JANGAN MENYANDARKAN REZEKI PADA MANUSIA
“Ia seorang sufi yang
sangat menekankan pentingnya kerja keras dalam mengisi kehidupan, supaya tidak
riya’ dengan kefakiran”.
Nama lengkapnya Abdul Wahab bin Ahmad
bin Ali bin Muhammad bin Zufa As-Sya’ra. Ia seorang sufi besar dan pengarang
terkenal dari Mesir, lahir pada Ramadhan 898 H (1492 M), di kediaman neneknya,
Kampung Qalqasyandah. Ayahnya, Ahmad bin Ali As-Sya’rawi, juga seorang sufi,
tinggal di Lembah Abu Sya’rah, sebuah desa yang memiliki semangat kesufian yang
tinggi.
Selama
bertahun-tahun penduduk lembah ini mempunyai kebiasaan dengan upacara-upacara
kenduri memperingati Maulid Rasulullah SAW dan kelahiran para wali. Itu
biasanya dilakukan dengan dzikir dan amalan-amalan tarekat. Inilah yang membuat
dunia sufi bukan sesuatu yang asing bagi penduduk sana.
Dalam usia
40 hari As-Sya’rani kecil dibawa kerumah kediaman ayahnya dan disanalah ia di
didik dan dibesarkan sampai menginjak usia remaja. Selanjutnya ia dikirim ke
Kairo untuk menuntut ilmu langsung dari ulama-ulama besar disana. Di antara
guru-gurunya adalah Jalaluddin As-Suyuti, Zakaria An-Nasari, Nasiruddin
Al-Laqani, Ar-Ramli, dan As-Syamnudi. Karena mempunyai prestasi yang menonjol,
ia di angkat menjadi pengajar di beberapa madrasah di Kairo.
Di samping
mengajar dan berdakwah ia pun mengarang beberapa buku, terutama dalam bidang
tasawuf dan fiqih. Buku karyanya mencapai 70 buah. Di antaranya yang terkenal
adalah Al Mawazin Ad Durriyat, Al Yawaqit wa Al Jawahir, Al Bahr Al Mawrud,
Jami’i al Ummah.
As-Sya’rani
termasuk tokoh sufi yang moderat. Berbeda dengan para sufi umumnya yang kurang
memperhatikan kehidupan duniawi, ia sangat menekankan keseimbangan antara
kehidupan dunia, yaitu amal dan usaha, dan kehidupan akhirat. Menurut As-Sya’rani,
meninggalkan usaha dengan pekerjaan yang halal dan menyandarkan rezeki pada
pada orang-orang dermawan adalah suatu kebodohan, karena hal itu disamping
berarti riya’ dengan kefakiran juga mengurangi amal shalih karena telah diambil
oleh para dermawan itu sebagai balasan terhadap rezeki yang disedekahkannya.
Oleh sebab itu ia sangat menekankan pentingnya usaha dan kerja keras, setelah
itu bertawakal kepada Allah. Karena Allah Yang Empunya, kita harus selalu
memohon dan meminta dengan harap dan cemas kepada Allah.
Mencela
dunia secara membabi buta juga merupakan suatu kebodohan, sebab sikap demikian
hanya menunjukkan kegandrungan hatinya dalam mencintai selain Allah dan akan
menghalanginya dari akhirat. Orang yang sempurna (al-kamil) itu tidak akan lari
dari dunia, seperti wanita, anak harta, dan kehormatan, bahkan ia akan
mencintai semuanya, karena dunia bagi orang yang arif berada di tangannya,
bukan di hatinya. Dan zuhud itu bagi orang yang sempurna bukan berarti lepas
tangan atau tidak memperdulikan kehidupan dunia, tapi hanya melepaskan
kegandrungan hati meskipun ia sibuk dalam urusan duniawi.
As-Sya’rani
tidak saja piawai dalam ilmu tasawuf, tapi juga seorang pemikir ulung dalam
politik dan kehidupan praktis. Ilmu, menurutnya, dibagi menjadi tiga bagian
besar. Yaitu ilmu akal, rasional (al-‘aql), yaitu ilmu yang diperoleh dengan
melakukan kontemplasi, penalaran, dan penelitian. Lalu ilmu kondisi kejiwaan
(‘ilm al ahwal), yaitu ilmu yang diperoleh melalui olah rasa. Dan yang terakhir
adalah ilmu rahasia (al-asrar), yaitu ilmu yang diperoleh melalui wahyu atau
ilham itu hanya para nabi dan wali, ilmu al-asrar pun hanya dimiliki oleh para
nabi dan para wali.
Inti
pemikiran As-Sya’rani dalam bidang politik adalah ketaatan terhadap pemimpin
atau hakim, bagaimanapun keadaannya, apakah ia shalih atau non-muslim.
Menurutnya, Tuhan telah memerintahkan hamba-Nya agar menegakkan agama-Nya,
yakni menerapkan syari’at Islam dalam segala segi hidup dan kehidupan. Untuk
menerapkan hal itu perlu suasana tertib, aman, dan sejahtera. Sedang
terciptanya suasana yang aman, tertib, dan sejahtera memerlukan seorang
pemimpin yang bertugas menegakkan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan.
Seorang
pemimpin adalah panutan dalam segala hal. Menurut Sya’rani, pemimpin tidak
hanya menjadi teladan dalam ketaatan kepada Tuhan, tapi juga harus memberikan
contoh kepada orang lain dalam berperilaku sesuai dengan tuntutan agama.
Sumber : Alkisah, No.05/Tahun IV/26 FEB – 11 MAR 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar