A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama
yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam
bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan
beragama. Kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan
jasmani dan rohani. Puncak perkembangan jasmani diukur berdasarkan
umur kronologis, perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut
kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan
tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi
perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).[1]
Sebaliknya, dalam kehidupan tidak jarang dijumpai mereka yang taat beragama
itu dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman agama serta tipe kepribadian
masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi
sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut secara umum
memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.[2]
Dengan bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu
apabila individu matang dalam beragamanya, maka individu tersebut akan
konsisiten dalam ajaran agamanya. Konsisten ini akan membawa individu untuk
berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh lagi, melalui kematangan
dalam kehidupan beragama individu akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan
ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan.
Untuk menambah wawasan kita pada mata kuliah psikologi agama maka dalam
makalah ini penulis membahas tentang kriteria orang yang matang beragama.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Matang Beragama
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada
semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara
teoritis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang
dalam kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan
ajaran agamanya. Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai
dengan ajaran agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama
individu akan mampu untuk mengintegrasikan ajaran agama dalam seluruh aspek
kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong umat
untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak
pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan
bertingkah laku merupakan ciri kematangan beragama. Jadi kematangan beragama
merupakan kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.[3]
2.
Kematangan
Jiwa Beragama Sebuah Proses
Penggambaran
tentang kematangan jiwa beragama tidak terlepas dari kriteria kematangan
kepribadian. Kesadaran beragama yang mantap hanya terdapat pada orang yang
memiliki kepribadian yang matang. Akan tetapi kepribadian yang matang belum
tentu disertai kesadaran beragama yang mantap.
Pendapat
beberapa aliran psikologi tentang kriteria orang yang matang beragama, yaitu :
a.
Aliran Psikoanalisis
Psikoanalisis telah membangkitkan cara baru dalam melihat dan membahas
gejala lama, yaitu hubungan psikologi dan agama serta memperluas dasar untuk
memahami pengalaman keagamaan. Sumbangan penting psikoanalisis bagi psikologi
agama adalah bahwa faktor yang ada di luar bidang kesadaran mempengaruhi
pembentukan dan kelanjutan hidup keagamaan.
Secara singkat bisa disimpulkan bahwa kriteria orang yang matang beragama
menurut aliran psikoanalisis adalah :
1)
Mereka
mampu memahami bahwa ada Tuhan yang menciptakan kita.
b.
Aliran Behavioristik
Aliran ini tidak
memberi perhatian banyak terhadap agama, karena ia menilai bahwa kita tidak
perlu berusaha menemukan apa yang sesungguhnya diri kita, jiwa, perasaan, dan
siapa pula yang menciptakannya. Dan yang terpenting adalah diri kita bisa
berubah sesuai dengan usaha kita untuk menciptakan segala perubahan. Oleh
karena itu aliran ini kurang begitu menyoroti apa itu agama dan seperti apa
orang yang matang beragama.
c.
Aliran
Humanistik
Karena
aliran ini lebih menekankan pada perorangan, individual dengan mengorbankan
kekuatan sosial yang ada, maka agama menurut aliran ini adalah urusan pribadi
dengan Tuhan. Orang yang sudah matang agamanya menurut aliran ini adalah orang
yang mampu menyadap sumber kekuatan pribadi, mampu mengatur perilaku sendiri
dan memilih menurut pegangan yang dipilih.[5]
3.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia
Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang
dicapai diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara
dengan perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai
tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan
berpikir, kematangan pribadi maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara
kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan
sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara
rohani ia ternyata belum matang.
Keterlambatan
pencapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan sebagai
keterlambatan dalam perkembangan kepribadian. Faktor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: faktor yang terdapat pada diri anak dan faktor yang
berasal dari lingkungan.
Adapun faktor
intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah:
konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan
mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus),
emosionalitas. Semua faktor intern ini ikut mempengaruhi terlambat
tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya
yang termasuk pengaruh faktor lingkungan adalah: keluargaa, sekolah.
Selain itu ada faktor lain yang juga mempengaruhi perkembangan
kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan.
Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan
dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan pada norma yang
didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama
bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang
merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan
kematangan beragama.
Dalam
kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi
oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi
seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan
seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri
tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
4.
Ciri dan
Sikap Keberagamaan
Berdasarkan temuan psikologi
agama, latar belakang psikologis, baik dipengaruhi beberdasarkan faktor
intern maupun hasil pengaruh lingkungan bemberi ciri pada pola tingkah lakudan
sikap seseorang dalam bertindak. Pola seperti itu memberi bekas pada sikap
seseorang terhadap agama. William James melihat adanya hubungan antara tingkah
laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious
Experience, William James
menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu tipe
orang yang sakit jiwa dan tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe
ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda:[6]
a.
Tipe
Orang yang Sakit
Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James, sikap
keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah
mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang
tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan
atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak
hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan
secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan
batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab
lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Latar belakang itulah yang
kemudian menyebabkan perubahan sikap yang mendadak terhadap keyakinan agama.
Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya.
William
Starbuck, berpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua
faktor utama yaitu yang pertama dilatar belakangi oleh faktor intern
(dari dalam diri), sedangkan yang kedua adalah karena faktor ekstern
( burupa penderitaan).[7]
1)
Faktor interen yang Diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan
yang tidak lazim ini adalah:[8]
a)
Temperamen
Temperamen merupakan salah satu unsur dalam
membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan kejiwaan
seseorang. Tingkah laku yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan penting
dalam sikap keagamaan seseorang.
b)
Gangguan
Jiwa
Orang mengidap gangguan jiwa menunjukan kelainan
dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman
keagamaan yang ditampilkanya tergantung dari gejala gangguan jiwa yang mereka
idap.
c)
Konflik dan Keraguan
Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan
mempengaruhi sikap keagamaanya. Mungkin berdasarkan kesimpulannya ia
akan memilih salah satu agama yang diyakininya ataupun meninggalkannya sama
sekali. Keyakinan agama yang dianut berdasarkan pemilihan yang matang sesudah
terjadinya konflik kejiwaan akan lebih dihargai dan dimuliakan. Konflik dan keraguan ini
dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama.
d)
Jauh dari Tuhan
Orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa
dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Ia seakan merasa
tersisih dari curahan rahmat Tuhan. Perasaan ini mendorongnya
untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan serta berupaya mengabdikan diri
secara sungguh-sungguh. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam sikap
keagamaan pada dirinya.
2)
Faktor ekstern yang diperkirakan turut mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah :
a)
Musibah
Terkadang
musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan jiwa ini
sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia berbagai macam tafsiran.
Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama
yang cukup, umumnya menafsirkan
musibah sebagai peringatan Tuhan kepada dirinya.
Tafsiran seperti
itu tak jarang memberi wawasan baru baginya untuk kembali hidup ke jalan agama,
sehingga makin berat musibah yang dialaminya maka akan semakin tinggi
ketaatannya kepada agama. Bahkan mungkin pula mereka yang mengalami peristiwa
semacam itu akan menjadi penganut agama yang fanatik.
Kasus serupa juga dapat terjadi
pada mereka yang terkena musibah lainya dan menilai penderitaan itu sebagai
bentuk kutukan atau kualat, baik terhadap orang tua maupun tokoh-tokoh
keagamaan. Mungkin saja musibah itu kebetulan menimpa
mereka, setelah sebelumnya terjadi pelanggaran terhadap larangan atau nasihat
yang ada hubunganya dengan ajaran agama. Akibat musibah seperti itu tak jarang
pula menimbulkan perasaan menyesal yang mendalam dan mendorong mereka untuk
mematuhi ajaran agama secara sungguh-sungguh.
b)
Kejahatan
Mereka yang menekuni kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik sebagai
pelaku maupun sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami keguncangan
batin dan rasa berdosa. Perasaan itu mereka tutupi dengan perbuatan yang
bersifat kompensasif, seperti melupakan sejenak dengan menenggak minuman keras,
judi maupun berfoya-foya. Namun upaya untuk menghilangkan keguncangan batin
tersebur sering tidak berhasil. Karena itu jiwa mereka menjadi
labil dan terkadang dilampiaskan dengan tindakan yang brutal, pemarah, mudah
tersinggung dan berbagai tindakan negatif lainya.
Perasaan seperti
itu biasanya menghantui terus menerus diri sendiri hingga menyebabkan hidup
mereka tidak pernah mengalami ketenangan dan ketentraman. Sesekali mungkin saja
timbul perasaan kemanusiaannya yang fitri seperti kasih sayang, menyesal, dan
merasa berdosasebagai akibat karena kehilangan harga diri serta dikucilkan
masyarakat.
Perasaan-perasaan
tersebut biasanya mendorong mereka untuk mencari penyaluran yang menurut
penilaianya dapat memberi ketentraman batin. Lazimnya, mereka ini akan kembali
kepada agama. Kesadaran ini sering mendorong orang untuk bertobat. Sebagai
penebus terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya, tak jarang orang-orang
seperti ini kemudian menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.[9]
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka
yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap sebagai
berikut[10] :
1)
Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama
mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
Penderitaan yang mereka alami menyebabkan peningkatan ketaatannya.
2)
Intovert
Sifat pesimis membawa mereka
untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu
dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
3)
Menyenangi paham yang ortodoks
Sebagai pengaruh sifat pesimis
dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka
untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
4)
Mengalami proses keagamaan secara non-graduasi
Proses timbulnya keyakinan
terhadap ajaran agama umumnya tidak berlangsung melalui prosedur yang biasa.
Tindak keagamaan yang mereka lakukan didapat dari proses pendadakan dan
perubahan secara tiba-tiba.
b.
Tipe
Orang Yang Sehat Jiwa (Healthy Minded Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa
menurut W.
Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion psychology adalah
:
1)
Optimis
dan Gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk
ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandanganya adalah sebagai
hasil jerih payahnya yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah
dan penderitaan dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan
tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap
dosa manusia.
2)
Ekstrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini
menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang
tergores sebagai ekses religiusitas tindakanya. Mereka
selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari kungkungan
ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Mereka senang kepada kemudahan dalam
melaksanakan ajaran agama. Sebagai akibatnya
mereka kurang senang mendalami ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai akibat
perbuatan mereka yang keliru.
3)
Menyenangi
Ajaran Ketauhitan yang Liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka
mereka cenderung:
a)
menyenangi
teologi yang luwes dan tidak kaku.
b)
menunjukan
tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c)
menekankan
ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d)
mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e)
Tidak
menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f)
Bersifat
liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
g)
Selalu
berpandangan positif.
Walaupun keberagamaan
orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan dan
kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun negatif, namun dalam kenyataan
yang ditemuimasih banyak juga orang dewasayang berubah keyakinan dan
kepercayaan. Perubahan itu bisa kearah acuh tak acuh terhadap
agama, atau kearah ketaan terhadap agama. Salah satu bentuk perubahan dalam
keyakinan dan kepercayaan suatu agama yang terpenting adalah “konversi agama”.[12]
5.
Kriteria Orang yang
Matang dalam Beragama
Kesadaran
beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan
tanggapan,reaksi, pengolahan,dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang
datang dari luar. Kesadaran beragama tidak hanya melandasi tingkah laku yang
tampak, tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran, i’tikad, niat, kemauan, dan
tanggapan terhadap nilai-nilai abstrak yang ideal seperti keadilan, persatuan,
perdamaian, dan kebahagiaan.
Walaupun
kesadaran beragama itu melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah
pada bermacam objek, akan tetapi tetap merupakan suatu sistem yang
terorganisasi sebagai bagian dari mental seseorang. Dapat dikatakan bahwa
kesadaran beragama yang mantap adalah suatu disposisi dinamis dari sistem
mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadiannya
untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup dan penyesuaian
diri merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian
kesadaran beragama seseorang tidak pernah mencapai kesempurnaan.
Gordon W.
Allport dari penelitiannya dapat menyimpulkan enam ciri-ciri sentimen beragama
yang matang, yaitu adanya diferensiasi, dinamis, produktif, komperehensif,
integral, dan keikhlasan pengabdian. Berdasarkan pendapat Allport tersebut maka
dapat dikembangkan bahwa karasteristik orang yang telah matang kesadaran
beragamanya apabila memiliki enam ciri khusus, yaitu :
a.
Diferensiasi
yang Baik
Diferensiasi
berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan makin majemuk suatu
aspek psikis yang dimiliki seseorang. Semua pengalaman, rasa, dan kehidupan
beragama makin lama semakin matang, semakin kaya, kompleks dan bersifat
pribadi. Pemikirannya makin kritis dalam memecahkan berbaqgai permasalahan yang
dihadapi dengan berlandaskan ketuhanan. [13]
Perasaan,
penghayatan, pemikiran, kemauan dan keinginan yang bergolak pada situasi dan
kondisi yang berbeda tersebut merupakan diferensiasi beragama. Harapan akan
keridhaan Tuhan, kecemasan dan ketakutan terhadap siksaan Tuhan, cinta kasih
terhadap sesama pemeluk agama serta kebencian terhadap hawa nafsu dan godaan
setan, kesemuanya itu merupakan hasil diferensiasi kesadaran beragama yang
terpolakan ke dalam suatu sistem mental.
Kesadaran
beragama yang terdiferensiasi merupakan perkembangan tumbuhnya cabang-cabang
baru dari pemikiran kritis, alam perasaan dan motivasi terhadap berbagai
rangsangan lingkungan serta terjadinya reorganisasi yang terus menerus. Masalah
ketuhanan, rohaniah, nilai hidup dan kehidupan yang diamatinya dalam kehidupan
sehari-hari akan menjadi sasaran pengolahan pemikirannya, sehingga memperkaya
orientasi kesadaran beragama. Ia berusaha memecahkan permasalahan tersebut
dengan sikap rasional dan emosional yang tepat serta konsisten berdasarkan
kesadaran beragama.
Kesadaran
beragama yang tidak terdiferensiasi menunjukkan sikap dan tingkah laku yang
tidak kritis, statis, dan menerima nasib. Ia menerima ajaran agama tanpa
pengolahan serta mempercayai begitu saja, apa yang diutarakan oleh guru maupun
tokoh agama. Ia merasa puas dengan keimanan yang dimilikinya. Sering kali
tampak adanya kebencian, dengki, iri hati, hasud, kecemasan dan prasangka
terhadap suku dan agama lain sebagai akibat tidak tersalurkan atau penekanan
konflik batin ke alam bawah sadar serta tidak terolahnya permasalahan,
pertentangan dan perbedaan paham yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.[14]
b.
Motivasi
Kehidupan Beragama yang Dinamis
Dari
sudut psikologi, motivasi kehidupan bragama pada mulanya berasal dari berbagai
dorongan, baik biologis, psikis, maupun sosial. Pertama, dorongan
biologis, seperti rasa lapar, rasa haus, kemiskinan, penderitaan, penjajahan,
dan penindasan. Orang akan termotivasi mendekatkan diri kepada Tuhan dikala
dilanda kekurangan, kemiskinan, bencana alam, sakit, atau penderitaan lainnya.
Kedua, dorongan
psikologis, seperti kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan diri, rasa ingin
tahu, harga diri dan sebagainya. Dalam realitas kehidupan beragama,banyak hasil
observasi menunjukkan bahwa pelajar maupun mahasiswa akan lebih disiplin
beribadah di saat-saat mendekati ujian, tetapi akan berkurang bahkan
melupakannya di saat ujian sudah berlalu. Kebutuhan psikologis telah menjadi
motif seseorang untuk meningkatkan semangat pendekatan diri kepada Tuhan. Hal
ini tampaknya memang sudah menjadi tabiat manusia.
Ketiga, dorongan
sosial seperti ingin popular, agar diterima oleh suatu kelompok maupun ambisi
pribadi akan kebutuhan kekuasaan juga seringkali menjadi motif seseorang
ataupun kelompok lebih intens melakukan kehidupan beragama. Agar diterima di
lingkungannya yang bernuansa agamis, tak sedikit orang aktif mengikuti kegiatan
keagamaan seperti tahlilan atau yasinan walaupun
dalam kehidupan sehari-harinya tak pernah shalat.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut jika mendapat pemuasan dalam kehidupan
beragama dapat menimbulkan dan memperkuat motivasi keagamaan yang lama-kelamaan
akan menjadi otonom, yaitu orang yang akan termotivasi untuk beribadah, baik
didorong oleh kebutuhan atau tidak. Derajat otonom dalam bahasa agama sering disebut
beribadah yang dilandasi niat “ikhlas”, yang artinya murni beribadah
karena ingin melaksanakan kewajiban sebagai hamba yang baik.
Derajat
kekuatan motif beragama itu sedikit banyak dipengaruhi oleh pemuasan yang
diberikan oleh agama, makin kokoh dan makin otonom motif tersebut yang akhirnya
merupakan motif yang berdiri sendiri sendiri dan secara konsisten serta dinamis
mendorong manusia untuk bertingkah laku keagamaan. Salah satu perbedaan penting
antara orang yang memiliki kesadaran beragama yang beragama dengan orang yang
belum matang terletak pada derajat otonomi motivasi keagamaannya. Makin matang
kesadaran beragama seseorang akan semakin kuat energi motivasi keagamaan yang
otonom itu.[15]
Orang yang memiliki kesadaran keagamaan yang belum matang, motivasi
keagamaannya masih berhubungan erat dengan dorongan-dorongan jasmaniah dan
rohaniah serta kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan ambisi pribadinya.
Tingkah laku keagamaannya seolah-olah dikendalikan oleh dorongan biologis, hawa
nafsu, kebutuhan ekonomi dan kekuasaan. Sedangkan orang yang memiliki kesadaran
beragama yang matang justru mampu mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu,
dorongan materi dan ambisi pribadi ke arah tujuan yang sesuai dengan motivasi
keagamaan yang tinggi, sehingga motivasi beragama dari waktu ke waktu semakin
dinamis.
Bila
kesadaran beragama telah menjadi pusat sistem mental keperibadian yang mantap,
maka ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan, mengolah serta mewarnai
semua sikap dan tingkah laku seseorang. Walaupun kesadaran beragama yang matang
mewarnai cara hidup seseorang, namun sikap dan perilakunya tidaklah menunjukkan
fanatisme, kaku, ekstrem, dan radikal. Sikap-sikap tersebut justru menunjukkan
kesadaran beragama seseorang tidak matang.
c.
Pelaksanaan
Ajaran Agama Secara Konsisten dan Produktif
Pelaksanaan
kehidupan beragama atau peribadatan merupakan realisasi penghayatan ketuhanan
dan keimanan. Ibadah yang menekankan realisasi hubungan manusia dan Tuhan,
sering disebut ibadah dalam arti khusus. Formalitas, tata cara dan peraturan
ibadah khusus telah ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu yang disampaikan kepada
Nabi sehingga tidak boleh diubah atau dimodifikasikan. Ibadah dalam arti luas
mencakup seluruh kehendak, cita-cita, sikap dan tingkah laku manusia
berdasarkan penghayatan ketuhanan disertai niat atau kesengajaan dengan
ikhlas karena dan demi Allah. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang
matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap dan penuh
tanggung jawab dan dilandasi warna pandangan agama yang luas. [16]
Dalam
melaksanakan hubungan dengan Tuhan, orang yang memiliki kesadaran beragama yang
matang benar-benar menghayati hubungan tersebut. Ibadahnya bersifat subjektif,
kreatif dan dinamis. Ia selalu berusaha mengharmoniskan hubungannya dengan
Tuhan, manusia lain dan alam sekitarnya melalui sikap dan tingkah lakunya.
d.
Pandangan
Hidup yang Komprehensif
Kepribadian
yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh dan komprehensif. Keanekaragaman
kehidupan dunia harus diarahkan pada keteraturan. Akan tetapi keteraturan itu
meliputi pula alam perasaan, pemikiran, motivasi, norma, nilai-nilai
kemasyarakatan dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan
agar dapat menentukan pilihan tingkah lakunya secara pasti. Agama memberikan
dorongan dan motivasi lebih kuat dan lebih bermakna terhadap semangat dan arti
hidup.
Bagi
orang yang matang beragamanya, maka memahami dan melakukan agama tidak bersifat
formalitas dan parsial, tetapi berusaha memahami dan melaksanakan agama secara
logika, perasaan dan tindakan, bahkan memasuki wilayah agama secara utuh.
e.
Pandangan
Hidup yang Integral
Disamping
pandangan yang komprehensif, pandangan dan pegangan hidup harus terintegrasi,
yakni merupakan suatu landasan hidup yang menyatukan hasil diferensiasi aspek
kejiwaan yang meliputi fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam
kesadaran beragama, integrasi tercermin pada keutuhan pelaksanaan ajaran agama,
yaitu keterpaduan ihsan, iman dan peribadatan.[17]
Orang
yang memiliki kesadaran beragama yang terintegrasi akan berusaha menganalisis
bahkan mengolah penafsiran ajaran agama dan meneliti norma penemuan baru dengan
kritis, sehingga menghasilkan pandangan baru yang dapat dijadikan pegangan.
Tentang kematangan jiwa agama seseorang yang didorong oleh pandangan hidup yang
integral tersebut sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Fajr ayat
27-30:
Artinya :
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam syurga-Ku.
”
f.
Semangat
Pencarian dan Pengabdian Kepada Tuhan
Ciri lain
dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang ialah adanya semangat
mencari kebenaran, keimanan, rasa ketuhanan dan cara-cara terbaik untuk
berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Ia selalu menguji keimanannya
melalui pengalaman-penglaman keagamaan sehingga menemukan keyakinan yang lebih
tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar menemukan nikmat
penghayatan “kehadiran” Tuhan. Walaupun demikian ia masih merasakan bahwa
keimanan dan peribadatannya belum sebagamana mestinya dan belum sempurna.[18]
Orang
yang memiliki kesadaran beragama yang matang, meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan
itu ada. Hal yang menimbulkan keraguan dan selalu dicarinya adalah penghayatan
akan “kedekatan” dan “kehadiran” Tuhan. Keadaan ini selalu dan merupakan
hipotesis yang makin lama semakin lebih tepat pembuktiannya, walaupun tidak
pernah sempurna. Dengan demikian cirri orang yang matang beragama adalah setiap
nafas, setiap langkah dan aktifitasnya selalu diupayakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah serta untuk mencari ridha-Nya dengan sesegera mungkin.
Berikut adalah tujuh kriteria dari
Allport tentang sifat-sifat khusus kepribadian yang sehat, yaitu :
a.
Perluasan Perasaan Diri
Ketika orang menjadi matang, ia mengembangkan
perhatian-perhatian di luar diri. Tidak cukup sekadar berinteraksi dengan
sesuatu atau seseorang di luar diri. Lebih dari itu, ia harus memiliki
partisipasi yang langsung dan penuh, yang oleh Allport disebut
"partisipasi otentik". Dalam pandangan Allport, aktivitas yang
dilakukan harus cocok dan penting, atau sungguh berarti bagi orang tersebut.
Jika menurut kita pekerjaan itu penting, mengerjakan pekerjaan itu
sebaik-baiknya akan membuat kita merasa enak, dan berarti kita menjadi
partisipan otentik dalam pekerjaan itu. Hal ini akan memberikan kepuasan bagi
diri kita.
Orang yang semakin terlibat sepenuhnya
dengan berbagai aktivitas orang, atau ide, ia lebih sehat secara psikologis.
Hal ini berlaku bukan hanya untuk pekerjaan, melainkan juga hubungan dengan
keluarga dan teman, kegemaran, dan keanggotaan dalam politik, agama, dan sebagainya.
b.
Relasi Sosial yang Hangat
Allport membedakan dua macam kehangatan dalam
hubungan dengan orang lain, yaitu kapasitas untuk mengembangkan keintiman dan
untuk merasa terharu. Orang yang sehat secara psikologis mampu
mengembangkan relasi intim dengan orangtua, anak, pasangan, dan sahabat. Ini
merupakan hasil dari perasaan perluasan diri dan perasaan identitas diri yang
berkembang dengan baik.
Ada perbedaan hubungan cinta antara orang
yang neurotis (tidak matang) dan yang berkepribadian sehat (matang).
Orang-orang neurotis harus menerima cinta lebih banyak daripada yang mampu
diberikannya kepada orang lain. Bila mereka memberikan cinta, itu diberikan
dengan syarat-syarat. Padahal, cinta dari orang yang sehat adalah tanpa syarat,
tidak melumpuhkan atau mengikat.
Jenis kehangatan yang lain, yaitu perasaan
terharu, merupakan hasil pemahaman terhadap kondisi dasar manusia dan perasaan
kekeluargaan dengan semua bangsa. Orang sehat memiliki kapasitas untuk
memahami kesakitan, penderitaan, ketakutan, dan kegagalan yang merupakan ciri
kehidupan manusia.
c.
Keamanan Emosional
Kualitas utama manusia sehat adalah
penerimaan diri. Mereka menerima semua segi keberadaan mereka, termasuk
kelemahan-kelemahan, dengan tidak menyerah secara pasif terhadap kelemahan
tersebut. Selain itu, kepribadian yang sehat tidak tertawan oleh
emosi-emosi mereka, dan tidak berusaha bersembunyi dari emosi-emosi itu. Mereka
dapat mengendalikan emosi, sehingga tidak mengganggu hubungan antarpribadi.
Pengendaliannya tidak dengan cara ditekan, tetapi diarahkan ke dalam saluran
yang lebih konstruktif.
Kualitas lain dari kepribadian sehat adalah
"sabar terhadap kekecewaan". Hal ini menunjukkan bagaimana seseorang
bereaksi terhadap tekanan dan hambatan atas berbagai keinginan atau kehendak.
Mereka mampu memikirkan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama.
Orang-orang yang sehat tidak bebas dari perasaan tak aman dan ketakutan. Namun,
mereka tidak terlalu merasa terancam dan dapat menanggulangi perasaan tersebut
secara lebih baik daripada kaum neurotis.
d.
Persepsi Realistis
Orang-orang sehat memandang dunia secara
objektif. Sebaliknya, orang-orang neurotis kerapkali memahami realitas
disesuaikan dengan keinginan, kebutuhan, dan ketakutan mereka sendiri. Orang
sehat tidak meyakini bahwa orang lain atau situasi yang dihadapi itu
jahat atau baik menurut prasangka pribadi. Mereka memahami realitas sebagaimana
adanya.
e.
Keterampilan dan Tugas
Allport menekankan pentingnya pekerjaan dan
perlunya menenggelamkan diri di dalam pekerjaan tersebut. Kita perlu memiliki
keterampilan yang relevan dengan pekerjaan kita, dan lebih dari itu harus
menggunakan keterampilan itu secara ikhlas dan penuh antusiasme. Komitmen pada
orang sehat atau matang begitu kuat, sehingga sanggup menenggelamkan semua
pertahanan ego.
Dedikasi terhadap pekerjaan berhubungan
dengan rasa tanggung jawab dan kelangsungan hidup yang positif. Pekerjaan dan
tanggung jawab memberikan arti dan perasaan kontinuitas untuk hidup. Tidak
mungkin mencapai kematangan dan kesehatan psikologis tanpa melakukan pekerjaan
penting dan melakukannya dengan dedikasi, komitmen, dan keterampilan.
f.
Pemahaman Diri
Memahami diri sendiri merupakan suatu tugas
yang sulit. Ini memerlukan usaha memahami diri sendiri sepanjang kehidupan
secara objektif. Untuk mencapai pemahaman diri yang memadai dituntut
pemahaman tentang dirinya menurut keadaan sesungguhnya. Jika gambaran diri yang
dipahami semakin dekat dengan keadaan sesungguhnya, individu tersebut semakin
matang.
Demikian juga apa yang dipikirkan seseorang
tentang dirinya, bila semakin dekat (sama) dengan yang dipikirkan orang-orang
lain tentang dirinya, berarti ia semakin matang. Orang yang sehat terbuka
pada pendapat orang lain dalam merumuskan gambaran diri yang objektif. Orang
yang memiliki objektivitas terhadap diri tak mungkin memproyeksikan kualitas
pribadinya kepada orang lain (seolah orang lain negatif). Ia dapat menilai
orang lain dengan seksama, dan biasanya ia diterima dengan baik oleh orang
lain. Ia juga mampu menertawakan diri sendiri melalui humor yang sehat.
g.
Filsafat Hidup
Orang yang sehat melihat ke depan, didorong
oleh tujuan dan rencana jangka panjang. Ia memiliki perasaan akan tujuan, perasaan
akan tugas untuk bekerja sampai tuntas sebagai batu sendi kehidupannya. Allport
menyebut dorongan-dorongan tersebut sebagai keterarahan (directness).
Keterarahan itu membimbing semua segi
kehidupan seseorang menuju suatu atau serangkaian tujuan, serta memberikan
alasan untuk hidup. Kita membutuhkan tarikan yang tetap dari tujuan yang
bermakna. Tanpa itu mungkin kita mengalami masalah kepribadian.
Kerangka dari tujuan-tujuan itu adalah nilai,
yang bersama dengan tujuan sangat penting dalam rangka mengembangkan filsafat
hidup. Memiliki nilai-nilai yang kuat merupakan salah satu cirri orang matang.
Orang-orang neurotis tidak memiliki nilai atau memiliki nilai yang
terpecah-pecah dan bersifat sementara, yang tidak cukup kuat untuk
mempersatukan semua segi kehidupan.
Suara hati berperan dalam menentukan filsafat
hidup. Allport mengemukakan perbedaan antara suara hati yang matang dengan
suara hati tidak matang. Yang tidak matang, suara hatinya seperti pada
kanak-kanak: patuh dan membudak, penuh larangan dan batasan, bercirikan
perasaan "harus".
Orang yang tidak matang berkata, "Saya
harus bertingkah laku begini." Sebaliknya, orang yang matang berkata,
"Saya sebaiknya bertingkah laku begini." Suara hati yang matang
adalah perasaan kewajiban dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan orang
lain, dan mungkin berakar dalam nilai-nilai agama atau etis.
Faktor intern anak yang dapat mempengaruhi perkembangan
kepribadian adalah :
1)
Konstitusi tubuh
2)
Struktur dan keadaan fisik
3)
Koordinasi motorik
4)
Kemampuan mental dan bakat khusus,
intelegensi tinggi, hambatan mental, dan bakat khusus
5)
Emosional
6.
Kematangan
Beragama Menurut Islam
Di dalam ajaran Islam terdapat berbagai sumber
hukum yang bisa dijadikan sebuah literature untuk menentukan hukum, baik itu Al-qur’an,
hadits maupun ijtihad. Begitu pula hal yang berkaitan dengan psikologi apalagi
yang erat kaitannya dengan kriteria orang yang matang agamanya, pastilah dalam
Al-qur’an dijelaskan dengan detail. Di dalam Al-qur’an terdapat beberapa
kriteria orang yang bisa dikategorikan matang agamanya, antara lain :
a.
Orang Tersebut
Sangat Cinta Kepada Allah
“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang
yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S
al-Baqarah: 165)
b.
Beriman Kepada
Semua Nabi
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami
tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya.” (Q.S al-Baqarah: 136)
c.
Mereka Senantiasa
Mengabdi dan
Beribadah Kepada-Nya.
“Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah,
bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S al-Baqarah: 194)[20]
d.
Mereka Juga
Orang Yang Selalu Setia Pada Janji
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S al-Baqarah: 177)
e.
Selalu
bantu membantu dalam kebajikan dan bukan dalam hal kejahatan
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S al-Maidah: 2)
f.
Bersikap
adil walaupun harus merugikan dirinya dan golongan.
“Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S
an-Nisa 135)[21]
g.
Bersikap
jujur sekalipun pada lawan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya.”(Q.S al-Maidah: 2)
h.
Hidup
secara wajar
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (Q.S al-Baqarah: 62)
i.
Selalu
menafkahkan sebagian harta dan memaafkan orang lain
“Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S Ali-Imran:
133-134)
j.
Hidupnya
dikorbankan demi mencari ridha Allah SWT
“Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah;
dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”(Q.S al-Baqarah: 207)[22]
7.
Kriteria Kematangan Beragama Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
a.
Kematangan Beragama Berdasarkan Al-Qur’an
Kematangan Beragama telah digambarkan dalam surat Al- Mu’minun Ayat 1-10
dan surah Al-Furqon ayat 63-67 sebagai Berikut:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan
zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini
tiada terceIa Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah
orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi (Al-Mu’minun : 1-10).
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang
yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka Dan
orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami,
Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya
Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqon : 63-67)
Kriteria yang diberikan Oleh Al-Qur’an bagi mereka yang dikategorikan orang
yang matang bergama islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama
pada surat al-mu’minun dan bagian akhir dari surat al-furkon. Adalah mereka
yang khusyu’ shalatnya, menjauhkan diri dari hal-hal yang tak berguna,
menunaikan zakat menjaga kemaluannya kecuali kepada istri-istri yang sah, jauh
dari perbuatan melampaui batas. Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya,
memlihara shalatnya, merendahkan diri dan berrtawadhu. Menghidupkan
malam-malamnya dengan bersujud, selalu takut dan meminta ampun agar jauh dari
jahanam, membelajankan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula kikir.
b.
Kematangan Beragama Berdasarkan Hadits
Rasulullah SAW
memberikan batas minimal bagi seorang yg disebut muslim yaitu disebut muslim
itu apabila muslim-muslim lain merasa aman dari lidah dan tangannya . Sementara
ciri-ciri lain disebutkan cukup banyak bagi orang yg meningkatkan kualitas
keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW menganjurkan dengan cara peringatan
seperti “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaknya dia
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri” . “Tidak
beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari gangguannya” . “Tidak
beriman seseorang kepada Allah sehingga dia lbh mencintai Allah dan Rasul-Nya
dari pada kecintaan lainnya..” .
Dengan demikian
petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang yang beragama Islam agar dia
menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak mengganggu orang lain demikian juga
dia menghormati tetangganya saudara sesama muslim dan sangat mencintai Allah
dan Rasul-Nya.
Ringkas kata dia
berpedoman kepada petunjuk Al-Qur’an dan mengikuti contoh praktek Rasulullah
SAW sehingga dia betul-betul menjaga hubungan “hablum minallah” dan “hablum
minannaas” .
Peringatan shahabat
Ali r.a. bahwa klimaks orang ciri keagamaannya matang adalah apabila orang tersebut
bertaqwa kepada Allah SWT. Dan inti taqwa itu ada empat menurut Ali r.a.
1.
Mengamalkan isi Al-Qur’an
2.
Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan
perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
3.
Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT meskipun terasa sedikit
4.
Persiapan untuk menjelang kematian dengan meningkatkan kualitas keimanan
dan amal shaleh.
8.
Kriteria Kematangan Beragama
Menurut Para Ahli
a. Kriteria Orang Yang Matang
Beragama Menurut Ibnu Qoyyim
Ibnul Qoyyim ulama abad ke 7 menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang
beragama Islamnya :
1)
Dia terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar
selalu bertambah kualitasnya
2)
Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan
keagungan Allah serta segala yg dijanjikan di akherat kelak sehingga dia
menyibukkan diri untuk meraihnya
3)
Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan utk memikirkan
ayat-ayat Allah Al-Kauniyah dan Al-Qur’aniyah .
4)
Dia terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada
Allah senang atau benci marah atau rela semuanya karena Allah.
5)
Dia terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas
pondasi akhlak mulia sehingga kalau berbicara dia jujur bermuka manis
menyantuni yang tidak mampu tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak
mulia
6)
Dia terbina kemasyarakatannya krn menyadari sebagai makhluk sosial dia
harus memperhatikan lingkungannya sehingga dia berperan aktif mensejahterakan
masyarakat baik intelektualitasnya ekonominya kegotang-royongannya dan
lain-lain
7)
Dia terbina keamuannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yg
distruktif tetapi justru diarahkan sesuai dgn kehendak Allah. Kemauan yg
mendorongnya selalu beramal shaleh
8)
Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan untuk
ketaatan kepada Allah krn Rasulullah SAW bersabda “Orang mukmin yg kuat itu
lbh baik dan dicintai Allah daripada mukmin yg lemah”
9)
Dia terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkan kepada perkawinan yang
dihalalkan Allah SWT sehingga dapat menghasilkan keturunan yang shaleh dan
bermanfaat bagi agama dan negara.
b.
Kriteria Orang yang Matang Beragama Menurut Allport
1)
Kemampuan melakukan differensi, artinya kemampuan differensi dengan baik
dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan berperilaku terhadap agama
secara objektif, kritis, reflektif, berpikir terbuka atau tidak dogmatis.
Individu yang memiliki kehidupan bergama yang differensiasi, akan mampu
menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan bergamanya, sehingga
pandangan terhadap agama menjadi lebih kompleks dan realistis, tidak terjebak
dengan pemikiran yang dogmatis.
2)
Berkarakter dinamis, artinya apabila individu telah berkarakter dinamis,
agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya.
Aktivitas keagamaan semuanya dilaksanakan demi kepentingan agama itu sediri.
3)
Konsistensi moral, kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu
pada konsikuensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara
tingkah laku dengan nilai moral. Salah satunya adalah adanya keselarasan dan
kesamaan antara tingkah laku dengan nilai agama, kepercayaan tentang agama yang
intens akan mampu mengubah atau memtransfomasikan tingkah laku.
4)
Komprehensif, kebergamaan yang komprehensif dapat diartikan segabai
kebaragamaan yang luas, universal dan toleran dalam arti mampu menerima
perbedaan.
5)
Integral, keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau
menyatukan agama dengan segenap aspek-aspek lain dalam kehidupan termasuk di
dalamnya dengan ilmu pengetahuan
6)
Heuristik, ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan
menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk
meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam bergama.
9.
Agama
Sebagai Dasar Perkembangan Ilmu
Ilmu
pengetahuan, teknologi
dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan
manusia. Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan dan
memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Dengan keunggulan dan
keterbatasanya dua sosok subyek ini dalam taraf tertentu terbukti telah
memberikan sumbangan yang nyata bagi peningkatan taraf kehidupan manusia.
Permasalahan yang muncul adalah bahwa kedua kekuatan itu berjalan
sendiri-sendiri dan terlepas satu sama lain.
Ternyata,
terlepasnya ilmu dan teknologi dari ikatan spiritual keagamaan menyebabkan
kerusakan di dunia ini semakin parah. Kemajuan iptek yang tidak didasarkan pada
moral spiritual agama akan semakin menyesatkan manusia, tapi terjadi juga pada
kualitas lingkungan hidupnya. Kerusakan fisik lingkungan alam karena ulah
manusia kini semakin nyata.Dengan demikian relevan bila saat ini kita berbicara
tentang integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama. [23]
10. Agama adalah Pengendali Moral
Moral
adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja, baik dalam
masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang.
Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang sudah rusak moralnya, maka akan
goncanglah keadaan masyarakat itu.
Yang dimaksud dengan moral sendiri adalah kelakuan yang sesuai dengan
ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan
dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut. Tindakan
itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada keinginan-kepentingan
pribadi.
Jika kita
ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting,
dimana kejujuran, kebenaran, keadilan dan pengabdian adalah diantara
sifat-sifat yang terpenting dalam agama.
Dari
manapun kita dasarkan definisi tentang moral, maka definisi itu akan menunjukan
bahwa moral itu sangat penting bagi setiap orang dan tiap bangsa. Bahkan ada
seorang penyair Arab yang mengatakan bahwa ukuran suatu bangsa adalah
moral atau ahlaknya.
Memang moral sangat penting bagi masyarakat, bangsa dan umat. Kalau moral sudah
rusak, ketentraman dan kehormatan bangsa itu akan hilang. Untuk memelihara
kelangsungan hidup secara wajar, maka perlu sekali adanya moral yang baik.[24]
C.
SIMPULAN
Kematangan beragama
merupakan kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut
keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi
penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku
keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Ciri dan sifat keberagamaan dibagi menjadi dua tipe, yaitu : tipe orang
yang sakit jiwa, dan tipe orang yang sehat jiwa. Ilmu
pengetahuan, teknologi
dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan
manusia. Keduanya berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan dan
memberikan kesejahteraan bagi umat manusia
Sedangkan, yang dimaksud dengan moral sendiri adalah kelakuan yang sesuai
dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan
paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan
tersebut.
Menurut G.W Allport karakteristik orang yang matang beragama, yaitu:
memiliki diferensiasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis,
pelaksanaan ajaaran agama yang konsisten dan produktif, pandangan hidup yang
komprehensif, pandangan hidup yang integral dan semangat pencarian dan
pengabdian kepada Tuhan.
Di dalam ajaran Islam dijelaskan karak teristik orang-orang yang matang
dalam beragama, antara lain: 1. memiliki rasa cinta yang kuat kepada Allah, 2.
beriman kepada semua nabi, 3. senantiasa bersama Allah, memiliki iman yang
mantap, tujuan hidupnya menegakkan tauhid beribadah kepada Allah, 4. Setia
kepada janji, 5. Saling tolong menolong dalam kebajikan bukan kejahatan, 6.
Bersikap adil walaupun harus merugikan dirinya dan golongannya, 7. Bersikap
jujur sekalipun pada lawan, 8. Hidup secara wajar 9. Menafkahkan sebagian
hartanya baik dalam kondisi lapang maupun sempit, 10. Hidupnya dikorbankan demi
mencari ridha Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin,
Dr. H. M. Pd. I dan Mulyono, M.A. 2008. Psikologi Agama dalam
Perspektif Islam. Malang:
UIN – Malang Press.
Darodjat. Zakiah
1982. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung
Agung.
Djalaludin
Ancok & Fuat Nasori Suroso. 1994. Psikologi
Isami. Yogyakarta :
Pustaka Belajar.
Jalaluddin. Prof.
Dr. H. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Jalaludin. Prof.
Dr. H. 2009. Psikologi Agama
Edisi Revisi 2009. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
· Jalaludin. Prof. Dr. H.
2010. Psikologi Agama. Jakarta
: Rajawali pers.
[1] Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009 (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,
2009). Hal. 123
[4] Baharuddin
dan Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam (Malang:
UIN – Malang Press, 2008). Hal. 170-172
[6] Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009 (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,
2009). Hal. 126.
[8] Ibid. Jalaluddin. Psikologi Agama ( Jakarta : Rajawali Pers, 2010 Edisi Revisi.14 ) Hal 125-126.
[10] Ibid. Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2009 (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,
2009). Hal. 128.
[13] Baharuddin dan Mulyono. Psikologi
Agama dalam Perspektif Islam (Malang: UIN Malang Press, 2008). Hal. 174-176
[23] Djalaludin Ancok &Fuat Nasori
Suroso. Psikologi Isami. (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 1994) Hal.
123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar