Pada dasarnya ayat-ayat
Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum
merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam perkawinan syarifah.
Begitu pula dengan ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An’am ayat
87, berbunyi :
ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …
(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari
bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara
mereka …’
Ayat di atas jelas
memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi
Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan
dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang ditulis
dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah :
نحن اهل البيت لا يقاس بنا
‘Kami
Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun‘.
Imam Ali bin Abi Thalib
dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, ‘Tiada seorang pun dari
umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad saw’. Imam Ali
mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka,
tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.
Turmudzi meriwayatkan
sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya
tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab :
ان الله
خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من خير قبيلة ثم
تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم بيتا
‘Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku
yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik.
Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari
kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan
menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di
kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah‘.
Baihaqi, Abu Nu’aim dan
Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata :
قال لى
جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض
ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني هلشم
‘Jibril berkata kepadaku : Aku membolak balikkan bumi,
antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama
daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama
daripada keturunan Bani Hasyim’.
Dalam Alquran disebutkan
bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun
mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya
sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan
keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing. Akan tetapi ada
keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul
bait.
Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah
mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan
Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan
yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain.
Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33
yang berbunyi :
إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت
ويطهّركم تطهيرا
‘Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya‘.
Di samping itu Rasulullah
saw telah menegaskan dalam sabdanya :
ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية
لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل
‘Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan,
kedudukan dan kepemimpinan ada pada
Rasulullah Rasulullah dan keturunannya.
Janganlah kalian diseret oleh kebatilan’.
Walaupun para ahlil bait
Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap
memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt,
jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena
hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa
mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.
Dengan keutamaan dzatiyah
dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul memiliki keutamaan
ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah
(khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan
keturunan Rasullulah.
Sebelum kita membahas lebih
lanjut mengenai kafa’ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang
menceritakan tentang adanya kafa’ah di kalangan wanita Arab. Telah diceritakan
dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin Khattab akan
menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut
sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman : Saya lebih setara
(sekufu’) dari pada engkau. Maka Salman berkata : Bergembiralah engkau. Dan
selanjutnya dengan sikap tawadhu’ Salman berkata : Demi Allah, saya tidak akan
menikah dengan dia selamanya.
Ketika Salman al-Farisi
hendak sholat bersama Jarir, salah satu sahabatnya yang berasal dari bangsa
Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian Salman al-Farisi
berkata : ‘Tidak ! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai bangsa Arab,
sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan tidak boleh
menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah memelihara kamu atas
kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah diciptakan dari kalangan
kamu’. Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi :
نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو ننكح
نساءكم
‘Sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk
memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu.”
Dari hadits tersebut
jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa’ah nasab dalam
perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang
berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika
dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa’ah,
apalagi halnya dengan kafa’ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka
adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan
keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan
Rasulullah saw.
Sedangkan hadits Rasulullah
yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa
pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah
ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan
Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt . Dalam kitab Makarim
al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi :
إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا
فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال
بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا
‘Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin
dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan
anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang
diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah
memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak
perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki
kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.
Menurut hadits di atas
dapat kita ketahui bahwa : Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan
anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami
(sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah).
Berdasarkan
hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga
Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan
anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang
mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah
dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.
Di zaman Syekh Umar Muhdhar
bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi
‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar
keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika
ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman
al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus,
Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang
sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat
semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun
hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir
tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan
Allah swt.
Para ulama Alawiyin
mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya,
mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana
hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai
bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan
mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini.
Berpegang pada mereka dan
berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya
perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :
النجوم
أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض
‘Bintang-bintang adalah
sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku
sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)‘.
Tidaklah alquran
memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan
mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan
dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah
bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis :
Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah
orang-orang suci
Mereka pemberi keamanan di muka bumi
Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya
Demikianlah sunnatullah yang telah
ditentukan
Mereka ibarat bahtera penyelamat
dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan
Maka menyelamatkan dirilah kepadanya
Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt
serta memohon pertolongan-Nya
Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang
berguna atas berkah mereka
Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan
kehormatan mereka
Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka
Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam
fitnah.
Kepada siapapun yang
mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara
syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata, dianjurkan untuk
beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan
pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka
sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits
Nabi saw, tetap berada pada diri mereka.
Sebaliknya, jika telah terjadi
pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan
selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis
ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah
swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu
keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.
2 komentar:
map yaa :) pernah denger katanya kalo seorang sayed or syarifah nikah dgn yang non syed or syarifah itu katanya ada neraka khusus yaa buat mereka ,tolong bantu yaaa aku seorang syarifah jg tapi belum trlalu ngerti :) trims
kl mau bhas mslh kafaah via email aja fah, biar lbh enak. Tp yg jlas ana gk brani ngjudge org bisa msuk neraka krn hal ini. Semua punya pndapat masing2
Posting Komentar