BAB I
PENDAHULUAN
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam
kedua yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini
berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan
semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah adalah keturunan paman
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang termuda, yaitu Abbasbin Abdul Muththalib.
Islam
mengalami masa keemasannya pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah. Masa
keemasan Islam yang juga dinilai sebagai fase perkembangan terpenting
bagi pendidikan Islam dan perkembangan ilmu umum ini terjadi pada kurun waktu
abad ketiga sampai kelima hijriah.
Dengan
berkembangnya luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, madrasah-masradah
dan universitas-uiversitas yang merupakan pusat-pusat pengembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam. Tumbuh dan berkembangnnya ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam yang sangat cepat , merupakan ciri pendidikan Islam
masa ini.
Mengkaji
sejarah pendidikan Islam pada masa masa keemasan dan kejayaan,
Bidang perkembagan Pendidikan Islam pada Masa Keemasan,
dan Sistem pendidikan Islam pada masa
kejayaan, merupakan salah satu bentuk hal yang bisa
membuat kita termotivasi dalam memajukan pendidikan, khususnya
pendidikan Islam. Kita dapat mengetahui tentang keemasan
dan kejayaan umat Islam dalam pendidikan sebagai cerminan bahwa umat Islam
juga pernah mengalami kejayaan dalam bidang pendidikan.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan disajikan tentang awal berdirinya
dinasti Abbasiyah, perkembangan pendidikan Islam pada masa keemasan dan
masa kejayaan, sistem pendidikan Islam pada masa kejayaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan
kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri
dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas,
paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia
dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada
tanggal 3 Rabiul awal 132 H.[1]
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan
diseluruh negeri. Pasukan Marwan ibn Muammad (pasukan Dinasti
Umayyah) melawan pasukan Abdul Abbas. Pemberontakan tersebut terjadi
akibat ketidak puasan mereka tehadap khalifah-khalifah sebelumnya. Dan akhirnya
di menangkan oleh pasukan Abbas. Pasukan pemberontak terdiri
dari kalangan Khawarij, Syi’ah, Mawali, dan Bani Abbas.
Para
Mawali bekerja sama dengan Bani Abbas, komando tertinggi gerakan Bani Abbas
tidak menyisakan keluaga Umayah, karena perburuannya terhadap keluarga Umayyah
itu, ia dijuluki dengan As-Safah yang berarti”yang menumpahka darah”.
Abu Abbas kemudian didaulat menjadi khalifah
pertama Bani Abbasiyah. Tahun 750 M diproklamasikan berdirinya pemerintahan
Bani Abbasiyah di Kufah. Khalifah petamanya adalah Abu Abbas Ash Shaffah yang
di baiat di Masjid Kufah.[2]
Berdirinya daulah Abbasiyah diawali dengan dua
strategi, yaitu:
1. System mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini
berlangsung sejak akhir abad pertama hijriah yang bermarkas di Syam dan tempatnya
di Alhamimah. System ini berakhir dengan bergabungnya Abu muslim al- Khurasani
pada jum’iyah yang sepakat atas terbentuk Daulah Abbasiyah
2. Strategi kedua dilanjutkan dengan terang-terangan dan himbauan-himbauan di
forum-forum resmi untuk mendirikan daulah abbasiyah berlanjut dengan peperangan
melawan daulah umawiyah.
Berbagai teknis diterapkan oleh pengikut Muhammad Al-‘Abbasy, seperti
sambil berdagang dan melaksanakan haji. Di balik itu terpogram bahwa mereka
menyebarkan ide dan mencari pendukung terbentuknya daulah.
Faktor-faktor pendorong berdirinya daulah Abbasiyah dan penyebab suksesnya,
yaitu sebagai berikut :
a) Banyak terjadi perselisihan antara intern bani
Umawiyah pada dekade akhir pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya
memperebutkan kursi kekhalifahan dan harta
b) Pendeknya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah,
seperti khalifah Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan
c) Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang
seperti yang dikerjakan oleh Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya
Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota
d) Bergabungnya sebagian afrad keluarga
umawi kepada madzhab-madzhab agama yang tidak benar menurut syariah, seperti Al
Qadariyah
e) Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani umawiyah
f) Kesombongan pembesar-pembesar bani Umawiyah pada akhir pemerintahannya
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.Pada
periode ini, segala potensi yang terkandung dalam kebudayaan yang didasari
nilai-nilai Islam mulai bergerak secara perlahan namun strategis.Selain terjadi
kemajuan pada bidang sosio-ekonomi, terjadi pada kemajuan pada bidang
intelektual. Kemajuan intelektual tersebut ditunjang oleh kemajuan pendidikan
baik institusi, insfrastruktur maupun kemajuan sains dan obyek-obyek studinya.[4]
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan
dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan-gerakan sisa-sisa
Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika
Utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa serta
aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
B. Periodesasi Masa Bani Abbasiyah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut
dengan istilah ‘’The Golden Age’’.[5] Pada masa itu Umat Islam
telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan
kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan,
ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa
Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman
Rasulullah, yaitu: Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
al-Abbas[6]. Kekuasaan daulah abbasiyah dibagi dalam lima periode,
yaitu: [7]
1. Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M ), masa pengaruh Persia pertama
2. Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama
3. Periode III (334 H/945 M-447 h/1055 M), masa
kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia kedua
4. Periode IV (447 H/1055 M-590 h/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki
kedua
5. Periode V (590 H/1104 M-656 h/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh Dinasti
lain.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan
kejayaannya pada periode I. Para khalifah pada masa periode I dikenal sebagai
tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama sekaligus. Popularitas Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya
Al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah harun al-rasyid dan
puteranya Al-Ma’mun digunakan untuk kepentingan sosial seperti, lembaga
pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
serta kesusastraan berada pada zaman keemasan. Al-Ma’mun khalifah yang cinta
kepada ilmu, dan banyak mendirikan sekolah.
Tidak hanya mencakup kepentingan sosial saja, masa ini juga masa kejayaan
umat islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu
hampir mencakup semua aspek kehidupan, seperti :
1. Administratif pemerintahan dengan biro-bironya;
2. Sistem organisasi militer;
3. Administrasi wilayah pemerintahan;
4. Pertanian, perdagangan, dan industri;
5. Islamisasi pemerintahan;
6. Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi,
historiografi, filsafat islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika islam, sastra,
seni, dan penerjemahan;
7. Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab),
menengah, dan perguruan tinggi; perpustakaan dan toko buku, media tulis, seni
rupa, seni musik, dan arsitek.[8]
C. Kemajuan-kemajuan Pada Zaman Bani Abbasiyah
1.
Perkembangan Peradaban di
Bidang Fisik
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah
sangat maju pesat, karena upaya-upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang
fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan – bangunan yang berupa:
a) Kuttab
b) Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama,
sarjana,ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c) Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh
Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga
disediakan tempat ruangan belajar.
d) Masjid
e) Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang
fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil
dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
3. Perkembangan peradaban di bidang politik dan pemerintahan
Dalam menjalankan roda pemerintahan Khalifah Dinasti
Abbasiyah mengangkat menteri (wasir) dan membentuk kementrian (wizarat). Menteri
adalah pembantu utama khalifah, ia berhak mengangkat dan memecat pegawai.
Khalifah juga mengangkat hakim yang bertugas menyelesaikan masalah muamalah.
Untuk membantu lancarnya kepemerintahan dibentuklah Diwanul Kitabah
(Sekertariat Negara) dengan dibantu oleh : katibur Rasail, katibul Kharraj,
katibul Jund, katibul Syurthan, katibul Qada’.
Selain itu, juga dibentuk departemen-departemen yang
dikepalai oleh menteri, departemen-departemen itu antara lain : diwan al
kharraj, diwan az-Ziman, diwan al jund, diwan barid, diwan ar Rasail. Dalam
pemerintahan dinasti Umayyah ada juga yang disebut hajib, yang bertugas
mengawasi dan memberikan persetujuan terhadap program kerja menteri. Wilayah
Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi beberapa provinsi yang dinamakan imarat,
gubernurnya bergelar Amir.
4. Bidang Militer
Militer Dinasti Abbasiyah terdiri atas tiga bagian,
yaitu pasukan pemanah, pasukan infanteri, dan pasukan berkuda/kavaleri. Pasukan
pemanah bersentakan anak panah dan busurnya, tugas pasukan ini adalah mengacaukan
musuh dari jarak jauh. Pasukan invanteri bersenjatakan pedang, tombak, helm,
dan tamengya. Mereka bertugas memukul mundur pasukan musuh pada pertempuran
jarak dekat. Pasukan berkuda bersenjatakan pedang dan lembing, mereka bertugas
mengobrak-abrik pertahanan lawan melalui depan, samping, dan belakang.
Selain pasukan-pasukan di atas ada lagi pasukan pengawal khalifah, mereka
ini pasukan elite yang bergaji tinggi.
Angkatan
bersenjata Dinasti Abbasiyah didominasi oleh orang Arabdan Persiah pada
awalnya, namun pada tahun-tahun selanjutnya didominasi oleh Arab, Turki, dan
persiah. Dan masa sebelum berakhir daulat ini pasukan bersenjatanya
didominasi oleh Persia dan Turki.[9]
D. Perkembangan
Intelektual Dinasti Bani Abbasiyah
1. Sejarah
Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah
Popularitas
daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah figur
khalifah shaleh ahli ibadah, senang bershadaqah, sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para
‘ulama, senang dikritik serta sangat merindukan nasihat
terutama dari para ‘ulama.
Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai
buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan penganut
agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, yang salah satu
karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemahan
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi.
Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan
bagi keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.
2. Tujuan Pendidikan
Pada Masa Abbasiyah
Pada masa Nabi masa kholifah rasyidin dan umayah,
tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar
karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan
pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a.
Tujuan Keagamaan Dan Akhlak
Sebagaimana
pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal
Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut
ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b.
Tujuan Kemasyarakatan
Para
pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi
masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju
masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu
yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga
diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c.
Cinta Akan Ilmu Pengetahuan
Masyarakat pada saat itu
belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam ilmu
pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu tanpa
memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan
berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk
memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d.
Tujuan Kebendaan
Pada
masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak
dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan
kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang
ini.[10]
3. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Yang Berpengaruh Pada Masa Bani Abbasiyah
Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu
pengetahuan dan tradisi serta atmosfer akademik., maka pada zaman Abbasiyah ini
di tandai pula dengan lahirnya para ilmuwan yang sekaligus bertindak sebagai
para guru. Mereka bukan hanya ahli dalam ilmu agam Islam melainkan juga ahli dalam
bidang ilmu pengetahuan umum, seni dan arsitektur. Di antara para ilmuwan dan
guru yang terkenal di zaman Abbasiyah adalah:
1. Al-Razi
(guru Ibnu Sina)
Ia berkarya dibidang kimia dan
kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang pengobatan,
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi
Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya
penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di
seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan
antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu
Sina.
2. Al-Battani (Al-Batenius)
Seorang astronom. Hasil
perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari,
5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal adalah
Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet
Motibus, dimana terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan.
3. Al Ya’qubi
Seorang
ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu
geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan
judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae.
4. Al Buzjani (Abul Wafa)
Ia mengembangkan beberapa
teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).
5. Ibn
Sina
Ibn Sina adalah seorang
mahaguru dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat. Karyanya yang terkenal ialah al-Qanun fi at-Tibb dan
dijadikan buku pedoman kedokteran bagi universitas di Eropa dan negara-negara
Islam.[11]
6. Ibn
Miskawih
Ibn Miskawih adalah seorang
guru dalam ilmu akhlak. Salah satu karyanya adalah Tahdzib al-Tahdzib.
7. Ibn
Jama’ah
Ibn
Jama’ah adalah seoarang guru dalam bidang ilmu fikih dan akhlak,Tadzkirat
al-Sa’mi lil ‘Alim wa al-Muta’allim.
8. Imam
al-Juwaini
Imam
al-Juwaini adalah seorang guru dalam bidamg teologi pada Madrasah Nidzamiyah
tempat Imam al-Ghazali menimba ilmu, karyanya berjudul al-Irsyad.
9. Imam
al-Ghazali
Imam
al Ghazali tel;ah tampil sebagai mahaguru di Madrasah Nidzamiah, istana, dan di
masyarakat pada umumnya. Melalui karyanya yaitu Ihya’ Ulum al-Din sebanyak
tiga jilid, ia telah tampil sebagai guru dalam bidang fikih dan tasawuf.
Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu
pengetahuan tidak terlepas dari adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam
pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti
Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang dilakukan
sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan sejarah.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para
alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang
ilmu pengetahuan, antara lain :
a.
Ilmu Umum
1.
Ilmu Filsafat
a.
Al-Kindi (809-873 M) buku
karangannya sebanyak 236 judul.
b.
Al Farabi (wafat tahun 916 M)
dalam usia 80 tahun.
c.
Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
d.
Ibnu Thufail (wafat tahun 581
H)
e.
Ibnu Shina (980-1037 M).
Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat,
Qoman, Saddiya dan lain-lain
f.
Al
Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya:
Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin
dan lain-lain
g.
Ibnu Rusd (1126-1198 M).
Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
2. Bidang Kedokteran
a.
Jabir bin Hayyan (wafat 778
M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
b.
Hurain bin Ishaq (810-878 M).
Ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing.
c.
Thabib bin Qurra (836-901 M)
d.
Ar Razi atau Razes (809-873
M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam
bahasa latin.
3. Bidang Matematika
a. Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
b. Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar),
penemu angka (0).
4. Bidang
Astronomi
Berkembang
subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam
perbintangan ini seperti :
a. Al Farazi : pencipta Astro lobe
b. Al Gattani/Al Betagnius
c. Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
d. Al Farghoni atau Al Fragenius
5. Bidang
Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni
tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
b. Ilmu Naqli
1. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath
Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman
(wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
2. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam
Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu
Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain
3. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar
dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’,
Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
4. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy
(wafat 465 H) karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H)
karangannya: Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : karangannya al Bashut, al Wajiz
dan lain-lain.
5. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha
yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam
masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini
adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal
dan Para Imam Syi’ah
4. Tingkat-Tingkat
Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari
beberapa tingkat, yaitu:
a. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi
anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di
took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan
meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam,
menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau
prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[12]
b. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu
pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang
diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu,
Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran,
dan juga musik.
c. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di
Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan
tinggi terdiri dari dua jurusan:
1. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu
Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang
diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu,
Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
2. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu
Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan
kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu
hewan, dan juga kedokteran.[13]
5. Lembaga-Lembaga
Pendidikan
Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber
sejarah, bahwa zaman dinasti Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam (golden
age) yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan,
kebudayaan, dan peradaban yang mengagumkan, yang dapat dibuktikan
keberadaannya, baik melalui berbagai sumber informasi dalam buku-buku sejarah
maupun melalui pengamatan empiris di berbagai wilayah di belahan dunia yang
pernah dikuasai Islam, seperti Irak, Spanyol, Mesir dan sebagian dari Afrika
Utara.
Berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut
tidak mungkin terjadi tanpa didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan,
karena pendidikanlah yang menyiapkan sumber daya insane yang menggerakkan
kemajuan tersebut. adapun gambaran keadaan pendidikan di zaman Bani Abbasiyah
sebagai berikut.
1. Keadaan
Lembaga Pendidikan
Selain masjid, kuttab,al-badiah, istana, perpustakaan
dan al-bimaristan, pada zaman Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula
lembaga pendidikan, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu,
sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
a) Toko Buku (al-Hawanit al-Warraqien)
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan tersebut mendorong
lahirnya indistri perbukuan, dan industry perbukuan mendorong lahirnya
took-toko buku. Di beberapa kota atau negara yang di dalamnya terdapat
took-toko buku, menggambarkan bahwa kota atau negara tersebut telah
mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan.
b) Rumah-rumah Para Ulama (Manazil al-Ulama)
Di antara rumah yang sering digunakan untuk kegiatan
ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn Sina. Dalam hubungan ini al-Jauzajani berkata
kepada sahabatnya, bahwa pada setiap malam ia berkumpul di rumah Ibn Sina untuk
menimba ilmu, dan membaca kitab al-Syifa’ dan sebagian lain ada yang membaca
kitab al-Qanun. Abu Sulaiman al-Sijistani juga menggunakan rumahnya untuk
kegiatan orang-orang yang mau menimba ilmu, dan mia menggunakan rumahnya untuk
para ulama senior untuk memvalidasi bacaan-bacaannya.
Selanjutnya
rumah yang sering digunakan sebagai majelis ilmu yang didatangi para pelajar
dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah rumah Imam al-Ghazali (504 H)
yang menerima para siswa di rumahnya, setelah ia berhenti sebagai guru di
Madrasah al-Nidzamiyah di Nisafur, serta menuntaskan pejalanan spiritualnya,
yaitu mengerjakan ibadah haji, beriktikaf di masjid al-Amawiy di Damaskus serta
menulis kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Demikian
pula rumah Ya’kub bin Kalas wazir al-Aziz billah al-Fathimy, rumah al-Sulfiy
Ahmad bin Muhammad Abu Thahir di Iskandariyah digunakan sebagai
tempat untuk kegiatan ilmiah.
c) Sanggar Sastra (al-Sholun al-Adabiyah)
Sanggar
sastra ini mulai tumbuh sederhana pada masa Bani Umayyah kemudian berkembang
pesat pada zaman Abbasiyah, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari
perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Di sanggar sastra ini terdapat
ketentuan kode etik yang khusus. Dalam hubungan ini Ibn Abd Rabbih, al-Muqri
dan al-Maqrizi berkata berkata, bahwa sanggar sastra tidak bisa menerima setiap
orang yang menginginkannya, melainkan sanggar tersebut hanya dibolehkan untuk
kelompok orang tertentu.
d) Madrasah
Dalam
sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani Abbas, sebagai
kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya.
Dalam kaitan ini, Ahmad Tsalabi berpendapat, bahwa ketika minat masyarakat
untuk mempelajari ilmu di Halaqah yang ada di masjid makin menibgkat dari tahun
ke tahun, dsan menimbulkan kegaduhan akibat dari suara para pengajar dan siswa
yang berdiskusi dan lainnya yang mengganggu kekhusukan shalat. Selain itu,
berdirinya madrasah ini juga karena ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan
semakin berkembang, dan untuk mengajarkannya diperlukan guru yamg banyak,
peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi
yang lebih tertib. Selain itu, madrasah juga didirikan dengan tujuan untuk memasyarakatkan
ajaran atau paham keagamaan dan ideology tertentu.
e) Perpustakaan dan Observatorium
Para
ulama’ dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya
menulis buku dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau
disampaikan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama’ dan
sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar
di perpustakaan pribadi mereka.
Baitul
hikmah di Baghdad yang didirikan
khalifah Al-Rasyid adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam
yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa arab, bermacam-macam
ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu.[14]
Perpustakaan
pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas karena disamping terdapat kitab-kitab,
di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.[15]
Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat
belajar mengajar dalam arti luas, yaitu belajar bukan dalam arti menerima ilmu
dari guru sebagaimana yang umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang
bertumpu pada aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara memecahkan masalah, eksperime, belajar sambil
bekerja (learning be doing), dan penemuan (inquiri). Kegiatan belajar yang demikian itu
dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-lembaga pusat kajian
ilmiah.
f)
Al-Ribath
Secara harfiah al-ribath berarti
ikatan yang mudah di buka. Sedangkan dalam arti yang umum, al ribath adalah
tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajran bagi calon sufi. Di
dalam al-ribath tersebut terdapat beberapa ketentuan atau
komponen yang terkait dengan pendidikan tasawuf, misalnya komponen guru yang
terdiri dari syekh (guru besar), mursyid (guru
utama), mu’id (asisten guru), dan mufid (fasilitator).
Murid pada al-ribath dibagi sesuai dengan tingkatannya, mulai
dari ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah. Adapun bagi yang lulus diberikan
pengakuan berupa ijazah.[16]
6. Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah
satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer
pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui
metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh
murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah
disampaikan gurunya.
Pada masa Dinasti abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
a. Metode
Lisan
Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte (imla’)adalah
metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena denganimla’
ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode
ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa
sekarang sulit dimiliki.
b. Metode ceramah
Metode ceramah disebut juga metode as-sama’,
sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan
murid mendengarkannya.Metodeqiro’ah biasanya digunakan untuk
belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
c. Metode Menghafal
Metode menghafal Merupakan ciri umum pendidikan pada
masa ini.Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga
pelajaran tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Imam Hanafi, seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai
dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan mengeluarkan
kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam
diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau
memunculkan sesuatu yang baru.
d. Metode
Tulisan
Metode tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini.Metode
tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkajian buku-buku terjadi
proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.
Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan
juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa
ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks
buku sedikit teratasi.[17]
7. Materi
Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah
terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib
(ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan
(ikhtiari).Hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan dasar pada
masa sekarang.Di saat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar dan menengah
semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan.Materi pilihan baru ada
pada tingkat perguruan tinggi.
Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah
Pendidikan Islam”, yang dikutip oleh Suwito menjelaskan tentang materi
pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) yakni, Al-Qur’an,
Shalat, Do’a, Sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya yang
dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum secara tuntas
dan detail), Membaca dan menulis
Sedangkan materi pelajaran ikhtiari (pilihan)
ialah; Berhitung; Semua ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya nahwu
yang berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara tuntans dan detail); Syair-syair; Riwayat/
Tarikh Arab.[18]
8. Kurikulum
Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari
segi muatannya telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti
yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pada masa itu lebih merupakan susunan
mata pelajaran yang harus diajarkan pada peserta didik sesuai dengan sifat dan
tingkatannya. Kurikulum pendidikan ini misalnya terlihat dalam pembagian ilmu
yang dikemukakan para tokoh sebagai berikut.
a. Kurikulum
Menurut Al-Ghazali
Ia membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi
sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan Tuhan.
Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
Menurut al-Ghazali, bahwa dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu yang
bersumber dari syariat (Al-Qur’an dan Al-Hadis), dan ilmu yang sumbernya bukan
dari syariat. Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya:
a) Ada ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak , baik
sedikit maupun banyak, seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan
nasib. Ilmu ini tercela, karena tidak memiliki sifat manfaat, baik di dunia
maupun di akhirat.
b) Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak.
Seperti ilmu agama dan ilmu tentang peribadatan.
c) Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu, terpuji,
tetapi jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme.
Selanjutnya dilihat dari segi hukum mempelajarinya
dalam kaitannya dengan nilai gunanya, ilmu pengetahuan dapat digolongkan:
a)
Ilmu fardhu ‘ain yang wajib
dipelajari setiap individu, seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya.
b)
Ilmu
fardhu kifayah, ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap muslim, melainkan
cukup jika di antara kaum muslimin ada yang mempelajarinya. Dan jika seorang pun di antara
kaum muslim tidak ada yang mempelajarinya, maka mereka akan berdosa. Di antara
yang tergolong fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian,
pertenunan, politik, pengobatan tradisional dan jahit menjahit.[19]
2. Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan
kejiwaan peserta dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3 macam, yaitu :
a) Kelompok ilmu lisan (bahasa), ilmu tentang bahasa (gramatika), sastra dan
bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b) Kelompok ilmu naqli, yaitu ilmu yang di ambil dari kitab
suci dan sunnah Nabi.
c) Kelompok ilmu aqli, yaitu ilmu yang diperoleh melalui
kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan
akal.
9. Tradisi Ilmiah Dan Atmosfer
Akademik
Tradisi ilmiah dapat diartikan sebagai kebiasaan yang berkaitan dengan
pengembangan ilmu yang sudah memasyarakat dan digunakan secara merata di
kalangan ilmuwan. Tradisi ilmiah ini selanjutnya membentuk sebuah keadaan yang
khas yang selanjutnya disebut atmosfer akademik.
Di antara tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman
Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut.
a.
Tukar
Menukar Informasi ( Muzakarah )
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dari berbagai daerah untuk saling
bertukar pikiran, pemahaman dan pengamalan sesuatu ajaran.
b.
Berdebat
Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dan pakar dalam bidang tertentu
untuk saling menguji kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan kekuatan
argumentasi yang dimiliki masing-masing ulama. Tradisi ini memiliki pengaruh
yang kuat kepada para ilmuwan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keilmuannya
masing-masing.
c.
Rihlah
Ilmiah
Rihlah ilmiah berarti melakukan perjalanan atau
pengembaraan dari suatu daerah ke daerah lain dalam rangka menuntut ilmu atau
melakukan penelitian terhadap sesuatu masalah. Tradisi ini terjadi seiring
dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan tersebarnya para ilmuwan
pada berbagai wilayah tersebut.
d.
Penerjemahan
Tradisi penerjemahan ini terjadi karena didorong oleh keingintahuan dan
keperluan para ilmuwan dalam menjelaskan tentang sesuatu masalah. Khalifah Bani
Abbasiyah bernama Al-Makmun sangat memberikan perhatian terhadap kegiatan
penerjemahan. Ia mendirikan Bait al-Hikmah (rumah kegiatan
ilmu ) untuk melakukan kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani, India, dan
Cina dan menyewa penerjemah asing, seperti, Hunain Ibn Ishak.
e.
Mengoleksi
Buku dan Mendirikan Perpustakaan
Tradisi mengoleksi buku ini tumbuh sejalan dengan adanya tradisi
penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi penghormatan yang
tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi membaca dan menulis buku. Kegiatan
mengoleksi buku ini tidak hanya terjadi terjadi pada perorangan, malainkan juga
secara kelembagaan.
f.
Membangun
Lembaga Pendidikan
Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan disini adalah tempat atau wadah
yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, pengajaran, bimbingan,
dan pelatihan, baik yang bersifat formal, non formal maupun informal. Lembaga
pendidikan tersebut seperti, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis
al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
g.
Melakukan
Penelitian Ilmiah
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang secara garis besar diarahkan
kepada dua hal. Pertama, penelitian untuk mendapatkan temuan baru dalam bidang
ilmu pengetahuan atau teori. Penelitian jenis pertama ini disebut sebagai
penelitian ilmiah. Kedua, penelitian untuk menerapkan teori atau kosep menjadi
sebuah program atau kegiatan yang secara pragmatis mendatangkan manfaat atau
meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara lahir naupun batin.
Penelitian jenis kedua ini disebut sebagai penelitian terapan.
h.
Menulis
Buku
Sejalan dengan adanya tradisi meneliti yang demikian kuat dan bervariasi,
maka pada zaman Abbasiyah juga muncul tradisi menulis buku. Di antara penulis
penulis tersebut adalah :
1. Al-Jahidz, ia di kenal sebagai seorang
sastrawan terkenal yang hidup pada zaman al-Makmun dan berani menulis tanpa
terikat pada tradisi lama.
2. Imam Bukhari, ia dikenal sebagai
peneliti dan penulis Hadis yang mahsyur.
3. Ibn Sa’id, ia mengarang buku tentang
kemenangan umat islam dalam peperangan dengan judul Thabaqat al-Qubra sebanyak 8 jilid.
i.
Memberikan
Wakaf
Tradisi memberikan wakaf ini terjadi antara lain
ketika seseorang yang memiliki banyak harta, sedangkan tidak ada keturunan
untuk merawat dan memanfaatkannya dengan baik, maka harta tersebut diserahkan
kepada sebuah lembaga untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum, seperti
pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan dasar ikhlas karena Allah SWT. Selain itu, wakaf juga muncul
sebagai jalan untuk menjalin kesalihan sosial dan pendekatan diri kepada Allah
SWT, serta bekal pahala di akhirat.[20]
10. Sarana Dan Prasarana
Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan
penelitian dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa
sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan
yang memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya. Gedung sekolah,
perkantoran, alat-alat tulis, rumah tempat tinggal bagi para guru, asrama bagi
mahasiswa, ruang praktikum bagi para mahasiswa, dan berbagai sarana lainnya
yang dibutuhkan tersedia dengan memadai. Ketersediaan sarana prasarana dan
peralatan belajar mengajar terjadi berkat adanya perhatian yang besar dari
pemerintah serta masyarakat pada umumnya terhadap masalah pendidikan.
11. Pembiayaan Pendidikan
Sumber pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran belanja pemerintah
serta dari dan wakaf yang berhasil dihimpun. Dana tersebut digunakan untuk
biaya hidup para guru, para pelajar, pembangunan gedung sekolah, serta
pengadaan saran dan prasarana serta peralatan pendidikan lainnya. Biaya
pendidikan ini dikeluarkan karena pada umumnya lembaga pendidikan yang
diselenggarakan bersifat gratis, yakni dibiayai oleh pemerintah. Menurut
catatan para ahli sejarah, bahwa pada setiap tahunnya, pemerintah Abbasiyah mengeluarkan
dan tidak kurang dari 600.000 dinar atau setra dengan 6 miliat rupiah untuk
ukuran waktu itu, atau sebanyak 6 triliun untuk ukuran waktu sekarang.[21]
12. Manajemen Pendidikan
Terjadinya kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adany
manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Gedung-gedung sekolah
dibanmgun, diatur, dipelihara, digunakan dan dikelola dengan tertib.
Rumah-rumah bagi guru, dan asrama bagi para pelajar dibangun sesuai dengan
rapid an tertib. Demikian pula jadwal kegiatan belajar mengajar, tugas-tugas
bagi para guru dan lainnya diatur dengan baik. Hubungan antara lembaga
pendidikan yang berada di pusat pemerintahan dan yang ada di daerah diatur dan
dikelola dengan baik. Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh sebuah
kementrian pendidikan.
13. Para Pelajar
Para pelajar yang menimba ilmu pada zaman Abbasiyah berasal dari daerah
sekitarnya serta mancanegara. Keadaan para pelajar yang demikian itu
menyebabkan kota Baghdad menjadi masyarakat multi etnis dan multikultural.
Interaksi antara para pelajar yang berasal dari latar belakang daerah yang
berbeda-beda. Hal itu menyebabkan timbulnya atmosfer akademik dan tradisi
ilmiah yang luar biasa. Keadaan ini semakin menambah suasana kegiatan
intelektual makin meningkat dan mendorong proses pematang keilmuan seseorang.
C. KEMUNDURAN BANI
ABBASIYAH
1. Faktor Internal
Puncak runtuhnya dinasti ini terjadi kira-kira 656
H/1258 M pada akhir kekhalifahan Al-Mu’tasim Billah,[22] diawali
dari para pembangkang dan para pemberontak yang tidak rela dan tidak terima
dengan kepemimpinan bani Abbasiyah, kelompok-kelompok separatis pun mulai ikut
bermunculan. Ditambah lagi dari serangan bangsa Mongol yang kejam dan ingin
menguasai wilayah dinasti Abbasiyah. Disamping kelemahan khalifah, banyak
faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing
faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut:[23]
a)
Pemberontakan Zang
Revolusi ini yang mengancam keberadaan dinasti
Abbasiyah lebih dari ancaman Negara Turki, revolusi atau pemberontakan ini
terjadi di daerah ibukota Abbasiyah, Baghdad. Pemberontakan ini terjadi karena
sebab ekonomi, yaitu orang-orang negro dari Afrika timur yang dipekerjakan oleh
para pejabat pemerintah dan orang-orang kaya tanpa upah, atau diberi tepung
yang hanya cukup untuk makan sekali. Sebenarnya mereka adalah kelompok yang
sangat banyak, tapi kelemahan ekonomilah yang membuat mereka diperlakaukan
dengan tidak layak.[24]
b)
Persaingan Antara Bangsa Persia Dan Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas atau
Al-Mansur 754 M, yang bersekutu dengan Persia, karena persamaan nasib diantara
kedua bangsa itu yang pada masa dinasti Umayyah sama-sama tertindas. Dan
setelah dinasti Abbasiyah berdiri kecenderungan untuk berkuasa diantara kedua
bangsa itu muncul.[25]
c)
Memburuknya Ekonomi Negara
Para menteri yang suka menghambur-hamburkan uang dan
mengambil keuntungan dari pungutan pajak uang rakyat, tanpa memberikannya pada
khalifah Al-Muqtadir 903-932 M. Sedangkan kebutuhan negara semakin meningkat,
tentara dan penjaga sangatlah banyak. Mereka menuntut gaji dan keadaan pun
semakin kacau.[26]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk
memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan
tak terpisahkan.[27]
d)
Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan juga mengakibatkan persoalan
kebangsaan mengalami perpecahan, berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah,
Syi’ah, Sunni, dan kelompok-kelompok garis keras yang menjadikan pemerintahan
Abbasiyah mengalami kesulitan untuk menyatukan fahamnya.[28]
e)
Gerakan-gerakan yang Memisahkan Diri
Sebab-sebab pecahnya dinasti dan pemisahan
dinasti-dinasti kecil karena penguasa bani Abbasiyah lebih mementingkan pada
pembinaan peradaban dan kebudayaaan dari pada politik, persaingan antar bangsa,
terutama Arab, Persia, dan Turki. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah,
sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan, dan juga karena
dipengaruhi oleh paham keagamaan seperti Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, dan
lainnya. Akibat dari beberapa faktor itulah banyak provinsi-provinsi tertentu
di pinggiran mulai lepas dari kekuasaan Abbasiyah, diantaranya ialah[29]:
1. Thahiriyah di Khurasan, Persia (820-870 M)
2. Safariyah di Fars, Persia (868-901 M)
3. Samaniyah di Transoxania (873-998 M)
4. Thuluniyah di Mesir (837-903 M)
5. Ghazwaniyah di Afghanistan (962-1189 M)
6. Dinasti Buwaihi di Iran (905-1004 M)
7. Dinasti Saljuk (1055-1157 M)
8. Hamdaniyah di Aleppo dan Musil (929-1002 M)
9. Ayyubiyah di Kurdi (1167-1250 M)
10. Mirdasiyah di Aleppo (1023-1078 M)
11. Ukailiyah di
Mausil (996-1095 M)
12. Idrisiyiah di
Maroko (788-985 M)
13. Aghlabiyah di
Tunisia (800-900 M)
14. Abu Ali di
Kurdi (990-1095 M)
15. Al-Barzuqani di
Kurdi (959-1015 M)
16. Alawiyah di
Tabiristan (864-928 M)
17. Sajiyyah di
Azerbaijan (878-930 M)
18. Dulafiyah di
Kurdistan (825-898 M)
19. Mazyadiyah di
Hillah (1011-1150 M)
2. Faktor
Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor
internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor
eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1. Perang
Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih
permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian
itu bertambah setelah Dinasti Saljuk menguasai Baitul Maqdis
menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang
Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci,
yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa
gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa
wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka
berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota
Tyre. [30]
2. Serangan
Bangsa Mongol
Hulagu Khan (cucu Jengis Khan) pemimpin penguasa
Mongol dan sebagai pendiri kerajaan mongol di Persia yang terbentang dari
Amudarya sampai ke perbatasan Suriah dan dari pegunungan Kaukakus sampai
Samudra Hindia, dia mengundang khalifah Al-Mu’tasim bekerjasama untuk
menghancurkan kelompok Hasyasyim Ismailiyah, tetetapi khalifah Al-Mu’tasim
tidak memberikan jawaban.
Pada tahun 1256 M sejumlah besar benteng Hasyasyim
termasuk Alamut, berhasil ditakhlukkan dan dihancur leburkan oleh pasukan
Hulagu sendiri, bayi-bayi pun disembelih dengan kejam. Pada tahun berikutnya
Hulagu mengirim ultimatum kepada khalifah agar menyerah, tetapi khalifah enggan
memberikan jawaban.[31]
Akhirnya pada tahun 1258 M, Hulagu dan pasukannya
bergerak dengan efektif dan merangsek ke jantung kota, dan khalifah beserta
tiga ratus pejabat dan qadhi menawarkan penyerahan diri tanpa syarat. Tetapi
sepuluh hari berikutnya mereka dibunuh, kota-kota dijarah dan dibakar,
mayoritas penduduk dan keluarga khalifah dibantai habis, mayat-mayatnya tidak
dikubur tapi dibiarkan bergeletakan di jalanan.[32]
Buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan
dibuang ke Sungai Tigris sehingga sungai yang jernih menjadi hitam kelam,[33] dan sebagai salah satu faktor hilangnya
karya-karya umat muslim dalam bidang ilmu pengetahuan.
Tetapi cicit dari Hulagu, Ghazan, seorang muslim yang
taat dan nanti yang akan berusaha mencurahkan waktu dan energi untuk memulihkan
kembali peradaban islam. Itulah akhir dari dinasti Abbasiyah yang besar akan
wilayah kekuasaan, budaya, dan ilmu pengetahuan, berakhir dengan kesedihan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aen, Nurul. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Isy, Yusuf. 2007. Tarikh
‘Ashr Al-Khilafah Al-Abbasiyah. Damaskus: Darul
Fikr
Amin, Samsul Munir.
2009 Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah
Hasjmi, A. 1997.
Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : PT. Bulan Bintang
Hitti, Philip K.
2010. History Of The Arabs. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Muchtarom, Zuhairi.
1995. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Nata, Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta : Kencana Perdana
Media Group
Nizar, Syamsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta :
Kencana Media Group
Nurhakim, Muh. 2004. Sejarah & Peradaban Islam. Malang:
UMM Press
Soebahar, Abd. Halim.
2002. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam
Mulia
Subki, A’la.
2010. Sejarah Kebudayaan Islam. Klaten : CV. Gema Nusa
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam
Klasik Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam. Jakarta : Prenada Media
Supriyadi, Dedi.
2008. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung : CV Pustaka Setia
Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Katalog Dalam Terbitan
Suwito. 2008. Sejarah Sosial
Pendidikan. Jakarta : Kencana
Wahid, N Abbas dan Suratno. 2009. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam. Solo
:
PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban
Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta : PT.
Raja
Grafindo Persada
Yatim, Badri. 2010. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Yunus, Mahmud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta
: PT. Hidakarya
Agung.
[1]
A Hasjmi. Sejarah Kebudayaan Islam. (
Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1997 ), Hal. 212
[2] A’la Subki. Sejarah
Kebudayaan Islam. ( Klaten : CV. Gema Nusa, 2010), Hal. 37
[3] Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta:Kencana Predana Media Grup,2011) Hal. 65-66
[4] Abd.
Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, ( Jakarta, Kalam
Mulia, 2002), Hal. 95
[5] Hasjmi. Sejarah
Kebudayaan Islam. ( Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1997 ), Hal. 210
[6] Suwito, dkk. Sejarah Sosial Pendidikan
Islam ( Jakarta: Katalog Dalam
Terbitan,2005), Hal. 11
[7] Aen, Nurul. Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hal.127
[8] Ibid, 130
[9] A’la
Subki. Sejarah Kebudayaan Islam. ( Klaten : CV. Gema
Nusa, 2010), Hal. 38
[10] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Hidakarya Agung,1990) Hal. 46.
[11]
N Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah
Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo : PT Tiga Serangkai), Hal.50
[12]
Yatim,Badri, Sejarah
Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2000) Hal. 54
[13]
Sunanto,Musyrifah, Sejarah
Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media) Hal. 57
[14] Zuhairi Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi
Aksara, 1995), Hal. 98
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: rajawali pers,
2010), Hal. 55
[16] Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta :
Kencana Perdana Media Group, 2011 ), Hal. 162
[17]
Suwito, Sejarah Sosial
Pendidikan, (Jakarta. Kencana, 2008) Hal. 14
[18] Ibid, Hal. 15
[19]
Op.Cit Nata, Abuddin, Sejarah
Pendidikan…..,163
[20] Ibid, Nata, Abuddin, Sejarah
Pendidikan…..,173
[21] Ibid, Nata, Abuddin, Sejarah
Pendidikan…..,176
[22] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, hal. 156
[23] Badri yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah
islamiayah II, hlm.80
[24] Yusuf Al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-Abbasiyyah,
hal. 125-126
[25] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal.
153
[26] Op.Cit. Yusuf Al-Isy, hal 181
[27] Dedi Supriyadi, M.
Ag, Sejarah Peradaban Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2008). Hal. 140
[28] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban
Islam, hal. 156
[29] Philip
K. Hitti, History Of The Arabs, hal. 579-599
[30] Muh. Nurhakim, Sejarah
& Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), Hal. 74
[31] Philip K.
Hitti, History Of The Arabs, hal. 619
[32] Ibid, hal. 620
[33] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal. 156-157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar