A.
PENDAHULUAN
Pada abad kelima hijriyah,
lahirlah seorang tokoh tasawuf besar yaitu Al Ghozali, beliau adalah seorang
yang mampu memadukan tasawuf dengan filsafat secara seimbang.
Masa itu adalah masa dimana banyak sekali terjadi fanatisme mazhab
yang berlebihan, dan menuduh bid’ah serta kafir setiap orang yang tidak mau
menerima faham dan keyakinannya.[1]
Beliau juga merupakan sosok manusia yang mempunyai kharisma yang mampu
memunculkan sebuah fenomena tersendiri ditengah kondisi keberagamaan manusia yang
sedang penuh dengan konflik internal. Ditengah perseteruan dahsyat yang terjadi
antara kelompok sunni serta kelompok sufi, ia hadir dengan upaya pencarian
jalan damai antara keduanya.
Dengan karyanya yang monumental yaitu Al Ihya Ulum Al Din, ia berupaya
menyuguhkan kepada masyarakat di masanya bahwa ternyata syariat tidaklah
bertentangan dengan tasawuf. Pada jilid I dan II ia memulai menulis buku
tersebut dengan membahas ilmu-ilmu syariat yang kemudian pada jilid ke III dan
IV ia mulai masuk pada ajaran tasawuf dimana ma’rifat dan hakikat merupakan
inti dari ajaran tasawuf.
Upaya mendamaikan kedua kelompok yang berseteru ternyata cukup efektif dan
mampu mengeliminir perseteruan yang ada, bahkan mengantarkan Imam Ghazali
sebagai tokoh agama yang mempunyai corak yang unik dibanding tokoh-tokoh agama
semasanya. Salah satu keunikan yang beliau lakukan adalah pernah masuk ke dalam
golongan kaum zindiq demi mengetahui seluk beluk kaum zindiq itu sendiri.
Begitu besar pengorbanan Al Ghazali demi kemajuan keimanan dan
keislamannya, terutama keilmuannya. Beliau juga menguasai ilmu filsafat, ilmu
kalam, ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya. Dalam sebuah tulisan, Al Ghazali
berkata “ Sejak muda hingga saat ini, ketika usiaku menjelang lima puluh tahun,
ku arungi ombak lautan yang dalam ini, kutemukan berbagai rahasia aliran semua
kelompok. Aku tidak meninggalkan kecuali aku telah mentelaah kebatiniahannya”.
Pada tempat lain menulis “Aku telah mencari ilmu bukan untuk Allah. Maka ilmu
itu tidak mau kecuali bila ilmu itu untuk Allah” .[2]
Perjalanan kerohanian Ghazali bermula ketika terjadi pertentangan batin
yang begitu dahsyat yang terjadi dalam dirinya tatkala menjabat sebagai guru
besar di bidang ilmu agama pada masa sultan Saljuk. Dengan jabatan yang
disandangnya saat itu membuat Ghazali terlena kepada kehidupan dunia. Kemudian
beliau memutuskan untuk meninggalkan seluruh harta bendanya termasuk istri dan
anaknya guna berkholwat dengan Tuhan untuk memperdalam pengamalan dan
pengalaman keberagamaan ditengah penyakit yang menerpanya.
Dalam ajaran tasawuf Al Ghazali yang sering dibincangkan adalah teori
ma’rifat dan mukasafah, yang keduanya bila ditempuh dengan kerelaan jiwa akan
mendapat merasakan kelezatan iman. Tingkatan ini yang menjadi prioritas para
ulama tasawuf (sufi) yang sering disebut wihdatul wujud. Dan untuk menjalani
segala rutinitas demi mendapatkan kelezatan iman, Al Ghazali telah menuliskan
beberapa karya antara lain Ihya Ulumuddin, Al Munqiz min Al Dholal dsb.
Pengaruh yang di timbulkan Al Ghazali sangat luas dalam perkembangan
tasawuf, bahkan juga berimbas pada kehidupan kerohanian yang ada di nusantarra,
yang dibawa oleh wali songo dan para ulama yang belajar dari luar negeri. Oleh
karena itu pada makalah ini penulis akan membahas mengenai Al Imam Al-Ghazali
ra dan pemikiran tasawufnya.
B. PEMBAHASAN
1.
Riwayat
Hidup Al Ghazali
Al Ghazali merupakan
ulama besar dalam bidang agama. Ulama yang banyak menghasilkan karya ini
bernama Abu Muhammad Al Ghazali, dilahirkan di kota Thur, Khurasan yaitu daerah
Persia pada tahun 450 H/1085 M. Al Ghazali juga terkenal dengan istilah
Ghazzali yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan orang tuanya
adalah memintal benang dari wol.[3]
Oleh ayahnya, Al Ghazali bersama saudaranya dititipkan kepada seorang
ulama tasawuf guna mendidiknya ketika kecil. Sedangkan untuk mencari ilmu-ilmu
yang lain, beliau belajar dari satu tempat ke tempat lain. Di Jurjan, beliau
mempelajari ilmu fikih dan bahasa arab. Kemudian di kota Nisabur, dekat thus.
Disini beliau belajar dari Imam Al Haramain (Al Juwaini) yang mengajar berbagai
Ilmu pengetahuan. Dengan tekun beliau memperdalam berbagai ilmu seperti logika,
ilmu kalam, dan ilmu-ilmu yang lain. Setelah itu beliau pindah ke kota baghdad
yang kemudian dikota inilah beliau mulai mengajarkan ilmu yang telah
dikuasainya.
Sekian lama
mengajarkan ilmunya, Al Ghazali mulai mashur dan semakin banyak orang yang
tertarik. Kemashuran beliau akhirnya didengar juga oleh Nizham Al Mulk yang
saat itu berada di bawah dinasti sultan Saljuk. Maka diangkatlah Imam Ghazali
sebagai guru besar pada Universitas yang dimiliki oleh Nizham Al Mulk. Kemudian
kedudukannya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan kemashurannya telah
mempengaruhi jiwanya akan cinta kepada kebendaan, mengharap penghormatan,
kemewahan dan harta benda. Tetapi pengaruh yang demikian itu tidak lama
mempengaruhi jiwanya. Lalu timbul pergolakan-pergolakan didalam hatinya yang
menyebabkan beliau sakit. Ketika dokter hendak menolongnya ia berkata bahwa
penyakitnya sukar disembuhkan karena penyakit beliau bukan berasal dari luar,
akan tetapi berasal dari dalam. Oleh karena itu segala obat untuk perbaikan
kondisi fisik Al Ghazali tidak membawa manfaat sama sekali.[4]
Oleh karena itu
beliau mencoba mengobati penyakitnya dengan kekuatan jiwanya sendiri.
Diobatinya penyakitnya dengan memohon pertolongan dari Allah SWT, memohon
bantuan dan pertolongan agar di sembuhkannya. Akhirnya berkat anugrah yang
diberikan Allah penyakinya pun sembuh, bahkan beliau mendapat ilham dan
petunjuk darinya. Hatinya menjadi tenang, sikapnya menjadi tabah serta
memperoleh kepastian tentang ilmu. Sejak itu beliau mulai berani meninggalkan
segala kemewahan harta kekayaan, kehormatanan dan keluarga yang ada di Bagdad.
Kemudian beliau mulai mengembara ke Suriah pada tahun 489H. sebelum pergi
beliau mewakafkan segala harta kekayaannya yang beliau peroleh di Bagdad. Dan
dalam pengembaraannya itu Al Ghazali pernah mengembara di Damaskus selama 11
tahun.
Di kota Damaskus
inilah beliau mula-mula melakukan pertobatannya dengan melakukan kholwat
I’tikaf, mensucikan diri membersihkan akhlaq dan budi pekerti dan selalu
berfikir akan Allah SWT. Selain itu Al Ghazali pernah juga menetap di
Yerussalem disini beliau banyak berkholwat di masjid baitul Maqdis, perjalanan
beliau pun sampai pada Mesir hingga Makkah dan Madinah untuk melakukan ibadah
Haji.
Pada masa
pengembaraannya, Al Ghazali sesekali pulang ke Bagdad guna menjenguk
keluarganya, tradisi semacam ini beliau lakukan secara terus menerus selama
dalam pengembaraan. Dan setelah sekian lama melaksanakan pengembaraan, akhirnya
Al Ghazali pun kembali lagi ke kampung halaman di Bagdad, sekali lagi perdana
mentri Nizam Al Mulk meminta Al Ghazali untuk menjadi guru besar lagi pada
Universitas Nizhamiyah pada tahun 500 H/1106 M.
Beliau termasuk
seorang tokoh yang disukai oleh orang-orang nasrani disebabkan karena beliau
dianggap sebagai seorang muslim yang paling sehat dengan orang kristen.[5]
Beliau termasuk orang yang menyelami ilmu sangat dalam dan menegakkan ibadah,
pada tanggal 15 desember 1111 M/ 505 H ia wafat.
2.
Latar Belakang Tasawuf Al Ghazali
Pada masa ia menjadi
mahasiswa, Al Ghazali sangat mendambakam mencari ilmu pengetahuan yang mutlaq
benar artinya pengetahuan yang pasti dan tidak bisa salah juga tidak diragukan sedikitpun.
Maka Imam Al Ghazali mulai melakukan penelitiannya pada filsafat guna meneliti
barangkali kebenaran mutlaq berada dalam disiplin ini. Dengan membaca
tulisan-tulisan berbagai macam cabang filsafat tanpa guru seorang pun, Al
Ghazali telah mampu menguasai ilmu filsafat dalam waktu yang sangat singkat.
Kemudian dari pembacaannya itu, hampir satu tahun ia lalui untuk merenungkan
apa yang telah dipadukannya hingga ia paham mana yang benar dan mana yang salah.[6]
Ia membagi filosof dalam tiga golongan yaitu, materialis (dahriyyuun),
naturalis (thabi’iyyuun), dan theis (ilahiyyuun). Kelompok materialis terdiri
dari filosof awal, menyangkal pencipta dan pengatur dunia dan yakin bahwa dunia
itu telah ada dengan sendirinya sejak dahulu, dan Al Ghazali selalu mengganggap
mereka tidak beragama. Sedangkan kelompok naturalis terpesona dengan keindahan
serta keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan
kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mereka mengakui suatu eksistensi
pencipta bijaksana, tetapi mereka menyangkal kerohanian dan keniscayaan jiwa
manusia. Kepercayaan kepada surga, neraka dan hari akhir mereka anggap sebagai
dongeng nenek moyang atau khayalan para ulama. Dan kemudian golongan theis,
kaum ini tergolong kepada para filsuf yang lebih modern seperti Socrates, Plato
dan Aristo teles. Meski mereka menyerang golongan materialis dan Naturalis dan
menelanjangi mereka dengan efektif sekali, Al Ghazali masih menganggap mereka
kafir dan menggunakan faham bid’ah.
Karena tidak puas dengan
filsafat, Akhirnya Al Ghazali beralih ke jalan tasawuf, karena dia yakin bahwa
para sufi dan orang-orang pencari kebenaran yang betul-betul mencapai tujuan.
Pendekatan Al Ghazali dengan jalan ini adalah melalui pendekatan intelektual.
Seperti di katakannya sendiri, “pengetahuan itu lebih mudah daripada kegiatan”.
Aku memulai dengan membaca buku-buku mereka dan mendapatkan pemahaman
intelektual yang menyeluruh tentang prinsip-prinsip mereka. Ia menyadari bahwa
para sufi bukanlah orang yang suka kata-kata (Ashab Al Aqwal) tetapi
orang yang nyata berpengalaman (Arhab Al Ahwal), dan yang perlu ia
lakukan ialah menghayati hidup berlatih dan mengesampingkan dunia. Kemudian ia
merasa bahwa yang paling utama dalam prinsip-prinsip itu hanya bisa dicapai
lewat pengalaman pribadi, luapan gairah dan suatu perubahan watak.
Setelah menganut
tasawuf, Al Ghazali mengabdikan dirinya dengan melakukan latihan-latihan sufi
dengan menyepi dan menyendiri (Riyadhoh). Dia menyibukkan diri untuk
memurnikan jiwanya dari kekejian, memperindahnya dengan kebajikan-kebajikan dan
mengisi jiwa itu dengan dzikir-dzikir kepada Allah SWT, sesuai dengan
pengetahuan yang didapatnya dari mempelajari tulisan-tulisan beberapa ahli
tasawuf. Dengan latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun yang
berturut-turut dilewatinya mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hebron, Hijaz,
Iraq,Thus. Ia maju pesat di jalan sufi. Banyak rahasia-rahasia yang berhasil
dibukukannya selama bertahun-tahun. Dan ia juga yakin sepenuhnya bahwa jalan
sufi jalan terbaik yang pantas dilalui oleh manusia. Sikap Al Ghazali terhadap
faham sufi tidak pernah berubah sampai akhir hayatnya.
3.
Kondisi Sosio-Cultural Masa Hidup
Al Ghazali
Untuk memahami pemikiran
Al Ghazali, khususnya tasawuf tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-cultural
dimana ia hidup akan mengantarkan pada sebuah penilaian yang kurang objektif.
Karena tidak dapat dipungkiri bahwa terbentuknya pemikiran seseorang tidak akan
terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan dan budaya disekitarnya.
Al Ghazali hidup
dimasa yang secara umum sedang mengalami kemunduran terutama aspek intelektual
dan moral yang sangat parah. Ia juga telah mencari kekuatan-kekuatan positif
untuk menghadang kehancuran itu, namun upaya itu sia-sia belaka. Sebab
menurutnya para tabib yang seharusnya menyembuhkan penyakit telah terkena wabah
penyakit tersebut.[7]
Apabila diruntut dari
rentang perjalanan sejarah Islam, maka kendati pun masa hidup Al Ghazali masih
berada pada periode klasik (650-1250 M) sudah masuk pada masa kemunduran atau
masa disintregasi (1000-1250 M)[8] .
Secara politis kekuatan pemerintahan Islam yang ketika itu dibawah dinasti
Abbasiyah sudah sangat lemah dan mundur karena terjadinya konflik-konflik
internal yang tidak kunjung usai.[9]
Kemunduran yang
terjadi pada masa hidup Al Ghazali hampir merata pada seluruh aspek kehidupan.
Dibidang sosial politik, Kerajaan Abbasiyah yang merupakan lambang bagi
persatuan umat telah sedemikian rapuh akibat lemahnya sistem kontrol dan
kendali setelah semakin luasnya wilayah kerajaan, makin meningkatnya ketergantungan
kerajaaan kepada tentara kerajaan, serta sistem manajemen keuangan yang tidak
efisien.[10]
Dibidang kebudayaan
dan peradaban, meski pernah mengalami masa keemasan pada masa sebelumnya, kini
mengalami kemunduran bahkan nyaris kehilangan kepribadiannya. Demikian pula
bidang ilmu-ilmu agama Islam dirasakan oleh Al Ghazali telah mati dalam jiwa
umat islam sehingga perlu dihidupkan kembali sebagaimana tercermin dalam
suatau karyanya Ihya’ Ulumuddin.
Dibidang pendidikan
dan kejiwaan umat mengalami kemiskinan intelektual, spiritual dan moral. Disorientasi
kehidupan telah melanda umat, sehingga tarikan segi-segi keduniaan dalam
berbagai aspek kehidupan telah banyak mengalahkan segi keakhiratan. Karena itu
dalam bidang agama yang menuntut pengamalan dan penghayatan secara intens,
tidak jarang justru dimanfaatkan orang untuk mencari popularitas, pangkat dan
jabatan disekitar pusat kekuasaan.[11]
Menghadapi dunia
islam saat itu yang menghadapi penuh dengan fragmentasi sosial, politik dan
alam pikiran yang tidak terkontrol, serta dibarengi dengan merebaknya
penyempitan faham dan kurangnya sikap tasamuh sesama muslim, Al Ghazali dengan
keberanian dan sikap kritisnya mengambil keputusan untuk menentukan pilihan
dengan sikap realistis dan mantap, dia menempuh tasawuf sebagai pondasi
teologisnya.[12]
4.
Karakteristik
Tasawuf Al Ghazali
Tasawuf yang dibangun
oleh Al Ghazali mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tasawufnya Abu
Yazid Al Bustami atau Abu Mansur Al Hallaj yang lebih cenderung kepada rasa
cinta kepada Tuhan yang kemudian meninggalkan segalanya. Karakter tasawuf Al
Ghazali adalah tasawuf yang religius sunni yang bertumpu pada kesucian rohani
serta keluhuran budi yang merupakan perwujudan paling otentik dan
valid dari religiusitas seseorang. Tasawuf yang sunni inilah kemudian diterima
oleh kalangan luas dan akhirnya mempunyai pengaruh yang begitu kuat di dunia
Islam.
Al Ghazali juga telah
berhasil menghubungkan rumusan-rumusan dogmatic dan formal dari ilmu kalam
ortodoks dengan ajaran agama yang dinamis. Sehingga beliaulah pelopor yang
telah berhasil dan mampu menghidupkan kembali dua disiplin tersebut dengan
semangat wahyu yang orisinil. Artinya dia telah memberi pelajaran yang sangat
berharga kepada golongan skolastik murni serta mampu
melenturkan watak dogmatis ajaran agama dan memasukkan dimensi yang vital
diantara segi-segi lahiriah (eksoterik) dengan segi batiniah (esoteric)[13].
Dari sekian panjang
perjalanan rohani yang telah dilalui oleh Al Ghazali, ada beberapa ajaran yang
telah dirumuskannya dan terkodifikasi. Pertama, Ajaran itu adalah Ma’rifat, Al
Ghazali menggunakan tasawuf untuk mencari apa yang diyakininya sebagai
kebenaran. Kebenaran yang dicari itu didapatkan melalui pengalaman batin (dzauq).
Dan dengan latihan-latihan yang panjang dan berat, didapatlah ilham yang
menerangi hati dari Allah SWT sehingga dengan penerangan itu tersingkaplah
kebenaran yang hakiki. Orang jika telah memperoleh kebenaran yang hakiki inilah
kemudian disebut dengan orang yang telah ma’rifat[14].
Ilmu ma’rifat menurut
Al Ghazali, bukanlah didapat semata-mata dengan akal. Karena ilmu ma’rifat
merupakan ilmu yang sebenarnya mengenal tuhan, mengenal hadrat
rububiyah. Wujud tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada yang wujud
melainkan Allah dan perbuatannya. Allah dan perbuatannya adalah dua bukan satu.[15]
disinilah Al Ghazali berbeda dengan Al Hallaj dan ulama sufi lainnya yang
berpengaruh. Wujudnya itu adalah kesatuan alam semesta (wihdatul wujud). Alam
seluruhnya ini adalah makhluq dan bukti tentang kekuasaan dan kebesarannya
apabila telah jelas dalam hati ma’rifat akan tuhan dalam hatinya akan hakikat
ketuhanan dan sifat-sifat serta af’al-af’al dan nikmat
rahmat yang terkandung dalam kejadian dunia dan akhirat, itulah kebahagiaan
yang sejati.
Sarana ma’rifat
seorang sufi adalah qalbu, bukan perasaan dan bukan pula akal budi. Qalbu,
menurut Al Ghazali bukanlah bagian tubuh yang dikenal terdapat pada sebelah
kiri dada seorang manusia, tapi ia adalah percikan rohaniah ketuhanan yang
merupakan realitas hakikat manusia, terkadang ia berkaitan dengan segumpal
daging manusia, namun akal budi belum mampu memahami perkaitan antar keduanya.[16]
Masih menurutnya, kalbu bagaikan cermin, sementara ilmu adalah pantulan gambar
realitas yang terdapat didalamnya. Jelasnya, jika cermin qalbu tidak bening,
maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Dan yang membuat cermin
qalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara ketaatan kepada Allah
serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat qalbu
berlinang dan cemerlang.
Kedua, tingkatan
manusia. Menurut Al Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Akan senantiasa terdapat orang yang awam
(manusia biasa) dan orang yang khowas (manusia dengan kelebihan kecerdasan).
Maka kemudian beliau membagi beberapa tingkatan manusia untuk mencapai tingkat
keimanan dan ketaqwaan.[17]
a.
Tingkatan orang awam. Orang awam ini mempercayai kabar berita yang dibawa
oleh orang yang dipercayainya.
b.
Iman orang alim. Dia mendapatkan keimanan dari membandingkan, meneliti dan
memeriksa dengan segala kekuatan dan intelektualitasnya.
c.
Iman orang arifin. Dia akan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri
akan kebenaran itu dengan tidak ada sekat-sekatnya lagi.
Ketiga, kebahagiaan.
Menurut Al Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi sebagai
buah pengenalan terhadap Allah[18].
Jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu beserta amal sebagaimana beliau telah
menyatakan, “Seandainya anda memandang kearah ilmu, niscaya anda akan melihatnya
bagaikan begitu lezat sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya.
Andapun niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiaan,
dan juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun hal ini mustahil
tercapai kecuali dengan ilmu dan amal.
Al Ghazali
mendasarkan teori kebahagiaan kepada sebuah analisa psikologis, dan ia
menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari
semacam kelezatan dan kebahagiaan. Kebahagiaan setiap sesuatu adalah kelezatan
dan keterbuaian. Maka kelezatan sesuatu itu hendaklah selaras dengan tabiatnya.
Adapun kelezatan khusus qalbu adalah pengenalan terhadap Allah. Kelezatan itu
sendiri merupakan buah dari pengetahuan. Sebab seandainya seseorang mengetahui
sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui, niscaya dia menjadi gembira. Begitu
pula pengetahuan terhadap Allah yang melekat dalam qalbu, niscaya akan membuat
gembira seorang yang arif serta membuatnya gelisah menantikan penyaksiannya.
Semakin banyak
pengetahuan yang dapat diserap, semakin besarlah tingkat kepuasan dan bertambah
mendalamlah rasa kebahagiaannya. Itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmu
pengetahuannya lebih merasa berbahagia daripada orang yang yang kurang
pengetahuan, semakin tinggi ma’rifatullah seseorang mengenai Tuhan maka ia akan
semakin bahagia[19].
Sehingga kesempurnaan
hidup manusia dapat diperoleh dengan mengaktualisasikan kesempurnaan batin. Dan
kesempurnaan batin hanya dapat ditempuh dengan jalan tasawuf dan tidak cukup
dengan melalui jalan filsafat.[20]
Dan disini jelaslah pandangan Al Ghazali terhadap filsafat, menurut beliau
filsafat bukanlah sesuatu yang final. Filsafat merupakan suatu upaya manusia
yang tidak pernah dapat dihentikan karena memang tidak pernah selesai.
Tasawuflah yang dapat mengakhiri ketidakpastian pencarian filsafat tersebut.
Orientasi umum
pemikiran Imam Al Ghazali mengarah kepada konsep pengembangan kesempurnaan
manusia. Suatu konsep kesempurnaan yang terlukis dalam term insan kamil atau
dalam term lain dinyatakan sebagai manusia taqwa.[21]
5.
Pengaruh
Tasawuf Al Ghazali
Banyak sekali ilmu yang telah
disumbangkan oleh Al Ghazali dalam rangka menambah hasanah keilmuan agama
islam. Hasil karya Al Ghazali mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam
perilaku keberagamaan umat muslim setelahnya. Ini terbukti dari banyak hasil
karyanya yang telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa sebagai respon
positif atas ajaran-ajaran yang disampaikannya.
Al Ghazali juga dapat di
golongkan sebagai mujaddid dibidang agama karena beliau
telah memberikan suatu kontribusi yang sangat spektakuler berkenaan dengan
terobosannya dibidang tasawuf. Dengan formulasi tasawufnya itu, ia
mampu menyatukan pandangan atau setidaknya mendekatkan persepsi antara golongan
ahlu sunnah dengan golongan tasawuf itu sendiri sehingga memudarnya truth
claim dari masing-masing kelompok yang sebelumnya telah sampai pada
derajat pembid’ahan atau bahkan pengkafiran.
Hasil renungan-renungan brilian
Al Ghazali tidak hanya di konsumsi oleh kaum muslimin saja, akan tetapi banyak
juga orang-orang nasrani termasuk para pendeta besar pada abad pertengahan yang
mengambil referensi dari hasil pemikiran dan renungan beliau. Ini merupakan
pertanda bahwa kebenaran-kebenaran yang di sampaikan oleh Al Ghazali merupakan
kebenaran universal yang dapat diterima tidak saja oleh
kalangan muslim, akan tetapi juga dapat diterima oleh kalangan non muslim.
Sedang secara kewilayahan,
kontribusi Al Ghazali dalam pemahaman tentang konsepsi tasawuf tidak saja
berkembang di dearah Timur Tengah saja. Akan tetapai jiwa atau semangat ajaran
beliau juga masih terasa sangat kental di Indonesia. Ini di buktikan dengan
banyaknya pesantren di Indonesia yang memasukkan materi kajian Ihya’ Ulum Al
Din dalam materi dasarnya meskipun mereka tidak menyatakan sebagai
tasawuf sunni.[22]
Dan sampai saat ini pengaruh ajaran Ghazali semakin kuat karena disamaping di
da’wahkan oleh para ulama-ulama besar seperti syaikh Ar Raniri, syaikh Hasyim
Asy ‘arie dan lain sebagainya, semakin banyak buku-buku karya beliau yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
C. PENUTUP
1. KESIMPULAN
Al Ghazali merupakan ulama besar
dalam bidang agama. Ulama yang banyak menghasilkan karya ini bernama Abu
Muhammad Al Ghazali, dilahirkan di kota Thur, Khurasan yaitu daerah Persia pada
tahun 450 H/1085 M. Al Ghazali juga terkenal dengan istilah Ghazzali yang
berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan orang tuanya adalah memintal
benang dari wol. Beliau adalah seorang yang mampu
memadukan tasawuf dengan filsafat secara seimbang.
Tasawuf yang dibangun
oleh Al Ghazali mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tasawufnya Abu
Yazid Al Bustami atau Abu Mansur Al Hallaj yang lebih cenderung kepada rasa
cinta kepada Tuhan yang kemudian meninggalkan segalanya. Karakter tasawuf Al
Ghazali adalah tasawuf yang religius sunni yang bertumpu pada kesucian rohani
serta keluhuran budi yang merupakan perwujudan paling otentik dan
valid dari religiusitas seseorang. Tasawuf yang sunni inilah kemudian diterima
oleh kalangan luas dan akhirnya mempunyai pengaruh yang begitu kuat di dunia
Islam.
2. SARAN
Berkat kerja keras yang dilakukan
oleh Al Ghazali, telah banyak terobosan-terobosan baru bagi kehidupan keagamaan
di masa beliau maupun setelahnya. Sikap toleransi, saling menghormati, dan
keselamatan jiwa merupakan ajaran yang secara tersirat beliau sampaikan kepada
umat manusia. Sesungguhnya semua hal yang telah dilakukan oleh beliau merupakan
hasil dari proses pencarian kebenaran mutlaq yang beliau idamkan selama hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Ghazali, Kegelisahan Al Ghazali, Bandung: Pustaka Hidayah 1998.
Amin,
Husein Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999.
Barsany,
Noer Iskandar Al-, Tasawuf, Tarekat dan Para sufi, cet ke-1,
Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001.
Basil,
Victor Said, Al Ghazali Mencari Ma’rifat, Jakarta: Pustaka Panji
Mas,
1990.
Donald,
Duncan B Mac, Developmet of Moslem Theology, Jurisprudence and
Constitutional Theory, New
York: Charles Scribner’s Son, 1903.
Ghazali,
Abu Hamid Al-, Ihya Ulum al Din, Lebanon: Darul Fikri, 1334 H.
Hamka, Tasawuf,
Perkembangan Dan Pemurniaannya, cet ke-19, Jakarta: PT
Pustaka Panjimas, 1994.
Mulkhan,
Abdul Munir, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan,cet. ke-1
Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Rahman,
Fazlu Ur, Islam, Chicago: The University of Chicago Press,
1979.
Rofi’ie,
Abdul Halim, Cinta Ilahi Menurut Al Ghazali dan Rabiah Al
Adawiyyah,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1997.
Smith,
Margareth, Al Ghazali, the Mystic, England: London Press, 1994.
Taftazani,
Abu Al Wafa Al Ghanimi Al-, Sufi dari Zaman ke Zaman, cet ke-2,
Bandung: Penerbit Pustaka, 1997.
Tri
Haryanto, Joko, Intelektualisme Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
[1] Victor Said
Basil, Al
Ghazali mencari ma’rifat, (Jakarta
: Panji Mas, 1990), hlm. 1.
[2] Husein Ahmad
Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999), hlm. 177
[3] Abdul Halim Rofi’ie, Cinta
Ilahi Menurut Al Ghazali dan Rabiah Al Adawiyyah,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 11.
[4] Al Ghazali, Kegelisahan
Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Hidayah 1998), hlm. 3.
[5] Husein Ahmad Amid, Op.Cit,.
hlm. 179.
[6] Margareth Smith, Al Ghazali, the Mystic, (England: London
Press, 1994), hlm. 15.
[7] Ibid, hlm. 54
[8] Duncan B Mac
Donald, Developmet of Moslem Theology, Jurisprudence and
Constitutional Theory, (New York: Charles
Scribner’s Son, 1903), hlm. 238.
[9] Joko Tri Haryanto, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
119.
[10] Fazlur Rahman, Islam.(Chicago:
The University of Chicago Press, 1979), Hlm. 140.
[11] Joko Tri Haryanto, Op. Cit.,. Hlm. 122.
[12] Ibid., hlm. 125.
[13] Ibid., hlm. 126.
[14] Noer Iskandar Al Barsany, Tasawuf,
Tarekat dan Para Sufi, cet. ke-1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 127.
[15] Hamka, Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya, cet. ke-19, Jakarta: Pt Pustaka
Panjimas, 1994, hlm. 126.
[16] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya
Ulum al Din, (Lebanon: Darul Fikri, 1334 H), hlm. 17.
[17] Hamka,Op.Cit.,. hlm. 127.
[18] Abu Al Wafa Al Ghanimi Al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,
cet. ke-2,
(Bandung: Penerbit Pustaka,
1997), hlm. 182.
[19] Hamka, Op.Cit., hlm. 128.
[20] Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan
Kebebasan,(Jakarta: Bumi
Aksara,
1990), hlm. 91
[21] Ibid., hlm. 103.
[22] Alwi Shihab, Jalan
Sufistik, cet. ke-1, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar