Rabu, 10 Oktober 2012

Menjaga Hak Keturunan Rasulullah saw Dalam Perkawinan


Setelah kita membaca uraian mengenai kafa’ah syarifah yang merupakan hak dari keturunan Rasulullah yang harus dijaga, dan setelah mengetahui hukum-hukumnya berdasarkan nash-nash di atas, maka selanjutnya kita wajib memelihara hak tersebut dengan baik, mengapa demikian ?
Seperti kita telah ketahui dalam beberapa hadits Rasulullah saw, jika ada seseorang yang tidak memelihara hak keturunan Rasulullah saw (syarifah) tersebut, maka ketahuilah bahwa orang tersebut tidak akan mendapat syafa’at dari Rasulullah saw, sebagaimana hadits beliau yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i :
“… maka mereka itu keturunannku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuanku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku .
Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa keturunan nabi saw akan terputus hubungannya dengan Nabi saw, jika terjadi perkawinan antara syarifah dengan lelaki yang nasabnya tidak menyambung kepada nabi saw. Mengapa demikian ? Karena anak dari perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan keturunan Rasulullah saw, adalah bukan seorang sayyid (bukan keturunan Rasulullah saw). Dan jika syarifah tersebut melahirkan amak yang bukan dari hasil perkawinan dengan seorang sayid, maka putuslah hubungan nasab anak tersebut dengan Rasulullah saw, dan nasab anak tersebut berlainan dengan nasab ibunya yang bernasab kepada Rasulullah saw. Dan inilah yang dimaksud dengan pemutusan hubungan dengan Rasulullah saw.
Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah saw.
Kafaah syarifah merupakan salah satu dari keridhaan Rasulullah saw. Hal ini dijelaskan dengan hadits-haditsnya pada uraian yang terdahulu. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kaum muslimin yang beriman untuk menjaga dan melaksanakan perkawinan syarifah dengan yang sekufu’ agar mendapat ridho Rasulullah saw. Sebaliknya jika ada orang yang bukan keturunan Rasulullah saw menikah dengan seorang syarifah, maka mereka dengan terang-terangan telah melecehkan hadits Rasulullah saw, dan orang tersebut dapat digolongan sebagai orang yang tidak menunjukkan akhlaq yang baik kepada Rasulullah saw, bahkan orang tersebut telah termasuk golongan yang menyakiti Siti Fathimah dan seluruh keluarganya.
Disamping itu terdapat pula hadits-hadits lain yang mensinyalir bahwa seorang laki-laki yang tidak mengenal hak-hak keturunan Rasulullah saw, di mana nasabnya tidak bersambung kepada Rasulullah saw tetapi menikahi seorang syarifah, dapat digolongkan sebagai seorang munafik, anak yang lahir dari hasil tidak suci, yaitu dikandung oleh ibunya dalam keadaan haidh, atau bahkan dapat dikatakan orang tersebut adalah anak haram ! Sebagaimana hal itu disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi’ dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :
Barangsiapa tidak mengenal hak keturunanku dan Ansharnya, maka ia salah satu dari tiga golongan : Munafiq, atau anak haram atau anak dari hasil tidak suci, yaitu dikandung oleh ibunya dalam keadaan haidh‘.
Terakhir, mari kita mengkaji kembali dengan teliti beberapa peringatan Rasulullah saw yang diberikan kepada umatnya, agar kita tidak termasuk orang yang dapat dikategorikan melecehkan perkataan Rasulullah saw dengan sengaja melanggar hak-hak keturunan beliau saw, ataupun memutuskan hubungan beliau saw dengan anak cucunya melalui pernikahan syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.
Sebagai kalimat penutup pembahasan buku ini, marilah kita para keluarga Alawiyin berusaha agar tetap menjaga dan memelihara hak-hak keturunan Rasulullah saw tersebut dengan baik. Semoga Allah memberi kekuatan iman kepada kita semua untuk tetap menjaga dan memelihara hak-hak keturunan beliau saw dengan baik.

1 komentar:

elfan mengatakan...

APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?

Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait menjadi universal:

1. Kedua orang tua para nabi/rasul;.

2. Saudara kandung para nabi/rasul.

3. Isteri-isteri beliau.

4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki.

Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah bukan termasuk kelompok ahlul bait.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwa pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya seperti Saidina Hasan dan Husein maupun yang perempuan bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.