Salah satu hal yang sangat dibenci dan diharamkan oleh kaum Wahabi/ Salafi adalah memberi penerangan terhadap kuburan. Lepas dari apakah fungsi dari pemberian penerangan tersebut, namun ketika mereka ditanya tentang boleh atau tidaknya memberikan penerangan tersebut niscaya mereka akan menjawab secara mutlak Haram. Apalagi selain memberi penerangan atas kuburan juga ditambah dengan memberikan hiasan-hiasan pada makam para wali (kekasih) Allah maka menurut mereka adalah haram di atas haram.
Golongan pengingkar ini menyandarkan
pendapatnya dengan riwayat yang dinukil oleh an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya
jilid 4 halaman 95 atau kitab Mustadrak alas Shahihain jilid 1 halaman 530
hadits ke-1384 yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulallah saw.
bersabda: “Allah melaknat perempuan yang datang guna menziarahi kubur dan orang
yang menjadikan kubur sebagai masjid, juga buat orang yang meneranginya
(kuburan) dengan
penerang”.
Padahal jika kita melihat pendapat
ulama pakar Ahlusunah lainnya maka akan kita dapati bahwa mereka
membolehkannya, bahkan dalam beberapa hal justru sangat menganjurkannya. Lantas
apakah ulama Ahlusunah ini lupa atau lalai terhadap hadits terakhir diatas itu,
sehingga mereka menfatwakan yang bertentangan dengan hadits tersebut, bahkan
dengan tegas mereka menyatakan “boleh” untuk memberi penerangan dikuburan ?
Kami telah kemukakan sebelumnya
mengenai argumentasi hadits diatas itu, umpamanya pengakuan seorang alim yang
sangat diandalkan oleh kelompok Wahabi sendiri, Nashiruddin al-Albani dalam
kitabnya yang ber- judul Tahdzirul Masajid min it-Tikhodzil Qubur Masajid
halaman 43-44dimana ia mengatakan: “Hadits ini telah dinukil
oleh Abu Dawud dan selainnya. Namun dari sisi sanad (urutan
perawi) ternyata Hadits ini dihukumi lemah (Dha’if)”. )”. Al-Albani
kembali mengatakan: “Kelemahan hadits ini telah saya tetapkan dalam kitab al-Ahadits
adh-Dho’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayi’ fi al-Ummah”. Tetapi
nyatanya banyak dari kelompok Salafi/Wahabi sendiri tidak mengikuti wejangan
ulamanya ini dan mengharamkan menerangi kuburan dengan berdalil pada hadits
diatas itu.
Salah seorang yang menyatakan bahwa
hadits itu lemah adalah al-Muslim(pemilik kitab shahih).
Beliau dalam karyanya yang berjudul at-Tafshilmengatakan: “Hadits ini
tidak jelas. Masyarakat tidak berpegangan terhadap hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Shaleh Badzam. Orang itulah yang meriwayatkan hadits tadi dari Ibnu
Abbas. Tidak jelas apakah benar bahwa ia telah mendengarkan hadits tersebut darinya (Ibnu
Abbas)”.
Taruhlah bahwa analisa Nashiruddin
al-Albani (ahli hadits Wahabi) tadi tidak dapat kita terima, namun kembali
harus kita lihat argumentasi (dilalah) yang dapat kita lihat dari hadits
tersebut. Jika kita melihat kandungan haditsnya niscaya akan semakin terlihat
kelemahan hadits diatas tadi yang dijadikan landasan berpikir dan bertindak
kaum Wahabi/Salafi dan pengikutnya.
Pertama: Tentu
hadits itu tidak dapat diterapkan secara mutlak pada semua kuburan, umpamanya;.
kuburan para nabi, Rasulallah, waliyullah, imam dan para ulama sholeh. Dimana
mengagungkan kuburan mereka ini merupakan perwujudan dari “Ta’dhim
Sya’airallah” (pengagungan syiar-syiar Allah) yang tercantum dalam
ayat 32 surat al-Hajj dimana Allah swt berfirman: “Dan barangsiapa
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
hati”.
Bagaimana tidak, Shofa dan Marwah yang
hanya dikarenakan larian-larian kecil Siti Hajar (ibu nabi Ismail as.) yang
bukan nabi saja tergolong syiar Allah sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya
Shafa dan Marwah merupa kan sebagian dari syiar Allah” (QS
al-Baqarah: 158), apalagi jika itu adalah bekas-bekas penghulu para nabi dan
Rasul yang bernama Muhammad saw. Ataupun bekas-bekas para ulama dan kekasih
Allah (Waliyullah) dari umat Muhammad yang dinyatakan sebagai pewaris para nabi
dan ummat yang terbaik.
Kedua: Hadits
tadi hanya dapat diterapkan pada hal-hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali.
Terkhusus kuburan orang biasa yang jarangdiziarahi oleh keluarga dan
sanak familinya. Dengan memberi penerangan kuburan semacam itu niscaya akan
menyebabkan membuang-buang harta bukan pada tempatnya (Israf /Mubadzir) yang
tidak dianjurkan oleh Islam. Jadi pengharaman pada hadits tadi lebih
dikarenakan sesuatu yang lain, membuang-buang harta tanpa tujuan
(Mubadzir), bukan masalahpemberian penerangan itu
sendiri secara mutlak.
Namun jika penerangan kuburan tersebut
dipakai untuk menerangi kuburan orang-orang mulia –seperti contoh di atas tadi–
dimana kuburan tersebut sering dipakai orang untuk berziarah, membaca
al-Qur’an, membaca do’a, melaksanakan shalat dan kegiatan-kegiatan berfaedah
lain yang dihalalkan oleh Allah, maka dalam kondisi semacam ini bukan hanya
tidak dapat divonis haram atau makruh melainkan sangat dianjurkan, karena
menjadi perwujudan dari ungkapan Ta’awun ‘alal Birri wat Taqwa (tolong
menolong dalam kebaikan dan takwa) sebagaimana yang diperintahkan dan
dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dimana Allah berfirman: “Dan tolong
menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.
Jelas hal itu bukan termasuk kategori
dosa dan pelanggaran, karena jika itu kenyataannya maka mungkinkah Rasulallah
yang kemudian diikuti oleh para Salaf Sholeh melakukan dosa dan pelanggaran,
sebagaimana nanti yang akan kita singgung ?
Atas dasar itu pula akhirnya para
ulama Ahlusunah menyatakan “boleh” memberikan penerangan terhadap kuburan para
nabi, para Rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) lainnya. Azizi dalam
kitab Syarh Jami’ as-Shaghir jilid tiga halaman 198 dalam
rangka mensyarahi/menjelaskan makna hadits tadi mengatakan: “Hadits tadi
menjelaskan tentang ketidakperluan orang-orang yang masih hidup akan penerang.
Namun jika hal tadi menyebabkan manfaat (buat yang masih
hidup) maka
tidak menjadi masalah”.
Sanadi dalam mensyarahi kitab
Sunan an-Nasa’i jilid keempat halaman 95 mengatakan: “Larangan memberikan
penerangan tersebut dikarenakan penggunaan lampu untuk hal tersebut merupakan
membuang-buang harta tanpa ada manfaat yang berarti. Hal ini meniscayakan bahwa
jika terdapat manfaat di balik itu semua maka hal itu telah
mengeluarkannya dari pelarangan”.
Hal serupa juga dikemukakan oleh
Syeikh Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid
pertama halaman 381: “Memberi penerangan pada kubur merupakan perbuatan yang
dilarang. Hal itu dikarenakan membuang-buang harta. Kecuali jika di sisi
kuburan tersebut terdapat seorang yang masih hidup (yang memerlukan penerangan)
maka hukumnya tidak apa-apa”.
Dan terbukti bahwa penerangan
terhadap kuburan merupakan hal lumrah yang telah dilakukan oleh para Salaf
Sholeh semenjak dahulu. Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh
al-Baghdadi jilid 1 halaman 154 yang pengisah- annya
disandarkan kepada seorang syeikh penduduk Palestina, dimana ia menyatakan:
“Kulihat terdapat bangunan yang terang yang terletak di bawah tembok
Kostantiniyah. Lantas kutanyakan perihal bangunan tersebut. Mereka menjawab:
“Ini adalah makam Abu Ayyub al-Anshari seorang
sahabat Rasulallah”. Kudatang mendekati makam tersebut. Kulihat makam beliau
terletak di dalam bangunan tersebut dimana terdapat lampu yang tergantung
dengan rantai dari arah atas atap”.
Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid
14 halaman 383 menyatakan: “Salah satu kejadian tahun 386 Hijriyah adalah para
penghuni kota Basrah mengaku bahwa mereka telah berhasil menemukan kuburan tua
yang ternyata kuburan Zubair bin Awam. Setelah itu berbagai
peralatan penerangan dan penghias diletakkan (dalam pemakaman) dan lantas
ditunjuk seseorang yang bertugas sebagai penjaga. Dan tanah yang berada di
sekitarnya pun diwakafkan”.
Minimalnya, semua argument diatas
merupakan bukti bahwa pelarangan tersebut tidak sampai pada derajad haram,
paling maksimal hanyalah dapat divonis sebagai makruh (kurang disenangi) saja,
dan (makruh) inipun tidak mutlak. Terbukti ada beberapa hal yang
menyebabkan pemberian penerang- an itu dihukumi boleh (Ja’iz).
Malah jika itu termasuk kategoriTa’dhim Sya’ariallah atau Ta’awun
‘alal Birri wat Takwa –sebagaimana yang telah kita singgung di
atas tadi– maka tergolong sesuatu yang sangat ditekankan/ dianjurkan
Begitu juga hadits di atas tadi
–larangan pemberian lampu penerang– yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
bertentangan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas yang
pernah dinukil oleh at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid
3 halaman 372 bab ke-62 dimana Ibnu Abbas berkata: “Suatu malam Rasulallah memasuki
areal pemakaman(untuk berziarah). Saat itu ada seseorang yang menyiapkan
penerang buat beliau”. Ini membuktikan bahwa menerangi
pemakaman dengan lampu penerang tidak dapat dihukumi haram secara mutlak, namun
sangat bergantung terhadap tujuan dan faedah di balik hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar