Sabtu, 13 Oktober 2012

Dalil Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita



A. Dalil Dalam Al quran 

dalilnya adalah QS Annisa 43, dan QS Al Maidah 6.

1.  An Nisa(4):43

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari  buang air (al-ghaith) atau kamu telah sentuh-menyentuh perempuan (al-mulamasah), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Keterangan :

Lihat bagaimana pentafsiran imam Asy-syafei dalam Kitab Al-Umm  bab wuddlu bagian :  “wudhu dari al mulamasah (sentuh-menyentuh) dan air besar (al ghaith)” 

….. (An Nisa(4):43 ).
Maka serupalah bahwa Ia (Allah)  mewajibkannya wudlu dari al- ghaith (air besar atau berak) dan Ia (Allah) mewajibkannya dari sentuh -menyentuh  
( al -mulamasah).

Allah ta’ala menyebutkan al-mulamasah itu bersambaung dengan al- ghaith, sesudah menyebutkan al-janabah (junub). Maka serupalah al-mulamasah bahwa adalah dia itu sentuhan dengan tangan. Dan Pelukan itu bukan al-janabah.

Dikabarkan kepada kami oleh malik dari ibnu syihab, dari salim bin Abdullah, dari ayahnya, yang mengatakan : “Pelukan lelaki akan isterinya dan menyentuhkannya dengan tangannya itu termasuk al-mulamasah. Maka siapa yang memeluk isterinya atau menyentuhkannya dengan tangannya, maka haruslah ia berwudhu kembali”

Telah sampai kepada kami dari ibnu mas’ud, yang mendekati dengan makna ucapan ibnu umar : ” Apabila seorang lelaki membawa tangannya kepada isterinya atau sebagian tubuhnya kepada isterinya, yang tiada berlapis di antara dia dan isterinya, dengan nafsu birahi atau tiada dengan nafsu birahi, niscaya wajiblah ia berwudlu dan juga isterinya berwudlu kembali.

Demikian juga, kalau  isterinya menyentuhnya. Maka wajiblah ia berwudlu kembali dan juga isterinya berwudlu kembali. Samalah pada demikian itu semua.

Artinya :

Mana saja dari badan keduanya tersentuh kepada yang lain, apabila yang lelaki menyentuh kepada kulit yang wanita atau wanita menyentuh kepada kulit lelaki, dengan sesuatu dari kulitnya.

Apabila lelaki menyentuh dengan tangannya kepada rambut wanita dan tidak menyentuh kulitnya, maka tidaklah wudlu atas lelaki itu. Adalah ia dengan nafsu birahi atau tidak dengan nafsu birahi, sebagai mana ia bernafsu kepada isterinya dan ia tidak menyentuhkannya. Maka tidak wajib ia berwudlu kembali. Tidak ada makna nafsu birahi itu, karena dia itu didalam hati. Hanya baru bermakna, bila dengan perbuatan. Dan rambut itu berbeda dengan kulit.

Kalau orang itu lebih menjaga, lalu berwudlu kembali apabila ia menyentuh 
rambut wanita, niscaya adalah yang demikan itu lebih aku sukai (memandangnya sebagai sunah).

Kalau ia menyentuh dengan tangannya, akan apa yang dikehendakinya di atas badan wanita, dari kain yang tipis, yang belum diapa-apakan lagi atau sudah dipotong atau lainnya atau kain yang tebal tenunannya, dengan merasa kelezatan atau tidak ada kelezatan dengan sentuhan itu dan diperbuat juga oleh wanita yang demikian, niscaya tidaklah wajib atas salah seorang daripada keduanya berwudlu kembali. Karena Masing-masing dari keduanya tidak menyentuh temannya. Hanya ia menyentuh kain temannya.

Rabi Berkata : “Aku mendengar Asy-syafi’i berkata : “Menyentuh itu dengan tapak tangan. Tidaklah engkau melihat, bahwa Rasulullah SAW melarang dari al-mulamasah?”.

Berkata Penyair :
Aku sentuhkan tapak tanganku dengan tapak tangannya.
Aku mencari kekayaan.
Aku tidak tahu, bahwa kemurahan dari tapak-tangannya,
adalah mendatangkan kesakitan.
Maka tiadalah aku memperoleh faidah daripadanya.
Dan tiada orang yang kaya itu memberi faidah.
Ia menjangkitkan penyakit kepadaku.
Lalu aku menaburkan, yang ada padaku.
(Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam Asya-syafi’i R.A., Jilid I Halaman 54-55, Penerbit Victory Agencie Kuala Lumpur, 1989)

2. Almaidah (5) ayat 6 :

” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur…..

Keterangan Tafsir ayat diatas :

-          ayat itu merupakan dalil bahwa bersentuhan dg kaum nisa mestilah berwudhu atau bertayammum bila tak ada air, cuma para Imam berikhtilaf dalam makna ayat : “jika kalian menyentuh kaum wanita”, :
-          Imam syafii berpendapat yg dimaksud menyentuh ini ya menyentuh kulitnya,
-          Imam Ahmad bin hanbal berpendapat yg dimaksud adalah “menyentuh” adalah Jimak,
-          dan Imam Ahmad bin hanbal berhujjahkan dengan hadits Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. (Tapi Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.)
-          Imam Syafii tetap berpendapat bahwa bersentuhan itu adalah bersentuhan kulit, dan hadits Aisyah ra itu dhoif dan tak bisa dijadikan dalil, pun bila itu dijadikan dalil maka hal itu adalah kekhususan bagi nabi saw.
-          Imam Ahmad bin hanbal dan Imam malik berpendapat bahwa bersentuhan dg wanita bukan muhrim bila tanpa syahwat tidak batal wudhu dan menjadikan hadits dhoif diatas sebagai sandaran dalil.

-          Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat menyentuh wanita tak membatalkan wudhu. (Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maraam Juz 1 hal 129)

B. Hadits Rasululloh SAW yang mendukung pendapat imam syafei, yakni

1)       “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani dan Baihaqi)
2)       Dari asy-Sya’bi bahwa Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan wanita.” (HR Abu Daud dalam al-Marasil)
3)       Aisyah berkata, “Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai’at itu; beliau tidak membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’
4)       Dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Semua pihak, terutama 4 imam besar, mendukung hal ini tanpa penolakan sedikitpun.

Pada umumnya, yg memegang pendapat ini adalah mazhab Syafei, mazhab Az-Zuhri, ‘Ata’ bin As-Sa’ib, Al-Auza’ie.

C. Hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits diatas dan penjelasannya

1)       Aisyah istri Nabi saw. berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah dengan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, beliau mendorongku. Lalu, aku menarik kedua kakiku. Apabia beliau berdiri, aku memanjangkan kembali kedua kakiku.” Aisyah menambahkan, “Pada waktu itu tidak ada lampu di rumah.” (Hadits dhoif)

keterangan :
hadits itu dhoif, dan sebagian pendapat menafsirkan bahwa saat itu Rasul saw menyingkirkan kaki Aisyah ra dengan menyentuh bajunya dan bukan kulit terbuka,

2)       hadits Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. (Tapi Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.)

keterangan :
ada pula yang menshahihkan hadits ini mengatakan bahwa Rasul saw mencium istrinya, tetapi penafsiran para Muhaddits berbeda beda, sebagian pendapat mengatakan itu adalah kekhususan Rasul saw sebagaimana beberapa kekhususan Nabi saw yg boleh menikah hingga 9 istri, karena beliau saw ma’shum, dan tidak diizinkan bagi selain beliau saw,

pendapat lainnya bahwa hal itu untuk umum, bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, pendapat lainnya mengatakan bahwa bersentuhan dg syahwat membatalkan wudhu jika tidak maka tidak,. pendapat lain mengatakan bahwa jika menyentuh maka batal, jika disentuh (bukan kemauannya atau tanpa sengaja) maka tidak batal.

namun Madzhab Syafii mengatakan bersentuhannya pria dan wanita yg bukan muhrimnya dan keduanya dewasa dan sentuhan itu tanpa penghalang berupa kain atau lainnya maka membatalkan wudhu, bersentuhan suami dan istri batal wudhu, demikian dalam madzhab kita.

D. Catatan

·       jangankan menyentuh wanita yang halal dinikahi (termasuk istri) tanpa ada pembatas… akan membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan (farji) dan dubur sendiri dengan menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih) tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fathul qarib, fiqh madzab syafei)
·       juga menyentuh kemaluan/dubur binatang/anak kecil/mayat manusia menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih)
·       tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fathul qarib, fiqh madzab syafei).
·    Dalam Madzab syafei, khusus  pada saat haji di masjidil haram menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu (pengecualian).
·     wanita menyentuh sesama wanita tanpa pembatas, tidak membatalkan wudhu (karena satu jenis) . lelaki menyentuh sesama lelaki tanpa pembatas juga tidak membatalkan wudhu

mari kaji fiqh sunni madzab syafei….jgn mengkaji hadits tanpa dasar fiqh “imam mujtahid” bisa-bisa ente jadi “mujtahid mutlak yang sebenarnya belum layak jadi mutjahid” yang ahirnya sesat dan menyesatkan seperti JIL dan wahaby

wallahu a’lam

wajib bagi yang belum mujtahid….mengikut pada imam mujtahid

Abu Haidar
Alumni Ponpes Darussa’adah – Jl Punawirwan 7 Bandar Lampung – Indonesia

Rujukan :

-       (Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam Asya-syafi’i R.A., Jilid I Halaman 54-55, Penerbit Victory Agencie Kula Lumpur, 1989)
-       Kitab shahih Bukhari
-       Kitab Shahih Muslim
-       Tafsir jalalain, Beirut
-       Jawaban Habib Munzir Al-Musawa, Majelis Rasulullah http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=28&func=view&id=10739&catid=8

Tidak ada komentar: