Berikut ini kumpulan sekelumit makalah dari website Salafy Indonesia 28 Februari 2007.
“ Salah satu keyakinan Ahlusunah yang
mempunyai dasar dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan prilaku Salaf Sholeh –yang
dituduhkan sebagai perilaku syirik oleh kelompok Wahabi– adalah tentang
diperbolehkannya membangun masjid di sisi kuburan para Rasul, nabi
dan waliyullah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah
–yang kemudian di-ikuti (secara taklid buta) oleh segenap kelompok Wahabi–
sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Qaidah al-Jalilah halaman 22.
Ibn Taimiyah mengatakan: “Nabi melarang
menjadikan kuburannya sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan seseorang pada
waktu-waktu shalat untuk mendatangi, shalat dan berdo’a di sisi kuburannya,
walaupun dengan maksud beribadah untuk Allah sekalipun. Hal itu dikarenakan
tempat-tempat semacam itu menjadi sarana untuk perbuatan syirik. Yaitu boleh
jadi nanti mengakibatkan seseorang melakukan do’a dan shalat untuk ahli kubur
dengan mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu maka mem- bangun masjid
di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram. Oleh
karenanya walaupun pembangunan masjid itu sendiri merupakan sesuatu yang
ditekankan namun dikarenakan perbuatan seperti tadi dapat menjerumuskan
seseorang kedalam prilaku syirik maka hukumnya secara mutlak haram”.
Apa dalil dari ungkapan Ibnu Taimiyah
di atas? Memang Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadits-hadits
yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Ahlusunah. Namun sayangnya beliau tidak
memiliki analisa dan penerapan yang tepat dan bagus dalam memahami
hadits-hadits tadi sehingga menyebabkannya terjerumus kedalam kejumudan
(kekakuan) dalam menerapkannya. Selain pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap
hadits-hadits tadi terlampau kaku, juga tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an,
as-Sunnah dan perilaku Salaf Sholeh.
Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya
tersebut dengan hadits-hadits sebagai berikut :
Pertama: Rasulallah
bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah
menjadikan kubur para nabinya sebagaitempat ibadah”. (lihat
kitab Shahih Bukhari jilid 2 halaman 111 dalam
kitab al-Jana’iz (jenazah-jenazah), hadits serupa juga dapat
ditemukan dalam kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 871
kitab al-Jana’iz)
Kedua: Sewaktu
Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulallah dan berbincang-bincang tentang
tempat ibadah (gereja) yang pernah dilihat- nya di Habasyah, lantas Rasulallah
bersabda: “Mereka adalah kaum yang setiap ada orang sholeh dari mereka yang
meninggal niscaya mereka akan membangun tempat ibadah diatasnya dan
mereka punmenghadapkan mukanya ke situ. Mereka di akhirat kelak
tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”. (lihat
kitab Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid)
Ketiga: Dari
Jundab bin Abdullah al-Bajli yang mengatakan; aku mendengar lima hari sebelum
Rasulallah meninggal, beliau bersabda:“Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian terdapat
kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah.
Namun janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal tersebut pada
kalian”. (lihat kitab Shahih Muslim jilid 1 halaman 378)
Keempat: Diriwayatkan
dari Nabi bahwa beliau pernah bermunajat kepada Allah swt dengan mengatakan: “Ya Allah,
jangan Kau jadikan kuburku sebagai tempat penyembahan berhala.
Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (lihat
kitabMusnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 246)
Ini adalah riwayat-riwayat yang
dijadikan dalil para pengikut Wahabi/Salafi untuk mengatakan syirik terhadap
kaum Ahlusunah –termasuk di Indonesia– yang ingin membangun masjid di sisi
kubur para kekasih Allah (waliyullah). Di Indonesia para sekte Wahabi tadi
mengejek dan menghinakan kuburan para sunan (dari Wali Songo) yang
rata-rata di sisimakam mereka terdapat bangunan yang disebut
masjid. Lantas apakah benar bahwa hadits-hadits itu mengandung larangan
pembuatan masjid di sisi kubur para waliyullah secara mutlak? Disini kita akan
telaah dan kritisi cara berdalil kaum Wahabi dalam menggunakan hadits-hadits
shohih tadi sebagai sandarannya.
Ada beberapa poin yang harus
diperhatikan dalam mengkritisi dalil kaum Wahabi yang menjadikan hadits-hadits
diatas sebagai pelarangan pembangunan masjid di sisi makam
waliyullah secara mutlak:
a. Untuk
memahami hadits-hadits tadi maka kita harus memahami terlebih dahulu tujuan/niat kaum
Yahudi dan Nasrani dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia sholeh
mereka tadi. Dikarenakan melihat “tujuan buruk” kaum Yahudi dan Nasrani dalam
membangun tempat ibadah di sisi kuburan itu maka keluarlah larangan Rasulallah.
Dari hadits-hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan
Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan
hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah
ibadah). Kepada kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud
(sebagai kiblat dan beribadah yang ditujukan pada penghuni kubur itu –pen.).
Hakekat perilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan
itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasulallah Muhammad saw.
Jadi jika seorang muslim membangun
masjid disisi kuburan seorang waliyullah sekedar untuk mengambil berkah (baca
bab Tabarruk—pen.)dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan
shalat tidak ada niatansedikit pun untuk menyembah kubur
tadi maka hal ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits di atas tadi,
terkhusus hadits dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan
kaum Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur manusia sholeh dari mereka
sebagai tempat ibadah.
Al-Baidhawi dalam mensyarahi hadits
tadi menyatakan: “Hal itu dikarenakan kaum Yahudi dan Nasrani selalu mengagungkan kubur
para nabi dengan melakukan sujud dan menjadikannya sebagai kiblat (arah
ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum muslimin dilarang untuk melakukan
hal yang sama dikarenakan perbuatan ini merupakan perbuatan syirik yang nyata.
Namun jika masjid dibangun di sisi kuburan seorang hamba sholeh dengan
niatan ber-tabarruk (mencari berkah)maka
pelarangan hadits tadi tidak dapat diterapkan padanya”.
Hal serupa juga dinyatakan oleh
As-Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 41
dimana ia menyatakan: “Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan
yang mirip prilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi
mereka, baik dengan menjadikannya sebagai tempat sujud dan tempat
pengagungan (pada kuburnya) maupun arah kiblat dimana mereka akan
menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur) sewaktu
ibadah”.
b. Sebagian
hadits di atas menyatakan akan pelarangan membangun masjid “diatas” kuburan,
bukan disisi (disamping) kuburan. Letak perbedaan redaksi
inilah yang kurang diperhatikan oleh kaum Wahabi dalam berdalil.
c. Begitu
juga tidak jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) dalam hadits
itu menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak
sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab
Shahihnya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana
beliau mengumpulkan hadits-hadits itu ke dalam topik “Bab apa yang
dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa
yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal
itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayak- nya dihindari,
bukan mutlak haram.
Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat
as-Saniyah halaman 427 disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi
dalam menjelaskan hadits di atas tadi mengatakan: “Hadits tadi
diperuntukkan bagi orang yang hendak melakukan ibadah diatas kuburan
para nabi dengan niat untuk mengagungkan (menyembah) kubur
mereka. Ini terjadi jika posisi kuburan itu nampak (menonjol .red) dan terbuka.
Jika tidak maka melaksanakan shalat di situ tidak haram hukumnya”.
Begitu pula apa yang dinyatakan oleh
salah seorang ulama Ahlusunah lain yang bermadzhab Hanafi yang bernama Abdul
Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh ast-Tsaniyah jilid 2
halaman 631. Ia menyatakan:
“Jika sebuah masjid dibangun di sisi
kuburan (makam) orang sholeh ataupun di samping kuburannya
yang hanya berfungsi untuk mengambilberkahnya saja, tanpa ada
niatan untuk mengagungkannya (maksud:menyembahnya) maka hal itu
tidak mengapa. Sebagaimana kuburan Ismail as terletak di Hathim di dalam
Masjidil Haram dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat untuk
melaksanakan shalat”.
Allamah Badruddin al-Hautsi pun
menyatakan hal serupa dalam kitabZiarah al-Qubur halaman 28: “Arti
dari mejadikan kuburan sebuah masjid adalah seseorang menjadikan kuburan
sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya dilaksanakan peribadatan”.
d. Bahkan
terbukti bahwa at-Tabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir jilid 3
halaman 204 menyatakan bahwa di dalam masjid Khaif (di Mina
dekat Makkah .red) terdapat delapan puluh makam para nabi,
padahal masjid itu telah ada semenjak zaman Salaf Sholeh. Lantas kenapa para
Salaf Sholeh tetap mempertahankan berdiri tegaknya masjid tersebut. Jika itu
merupakan perbuatan syirik (haram) maka selayaknya sejak dari dulu telah dihancurkan
oleh Rasulallah besrta para sahabat mulai beliau.
Dalil lain yang dijadikan oleh kaum
Wahabi/Salafi –terkhusus Ibnu Qoyyim al-Jauziyah– adalah kaidah Sadd
adz-Dzarayi’ dimana kaidah itu menyatakan: “Jika sebuah
perbuatan secara dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun
sunah, namun dengan melalui perbuatan itu menjadikan seseorang mungkin akan
terjerumus kedalam perbuatan haram maka untuk menghindari hal buruk
tersebut –agar orang tadi tidak terjerumus ke dalam jurang
tersebut– perbuatan itupun lantas dihukumi haram”. (lihat
kembali kitab A’lam al-Muwaqi’in jilid 3 halaman 148).
Dalil di atas itu secara ringkas dapat
kita jawab bahwa; Dalam pembahasan Ushul Fikih disebutkan “Hanya
mukadimah untuk pelaksanaan perbuatan wajib yang menjurus secara langsung kepada
kewajiban itu saja yang juga dihukumi wajib” seperti kita tahu
kewajiban wudu’ karena ia merupakan mukadimah langsung dari shalat yang wajib.
Begitu juga dengan “mukadimah yang menjurus langsung kepada
hal haram, hukumnya pun haram”, jadi tidak mutlak berlaku untu
semua mukadimah. Atas dasar ini maka membangun masjid disisi kuburan manusia
mulia (para nabi atau waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirikmaka
tidak menjadi apa-apa (boleh). Dan terbukti mutlak bahwa mayoritas mutlak
masyarakat muslim disaat melakukan hal tersebut dengan niatan
penghambaan terhadap Allah (tidak untuk menyekutukan
Allah/Syirik).
Kalaupun ada seorang muslim yang
berniat melakukan syirik, itu merupakan hal yang sangat jarang (minim) sekali
(dan dosanya ditanggung orang ini karena kita tidak bisa mengharam kan
pembangunan masjid disisi kuburan disebabkan perbuatan perorangan/
individu ini–pen).
Dalil inti yang dapat dijadikan
argument diskusi dengan pengikut Wahabi dalam masalah pelarangan membangun
masjid di sisi makam para manusia Sholeh adalah ayat dan perilaku Salaf Sholeh.
Berikut ini akan kita sebutkan beberapa dalil saja untuk meringkas pembahasan.
Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi
disebutkan: “Ketika orang-orang itu ber-selisih tentang urusan mereka, orang-orang
itu berkata: “dirikanlah sebuah bangunan diatas (gua) mereka,
Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. orang-orang yang berkuasa atas
urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah
peribadatan diatasnya”.
Jelas sekali bahwa mayoritas
masyarakat ahli tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid
disisi makam para penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu kaum Wahabi pun sepakat
dengan kaum muslimin lainnya bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab cerita
yang hanya begitu saja menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu
tanpa memuat ajaran untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah
pembuatan masjid di sisi makam Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka
pasti Allah swt menyindir dan mencela hal itu dalam lanjutan kisah al-Qur’an
tadi, karena syirik adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun
terbukti Allah swt tidak melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara
tidak langsung (sindiran).
Atas dasar itu pula terbukti para
ulama tafsir Ahlusunah menyatakan bahwa para penguasa kala itu adalah
orang-orang yang bertauhid kepada Allah swt., bukan kaum musyrik
penyembah kuburan (Quburiyuun). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir al-Kassyaf jilid 2 halaman
245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib jilid 21 halaman
105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhithdalam menjelaskan ayat
21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir Abi
Sa’ud jilid 5 halaman 215.
Sebagai penutup akan kita lihat
perilaku Salaf Sholeh yang dalam hal ini diwakili oleh Abu Jundal salah
seorang sahabat mulia Rasulallah. Para Ahli sejarah menjelaskan peristiwa yang
dialami oleh Abu Jundal dengan menyatakan: “Suatu saat, sepucuk surat
Rasulallah sampai ke tangan Abu Jundal. Kala surat itu sampai, Abu Bashir (juga
sahabat mulia Rasulallah yang menemani Abu Jundal .red) tengah
mengalami sakaratul-maut (naza’). Beliau meninggal dengan
posisi menggenggam surat Rasulallah. Kemudian Abu Jundal mengebumikan
beliau (Abu Bashir .red)di tempat itu dan mem- bangun masjid di atasnya”. Kisah
ini dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu
Asakir jilid 8 halaman 334 dan atau kitab al-Isti’ab jilid
4 halaman 21-23 karya Ibnu Hajar.
Apakah mungkin seorang sahabat
Rasulallah seperti Abu Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu
syirik, mengapa Rasulallah saw. sendiri atau para sahabatnya tidak menegurnya? Apakah
Rasulallah dan sahabat-sahabat lain nya tidak tahu akan peristiwa itu?
Jika mereka tahu, kenapa mereka tetap membiarkannya melakukan kesyirikkan?
Jelas bahwa membangun masjid di sisi kuburan merupakan hal yang
diperbolehkan oleh Islam sesuai dengan dalil ayat
al-Qur’an dan prilaku Salaf Sholeh, hukumnya tidak seperti yang diklaimkan oleh
kelompok Wahabi yang berkedok Salafi itu. Wallahu A’lam.
Dengan demikian
golongan Wahabi/Salafi –sebagaimana yang telah dikemukakan di buku ini–
tidak bisa membedakan antara ibadah danta’dzim (penghormatan
tinggi) atau antara ibadah dan tabarruk pada
Rasulallah atau pada orang sholeh, antara ibadah dan tawassul pada
Rasulallah atau pada orang sholeh dan lain sebagainya. Golongan
Wahabi ini tidak bisa memahami tolak ukur Tauhid dan Syirik serta memahami
ayat-ayat ilahi dan sunnah Rasulallah secara tekstual dan literal saja tanpa
melihat motif dan makna yang dimaksudkan dalam ayat Ilahi atau Sunnah
Rasulallah saw. tersebut.
Begitu juga kalau kita lihat dimasjid
Nabawi Madinah, didalamnya masjid ini ada kuburan manusia yang termulia yaitu
Rasulallah saw. dan kuburan Sayyidinaa Abubakar dan Sayyidinaa Umar bin Khattab
[ra] yang mana kaum muslimin sholat disamping, dibelakang, dimuka kuburan yang
mulia ini. Kuburan ini –walaupun sekarang sekelilingnya diberi pagar
besi– letaknya malah bukan disisi masjid tetapi didalam masjid
Nabawi. Begitu juga kuburan Nabi Ismail a.s di Hathim di
dalam Masjidil Haram Makkah.
Jutaan muslimin yang berebutan
untuk bisa sholat disamping kiri dan kanan atau dimuka kuburan Nabawi ini dan
di Hathim didalam Masjidil Haram Makkah. Kalau memang itu perbuatan syirik dan haram tidak
mungkin dilaksanakan oleh jutaan muslimin yang sholat di tempat-tempat ini
–baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam– serta dibiarkan oleh para
ulama-ulama pakar sedunia termasuk disini ulama-ulama Wahabi yang ada di
Saudi Arabia. Tidak lain semuanya bukan termasuk beribadah kepada kuburan
(yakni tidak ada keniatan untuk beribadah kepada kuburan melainkan hanya
pengambilan barokah/tabarruk pada tempat yang mulia itu—pen.) dan bukan
perbuatan haram. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar