Rabu, 03 Oktober 2012

Pra Modifikasi Hadits

  1. Hadits Pada Periode Rasul
  2. Hadits Pada Periode Sahabat dan Tabi'in

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Eksistensi Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam, memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Mulai dari masa pra – kodifikasi, zaman Nabi, sahabat dan tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke – 2 H / abad 14 M.

Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash Al Qur’an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al Qur’an Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa tabi’in Besar. Bahkan Khalifah Umar Bin khatab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan khalifah yang lain.

Periodesasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Al Azis pada abad 2 H 

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Rasulullah ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Khulafa’ al Rasyidin ?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa tabi’in ?


BAB II

PEMBAHASAN SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PRA KODIFIKASI

A. Hadits Pada Periode Pertama ( Masa rasulullah SAW )

1. Masa Penyebaran Hadits.

Rasulullah hidup di tengah – tengah rakyat dan sahabatnya, mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk bergaul dengan Beliau. Segala perbuatan, ucapan dan sifat Nabi bias menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari – hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.

Kabilah – kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk mendatangi Nabi dan mempelajari hukum – hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran yang baru mereka terima. Selain itu para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Mereka berdakwah menyampaikan pengetahuan, yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang – orang yang mereka temui. Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari Beliau. Rasulullah bersabda :

“ Sampaikanlah olehmu, apa yang berasal dariku, meski hanya 1 ayat .” 1.


Dalam hadits lain disebutkan :
“ Hendaknya orang yang menyaksikan hadits diantara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir dalam majelis ini. Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits dari kamu lebih memahami dari pada kamu sendiri yang mendengar langsung dariku”. 2


Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim,baik yang berada di Madinah maupun di luar Madinah akan segera mengetahui hukum – hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah, meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah.
Mereka akan memperoleh dari saudara – saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai haji wada’ dan wafatnya Rasulullah


Faktor – faktor yang mendukung percepatan hadits di masa Rasulullah adalah :
  • Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
  • Karakter ajaran islam sebagai ajaran baru waktu itu, telah membangkitkan semangat orang – orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini. Selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
  • Peran dari isteri rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya. 3

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya

Penyebaran Hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut ( secara lisan ). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau kawatir hadits akan bercampur dengan ayat – ayat Al Qur

Menurut Al Baghdadi, ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang masing – masing diriwayatkan oleh Abu sa’id Al Khudri, Abu hurairah dan Zaid Bin Tsabit. Namun yang dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

“ Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al Qur’an. Barangsiapa yang menulis dariku selain Al qur’an mereka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah pada tempatnya di neraka. ( HR. Muslim ) 4.


Di sini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu – satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi Al maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.

Adapun faktor – faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
  • Khawatir terjadi kekaburan antara ayat – ayat Al qur’an dan hadits Rasul bagi orang – orang yang baru masuk Islam.
  • Takut cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditelaah.
  • Khawatir orang – orang awam berpedoman pada hadits saja. 5

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa Fathu Makkah, itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan bahwa ketika Rasulullah membuka kota makkah. Beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.

“ Wahai rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda ( pada sahabat yang lain ). Tuliskanlah untuknya. 6

B. Hadits Pada Periode Kedua ( Masa Khulafa’ Al Rasyidin )

1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar Bin Khattab

Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota – kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab. 

Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti periwayatan, hanya saja Beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.7

Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab. “ Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu ( memperbanyaknya ), niscahya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.” 8.

Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat haits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar Bin Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para Ulama menyebarkan Al qur’an dan Al haits. Dalam sebuah riwayat Umar berkata “ Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan Al Qur’an dan Al hadits kepada kamu semua.” 9

2. Masa Pemerintahan Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib.

Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Namun langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar Bin Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. 10

Namun pada dasarnya periwayatan hadits pada masa pemerintahannya ini lebih banyak dari pada pemerintahan sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan masa keleluasaan periwayatan hadits. Hal ini disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.

Sedangkan pada masa Ali Bin Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa – masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negative dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak – pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya

3. Situasi Periwayatan Hadits.

Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan, yaitu :
  1. Dengan menggunakan lafal hadits asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
  2. Hanya maknanya saja, Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persisi dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan hadits, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa keleluasaan periwayatan hadits, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan adil dan saksi – saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan mereka melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yang diriwayatkannya.

C. Hadits Pada Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil – Tabi’in Besar )

1. Masa Penyebarluasan Hadits.

Sesudah masa Khufaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh – sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari usaha – usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits. 

Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati – hati dalam meriwayatkan hadits, kehati – hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi cirri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan lepentingan golongan memacu munculnya hadits – hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah – pecah dan masing – masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.

Seorang ulama Syiah Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu Al balaghah “ Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi – pribadi ( hadits palsu ) adalah dari golongan Syiah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah ( Jumhur / Pemerintah ) yang bodoh – bodoh. Mereka juga membuat hadits – hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syiah itu.” Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syiah, Imam malik menamai kota Irak ( pusat kaum Syiah ) sebagai Pabrik Hadits palsu.”

2. Tokoh – Tokoh dalam Perkembangan hadits.

Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan Al Muktsirun fi Al Hadits, mereka adalah :
  1. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits.
  2. Abdullah Bin Umar meriwayatkan 2630 hadits
  3. Anas Bin Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits.
  4. Aisyah ( isteri Nabi ) meriwayatkan 2210 hadits.
  5. Abdullah Bin Abbas meriwayatkan 1660 hadits
  6. Jabir Bin Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
  7. Abu Sa’id Al Khudry meriwayatkan 1170 hadits. 11
Sedangakan dari kalangan Tabi’in, tokoh – tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, maka di sini akan diambil sebagian, diantaranya :

Madinah
  • Abu Bakar Bin Abdur Rahman Bin Al Harits Bin Hisyam
  • Salim Bin Abdullah Bin Umar
  • Sulaiman Bin Yasar

Makkah
  • Ikrimah
  • Muhammad Bin Muslim
  • Abu Zubayr

Kufah
  • Ibrahim An Nakha’i
  • Al Qomah

Bashrah
  • Muhammad Bin Sirin
  • Qotadah

Syam

Umar Bin Abdul Azis ( yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits ).


Mesir

Yazid Bin Habib


Yaman

Thaus Bin Kaisan Al Yamani

BAB III

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa :
  1. Perkembangan hadits pada masa rasulullah bercorak antar lisan dan mengalami pelarangan penulisan dengan alas an diantaranya kawatir tercampur dengan Al Qur’an.
  2. Pada masa Khulafaur Rasyidin, hadits mengalami pasang surut dengan adanya pembatasan periwayatan pada masa khalifah Abu bakar, dan perluasan periwayatan pada masa khalifah Utsman Bin Affan.
  3. Pada masa tabi’in, hadits lebih banyak diriwayatkan oleh perowi. Namun pada masa itu, banyak bermunculan hadits – hadits palsu yang bernuansa kepentingan politik golongan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, Bab Al Anbiya’, no.50
  2. Ibid, Bab Al Iman, No.9
  3. Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2003: 31
  4. HR. Muslim dalam Syarh Al Nawawi, Juz 18 : 129
  5. Hasan Sulaiman Abbas Alwi, Terj. Ibanatul ahkam, Syarh Bulughul maram, Surabaya, Mutiara Ilmu, 1995 Jilid I : 16
  6. HR. Ahmad, Juz 12 : 232
  7. Imam Malik, Al Muwattha’, Juz 2 : 513
  8. Ajjaj Al Khathib, Al Sunah Qabla Tadwin, Cairo, Maktabah Wahbah, 1963 : 96
  9. Ibnu Sa’ad, Juz 3 : 135
  10. Ajjaj Al Khathib, Ushulul Hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar Al Fikr,1989 : 97-98.
  11. Ibnu Jauzi, Talqih Futhumi Ahli Al Atsar Dan Al Kirmany




Tidak ada komentar: