upaya untuk menziarahi ruang batin dan
ruhani serta mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Kesufian yang diteladankan Muhammad bukanlah
sufi yang “eskapis” (lari dari kenyataan), yakni sibuk melakukan ritual tetapi
tidak peduli sosial, melainkan sufi yang taat beribadah sekaligus sangat peduli
dan peka terhadap persoalan sosial di sekitarnya. Sama seperti nabi-nabi
lainnya yang pernah muncul dalam sejarah, Muhammad adalah sosok revolusioner
yang mencoba mengubah tatanan sosial yang timpang, tidak adil, dan menindas.
Melalui syariat dan ajaran agama yang
disebarkannyalah Muhammad dan nabi-nabi lainnya mampu mewujudkan tatanan sosial
yang adil, setara, demokratis, manusiawi, dan beradab. Untuk itu, tampaknya tak
terelakkan, dalam perjalanan hidupnya para nabi sering kali melawan para
penguasa yang zalim, otoriter, dan menindas. Nabi Ibrahim melawan raja Namrud,
Nabi Musa melawan raja Firaun, Nabi Isa melawan para penguasa Romawi, serta
Nabi Muhammad melawan para penguasa Quraisy dan suku-suku Arab lainnya yang
arogan dan zalim.
·
Teladan
Empat Nabi Legendaris
Ibrahim, Musa, Isa, dan (terutama) Muhammad
(sang empat nabi legendaris) adalah para sufi besar yang mampu mengekspresikan
tiga hal dalam diri mereka, sebagaimana saya sebut dalam awal tulisan ini;
yaitu, tekun beribadah, peduli sosial, serta tidak diperbudak oleh nafsu
duniawi. Nafsu duniawi yang dimaksudkan di sini adalah keinginan (yang
berlebihan) akan harta, kekuasaan, dan jabatan duniawi.
Kalaupun pernah mempunyai harta dan materi
dalam jumlah yang cukup besar, maka Muhammad adalah contoh seorang pribadi yang
kaya dan selalu berusaha mendermakan kekayaannya untuk kepentingan orang banyak
yang membutuhkan. Selain itu, kekayaan Muhammad juga untuk mendanai jihad dan
perjuangan menuju sistem sosial yang adil, demokratis, dan manusiawi.
Seorang sufi yang kaya—sebagaimana pernah diteladankan
Muhammad—seyogyanya bertekad memanfaatkan kekayaannya untuk sebanyak mungkin
manusia. Harta benda sang sufi berguna dan berkah bagi masyarakat luas. Untuk
itu, citra sufi sebenarnya tidak identik dengan kemiskinan, keprihatinan, dan
hidup pas-pasan. Seseorang tentu saja sangat sah menjadi kaya, asalkan
memeroleh kekayaan dengan cara yang baik, sehat, dan halal. Kekayaannya pun
menjadi berkah dan berfaedah untuk sebanyak mungkin manusia.
Hanya orang yang mampu secara ekonomilah yang
bisa menunaikan rukun iman kelima, yakni ibadah haji. Hanya orang yang (cukup)
kayalah yang bisa membantu rakyat miskin dan kaum papa yang terpuruk. Hanya
orang kayalah yang mampu mendermakan harta bendanya guna mendanai “perjuangan”
di jalan Allah yang baik dan mulia.
Bercermin dari sosok Muhammad, kita
seharusnya tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga mampu “melampaui” nafsu dan
kesenangan duniawi yang acapkali menjebak dan menjerumuskan. Selain itu, jauh
lebih penting lagi kita sebaiknya punya kepedulian sosial yang tinggi terhadap
persoalan kehidupan dan umat manusia di sekitar kita, baik pada level lokal,
nasional, dan syukur bisa menyentuh level internasional.
Kepedulian sosial dalam konteks Indonesia
sekarang yang relevan, antara lain memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan
kemaslahatan di satu sisi, serta melawan korupsi, kekerasan, penindasan, dan
kezaliman pada sisi yang lain.
Dengan meneladani sosok Muhammad, marilah
kita teguhkan diri kita untuk berhijrah, yakni berpindah dan berubah, misalnya
dari kondisi yang pasif menuju tindakan aktif untuk mewujudkan kehidupan
yang lebih baik, adil, indah, dan maslahah.
·
Sifat Teladan Sufi Sayidina Abubakar RA.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa
beliau pernah bersabda. “Umatku yang paling belas-kasih kepada sesama umat
adalah Abu Bakr r.a., yang paling kokoh dan kuat memegang agama Allah adalah
Umar r.a., yang paling pemalu adalah Utsman r.a., yang paling tahu tentang ilmu
faraidh (hukum waris) adalah Zaid bin Tsabit r.a., yang paling faham tentang
hukum halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal r.a., yang paling adil dalam
memberikan keputusan hukum adalahAli r.a., Sedangkan sahabatku Abu Dzar r.a.
adalah orang yang dialek bicaranya memiliki ketajaman dan kebenaran.” (H.r.
Ahmad, Tirmidzi dari Anas, ath-Thabrani dari Jabir, dari Ibnu adi dari Ibnu
Umar).
Adapun yang menyangkut masalah batin, maka kami akan memulainya dengan apa yang disabdakan Rasulullah saw.: Ikutilah dua orang setelahku yaitu: Abu Bakr dan Umar r.a.”
(H.r. Tirmidzi dari Hudzaifah, Ahmad, Ibnu
Majah dan Ibnu Abd dari Anas)
Sementara kami memulainya dengan Abu Bakr r.a
lebih dahulu kemudian baru Umar r.a.
Sebagaimana berita yang saya terima dari Abu Utbah al-Halwa-ni—-rahimahullah—yang pernah berkata, “Bolehkah aku memberitahu kalian tentang kondisi spiritual para sahabat Rasulullah?
Sebagaimana berita yang saya terima dari Abu Utbah al-Halwa-ni—-rahimahullah—yang pernah berkata, “Bolehkah aku memberitahu kalian tentang kondisi spiritual para sahabat Rasulullah?
·
Pertama, bertemu dengan Allah lebih mereka senangi daripada hidup di dunia.
·
Kedua, mereka tidak pernah takut musuh, baik mereka dalam jumlah sedikit
maupun banyak.
·
Ketiga, mereka tidak pernah takut miskin dan selalu yakin, bahwa Allah
selalu memberinya rezeki.
·
Keempat, jika dilanda wabah penyakit, mereka tidak pernah lari dari tempat
tinggal sampai Allah memutuskan nasibnya.
Mereka sangat khawatir dengan kematian dalam
makna yang sebenarnya.”Dikisahkan dari Muhammad bin Ali al-Kattani
-rahimahullah- yang berkata, “Orang-orang dalam kurun waktu pertama Islam
selalu bermuamalah denga agama sehingga agama itu menipis.
Kemudian pada kurun kedua mereka bermuamalah
dengan wafa’ (kesetian dan tepat janji), sehingga kesetiaan itu pun sirna.
Kemudian pada kurun ketiga mereka bermuamalah dengan muru’ah (kesatria)
sehingga kesatria itu pun lenyap.
Pada kurun keempat bermuamalah dengan rasa
malu, sampai akhirnya rasa malu itu pun hilang. Pada akhirnya manusia
bermuamalah dengan landasan rasa suka dankekhawatiran.”
Keistemewaan Abu Bakr As-Shiddiq RA
Diriwayatkan dari Mutharraf bin Abdullah asy-Syukhair -rahimahullah- yang berkata: Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. berkata “Andaikan ada seseorang memanggil dari langit bahwa tidak ada yang masuk surga kecuali satu orang, maka aku berharap satu orang itu adalah aku. Dan andaikan ada seseorang memanggil dari langit bahwa tidak ada yang masuk neraka kecuali satu orang, maka aku sangat takut orang tersebut adalah aku.”
Mutharraf -rahimahullah- berkata, “Demi Allah ini adalah ungkapan rasa takut yang sangat besar dan harapan yang sangat tinggi.”
Diriwayatkan dari Abu al-Abbas bin Atha’ -rahimahullah- bahwa, ia pernah pernah ditanya tentang firman Allah:
“Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu mempelajarinya.” (Q.s. Ali Imran: 79)
Maka ia menjawab, “Artinya, jadilah kalian
seperti Abu Bakr ash-Shiddiq. Karena saat Rasulullah wafat hati kaum muslimin
goncang akibat wafatnya Rasul. Namun kepergian Rasulullah sama sekali tidak
mempengaruhi lubuk hati Abu Bakr. Ia keluar dan berkata kepada umat Islam.
‘Wahai umat manusia, barang siapa menyembah Muhammad maka sesunggunhnya
Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah maka sesungguhnya Allah
adalah Dzat yang senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati. Orang yang
memiliki sifat rabbani ini, kejadian apapun sama sekali tidak mempengaruhi
lubuk hatinya, meskipun orang-orang takut tergoncang.”
Abu Bakr al-Wasithi -rahimahullah- berkata, “Lisan (bahasa) kaum sufi yang pertama kali muncul dikalangan umat memalui lisan Abu Bakr adalah bahasa isyarat, yang kemudian oleh orang-orang yang memilikik kemampua pemahaman yang tajam diambil makna-makna lembut yang sering kali orang-orang yang berakal terkecoh dalam memahaminya.”
Abu Bakr al-Wasithi -rahimahullah- berkata, “Lisan (bahasa) kaum sufi yang pertama kali muncul dikalangan umat memalui lisan Abu Bakr adalah bahasa isyarat, yang kemudian oleh orang-orang yang memilikik kemampua pemahaman yang tajam diambil makna-makna lembut yang sering kali orang-orang yang berakal terkecoh dalam memahaminya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Apa yang dikatakan oleh al-Wasithi, bahwa lisan kaum sufi yang muncul pertama kali melalui lisan Abu Bakr ialah saat ia mengeluarkan seluruh harta miliknya yang diinfakkan demi agama Allah. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakr menjawab, “Allah dan Rasul-Nya”. (H.r. Tirmidzi dari Umar).
Ia menjawab pertama kali dengan Allah,
kemudia Rasul-Nya. Hal ini merupakan suatu isyarat yang sangat agung bagi para
ahli tauhid dalam hakikat-hakikat panauhidan kepada Allah. Namun bukan berarti
ini saja isyarat yang keluar dari lisan Abu Bakr. Masih sangat banyak
isyarat-isyarat lain yang darinya bisa diambil kesimpulan-kesimpulan yang
sangat lembut.
Isyarat-isyarat tersebut dapat diketahui dan dipahami oleh para ahli hakikat untuk mereka jadikan referensi dan cermin dalam berakhlak. Di antaranya ialah pidato Abu Bakr ketika ia naik diatas mimbar setelah rasulullah wafat, dimana hati para sahabat saat itu goncang dan khawatir kalau Islam akan hilang karena wafat dan hilangnya Rasulullah dari lingkungan mereka. Kemudian Abu Bakr berkata, “Barangsiapa menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah swt. Maka sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha hidup dan tidak akan pernah mati.” (H.r Ahmad, Abdurrazzaq dari Aisyah dan Ibanu Abbas, dan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar).
Makna yang sangat halus dalam ungkapan
tersebut ialah keteguhan dalam bertauhid dan berusaha memperkokoh hati para
sahabat dalam bertauhid.
Diantara ungkapan yang lain ialah saat Perang
Badar, ketika Rasulullah berdo’a:
“Ya Allah, jika sekelompok manusia (dari umat Islam) ini Engkau hancurkan, maka setelah itu Engakau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.”
“Ya Allah, jika sekelompok manusia (dari umat Islam) ini Engkau hancurkan, maka setelah itu Engakau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.”
Kemudian Abu Bakr berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah tinggalkanlah permohonanmu kepada Tuhan, sebab -demi Allah- Dia pasti mengabulkan apa yang dijanjikan kepada-Mu.”(H.r. Muslim dan Tarmidzi dari Ibnu Abbas dan Umar).
Dimana janji itu adalah firman Allah swt., “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyuka kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman’. Kelak akan Aku jadikan rasa ketakutan kedalam hati orang-orang kafir.” (Q.s. al-Anfal: 12)
Di sini tampak satu keistimewaan Abu Bakr, dimana ia telah memiliki hakikat tashdiq ( pembenaran ) terhadap kemenangan yang dijanjikan Allah kepada umat Islam . Dimana hati para sahabat yang lain goncang . Ini menunjukkan hakikat keimanan dan keistimewaan Abu Bakr.
Jika ada orang yang bertanya “ Apa makna perubahan Rasulullah dan keteguhan hati Abu Bakr , sementara Rasulullah jauh lebih sempurna daripada Abu Bakr dalam segala kondisi spiritual?”
Maka jawabannya adalah karena Rasulullah lebih tahu tentang Allah daripada Abu Bakr . Sementara itu, Abu Bakr lebih kuat imannya daripada para sahabat Rasulullah yang lain . Keteguhan Abu Bakr mencerminkan hakikat keimanannya terhadap kebenaran janji Allah . Sedangkan perubahan pada diri Nabi adalah karena beliau lebih tahu tentang Allah. Sehingga beliau tahu dari Allah apa yang tidak diketahui Abu Bakr dan juga sahabat yang lain. Apakah Anda tidak tahu , bahwa ketika angin bertiup kencang maka warna kulit beliau berubah, sementara tidak seorang pun dari sahabatnya yang warna kulitnya berubah ?
Rasulullah juga bersabda ,” Andaikan kalian tahu apa yang aku ketahui tentu kalian kurang bisa tertawa, banyak menangis, keluar menuju ke berbagai jalan { untuk mencari perlindungan kepada Allah }, dan tidak akan tenang di atas tempat tidur .” ( H.r. Bukhari, al-Hakim dan ath-Thabrani, lihat kembali hlm. 247).
Abu Bakr juga memiliki kekhususan di antara
para sahabat dalam hal firasat dan ilham . Itu bisa diketahui dalam tiga kasus
:
·
Pertama, ketika pendapat para sahabat Rasulullah telah mencapai titik
sepakat untuk tidak memerangi orang-orang murtad yang tidak mau membayar zakat
setelah wafat Rasulullah saw. Namun Abu Bakr tetap bersikukuh pada pendiriannya
untuk memerangi mereka . Kemudian ia berkata,”Demi allah , andaikan mereka
tidak mau membayarku zakat unta dan kambing yang pernah mereka bayarkan kepada
Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka dengan pedang.” Sementara
pendapat Abu Bakr inilah yang benar. Kemudian para sahabat berkata.”
Sesungguhnya yang benar adalah pendapatnya
sekalipun ia berbeda pendapat dengan sahabat-sahabat yang lain tentang apa yang
mereka kemukakan.” Akhirnya sahabat-sahabat yang lain merujuk kepada pendapat
Abu Bakr, dimana mereka melihat bahwa pendapat dialah yang benar.
·
Kedua, Saat ia berbeda pendapat dengan sebagaian besar sahabat mengenai
penarikan mundur pasukan Usamah. Dan ia berkata,” Demi Allah, saya tidak akan
mengingkari janji yang pernah disepakati oleh Rasulullah.”
·
Ketiga, ialah ucapan Abu Bakr kepada Aisyah. “Sesungguhnya aku akan
memberimu dua saudara laki-laki dn dua perempuan.” Aisyah saat itu hanya tahu
bahwa ia hanya memiliki dua saudara laki-laki dan seorang perempuan.
Pada saat itu Abu Bakr memiliki seorang budak
perempuan yang sedang hamil. Maka ia berkata,” Hati nuraniku mengatakan bahwa
janin yang ada dalam rahimnya adalah perempuan.”
Ini menunjukkan firasat dan ilham yang sangat
tajam dan sempurna.
Nabi saw bersabda:
“ Hati-hatilah terhadap firasat orang
mukmin karena ia melihat dengan Nur Allah.”
(H.r. ath-Thabrani dari Abu Umamah, Tirmidzi
dari Abi Said, Abu Nu’aim dan al-Bazzar dari Anas).
Sementara itu pada diri Abu Bakr masih terdapat makna-makna lain yang banyak dijadikan referensi para ahli hakikat dan mereka yang mampu mengendalikan hati nurani. Dan jika disebutkan semua maka kitab ini akan menjadi sangat tebal.
Di ceritakan dari Bakr bin Abdullah al-Muzani
yang mengatakan,”Abu Bakr tidak melibihi semua sahabat Rasul yang lain dalam
hal banyak berpuasa dan shalat, namun ia memiliki kelebihan yang ada di dalam
hatinya.”
Sebagian kaum sufi mengatakan, bahwa apa yang terjadi didalam hati Abu Bakr adalah cintanya kepada Allah Azza wa Jalla dan nasihat karena-Nya.
Disebutkan, Tatkala tiba waku shalat, Abu Bakr berkata, “Wahai anak Adam bangunlah ke neraka yang kalian nyalakan, kemudian padamkanlah.”
Diriwayatkan, bahwa suatu saat ia pernah makan makanan yang ada syubhatnya. Ketika ia tahu bahwa itu ada syubhatnya, maka ia muntahkan sembari berkata, “Demi Allah andaikan makanan itu tidak bisa keluar kecuali dengan mengorbankan jiwa (ruh)ku maka akan aku keluarkan juga, Sebab aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tubuh yang diberi makan dari barang haram maka neraka lebih pantas untuknya.” (H.r. Tirmidzi danIbnu Hibban dari Ka’ab bin ‘Ajarah).
Abu Bakr pernah berkata, “Aku ingin menjadi
tumbuhan hijau yang dimakan oleh binatang, dan tidak pernah diciptakan, karena
aku takut siksa Allah dan ketakutan di hari Kiamat.”
Diriwayatkan dari Abu Bakr ash-Shiddiq yang mengatakan: Ada tiga ayat dalam kitab Allah yang menyibukkanku dari yang lain:
Diriwayatkan dari Abu Bakr ash-Shiddiq yang mengatakan: Ada tiga ayat dalam kitab Allah yang menyibukkanku dari yang lain:
Pertama: “Jika Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghalanginya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan untukmu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya.” (Q.s. Yunus: 107)
Maka aku tahu bahwa, apabila Allah menghendaki kebaikan untukku, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghilangkannya dariku selain Dia sendiri. Dan jika Dia menghendaki kejelekan untukku, maka tidak ada seorang pun yang mampu menghindarkannya selain Dia sendiri.
Kedua: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.”
(Q.s.
al-Baqarah: 152)
Maka demi Allah, sejak aku membaca ayat ini
tidak lagi pernah memikirkan masalah rezekiku.”
Disebutkan pula, bahwa bait syair berikut
adalah dari Abu Bakr ash-Shiddiq:
Wahai orang yang membanggakan dunia dan perhiasannya,
Bukankah kebanggaan itu mengangkat tanah dengan tanah
Jika Anda ingin melihat manusia yang paling mulia
Maka lihatlah seorang raja yang mengenakan pakaian orang
miskin
Itulah yang besar kasih sayangnya dimata manusia
Itulah yang berguna bagi dunia dan agama.
Dikisahkan dari al-Junaid yang mengatakan, “Kalimat tentang tauhid yang paling mulia adalah apa yang dikatakan Abu Bakr, ‘Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya’
5.
HUBUNGAN ANTARA TASAWUF DENGAN AKHLAK
Para ahli
tasawwuf membagi tasawwuf ke dalam tiga bagian yaitu tasawwuf
falsafi, tasawwuf amali dan tasawwuf akhlaki ketiga macam ini
mempunyai tujuan yang sama yaitu memdekatkan diri kepada tuhan dengan
membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghiasinya dengan perbuatan
yang terpuji.
Tentunya
dalam praktek pendekatannya pun sangat berbeda, pendekatan kepada tuhan yang
digunakan oleh tasawwuf falsafi ialah dengan menggunakan rasio dan akal karena
bahan yang menjadi rujukan dari ajaran ini pemikiran para filosof islam
diantara ajaran tasawwuf falsafi yang terkenal ialah seperti wihdatul
wujud,Hulul, Al-ittihad dan fana’ baqa’. Yang kedua tasawwuf akhlaki metode
pendekata kepada tuhan yang digunkan oleh penganut ajaran ini pendekatan akhlak
yang melalui tahapan.
·
takhalli ialah membersihkan hati dengan mengosongkan hati dari sifat yang
menduaniawi seperti anak, istri, jabatan, harta, benda Dll. Dunia dan isinya,
oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala
kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada
dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan
dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut
para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari
kecintaan pada dunia.
·
sebagai tahapan yang ke dua ialah Tahalli ialah mengisi hati yang
dikosongkan tadi dengan sifat-siafat yang terpuji dengan cara mengasibukkan
hatinya kapanpun dan dimanapun dengan berdzikir kepada allah karena mendekatkan
diri dengan cara bedzikir menurut para sufi dapat membawa ketentraman pada
hati, ibadah yang diwajibkan saja tidak cukup, untuk lebih memuaskan pendekatan
diri kepada tuhan diperlukan amalan-amalan khusus dengan cara berdzikir.
·
Tajalli, yang merupakan kelanjutan proses dari takhalli dan tahalli yang
intinya terbukanya pintu hijab yang membatasi manusia dengan tuhan, para
kalangan sufi menyebut dengan ungkapan ma’rifah.
Tasawwuf
yang ketiga yaitu tasawwuf amali , tasawwuf amali cara
pendekatannya dengan cara melakukan suluk, pengetian dari pada suluk sendiri
ialah amalan dan wirid atau perbuatan yg harus dikerjakan oleh salik
berdasarkan perintah syekh; zawiyah yaitu majlis tempat para salik mengamalkan
suluk.
Disamping
itu ada satu syarat yg harus dipenuhi oleh kandidat salik yaitu baiat antara
dia dan syekh. Baiat itu sendiri ada dua macam yaitu ; Baiat
suwariyah yaitu baiat bagi seorang kandidat salik yg hanya sekedar ia mengakui
bahwa syekh yg membaiatnya ialah gurunya tempat ia berkonsultasi dan syekh
itupun mengakui orang tersebut adalah muridnya. Ia tidak perlu meninggalkan
keluarganya untuk menetap tinggal dalam zawiyah tarikat itu utk terus menerus
bersuluk atau berdzikir.
Ia boleh
tinggal dirumahnya dan bekerja sehari-hari sesuai dgn tugasnya. Ia sekadar
mengamalkan wirid yg diberikan oleh gurunya itu pada malam-malam tertentu dan
bertawassul kepada gurunya itu. Ia dan keluarganya bersilaturrahmi kepada
gurunya itu sewaktu-waktu pula. Apabila ia memperoleh kesulitan dalam hidup ini
ia berkonsultasi dgn gurunya itu pula.
Baiat
ma`nawiyah yaitu baiat bagi seorang kandidat salik yg bersedia utk dididik dan
dilatih menjadi sufi yg arif bi I-lah. Salik yg masuk tarikat melalui baiat yg
demikian harus meninggalkan anak-istri dan tugas keduniaan. Ia berkhalwat dalam
zawiyah tarikat didalam penegelolaan syekhnya. Khalwat ini bisa berlangsung
selama beberapa tahun bahkan belasan tahun. Tasawwuf akhlaki maupun
tasawwuf amali disebut dalam kategori ajaran sunni yaitu pemaduan antara
syari’at dan hakekat.
Dalam hal
ini antara tasawwuf dan akhlak ternyata mempunyai hubungan yang sangat
erat, tasawwuf sebagaimana yang dinyatakan Harun Nasution ialah salah satu
ajran yang lebih menonjolkan dalam aspek ibadah seperti dzikir,shalat, puasa
haji Dll. sedangkan akhlak lebih menonjolkan dalam aspek sosial seperti jujur,
sopan santun, bijaksana, disiplin, sabar, pemurah,baik hati, hemat, tepat
janji.
Lebih lanjut
Harun Nasution Menyatakan Ibadah di dalam Al-Qur’an Dikaitkan dengan
taqwa yaitu taat kepada perintah allah dan menjauhi segala larangan-Nya,
bertaqwa kepada allah merupakan brakhlak mulia. Maka dari itu bertasawwuf
sebagian dari berakhlak.
1 komentar:
"Diriwayatkan dari Abu Bakr ash-Shiddiq yang mengatakan: Ada tiga ayat dalam kitab Allah yang menyibukkanku dari yang lain:... Pertama, Kedua" dan yg Ketiganya kenapa saya tidak dapat membacanya? Ditunggu Jazakillah Khairan...
Posting Komentar