A. PENDAHULUAN
Sesudah
Abu Thalib dan Khadijah meninggal dunia, Nabi melihat bahwa penganiayaan kaum
kafir Quraisy terhadap beliau daqn sahabat-sahabatnya makin menjadi-jadi,
di luar perikemanusiaan dan sopan santun. Beliau yakin bahwa kota
Makkah tidak sesuai lagi untuk dijadikan pusat dakwah.
Karena
itu, dibuatlah rencana akan menjalankan seruan agama Islam keluar
kota makkah, dengan harapan akan dapat menemukan tempat lain yang sesuai
untuk dijadikan pusat dakwah. Nabi mulai mengunjungi beberapa negeri sambil
memperkenalkan diri pokok-pokok agama Islam kepada penduduk.
Akan
tetapi, Nabi senantiasa juga menemui kesengsaraan dan kesulitan-kesulitan.
Sering kali beliau mendengar penduduk negeri-negeri itu mengejek : “Sekiranya
kata-kata yang diserukan itu baik, tentu keluarga dan kaum kerabatnyalah yang
menerima lebih dahulu”.
Akhirnya
sampailah Nabi bersama Zaid bin Tsabit di negeri Thaif. Negeri Thaif terkenal
berhawa sejuk dan keramahan penduduknya terhadap tamu yang datang.
Di
Thaif Nabi menyeru orang-orang terkemuka di kota itu agar menyembah kepada
Allah SWT. Penduduk Thaif menolak sambil mengusir kedatangan Nabi. Mereka
mencaci maki, mempersorakkan dan melempari Nabi dengan batu, Nabi menderita
luka-luka. Dan bagaimanakah perjuangan Nabi saw selanjutnya di kota Thaif akan
kami bahas di dalam makalah ini.
B. PEMBAHASAN
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim, Abdullah ibnu
Umar Radhiyallahu Anhuma berkata: “Barangsiapa yang ingin meniru,
hendaklah ia meniru perjalanan orang yang sudah mati, yaitu perjalanan para
sahabat Nabi Muhammad SAW, karena mereka itu adalah sebaik-baik ummat ini, dan
sebersih-bersihnya hati, sedalam dalamnya ilmu.
Pengetahuan, dan seringan-ringannya penanggungan.
Mereka itu adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi para
sahabat NabiNya SAW dan bekerja untuk menyebarkan agamaNya. Karena itu,
hendaklah kamu mencontohi kelakuan mereka dan ikut perjalanan mereka. Mereka
itulah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang berdiri di atas jalan lurus,
demi Allah yang memiliki Ka’bah!”[1]
Taif satu Bandar yang terletak kurang lebih 60 KM dari
Mekah. Ia merupakan satu kawasan bukit. Dari atas bukit Taif, kita bisa melihat
Bandar Mekah. Hawa di sini dingin. Bukit ini menjadi saksi peritnya Nabi berdakwah
di bumi ini. Malaikat pernah meminta izin untuk mengambil salah satu bukit ini
untuk dihempapkan kepada penduduk Taif.
Tempat Nabi berhenti bermunajat di dirikan sebuah
masjid. Ia diberi nama Masjid Kuu’, maksudnya masjid siku. Ia mengambil nama
tersebut dengan keadaan Nabi bermunajat dengan sikunya dalam keadaan luka-luka.
Masjid ini sudah tidak digunakan lagi. Ia dipagar oleh Kerajaan Arab
Saudi dan coba mengatakan bahwa tempat ini bukan tempatnya Nabi
bermunajat, tetapi penduduk Taif mengatakan bahwa inilah tempatnya lantaran
tempat inilah merupakan kawasan yang tidak jauh dari Bustan as-Thaqif tempat
Nabi bertemu dengan pembesar kaum.
Dan tidak jauh dari sana terdapat Masjid Abdullah Ibn
Abbas. Sahabat Abdullah bin al-Abbas r.a, utusan dakwah Nabi bagi penduduk
Taif. Makamnya tidak jauh dari masjid ini. Beliau terus duduk di sini
membimbing penduduk Taif hinggalah kewafatannya.
Perjalanan ke Dakwah Rasulullah ke Thaif
Bukhari meriwayatkan dari Urwah, bahwa Aisyah ra.
isteri Nabi SAW bertanya kepada Nabi SAW katanya: ‘Adakah hari lain yang engkau
rasakan lebih berat dari hari di perang Uhud?’ tanya Aisyah ra. ‘Ya, memang
banyak perkara berat yang aku tanggung dari kaummu itu, dan yang paling berat
ialah apa yang aku temui di hari Aqabah dulu itu. Aku meminta perlindungan
diriku kepada putera Abdi Yalel bin Abdi Kilai, tetapi malangnya dia tidak
merestui permohonanku! ‘Aku pun pergi dari situ, sedang hatiku sangat sedih, dan
mukaku muram sekali, aku terus berjalan dan berjalan, dan aku tidak sadar
melainkan sesudah aku sampai di Qarnis-Tsa’alib. Aku pun mengangkat kepalaku,
tiba-tiba aku terlihat sekumpulan awan yang telah meneduhkanku, aku lihat lagi,
maka aku lihat Malaikat jibril alaihis-salam berada di situ, dia menyeruku:
‘Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaummu
tadi, dan apa yang dijawabnya pula. Sekarang Allah telah mengutus kepadamu
bersamaku Malaikat yang bertugas menjaga bukit-bukit ini, maka perintahkanlah
dia apa yang engkau hendak dan jika engkau ingin dia menghimpitkan kedua-dua
bukit Abu Qubais dan Ahmar ini ke atas mereka, niscaya dia akan melakukannya!‘
Dan bersamaan itu pula Malaikat penjaga bukit-bukit
itu menyeru namaku, lalu memberi salam kepadaku, katanya: ‘Hai Muhammad!’
Malaikat itu lalu mengatakan kepadaku apa yang dikatakan oleh Malaikat Jibril
AS tadi. ‘Berilah aku perintahmu, jika engkau hendak aku menghimpitkan kedua
bukit ini pun niscaya aku akan lakukan!’ ‘Jangan… jangan! Bahkan aku berharap
Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah
Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun… !’, demikian jawab Nabi SAW.
Musa bin Uqbah menyebut di dalam kitab ‘Al-Maghazi’
dari Ibnu Syihab katanya, bahwa Rasulullah SAW apabila pamannya, Abu Thalib,
meninggal dia keluar menuju ke Tha’if dengan harapan agar penduduknya akan
melindunginya di sana. Maka beliau menemui tiga pemuka Tsaqif, dan mereka itu
bersaudara, yaitu: Abdi Yalel, Khubaib dan Mas’ud dari Bani Amru. Beliau
menawarkan mereka untuk melindunginya serta mengadukan halnya dan apa yang
dibuat oleh kaumnya terhadap dirinya sesudah kematian Abu Thalib itu, namun
bukan saja mereka menolakbeliau, tetapi mereka menghalaunya dan memperlakukan
apa yang tidak sewajarnya.[2]
Abu Nu’aim memberitakan dengan lebih lengkap dari
Urwah bin Az-Zubair ra. katanya: Apabila Abu Thalib meninggal, maka semakin
bertambahlah penyiksaan kaum Quraisy ke atas Nabi SAW Maka beliau berangkat ke
Tha’if untuk menemui suku kaum Tsaqif dengan harapan penuh, bahwa mereka akan
dapat melindunginya dan mempertahankannya. Beliau menemui tiga orang dari
pemuka suku kaum Tsaqif, dan mereka itu pula adalah bersaudara, yaitu: Abdi
Yalel, Kubaib dan Mas’ud, semua mereka putera-putera dari Amru, lalu beliau
menawarkan dirinya untuk diberikan perlindungan, di samping beliau mengadukan
perbuatan jahat kaum Quraisy terhadap dirinya, dan apa yang ditimpakan ke atas
pengikut-pengikutnya.
Maka berkata salah seorang dari mereka: Aku hendak
mencuri kelambu Ka’bah, jika memang benar Allah mengutusmu sesuatu seperti yang
engkau katakan tadi?! Yang lain pula berkata: Demi Allah, aku tidak dapat
berkata kata kepadamu, walau satu kalimah sesudah pertemuan ini, sebab jika
engkau benar seorang Utusan Allah, niscaya engkau menjadi orang yang tinggi
kedudukannya dan besar pangkatnya, tentu tidak boleh aku berbicara lagi
kepadamu?! Dan yang terakhir pula berkata: Apakah Allah sampai begitu lemah
untuk mengutus orang selain engkau? Semua kata-kata pemuka Tsaqif kepada
RasuluUah SAW itu tersebar dengan cepat sekali kepada suku kaumnya, lalu mereka
pun berkumpul mengejek-ngejek beliau dengan kata-kata itu.
Kemudian ketika beliau hendak pergi meninggalkan
Tha’if itu, mereka berbaris di tengah jalannya dua barisan, mereka mengambil
batu, lalu melempar beliau, setiap beliau melangkahkan kakinya batu-batu itu
mengenai semua tubuh beliau sehingga luka-luka berdarah, dan sambil mereka
melempar, mereka mengejek dan mencaci. Setelah bebas dari perbuatan suku kaum
Tsaqif itu, beliau terlihat sebuah perkebunan anggur yang subur di situ. Beliau
berhenti di salah satu pepohonannya untuk beristirahat dan membersihkan darah
yang mengalir dari kaki dan tubuhnya yang lain, sedang hatinya sungguh pilu dan
menyesal atas perlakuan kaum Tha’if itu.
Tidak lama kemudian terlihatlah Utbah bin Rabi’ah dan
Syaibah bin Rabi’ah yang baru sampai di situ. Beliau enggan datang menemui
mereka, disebabkan permusuhan mereka terhadap Allah dan RasulNya dan
penentangan mereka terhadap agama yang diutus Allah kepadanya. Tetapi Utbah dan
Syaibah telah menyuruh hamba mereka yang bemama Addas untuk datang kepada
beliau membawa sedikit anggur untuknya, dan Addas ini adalah seorang yang
beragama kristen dari negeri Niniva (kota lama dari Iraq). Apabila Addas datang
membawa sedikit anggur untuk beliau, maka beliau pun memakannya, dan sebelum
itu membaca ‘Bismillah!’ Mendengar itu Addas keheranan, kerana tidak pernah
mendengar orang membaca seperti itu sebelumnya.
‘Siapa namamu?’ tanya Nabi
SAW ‘Addas!’ ‘Dari mana engkau?’ tanya beliau lagi. ‘Dari negeri Niniva!’ jawab
Addas. ‘Oh, dari kota Nabi yang saleh, Yunus bin Matta!’ Mendengar jawaban Nabi
itu, Addas menjadi lebih heran dari mana orang ini tahu tentang Nabi Yunus bin
Matta? Dia tidak sabar lagi hendak tahu, sementara tuannya Utbah dan Syaibah
melihat saja kelakuan hambanya yang terlihat begitu mesra dengan Nabi SAW itu.
‘Dari mana engkau tahu tentang Yunus bin Matta?!’ Addas keheranan. ‘Dia seorang
Nabi yang diutus Allah membawa agama kepada kaumnya,’ jawab beliau. Beliau lalu
menceritakan apa yang diketahuinya tentang Nabi Yunus AS itu, dan sudah menjadi
tabiat beliau, beliau tidak pernah memperkecilkan siapa pun yang diutus Allah
untuk membawa perutusannya. Mendengar semua keterangan dari Rasulullah SAW
Addas semakin kuat mempercayai bahwa orang yang berkata-kata dengannya ini
adalah seorang Nabi yang diutus Allah. Lalu dia pun menundukkan kepalanya
kepada beliau sambil mencium kedua tapak kaki beliau yang penuh dengan darah
itu.
Melihat kelakuan Addas yang terakhir ini, Utbah dan
Syaibah semakin heran apa yang dibuat sang hamba itu. Apabila kembali Addas
kepada mereka, mereka lalu bertanya: ‘Addas! Mari ke mari!’ panggil mereka.
Addas datang kepada tuannya menunggu jika ada perintah yang akan disuruhnya.
‘Apa yang engkau lakukan kepada orang itu tadi?’ ‘Tidak ada apa-apa!’ jawab
Addas. ‘Kami lihat engkau menundukkan kepalamu kepadanya, lalu engkau menciurn
kedua belah kakinya, padahal kami belum pemah melihatmu berbuat seperti itu
kepada orang lain?!’ Addas mendiamkan diri saja, tidak menjawab. ‘Kenapa diam? Coba
beritahu kami, kami ingin tahu?’ pinta Utbah dan Syaibah. ‘Orang itu adalah
orang yang baik, dia menceritakan kepadaku tentang seorang Utusan Allah atau
Nabi yang diutus kepada kaum kami, ‘jawab Addas. ‘Siapa namanya Nabi itu?’
‘Yunus bin Matta’ jawab Addas lagi. ‘Lalu?’ ‘Dia katakan, dia juga Nabi yang
diutus!’Addas berkata jujur. ‘Dia Nabi?!’ Utbah dan Syaibah tertawa
terbahak-bahak, sedang Addas mendiamkan diri melihatkan sikap orang yang
mengingkari kebenaran Allah. ‘Eh, engkau bukankah kristen?’ ‘Benar,’jawab
Addas. ‘Tetaplah saja dalam kristenmu itu! Jangan tertipu oleh perkataan orang
itu!’ Utbah dan Syaibah mengingatkan Addas. ‘Dia itu seorang penipu, tahu
tidak?!’ Addas terus mendiamkan dirinya . Sesudah itu, Rasuluilah SAW kembali
ke Makkah dengan hati yang kecewa sekali.[3]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ashbahani, Imam Abu
Na’im.
2009. Hilyatul
Auliya Wa Thabaqat Ashfiya, Darul
Hadis : Mesir
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bari.
Baihaqi, Dala’ilun-Nubuwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar