Sabtu, 15 September 2012

Pembagian Hukum Syar’i


Pada umumnya ulama ushul Fiqih membagi hukum syar’i menjadi dua bagian : hukum taklifi dan hukum

1    Hukum Taklifi

Yang dimaksud dengan hukum taklifi ialah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 41)
   
   Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian : ijab, nadb, tahrim, karabah, dan ibadah.
         Ijab (wajib) adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 43 :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
        
Nadb (Sunnah) adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya untuk berbuat.
Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah (2) : 282 :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

       Tahrim (Haram) adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 :

‘Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi’

      Karahah (Makruh) adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101 :

“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu ……”

         Ibahah (Mubah) adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, Allah dalamsurat Al-Baqarah 235 :

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran ….”

         Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan pasti kepada dua bagian takrim dan karahah tanzih.
         Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i seperti dalil Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasärkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab.
         Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, ia disebut karahah tanzih.
         Dengan pembagiari seperti tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb dan ibadah.
         Walaupun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepadalima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. (H.Alaiddin Koto, 2004, hal. 42-44)
a.      Wajib
         Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (‘iqab) apabila meninggalkannya. Misalnya, mengerjakan beberapa rukun Islam yang lima.
Dihhat dari beberapa segi, wajib terbagi empat :
1.      Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua :
a.       Wajib mu’ayyan (ditentukan) yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah, atau tahiyyat dalam sholat.
b.      Wajib mukhayyar (dipilih) yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan tiga alternatif, membeni makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
2.      Dilihat dan segi siapa saja yang mengharuskan memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua bagian:
a.       Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukhalaf. Misalnya, mengerjakan sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b.      Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan, mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan sholat jenazah, dan lain sebagainya.
3.      Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua :
a.       Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat sholat, dan lain-lain.
b.      Wajb ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad, tolong-menolong, dan lain sebagainya. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 44-46)
b.      Haram
         Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dan lain sebagainya.
Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua :
1.      Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharapkan sejak semula. Misalnya, membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
2.      Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semula wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lamnnya. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 46)
c.       Mandub
         Mandub adalah segala perbuatan yang dila1ukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada :
1.      Sunat ‘ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya sholat sunat rowatib.
2.      Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dan suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin, dan lain-lain.
Selain itu, sunat juga dibagi kepada :
1.      Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, atau lebih banyak dikerjakan Rasul dan pada tidak dikerjakannya. Misalnya, sholat sunat han raya.
2.      Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin. (H.Alaiddin Koto, 2004, hal. 47)
d.      Makruh
         Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘iqab). Misalnya : merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya.
         Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian :
1.      Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut di atas.
2.      Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah). (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 46-47)
e.      Mubah
         Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz. (H. Alaiddin 2004, hal. 48)
2.      Hukum Wadh’i
         Yang dimaksud dengan hukum wadhi’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karenanya, ulama membagi hukum wadh’i ini kepada : sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 49)
a.      Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian :
1.      Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya sholat.
2.      Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalafi. Sebab ini dibagi dua:
a)      Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa (QS. Al-Baqarah (2):185). Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya tidaknya berpuasa di bulan Ramadhan (QS. Al-Baqarah (2): 185).

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.

b)      Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 49 – 50)
b.      Syarat
         Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat berjalan, satu tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab, (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 50)
c.       Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya . dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam :
1.      Mani terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang sholat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat sah sholat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya sholat. Hal ini disebut mani’ hukum.
2.      Mani terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat Ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat. Namun, keadaannya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan penghalang sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut mani’ sebab. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 52-53)

3.      Perbedaan Antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadhi dari dua hal :
a.       Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum takilfi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak.berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak mengandung tuntutan atau memberi. pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
b.      Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 58-59)

B.     Mahkum Bihi
         Mahkum bihi, yaitu perbuatan orang mukallaf yang berhubungan hukum syara’ atau yang dibebani hukum syar’i. Contoh, firman Allah swt

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al Baqarah :183)
         Firman Allah swt di atas berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, sehingga dapat diambil pengertian bahwa status hukum puasa adalah wajib.
Contoh lain, firman Allah swt :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra’ : 32)

         Firman Allah di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu mendekati zina, di mana status hukumnya adalah haram. Setiap hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Adapun syarat-syarat mahkum bihi adalah sebagai berikut :
1.      Hendaknya tuntutan perbuatan yang yang dikenai hukum itu diketahui dengan jelas dan pasti oleh orang mukallaf sehingga ia bisa menunaikannya sesuai dengan yang dituntut.
2.      Perbuatan yang dikenai hukum itu bisa diketahui oleh orang mukallaf bahwa beban hukum tersebut berasal dan Allah, sehingga dalam mengenjakannya ada kehendak dan rasa keinginan untuk ta’at kepada Allah dan semata-mata untuk mendapat keridhoaNya.
3.      Beban hukum (Taklif) tersebut adalah hal yang mungkin terjadi, karena. tidak ada taklif terhadap perbuatan yang mustahil terjadi atau diluar batas kemapuan manusia
4.      Taklif tersebut jelas dan Mukallaf dapat membedakan antara perbuatanperbuatan tersebut dengan yang lainya, supaya ditentukan niat terhadap perbuatan tersebut bila hendak mengerjakannya.

C.     Mahkum Alaih
         Mahkum alaih ialah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum Syar’i atau dengan kata lain orang Mukallaf menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Dinamakan MukAllah sebagai mahkum ‘alaih adalah karena dialah yang kenai hukum syara’. Singkat kata yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah mukallaf itu sendiri sedang perbuatannya dinamakan mahkum bihi.
         Kemudian tuntutan-tuntutan akan perbuatan tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang yang sedang mengalami gangguan jiwa atau gila. Tuntutan-tuntutan Allah (taklif) selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua tuntutan hukum baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak sesama manusia tidak dituntutkan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Oleh karena itu, kemampuan menjadi dasar adanya takHf. Allah berfirman:


Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Adapun kondisi manusia untuk melaksanakan hukum-hukum Allah ada tiga kemungkinan, antara lain sebagai berikut :
1.      Tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk berbuat, contohnya anak kecil atau orang yang mengalami ganguan jiwa atau orang gila. Mereka tidak memilki kemampuan untuk melaksanakan hukum Allah karena belum/tidak sempurna akalnya.
2.      Memiliki kemampuan untuk berbuat akan tetapi belum sempurna, yaitu anak yang sudah mumayyiz (anak yang sudah membedakan baik buruknya perbuatan). Perbuatan mumayyiz tersebut yang berkaitan dengan hak-hak Allah seperti shalat, puasa, dan lain-lain dihukumi sah tetapi belum berkewajiban untuk menunaikannya.
         Memiliki kemampuan berbuat secara penuh dan sempurna, yaitu semua orang yang sudah baligh dan berakal. Semua perbuatannya yang dengan hak-hak Allah maupun yang berhubungan dengan hak-hak sesama manusia, berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum beserta sanksi-sanksinya dan akibatnya secara penuh, kecuali jika terdapat udzur, baik yang muncul dari tindakan manusia sendiri seperti : mabuk, bepergian, paksaan, maupun yang timbul diluar dari perbuatan manusia itu sendiri seperti : sakit, gila, lupa dan tidur.

Tidak ada komentar: