A. PENDAHULUAN
Segera
sesudah Soeharto mengukuhkan kekuasaannya dan berhasil melengserkan Soekarno
pada 1968, dia menjanjikan pemilihan umum pada 1967. Namun, dengan beberapa
alasan, pemilihan umum itu baru dapat dilaksanakan pada 1971 ̶ ̶
pemilu ke dua sejak Indonesia merdeka. Pemilu 1971 ini, rezim Soeharto
tidak banyak memberi tempat kepada sebagian partai atau politisi yang telah
mendapat kedudukan penting pada masa rezim Soekarno. Baik Presiden Soekarno
maupun Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang berlandaskan
Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan
negara nasionalis. Atas dasar ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua
pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai
Islam.[1]
Pemerintah
Orde Baru menganggap partai-partai politik telah ikut berperan dalam
memunculkan kekacauan, yang puncaknya terjadi pada peristiwa 30 September 1965.
Karenanya, pemerintah Orde Baru lebih condong kepada konfederasi
golongan-golongan karya yang disebut dengan Sekretariat Bersama Golongan Karya.
Sekber Golkar tersebut sudah dibentuk pada 1964, yang semula untuk
menggabungkan organisasi-organisasi anti-komunis. Pada 1971, Golkar ikut dalam
pemilihan umum, walaupun dinyatakan sebagai bukan partai politik.[2]
Puncak
kekecewaan umat Islam terhadap pemerintah Orde Baru adalah ketika pemerintah
menetapkan keharusan pencantuman Pancasila bagi seluruh kekuatan politik dan
organisasi massa. Keharusan penerapan asas tunggal Pancasila itu berarti
meniadakan asas ciri yang menjadi identitas dan simbol ideologis organisasi
politik dan organisasi massa, tak terkecuali dari kalangan Islam. Dengan
diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, peluang untuk membangkitkan
kembali “Islam Politik” secara ideologis menjadi tertutup. Walaupun demikian,
diterimanya Pancasila oleh umat Islam mempunyai konsekuensi-konsekuensi positif
pada satu sisi.[3]
B. PEMBAHASAN
1. Depolitisasi Umat
Islam
Hakikat dasar Islam mengakui prinsip
keterpaduan kekuasaan agama dan politik karena di dalam Islam hal yang
spiritual dan duniawi bukanlah dua bidang yang berbeda. Konsekuensi dari hal
ini adalah tidak terdapat pemisahan antara agama dan negara dalam Islam. Islam
justru menganjurkan hubungan yang sangat erat antara agama dan politik.[4] Alasan
inilah yang menjadikan umat Islam terlibat dalam politik dan pemerintahan.
Berdasarkan pemaparan di atas, Taufik
Abdullah menyebutkan 3 asumsi dasar yang saling berkaitan yang ikut membentuk
wajah politik Islam. Ketiga hal tersebut memberikan pengaruh hingga sekarang. Pertama,
Islam merupakan satu konsep kesatuan utuh yang tidak memisahkan kenyataan yang
konkret. Kedua, pengalaman dan peranan historis Islam dalam proses
pembentukan bangsa. Ketiga, kenyataan kuantitatif bahwa kenyataan
mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk Islam.[5] Ketiga
asumsi dasar yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah ini menjadi patokan dalam
menilai sepak terjang umat Islam di dalam pemerintahan.
Alasan-alasan di atas menjadikan kalangan
Islam mengambil tempat dalam perpolitikan di Indonesia. Sejak zaman penjajahan
Belanda hingga zaman Orde Baru meskipun mengalami pasang surut tiap masanya.[6] Akan
tetapi, umat islam tetap mengambil tempat untuk berperan. Peranan umat Islam di
masa Orde Baru akan dipaparkan pada sub selanjutnya.
Orde Baru diamanahkan untuk menjalankan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Upaya yang dilakukan untuk
melakukan tugas tersebut adalah melakukan rehabilitasi dan stabilisasi dan
keamanan (polkam) agar pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dapat dimulai.
Pemerintah Orde Baru melakukan pendekatan yang populer dengan sebutan
pendekatan keamanan (security approach). Pendekatan keamanan termasuk di
dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial
politik yang dinilai akan merongrong kewibawaannya.[7]
Depolitisasi umat Islam sudah terjadi
sejak masa Demokrasi Terpimpin, ketika Masyumi menolak tegas ideologi Nasakom
yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Sikap Masyumi ini menempatkan Masyumi
berkonfrontasi secara langsung dengan presiden Soekarno. Berbeda dengan
Masyumi, umat Islam yang menerima ideologi Nasakom tetap diakomodasi dalam
kekuasaan seperti NU, PSII, dan Perti. Meskipun demikian, partai Islam pada
masa ini kehilangan identitasnya karena politik akomodiasionis terhadap pihak
penguasa.
Orde Baru dimulai dengan penuh harapan
oleh kalangan yang tidak lagi mempercayai kepemimpinan Soekarno.[8] Kalangan
Islam, seperti Masyumi, berharap dapat berperan kembali di bidang pemerintahan
seperti zaman Demokrasi Liberal. Akan tetapi, perkiraan kalangan Islam itu
ternyata jauh dari harapan. Soeharto ternyata tidak hanya menyingkirkan
kepentingan-kepentingan PKI dari pemerintahan, tetapi juga menyingkirkan
kepentingan umat Islam di pemerintahan yang dianggap pernah melanggar UUD 1945
dan melakukan penyimpangan terhadap pancasila.[9]
Depolitisasi umat Islam pada masa Orde
Baru makin meluas dibanding masa Demokrasi Terpimpin. Penilaian ini berdasarkan
pada kebijakan politik Orde Baru yang lebih anti politik Islam dibandingkan
masa Demokrasi Terpimpin. Orde Baru menerapkan kebijakan terhadap Islam yang
hampir sama seperti yang pernah diterapkan Belanda terhadap Islam. Kebijakan
Belanda terhadap Islam dicetuskan oleh Christian Snouck Hurgronje.[10]
Kebijakan tersebut berpendapat dukung sepenuhnya Islam agama dan pukul sampai
ke akar-akarnya Islam politik.[11] Atas
dasar inilah Orde Baru menjauhkan peranan politik dari kalangan Islam.
Orde Baru masih toleran terhadap
partai-partai Islam yang dinilai moderat dan dapat bekerja sama dengan
pemerintah seperti NU, PSII, dan Perti. Akan tetapi, Orde Baru bersikap keras
terhadap kekuatan Islam Radikal atau yang biasa disebut “ekstrem kanan”.[12]
Kalangan Islam yang dikategorikan sebagai ekstrem kanan dianggap oleh
pemerintah akan mengganggu stabilitas dan keamanan. Anggapan Orde Baru ini
terbentuk dari pengalaman sebelumnya yang mencatat keterlibatan tokoh-tokoh
Masyumi dalam DI (Darul Islam) dan PRRI.
Lalu, pada tahun 1971 pemerintah mengadakan
Pemilu. Pemilu ini menjadi Pemilu pertama di masa Orde Baru. Pemilu 1971
mencatat sembilan partai politik peserta pemilu, yaitu : NU, Parmusi, PSII,
Perti, PNI (Partai Nasional Indonesia), Partai Kristen Indonesia, Partai
Katholik, Partai Murbha, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia),
ditambah Sekber Golkar[13] (Sekretariat
Bersama Golongan Karya).
Tabel 1.1 : Hasil Perolehan Suara Partai
Pemilu 1971
Partai
|
Jumlah Suara
|
Jumlah Kursi di DPR
|
Presentase (0%)
|
Golkar
|
34.348.673
|
227
|
62,8
|
NU
|
10.213.650
|
58
|
18,67
|
Parmusi
|
2.930.740
|
24
|
7,365
|
PNI
|
3.793.266
|
20
|
6,94
|
PSII
|
1.308.237
|
10
|
2,39
|
Parkindo
|
745.359
|
7
|
1,34
|
Katholik
|
605.740
|
3
|
1,11
|
Perti
|
381.309
|
2
|
0,70
|
Sumber : M. Rusli. Karim. 1993. Perjalanan
Partai Politik di Indonesia : Sebuah Potret
Pasang Surut. Jakarta : Rajawali Press. Hlm. 170
Berdasarkan
tabel di atas Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) atau yang biasa
disebut Golkar dinyatakan sebagai pemenang pemilu dengan jumlah perolehan suara
sebanyak 62,8%.
Golkar
merupakan organisasi sipil baru yang lebih mudah dikendalikan oleh Soeharto.[14] Golkar
tidak mendeklarasikan sebagai partai politik, tetapi dalam praktiknya Golkar
bertindak layaknya partai politik. Kemenangan Golkar pada pemili ini
menimbulkan berbagai interpretasi yang bernada “miring” terhadap Golkar. Reaksi
ini timbul karena Golkar mendapat perlakuan istimewa dengan mendapat bantuan
dari pemerintah dan ABRI. Kemenangan Golkar menjadi legitimasi bagi kekuasaan
yang tidak tertandingi. Kekuatan Golkar ini juga berhasil mengikis kekuatan
kalangan Islam. Hal ini terlihat dari jumlah perolehan kalangan Islam yang
hanya mendapat 29%.
Berbeda
dengan kondisi sebelumnya, umat Islam lebih menekankan institusi politik
sedangkan pada masa Orde Baru lebih mementingkan visi politik. Hal ini terlihat
pada hilangnya partai politik Islam di Indonesia yang ditandai dengan
penyederhanaan partai politik yang dilakukan Presiden Soeharto tahun 1973.
Hilangnya partai politik Islam juga dikatakan sebagai indikasi surutnya politik
Islam hingga titik yang paling rendah.
Berdasarkan
kondisi di atas, ada tiga faktor yang menyebabkan surutnya politik Islam, yaitu
:
1. Besarnya campur tangan pemerintah dalam
kehidupan politik atau biasa disebut birokratisasi politik. Upaya birokratisasi
politik terlihat dalam peranan pemerintah yang tidak mengizinkan tokoh-tokoh
ex-Masyumi terpilih sebagai pemimpin Parmusi. Birokratisasi politik juga
dilakukan pemerintah dalam fusi (penggabungan) sembilan peserta pemilu 1971
menjadi dua partai politik dan satu golongan.
2. Diferensiasi sosial yang menyebabkan
perhatian umat terbagi-bagi, tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam
bidang-bidang lain.
3. Lembaga konsep politik Islam. Pemerintah
lebih menekankan pada program-program dibanding perdebatan masalah ideologi.
Perdebatan tentang ideologi diangganp menjadi penghalang kesuksesan
pembangunan.[15]
Pada masa
Orde Baru, pembinaan politik diartikan sebagai satu usaha dan upaya agar rakyat
banyak dapat berpartisipasi positif dalam program pembangunan nasional. Semua
potensi yang dimiliki oleh rakyat diarahkan untuk kemajuan pembangunan
nasional, sedangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan perbedaan ideologi
harus dikesampingkan karena dapat mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Konsep
massa mengambang membuat seluruh kegiatan politik dilarang dari tingkat desa, kelurahan,
dan kecamatan. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya depolitisasi rakyat agar
pemerintah dan rakyat dapat memusatkan perhatian pada pembangunan. Pada
praktiknya, hanya PPP dan PDI yang dilarang melakukan aktivitas politik,
sedangkan Golkar bisa melakukan pembinaan kader-kadernya di desa-desa.[16]
Pada masa Orde Baru, pemerintah lebih
menekankan pada program dibandingkan ideologi. Ideologi dianggap sebagai sumber
dari pertikaian yang terjadi selama Demokrasi Terpimpin.[17] Partai
politik dituntut untuk memfokuskan pada program-program untuk menyukseskan
pembangunan. Perdebatan mengenai ideologi menjadi hal yang dilarang karena
pemerintah menganggap dapat mengganggu stabilitas dan secara sosial tidak
produktif.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat
pemerintah melakukan upaya depolitisasi terhadap kalangan Islam yang dianggap
sebagai ekstrem kanan. Kalangan ekstrem kanan dikategorikan sebagai kalngan
yang juga menginginkan mengganti pancasila sebagai dasar negara. Keadaan
tersebut akhirnya mendorong kalangan Islam memilih fokus pada peningkatan
dakwah dibanding peranan besar dalam pemerintahan.
Pemerintah juga mendorong adanya
keseragaman ideologi dengan adanya indoktrinasi wajib mengenai ideologi
Pancasila bagi semua warga negara. Indoktrinasi ini berdasarkan pada ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 mengenai
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Dalam
ketetapan tersebut, disebutkan bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila (P4) merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi setiap Warga Negara Indonesia.[18]
Penerapan P4 dilakukan dengan cara
memberikan kursus penataran P4 yang dilakukan di departemen-departemen pemerintahan,
tempat-tempat kerja, sekolah, dan tempat-tempat lainnya. Tokoh utama yang
merancang program ini adalah Roeslan Abdulgani yang sebelumnya merupakan
seorang pendukung aktif ideologi Demokrasi Terpimpin Soekarno.[19]
4. Respon Kalangan
Islam Terhadap Kebijakan Orde Baru
Sejak pemerintah Orde Baru, depolitisasi
terhadap umat Islam semakin meluas. Hal ini dilakukan oleh pemerintah karena
ketakutan akan kalangan Islam yang sering disebut sebagai kalangan “ekstrem
kanan” melakukan tindakan “subversif”[20] yang
akan mengganggu stabilitas dan keamanan nasional. Kebijakan depolitisasi ini
menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam. Respon tersebut sebagai cara agar
kalangan Islam tetap bisa mengambil peranan dalam masa kepemimpinan Orde Baru.
Atas kebijakan depolitisasi yang dilakukan
oleh pemerintah, Kuntowidjojo melihat gerakan Islam pada masa Orde Baru terbagi
menjadi beberapa kubu. Di dalam kubu-kubu itu terdapat golongan
integrasionis-konformis yaitu pemimpin Islam yang duduk dalam pemerintahan dan
Golkar, golongan integrasionis-nonkonformis, yakni yang duduk dalam partai
Islam. Golongan isolasionis-nonkonformis, yakni yang menolak lembaga keislaman
yang mapan dan arus utama politik serta sistem sosial dan pemerintahan.[21]
Respon dari kalangan
integrasionis-nonkonformis direalisasikan dalam keterlibatan di PPP. Kalangan
Islam yang tergabung di PPP diartikan tanda kesetiaan Islamnya serta kekecewaan
yang umum terhadap pemerintah. Tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam partai
politik menghadapi dilema besar. Dilema itu dialami ketika mereka harus
diterima sepenuhnya oleh pemerintah sebagai politisi. Para pemimpin Islam harus
menunjukkan bahwa mereka secara politik bersifat moderat dan dapat menunjang
ideologi serta politik pemerintah. Namun, disisi lain para pemimpin Islam
tersebut kehilangan kredibilitasnya dimata konstituennya.[22]
Golongan isolasionis-nonkonformis
terdapat pada kalangan ex-Masyumi.[23]
Tokoh-tokoh dari golongan ini melihat tidak ada jalan untuk kembali ke dalam
politik karena pemerintah terlalu banyak campur tangan. Selain itu, upaya-upaya
yang dilakukan untuk kembali berperan dalam politik dan pemerintahan mengalami
jalan buntu. Oleh karena itu, tokoh-tokoh ex-Masyumi ini membentuk DDII sebagai
wadah menyalurkan aspirasi mereka. Lembaga ini lebih menitikberatkan tujuannya
pada bidang kemajuan dakwah. Mengenai DDII akan dibahas pada bab selanjutnya.
Kondisi inilah yang membuat bidang dakwah lebih maju ketimbang politik di masa
Orde Baru.
Selain respon Islam yang telah dipaparkan
di atas, terdapat pendukung Orde Baru yang berusaha menciptakan
pemikiran-pemikiran yang mendukung Orde Baru. Pendukung Orde Baru ini
memunculkan ide “pragmatisme”, “de-ideologisasi”, “de-parpolisasi”. Ide-ide
positif yang lahir dari para pendukung Orde Baru adalah program oriented,
pembangunan oriented, modernisasi, dan lain sebagainya.[24]
Hal tersebut menjadi tantangan bagi umat
Islam mengenai bagaimana melihat “modernisasi” dalam kacamata Islam.
Modernisasi ditakutkan akan berkembang menjadi proses sekularisasi[25] umat
Islam dan pemahaman keagamaan serta meninggalkan kesan westernisasi.[26]
Terdapat tiga bahan pemikiran yang
mendorong intelektual Islam pasca Orde Baru memberikan perspektif pemikiran
baru terutama yang menyangkut persoalan umat Islam dan politik kenegaraan waktu
itu. Pertama, kenyataan bahwa situasi yang tidak menyenangkan itu telah
menimbulkan konflik keagamaan dan politik. Keadaan tersebut pada akhirnya telah
menyudutkan posisi umat Islam yang ketika itu dianggap tidak mampu bersaing
dengan kelompok lain yang minoritas dalam proses pembangunan nasional. Kedua,
kondisi demikian tidak dapat dibiarkan. Sebagai kelompok intelektual, mereka
mempunyai beban moral untuk memberikan penjelasan kepada umat tentang makna dan
dampak modernisasi dalam rangka kepentingan Islam dan kepentingan bangsa. Untuk
itu, tantangan dan kesempatan yang dimiliki umat Islam terlebih dahulu harus
dirumuskan. Dengan demikian, identifikasi persoalan umat yang dilakukan secara
cermat akan membantu dalam alternatif-alternatif pemecahan. Ketiga, para
intelektual Islam berpendapat bahwa umat Islam Indonesia memiliki hak yang sama
dengan siapapun untuk ikut menyumbangkan pikiran-pikiran mereka dalam setiap
pembangunan nasional. Pendapat demikian diperkuat dengan pengalaman empirik
yang berupa kerja sama pemuda dan mahasiswa Islam dengan ABRI yang bekerja sama
ketika melawan PKI.[27]
Deliar Noer sebagai kalangan intelektual
Islam modernis melihat bahwa modernisasi tidak menjadi masalah dalam Islam
asalkan tidak menimbulkan problema teologis. Justru, inti modernisasi sesuai
ajaran agama Islam. Dalam tulisannya Noer menguraikan bahwa untuk mencapai
modernisasi di tubuh umat Islam. Umat Islam harus menghilangkan persoalan
intern di kalangan umat Islam, seperti taqlid terhadap pikiran-pikiran
lama, keterikatan sufisme yang berlebihan. Ia menginginkan persoalan
tradisionalisme yang selama ini dianggap sebagai penghalang kemajuan berpikir
harus dihilangkan terlebih dahulu. Mengenai modernisasi yang diusung Orde Baru,
ia berpendapat sebaiknya umat Islam melihat modernisasi secara obyektif dan
keseluruhan. Artinya modernisasi dilihat dengan menggunakan daya kritis yang
sesuai dengan ajaran Islam.[28]
Perdebatan mengenai modernisasi ini juga
melibatkan Hamka, salah seorang tokoh senior muslim yang memberikan pendapatnya
mengenai wacana modernisasi. Hamka menilai modernisasi akan membuka peluang
masuknya bantuan luar negeri dari negara-negara eks-kolonial Barat ke
Indonesia. Hamka menilai bantuan luar negeri terhadap Indonesia sebagai
penjajahan dalam bentuk baru atu neo-kolonialisme di Indonesia. Jika
modernisasi yang sedang di usung diarahkan seperti itu, modernisasi hanya
sekedar kamuflase yang berbeda dengan nilai-nilai Islam. Menurut Hamka,
modernisasi dalam pandangan Islam adalah perubahan situasi dari penjajahan ke
situasi kemerdekaan, dari struktur budaya masyarakat feodalistik ke terciptanya
suasana demokrasi, dan dari suatu masyarakat agraris menuju terciptanya
masyarakat Industri.[29]
Kalangan Islam pada umumnya melihat modernisasi
dengan hati-hati dan secara keseluruhan. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan
Islam karena ditakutkan modernisasi akan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Jika modernisasi berarti westernisasi di kalangan umat Islam, umat Islam akan
menolak konsep modernisasi yang di usung masa Orde Baru.
C. KESIMPULAN
Islam
mengakui prinsip keterpaduan kekuasaan agama dan politik, di dalam Islam tidak
terdapat pemisahan antara agama dan negara dalam Islam. Islam justru
menganjurkan hubungan yang sangat erat antara agama dan politik. Alasan inilah
yang menjadikan umat Islam terlibat dalam politik dan pemerintahan. Kalangan
Islam mengambil tempat dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman penjajahan
Belanda hingga zaman Orde Baru meskipun mengalami pasang surut tiap masanya.
Taufik
Abdullah mengemukakan ada 3 asumsi dasar yang saling berkaitan yang ikut
membentuk wajah politik Islam. Pertama, Islam merupakan satu konsep
kesatuan utuh yang tidak memisahkan kenyataan yang konkret. Kedua,
pengalaman dan peranan historis Islam dalam proses pembentukan bangsa. Ketiga,
kenyataan kuantitatif bahwa kenyataan mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk
Islam. Ketiga asumsi dasar ini menjadi patokan dalam menilai sepak terjang umat
Islam di dalam pemerintahan.
Pada Masa
Orde Lama maupun Baru kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto
memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing
kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara nasionalis.
Atas dasar ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas
berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Suhelmi, Soekarno
Versus Natsir Kemenangan Barisan Megawati
Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta, 1999.
Anhar Gonggong dan Musa Asy’ari, 60
Tahun Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi, Jakarta, 2005.
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan
Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,
Jakarta,
2003.
Deliar Noer, “Islam Politik : Mayoritas
atau Minoritas”. Prisma no.5
tahun 1988
Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda
: Dilema Islam di Indonesia” Prisma
No.4
tahun 1984
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah
Jalan Baru Islam, Bandung, 1986.
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia
tahun 1978. Departemen Penerangan R.I.
M.C. Ricklefs, Sejarah Islam Modern,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2005
M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia
: Suatu Tinjauan Sosial dan
Politik, Yogyakarta: PT. Hanindita, 1985.
M. Rusli. Karim, Perjalanan Partai
Politik di Indonesia : Sebuah Potret Pasang
Surut, Jakarta : Rajawali Press.
Muhammad Hisyam, (peny). Krisis Masa
Kini dan Orde Baru. Jakarta, 2003.
Nor Huda, Islam Nusantara : Sejarah
Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru.
Yogyakarta, 1993.
Taufik
Abdullah, Islam dan Masyarakat, Jakarta, 1996.
[1] Nor Huda, Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 133
[2] Ibid
[3] Ibid
[4]
Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir Kemenangan Barisan
Megawati Reinkarnasi
Nasionalis Sekuler, (Jakarta, 1999), hlm. 68-69.
[5]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta: 1996), hlm
37-39.
[6]
Deliar Noer, “Islam Politik : Mayoritas atau Minoritas”. Prisma
no.5 tahun 1988, hlm. 19.
[7] Anhar Gonggong dan Musa Asy’ari, 60 Tahun Perjalanan Bangsa Berdemokrasi,
(Jakarta: 2005), hlm. 144.
[8] M. Rusli Karim, Dinamika Islam Indonesia, (Yogyakarta:
1985), hlm. 191-192.
[9] Muhammad Hisyam. (peny). Krisis Masa Kini dan Orde Baru.
(Jakarta: 2003), hlm. 355.
[10] Snounk berpendapat Islam sama sekali
tidak bisa dianggap remeh baik secara kekuatan politik maupun agama di
Indonesia. Snouck memiliki pendapat yang berbeda dengan sarjana-sarjana yang
lain dalam memandang Islam di Indonesia. Pertama, Snouck berpendapat
orang-orang Islam sebagai orang yang baik dan setia sehingga dia menolak
pendapat umat Islam secara besar-besaran akan pindah agama ke Kristen. Kedua,
Snouck memprediksikan persebaran Islam akan semakin meluas seiring perkembangan
Pax Nederlandica. Kedua faktor di atas memiliki pengaruh besar terhadap
kebijakan yang akan diberlakukan pada kalangan Islam. Snouck berpendapat
musuhnya bukanlah Islam sebagai agama tapi Islam sebagai doktrin politik. Islam
sebagai doktrin politik akan menimbulkan fanatisme terhadap persatuan umat
Islam (pan-islamisme). Para ulama pun dapat menghasut pengikutnya untuk
berjihad melawan orang Belanda yang kafir. Lihat dalam Harry J. Benda. Bulan
Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta, 1980), hlm. 41-44
[11] Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan
dalam Negara Orde Baru, (Jakarta, 2003), hlm. 553.
[12]
Orde Baru mengkategorikan ekstrem kanan sebagai kekuatan Islam
Radikal atau fundamentalis.
[13] Golkar didirikan tanggal 20 Oktober 1964
oleh ABRI. Kelompok-kelompok masyarakat, dan
kelompok-kelompok profesional sebagai bentuk koalisi non-pemerintah
untuk mengimbangi dominasi PKI dalam pemerintahan Soekarno. Wadah baru ini
menghimpun hampir 300 organisasi fungsional non-politis yang berorientasi
kepada karya dan kekaryaan, yang dulunya tidak berorientasi kepada politik
dengan tiga organisasi sebagai tulang punggungnya, yaitu SOKSI (Sentral
Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia), MKGR, KOSGORO. Setelah Orde Lama
tumbang. Soeharto segera memanfaatkannya sebagai alat legitimasi kekuasaan.
[14] Anhar Gonggong, 60 Tahun Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, hlm.
149
[15] Sudirman Tebba, Islam Orde Baru, (Yogyakarta, 1993), hlm. 4
[16] Muhammad Hisyam, Krisis Masa Kini..., hlm 361
[17] Deliar Noer, Islam dan Politik,
hlm 15-16
[18] Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1978. Departemen
Penerangan R.I. Hlm., 49-59
[19] M.C. Ricklefs, Sejarah
Islam Modern, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 604.
[20] Subversif artinya gerakan yang mengambil
bagian dari usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan
menggunakan cara di luar Undang-undang.
[21] M. Rusli Karim, Dinamika Islam
Indonesia, hlm. 192
[22] Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda : Dilema Islam di Indonesia”
Prisma No.4 tahun 1984, hlm. 13
[24] Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam,
(Bandung, 1986), hlm. 95
[25] Istilah sekularisasi yang memiliki kata dasar
sekular berasal dari kata latin saeculum, mempunyai arti dengan dua
konotasi waktu dan lokasi : waktu menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau
‘kini’ dan lokasi menunjuk kepada pengertian ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum
berarti ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’, dan zaman ini atau masa kini menunjuk
pada peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti
‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Secara makna sekularisme berarti menunjuk pada
soal keduniawian, atau pemisah agama dari negara. Lihat dalam Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung, 1981), hlm 18-19.
Istilah secularism lahir pada tahun 1851 yang dipaparkan oleh G.S.
Holyoake. Menurut Holyoake, sekularisme merupakan sistem etika plus Filsafat
yang bertujuan memberikan interpretasi atau pengaturan kepada kehidupan manusia
tanpa kepercayaan Tuhan.
[26] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah
Jalan..., hlm 107-108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar