A.
PENDAHULUAN
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan
progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual,
senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti feodalistik,
mencintai kebersihan, megutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap
positif lainnya. [1]
Sebagai agama yang
memiliki banyak dimensi, Islam banyak memberikan konstribusi yang
sangat besar bagi kehidupan manusia dalam menjalankan tugasnya sehingga
diharapkan dapat menyelamatkan sebagaimana makna Islam yang ia pegang sebagai
jenjang menuju keselamatan. Sehingga dari abad ke-19
agama Islam khususnya dijadikan sebagai objek studi dan kajian agama hingga
saat ini.
Studi-studi agama
dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan
dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama sebelum
abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang antara lain, sinkritisme,
penemuan arca baru, dan untuk kepentingan misionari dipicu oleh semangat dan
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi islam
mengalami perubahan.
Adapun studi islam sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi
ini, pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan
kepada Allah SWT. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak
dimensi yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai
pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu.
Jadi dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa Islam sebagai agama
memiliki dimensi yang luas banyak memberikan kontribusi, sehingga Agama Islam
banyak dijadikan sebagai objek kajian. Dan kita juga dapat mengetahui bahwa
studi agama saat ini mengalami perbedaan orientasi yang jauh dari abad ke 19 yang
memiliki beberapa karakteristik. Dan dengan studi Islam ini kita bisa
mengetahui dan mengukur seberapa banyak ilmu, iman, serta amal kita kepada
Allah SWT
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Studi Islam : Etimologi
dan Terminologis
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan
dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga
perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian
yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha
sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara
mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam,
baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[2]
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1)
Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai
yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada
hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi semua
larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.[3]
Jadi, studi Islam adalah
segala kajian yang tidak terlepas dari unsur Islam, baik sebagai objek langsung
dalam kajian tersebut atau objek tidak langsung. Studi
Islam itu meliputi segala kajian tentang Islam pada tiga tingkatan yakni Islam
sebagai wahyu, Islam sebagai pemikiran atau dalam pemahaman dan Islam sebagai
pengamalan.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya
dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan
oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat
Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang
dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam,
studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas
ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan
benar.
Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk
mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di
kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi).
Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam
tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik
yang bersifat positif maupun negatif.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal
dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang
mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam.
Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada
masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan
dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan
kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama
Islam dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Namun, pada masa akhir-akhir ini
banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang
objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan
yang demikian itu kan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman
di kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan
umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang
mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi,
dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar
yang bersifat objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif
apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadits yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap
tuntutan perkembangan zaman telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku
dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sentuhan rasional, tuntutan perubahan,
dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat
Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang
demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam
studi keislamannya.[4]
Dengan adanya kontak budaya
modern dengan budaya Islam, mendorong para Ulama’ tersebut untuk bersikap
objektif dan terbuka terhadap pandangan luar yang pada gilirannya pendekatan
ilmiah yang bersifat rasional dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk
pula dalam studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan
menampilkan kajian yang objektif dan ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang
diklaim sebagai ajaran universal bisa menjadi berkembang dan menjadi sangat relevan
dan dibutuhkan oleh umat Islam serta betul-betul mampu menjawab tantangan zaman
2.
Islam Sebagai Objek Kajian
Dari fenomena sosial yang terjadi
di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian
dan dalam mengkaji Islam, tentu kita harus berpedoman pada dua sumber
otentiknya yakni Alquran dan hadis. Orang yang memeluk Agama Islam, yang
disebut muslim adalah orang yang bergerak menuju ketingkat eksistensi yang
lebih tinggi. Demikian yang tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata
Islam apabila kita melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri.
Untuk memecahkan masalah yang
timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran
terhadap Alquran dan hadis sehingga timbulah pemikiran Islam, baik yang
bersifat tekstual maupun kontekstual. Islam sebagai agama, pemikiran atau
penafsiran Alquran dan hadis, juga sebagai objek kajian, sebuah sistem yang
hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi sebuah matriks mengenai nilai dan konsep
yang abadi. Hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi
peradaban. Karena Islam merupakan suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini
menyerap setiap aspek kehidupan manusia.
Islam sebagai agama teologis juga
merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragan pemikiran, lahirnya
pemikiran ini memberi indiksi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman dan
aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam,
dan bukan berarti mereduksi atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Bukankah
dalam Islam telah memotivasi pelibatan akal pikiran untuk dikenali, diketahui
dan diimplementasikan ajarannya. Ajarannya yang berbentuk universal hanya bisa
ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan
manusia, ia baru menjadi bentuk.[5]
Jadi, ketika pemikiran hendak
masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut
pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya, maka dalam proses
dan bentuknya kemudian, Islam dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang
ditunjuk di sini tentu bukan saja apa yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis
(tekstual dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan
pengejawantahan nilai-nilainya
Islam berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran (akal pikiran) dilibatkan dalam
proses memahami dan mengaktualisasikannya dalan senarai sejarah Pemikiran Islam
terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil kreatif dan
signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya
yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti
teologis, filsafat Islam, ulumul Qur’an dan hadis, ilmu-ilmu syariah dan
sebagainya.[6]
Jadi, mengkaji Islam sebagai
pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah
mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian
tertentu.
3.
Pendekatan Islam Normatif dan
Islam Historis
a.
Islam Normatif
Islam normatif adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas
transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau
sering disebut realitas ke-Tuhan-an.[7]
Kajian islam normatif melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqh,
tasawuf, filsafat.
1.
Tafsir : Tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
2.
Teologi : Tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
3.
Fiqh : Tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi
(tata
hukum)
4.
Tasawuf : Tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan
diri pada
Tuhan
5.
Filsafat : Tradisi pemikiran dalam bidang hakikat
kenyataan,
kebenaran
Jadi dapat kita simpulkan bahwa dalam model pendekatan normatif ini,
pengkajian agama lebih didominasi oleh motivasi dan kepentingan suatu agama
tertentu. Prinsip dasar pendekatan ini adalah melihat Islam atau agama-agama
lain berdasarkan teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama
yang bercorak literal, tekstual dan absolut.
b. Islam Historis
Dalam bahasa Arab, sejarah disebut “tarikh”, artinya “ ketentuan
masa “. Selain itu, kata tarikh juga dipakai dalam arti” perhitungan waktu”.
Dalam bahasa Inggris, sejarah disebut “history” yang berarti the
development of everything in time ( perkembangan segala sesuatu dalam
masalah). Dalam kamus bahasa inggris dijelaskan bahwa sejarah adalah event
in the past (peristiwa-peristiwa masa lampau).[8]
Jadi, sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa masa lampau
yang meliputi tempat, waktu, obyek, subyek, dan latar belakang peristiwa
tersebut.
Pendekatan sejarah merupakan metode yang penting dalam penelitian agama.
Sebab agama itu sendiri tidak turun dalam suasana kehampaan, melainkan turun
dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan erat dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Selain itu, jika kita perhatikan, maka Al-Qur’an sendiri seakan
memberi “ lampau hijau” bagi pendekatan sejarah dengan mengemukakan ayat-ayat
seputar kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Metode ilmu sejarah, menurut Taufik Abdullah[9] menekankan
pada proses terjadinya suatu perilaku manusia dalam masyarakat. Proses itu
menjelaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang ikut berperan dalam proses tersebut.
Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan
yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Jadi, dengan melakukan pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan
periodisasi atau derivasi sebuah fakta, dan dapat melakukan rekonstruksi proses
perubahan dan perkembangan. Melalui pendekatan sejarah dapat diketahui
asal-usul pemikiran / pendapat / sikap tertentu dari seorang tokoh / mazhab /
golongan. Tujuan analisis sejarah adalah untuk menemukan
kebenaran tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa penting terjadi.
Sedangkan Islam historis (sejarah) adalah islam yang tidak bisa dilepaskan
dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam
yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas
kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an.[10]
Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam
yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip: bahwa pemahaman
hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk
sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Akan tetapi,
ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru menjadikan konsep
kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah.
Paham inilah yang dijadikan sebagai parameter dalam menilai segala jenis hukum
Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.[11]
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap
pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka
islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan
semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada
era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk
mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang
kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu
pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi
kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan
dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif,
maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan
dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut
histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil
sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic
Studies).
Kajian islam historis melahirkan
tradisi atau disiplin studi empiris: antropologi agama, sosiologi agama,
psikologi agama dan sebagainya.
1.
Antropologi agama : disiplin yang mempelajari tingkah
laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
2.
Sosiologi agama : disiplin yang mempelajari sistem
relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
3.
Psikologi agama : disiplin yang mempelajari
aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.
Jadi, dari penjelasan di atas
dapat kita pahami bahwa antara Islam Normatis dan Islam Historis antara
keduanya dapat membentuk hubungan yaitu dialektis dan ketegangan. Hubungan
Dialektis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks
dan konteks. sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu
menganggap yang lain sebagai ancaman.
Menentukan bentuk hubungan yang
pas antara keduanya adalah merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan
antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika
masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat
nilai yang melakat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing
tradisi keilmuan.
Menurut ijtihad, Amin Abdullah, hubungan antara keduanya adalah ibarat
sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat
dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya
tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam,
terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu
keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap
ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena
keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu
dan jebakan ruang dan waktu.[12]
SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami
serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang
berhubungan dengan agama Islam, baik
berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
Studi islam sendiri sangat penting untuk dilakukan,
karena agama islam merupakan agama yang mayoritas di anut oleh sebagian besar
penduduk di dunia. Dengan adanya studi islam ini diharapkan dapat melahirkan
suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan secara ekstern dan intern.
Islam normatif merupakan Islam
pada dimensi sakral, Islam ideal atau yang seharusnya, Islam sebagai realitas
transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu
atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Sedangkan islam historis
merupakan islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan
manusia yang berada dalam ruang dan waktu, Islam yang senyatanya, yang
terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, dan berada di bawah realitas
ke-Tuhan-an.
Hubungan diantara keduanya dapat
berbentuk dialektis maupun ketegangan. Perlu kiranya dikaji dan ditelaah ulang
secara kritis-analitis-akademis dan sekaligus dialektis sesuai denga kaidah keilmuan
historis-empiris pada umumnya. Dengan demikian hubungan antara kedunaya terasa
hidup, segar, terbuka, open ended dan dinamis.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat
kurang dan lebihnya kami mohon maaf, dan kami sangat mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca, agar makalah yang akan datang menjadi lebih baik.
Terima Kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas?. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abuddin
Nata.2003. Metodologi
Studi Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Ali,
Mukti. 1993. Memahami Beberapa Aspek
Ajaran Islam. Cet. II; Bandung:
Mizan.
Hanan
Asrohah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logo.
Kartini Kartono.
1990. Psikologi umum. Bandung: Mandar Maju.
M.
Nurhakim. 2004 Metode Studi Islam. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.
Muhaimin.
2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana.
Muqowim
dkk. 2005. Pengantar Studi Islam.
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga.
Taufik
Abdullah. ” Studi Islam Kontemporer: Sintesis Pendekatan
Sejarah,
Sosiologi
dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan “.
Yusuf,
Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN
Sunan Kalijaga.
[4] Yusuf, Mundzirin dkk.
Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
2005).
Pelajar.
Hlm 5
Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan “, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim
(Editor) hlm 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar