Rabu, 03 Oktober 2012

Modifikasi Hadits, Pengertian, Sejarah & Perkembangannya


Pengertian Ulumul Hadis

Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis yang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”.

Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.

Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al—Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya.

Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul Hadis.1

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Masa Nabi Muhammad SAW.

Ketika  masa Nabi masih hidup ditengah-tengah para sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pada masa itu pemalsuan hadits-pun tidak pernah terjadi menurut pendapat para ulama ahli hadits.
Sekalipun pada masa nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Misalnya anjuran pemeriksaan berita datang dan perlunya persaksian yang adil. Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Hujarat (49): 6, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”.
Demikian juga dalam surat Al-Baqarah (2): 282, yang artinya “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.begitupun dalam surat At-Thalaq (65):2 Allah SWT berfirman, yang artinya: “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”.

Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Muslim mengatakan, sekalipun pemberitaan dan persaksian tidak sama pengertiannya, tetapi dalam beberapa hal mempunyai arti yang sama. Ayat-ayat diatas tersebut berarti memerintahkan untuk memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut.
Masa Para Sahabat Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah meninggal, kondisi para sahabat Rasul sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits karena konsentrasi mereka kepada Al-Qur’an yang baru dikondifikasikan pada masa Abu Bakar tahap awal dan pada masa Utsman tahap kedua. Pada masa ini lebih dikenal dengan masa “taqlil ar-riwayah”. Para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW.

Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits, karena pada waktu itu orang-orangnya  masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lainnya. Tetapi setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elit politik yaitu antara pendukung Ali dan Mua’wiyah, maka terjadilah perpecahan. Perpecahan tersebut menjadi beberapa sekte; yaitu Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadits dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih luas.
Melihat kondisi seperti hal yang disebutkan diatas maka para ulama bangkit dan membendung hadits dari pemalsuan dengan beebagai cara di antaranya kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus disertai dengan sanad. Ibnu Al-Mubarak berkata: “Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang ddikehendaki”.

Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan berlaku bahkan menjadi tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadits dari para ulama di atas lembaran kodifikasi. Sanad merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan haddits maka dapat disimpulkan bahwa pada saat itutelah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan periwayat mana yang cacat (al jarh wa at-ta’dil), sanad mana yang terputus (munqathi)dan yang bersambung (muttashil), dan cacat (‘illat)yang tersembunyi, sekalipun dalam taraf yang sederhana karena pada masa itu masih sedikit sekali diantara periwayat yang cacat keadilannya.

Masa Thobiin besar

Priode ini adalah Masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasyah ke XVII Al-Mu’tasim (W. 656 H). Sampai sekarang. Priode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi Wa Al-Tami’ Wa At-Takhriji Wa Al-Bahtsi,yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi Kitab-kitab Hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat Kitab-Kitab Tami’ yang umum.
Pada priode ini disusun kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan Hadits yang terdapat dalam Kitab sebelumnya kedalam sebuah Kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubradisusun oleh Bushiry, dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain.

Pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan alam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku serta berdiri secara terpisah. Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab Ar-Risalah yang ditulis oleh Asy-Syfi’I, atau campur dengan fiqh seperti kitab al-Umm dan solusi hadits-hadits yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al-Hadits karya Asy-Syafi’I (W.204 H.)

Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadits yaitu pada abad ketiga hijriyah perkembangan penulisan ilmu hadits juga pesat, karena perkembangan keduanya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih terpisah-pisah belum menyatu dan menjadi lmu yang berdiri sendiri ia masih dalam bentuk bab-bab saja.

Mushtafa As-Shinba’imengatakan orang yang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali Bin Al-Madini syaikhnya Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi[1]. Dr. Ahmad Umar Hasyim juag menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu hadits adalah Ali Bin Al-Madini dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Muslim.[2] Di antara kitab-kitab ilmu hadits pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadits  yaitu Ikhtilaf Al-Hadits  karya Ali Bin Al-Madini, dan Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits karya Ibnu Qutaibah (W.276 H). kedua kitab tersebut di tulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa ituterutama dari golongan Mu’tazilah dan ahli Bid’ah.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Majid Khon Abdul, 2009.Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah
  2. Solahudin Agus, 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia
  3. Muhammad teungku hasby ash-shiddieq, 2009. Ulumul Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra
  4. As-Shiba’I, As-Sunnah…, hlm. 107
  5. Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah…, hlm. 398






Tidak ada komentar: