WALI DENGAN DUA SAYAP
Karena
penguasaannya di bidang ilmu lahir dan ilmu batin, ia mendapat sebutan “Orang
dengan Dua Sayap”
Syaikh Khalid Al-Baghdadi adalah mursyid
Tariqat Naqsyabandiyah ke-31, penerus rahasia Tariqat Naqsyabandi dari Syaikh
Abdullah Ad-Dahlawi. Dia menyebarkan ilmu-ilmu syariat dan tasawuf, seorang
mujtahid dalam hukum ilahi (syari’at) dan realitas ilahi (hakikat).
Dia dianggap cendekiawan para cendekiawan dan
wali para wali, sehingga diibaratkan laksana cahaya bulan purnama dalam aliran
Thariqat Naqsyabandi, pusat lingkaran kutub.
Khalid lahir pada tahun 1193 H/1779 M di Desa
Karada, Sulaymaniyyah, Irak. Karena keturunan Sayyidina Utsman bin Affan,
khalifah ketiga, dia berhak menyandang gelar “Utsmani”.
Dia tumbuh dan belajar di sekolah-sekolah dan
masjid yang tersebar di kota tersebut. Pada saat itu Sulaymaniyyah merupakan
kota pelajar utama. Dia mempelajari Al-Qur’an dan tafsir Imam Rafica.
Ketika umur 15 tahun dia menetapkan
asketisisme, doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa seseorang bisa mencapai
posisi spiritual yang tinggi melalui disiplin diri dan penyangkalan diri yang
ketat sebagai falsafah hidupnya, kelaparan sebagai kudanya, tetap terjaga
(tidak tidur) sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi
spiritual sebagai cahayanya.
Dia berguru kepada dua cendekiawan besar,
Syaikh ‘Abdul Karim Al-Barjanzi dan Syaikh Abdur Rahim Al-Barjanzi, sebelum
akhirnya mempelajari matematika, filosofi, dan logika di kota kelahirannya.
Lalu ia kembali ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia tentang yurisprudensi, dan mempelajari karya-karya Ibnu Hajar, Suyuti, dan Haythami. Dia dapat menghafal tafsir Al-Qur’an dari Baydawi dan mampu menemukan pemecahan atas segala pertanyaan pelik mengenai yurisprudensi. Dia hafal Al-Qur’an dengan 14 cara membaca yang berbeda, dan ini merupakan kelebihannya sehingga membuatnya sangat terkenal.
Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, gubernur Baban, gagal membujuknya untuk mengasuh sekolah di kerajannya. Dia lebih tertarik mempelajari matematika, teknik, astronomi, dan kimia kepada Muhammad Al-Qasim As-Sanandaji di kota Sanandaj.
Setelah menguasai ilmu-ilmu umum, dia kembali ke Sulaymaniyyah dan mengajar ilmu-ilmu modern. Meneliti dan menelaah persamaan-persamaan yang sulit di bidang astronomi dan kimia di sekolah Abdul Karim Al-Barzanji menyusul wabah penyakit yang melanda kota itu pada tahun 1213 H/1798 M.
Kemudian dia berkhalwat, meninggalkan segala yang telah dipelajari, datang ke pintu Allah dengan segala keshalihan dan memperbanyak dzikir. Lalu dia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz, menemui para cendekiawan, dan mengikuti Syaikh Muhammad Al-Kuzbara, seorang ahli ilmu-ilmu kuno dan modern dan pengajar hadits yang memberinya otorisasi terhadap Thariqat Qadiriyah.
Dalam perjalanan menuju Makkah, seorang syaikh menasehatinya agar tidak berkeluh kesah atas segala masalah yang mungkin bertentangan dengan syari’at ketika memasuki kota Makkah. Pada hari Jum’at, ketika duduk dekat Ka’bah dan membaca Dala’il al-Khayrat, dia melihat seseorang dengan jenggot hitam bersandar pada sebuah pilar, menatap dirinya. Ia merasa, orang itu tidak layak berlaku demikian, apalagi di depan Ka’bah.
Orang itu melihat Khalid dan menegurnya, “Hei orang bodoh, apakah kamu tidak tahu bahwa kemuliaan hati seorang mukmin jauh lebih berarti daripada keistimewaan Ka’bah? Mengapa kamu diam-diam mengkritik aku. Apakah kamu tidak mendengar nasihat syaikhku di Madinah agar tidak mengkritik sesuatu?”
Syaikh Khalid minta maaf, mencium tangan dan kakinya dan minta bimbingannya. Dia mengatakan, “Wahai anakku, harta dan kunci hatimu bukan disini, melainkan di India. Syaikhmu berada di sana. Pergilah kesana, dia akan menunjukkan apa yang harus kamu lakukan.”
Tapi karena orang itu tidak mengatakan ke mana dia harus pergi ke India, dia memutuskan pulang ke Syam.
Lalu ia kembali ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia tentang yurisprudensi, dan mempelajari karya-karya Ibnu Hajar, Suyuti, dan Haythami. Dia dapat menghafal tafsir Al-Qur’an dari Baydawi dan mampu menemukan pemecahan atas segala pertanyaan pelik mengenai yurisprudensi. Dia hafal Al-Qur’an dengan 14 cara membaca yang berbeda, dan ini merupakan kelebihannya sehingga membuatnya sangat terkenal.
Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, gubernur Baban, gagal membujuknya untuk mengasuh sekolah di kerajannya. Dia lebih tertarik mempelajari matematika, teknik, astronomi, dan kimia kepada Muhammad Al-Qasim As-Sanandaji di kota Sanandaj.
Setelah menguasai ilmu-ilmu umum, dia kembali ke Sulaymaniyyah dan mengajar ilmu-ilmu modern. Meneliti dan menelaah persamaan-persamaan yang sulit di bidang astronomi dan kimia di sekolah Abdul Karim Al-Barzanji menyusul wabah penyakit yang melanda kota itu pada tahun 1213 H/1798 M.
Kemudian dia berkhalwat, meninggalkan segala yang telah dipelajari, datang ke pintu Allah dengan segala keshalihan dan memperbanyak dzikir. Lalu dia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz, menemui para cendekiawan, dan mengikuti Syaikh Muhammad Al-Kuzbara, seorang ahli ilmu-ilmu kuno dan modern dan pengajar hadits yang memberinya otorisasi terhadap Thariqat Qadiriyah.
Dalam perjalanan menuju Makkah, seorang syaikh menasehatinya agar tidak berkeluh kesah atas segala masalah yang mungkin bertentangan dengan syari’at ketika memasuki kota Makkah. Pada hari Jum’at, ketika duduk dekat Ka’bah dan membaca Dala’il al-Khayrat, dia melihat seseorang dengan jenggot hitam bersandar pada sebuah pilar, menatap dirinya. Ia merasa, orang itu tidak layak berlaku demikian, apalagi di depan Ka’bah.
Orang itu melihat Khalid dan menegurnya, “Hei orang bodoh, apakah kamu tidak tahu bahwa kemuliaan hati seorang mukmin jauh lebih berarti daripada keistimewaan Ka’bah? Mengapa kamu diam-diam mengkritik aku. Apakah kamu tidak mendengar nasihat syaikhku di Madinah agar tidak mengkritik sesuatu?”
Syaikh Khalid minta maaf, mencium tangan dan kakinya dan minta bimbingannya. Dia mengatakan, “Wahai anakku, harta dan kunci hatimu bukan disini, melainkan di India. Syaikhmu berada di sana. Pergilah kesana, dia akan menunjukkan apa yang harus kamu lakukan.”
Tapi karena orang itu tidak mengatakan ke mana dia harus pergi ke India, dia memutuskan pulang ke Syam.
*MENYATU DENGAN ILAHI*
Syaikh
Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H/1809 M. Dalam perjalanan ke anak benua
Asia itu, dia bertemu Isma’il al-Kashi, mengunjungi makam Guru dari Induk
Segala Thariqat di Bistam, Syaikh Bayazid Al-Bistami, mengunjungi Sayyid
Al-Jalal al-Ma’nas al-imam ‘Ali Rida, dan mengunjungi Syaikh Ahmad An-Namiqi
al-Jami.
Di
Herat, Afghanistan, Kandahar, Kabul, dan Peshawar, semua cendekiawan besar yang
ditemuinya selalu menguji pengetahuannya tentang hukum Ilahi (syariat) dan
kesadaran ilahi (ma’rifat), ilmu-ilmu logika, matematika, dan astronomi. Mereka
menyebutnya seperti sungai yang luas, mengalir dengan ilmu, atau seperti
samudera tanpa pantai.
Ketika
di Lahore, ia bertemu Syaikh Thana’ullah An-Naqsyabandi dan meminta doa. “Malam
itu aku mimpi bahwa Syaikh Thana’ullah An-Naqsyabandi menarikku dengan giginya.
Ketika aku terbangun dan ingin mengatakan mimpiku itu kepadanya, dia
mengatakan, ‘Jangan ceritakan mimpi itu kepadaku, kami telah mengetahuinya’.
Lalu
aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syaikh ‘Abdullah Ad-Dahlawi. Aku
meninggalkan Lahore, menyeberangi pegunungan dan lembah, hutan dan padang
pasir, sampai tiba di Kesultanan Delhi, yang dikenal dengan Jenahabad.
Perjalanan itu memakan waktu satu tahun 40 hari. Sebelum aku tiba, dia berkata
kepada para pengikutnya, ‘Penerusku akan datang.”
Sesampai
di kota Jehanabad dia memberi penghormatan kepada Syaikhnya dengan puisi yang
sangat elok. Semua barang yang dibawanya dan segala yang ada di kantungnya
diserahkan kepada fakir miskin. Kemudian dia melakukan bai’at dengan Syaikh
‘Abdullah Ad-Dahlawi. Di sini dia mencapai perkembangan yang pesat dalam
berperang melawan egonya. Tidak sampai lima bulan dia telah menjadi salah
seorang yang menyatu dengan ilahi dan mempunyai penglihatan ilahi.
Oleh
Syaikh ‘Abdullah, dia diizinkan kembali ke Irak dan memberinya otoritas
tertulis dalam 5 thariqat : Thariqat Naqsyabandi, atau Rantai Emas, Thaqiqat
Qadiri, Thariqat As-Suhrawardiyyah, Thariqat Kubrawiyya, dan Thariqat Chishti.
Pada
masanya, Baghdad sangat terkenal dengan ilmu pengetahuan, sehingga kota itu
dinamakan “Tempat Dua Matahari”.
Dia
sendiri dikenal dengan sebutan “ Orang dengan Dua Sayap” (zhuljanahain), sebuah
perumpamaan karena penguasaannya di bidang ilmu lahir dan ilmu batin. Dia
mengirimkan kalifahnya ke mana saja, mulai dari Hijaz ke Irak, dari Syam
(Syria) ke Turki, dari Iran ke India dan Transoxania, untuk menyebarkan jalan
leluhurnya dalam Thariqat Naqsyabandi.
Ke
mana pun dia pergi, orang akan mengundang ke rumahnya. Dan rumah seperti apapun
yang dia kunjungi, akan mendapat berkah dan menjadi makmur.
Suatu
hari, ketika mengunjungi Kubah Batu di Yerussalem dengan para pengikutnya, Abdullah
Al-Fardi datang menemuinya dengan kerumunan orang. Beberapa orang Kristen
memintanya untuk masuk ke Gereja Kumama agar mendapat berkah dengan
kehadirannya.
Lalu
dia melanjutkan perjalanan ke Al-Khalil (Hebron), kota Nabi Ibrahim, memasuki
Masjid Ibrahim Al-Khalil dan mengambil berkah dari temboknya.
Dia
pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah pada tahun 1241 H/1826 M. Warga
kota dengan para cendekiawan dan wali mendatangi dan melakukan bai’at
dengannya. Mereka memberi kunci untuk memasuki dua Kota Suci dan mengangkatnya
sebagai Syaikh Spiritual untuk kedua kota tersebut.
Setelah
berhaji dan kunjungannya kepada Rasulullah, dia kembali ke Syam. Di sini dia
disambut 25 ribut orang di pintu kota, pertanda bahwa Sultan Ottoman, Mahmud
Khan, juga sangat menghormati dirinya. Semua cendekiawan, menteri, syaikh,
fakir miskin, dan orang-orang kaya datang untuk mendapatkan berkah dan meminta
do’a darinya. Para penyair melantunkan syair mereka, sementara itu orang kaya
memberi makan yang miskin. Semua orang adalah sama di hadapan beliau. Dia
membangkitkan pengetahuan spiritual dan pengetahuan lahiriah dan menyebarkan
cahaya kepada semua orang, baik Arab maupun non-Arab, yang datang dan menerima
Thariqat Naqsyabandi darinya.
Dalam
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan 1242 H/1827 M, ia memutuskan untuk
mengunjungi Quds (Yerusalem) dari Damaskus. Mungkin itu adalah suatu tanda
bahwa ia akan meninggalkan dunia ini.
Pada
hari pertama bulan Syawwal, wabah penyakit menyebar dengan cepat di kota Syam
(Damaskus). Salah seorang pengikutnya minta Syaikh Khalid mendoakan dia agar
diselamatkan dari wabah tersebut, dan menambahkan, “... untukmu juga, Syaikh.”
“Aku
malu kepada Allah, karena niatku memasuki Syam adalah untuk meninggal di tempat
ini.”
Orang
pertama yang meninggal karena wabah ini anaknya sendiri, Bahauddin, pada Jum’at
malam.
“Alhamdulillah,
ini adalah jalan kita,” katanya. Lalu anak itu dikuburkan di Gunung Qasiyun.
Dia baru berusia lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu sangat fasih dalam 3
bahasa : Persia, Arab, dan Kurdi. Dia juga pandai membaca Al-Qur’an.
Beberapa
hari kemudian, anak lainnya, Abdurrahman, juga meninggal dunia. Dia lebih tua
satu tahun. “Banyak pengikutku yang akan meninggal dunia,” katanya. Lalu dia
menunjuk Syaikh Isma’il Ash-Shirwani untuk menggantikannya di Thariqat
Naqsyabandi. Saat itu adalah tahun 1242 H/1827 M.
Dia
sendiri akhirnya wafat pada hari Jum’at 13 Dzulqaidah 1242 H/1827 M setelah
sebelumnya membaca ayat 27-30 dari surah Al-Fajr, “Wahai jiwa yang tenang dan tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku!
Masuklah ke dalam syurga-Ku!”
Sehari
sebelumnya, kamis, dia telah mengisyaratkan banyak hal kepada keluarganya,
seperti bahwa dirinya akan wafat besok harinya dengan membawa seluruh wabah
yang menerjang Damaskus, nisannya tidak boleh ditulis macam-macam kecuali Ini adalah makam orang asing, Khalid.
Hari
berikutnya, Sabtu, terjadi keajaiban di Syam. Wabah penyakit tiba-tiba
menghilang.
Sumber : Alkisah No.05/26 FEB – 11 MAR 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar