Jumat, 12 Oktober 2012

Sejarah Perkembangan Hadits

PERIODE MUTAQODDIMIN

A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)


1. Masa Penyebaran Hadits


Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. 

Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.

Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.

Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.

Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,

"بلغوا عنى ولو أية"

“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”

Dalam hadits lain disebutkan
,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "

“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku). 

Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.

Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
  1. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
  2. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
  3. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya

Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.

Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi,

"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"

“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).

Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.

Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
  1. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
  2. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
  3. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.

"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"

“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.” 

B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)

1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab

Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. 

Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits 

(عصر تقليل رواية الحديث).

Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. 

Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.

Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya."

Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua."

2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib

Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية الحديث.

Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.

Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.

3. Situasi Periwayatan Hadits

Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.

  1. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
  2. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.

Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.

C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)

1. Masa Penyebarluasan Hadits

Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.

Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.

Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"

Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".

2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits

Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:

a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.

Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :

a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam

b. Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar

c. Makkah
- Ikrimah 
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr

d. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah

e. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah

f. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)

g. Mesir
-Yazid ibn Habib

h. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani

PERIODE MUTAAKHIRIN

Yang dimaksud dengan mutaakhkhirin adalah periode anatara Abab IV-VII Hijriyah. Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi pada masa dinasti ’Abba siyah angkatan ke dua yaitu pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim Billah.

Pada periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi tudak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak sedikit ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan hadis.

Pada periode ini ulama pada umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis terdahulu, sebab pada IV H hadis-hadis telah terhkodofikasi dalam bentuk kitab sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling menonjol pada periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis Nabi saw yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh mutaqaddimin.

Para ulama hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan mnyusun hadis dalam bentuk mus}annaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.

Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;

1. Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan saanad dan matannya, ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah; Atraf alSahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H), Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H), Atraf Kutub al-Sittah karya Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H), Atraf al-Ahadis} al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H), Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H), Atraf al-Masand al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).

2. Kitab Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian penyusun meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah; Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ih}ya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij ahadis al-Baagawi karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij ahadis al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).

3. Kitab al-Mustadrak adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya, dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah : al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni(w. 385 H).

4. Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitan yang telah adalah, dianatar kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk seperti ini adalah;

1. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim:
  • Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
  • Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-H{umaidi (w. 488 H)
  • Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)

2. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadi dari Kutub al-Tis’ah:
  • Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan oleh Ibnu al-Asir al- Jazairipada kitab yang diberi judul ”al-Jami’u al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
  • Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
3. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
  • Maabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al- Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih}”
  • Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w. 579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-Tabari. 
  • Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).

4. Kitab yang disusun berdasarkan pokok masalah, dianatara kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan masalah-masalah tertentu dari kitab-kitab hadis terdahulu adalah :

1. Himpunan Hadis-hadis hukum
  • Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majdu al-Din Abdussalam Ibnu Abdillah (w. 625 H)
  • Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baihqi (w. 458 H)
  • Al-Ahkam al-Sugra, karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H)
  • ’Umdatu al-Ahkam, karya Abdulgani al-Maqdisi (w. 582)
  • Bulug al-Maram min Adillat al-Ah}kam karya Ibnu H{ajar al-’Asqalani.

2. Himpunan hadis-hadis al-Targib wa al-Tarhib (hadis-hadis tentang menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri perbuatan dosa yang dibenci) salah satu diantara kitab tersebut adalah kitab al-Targib wa al-Tarhib karya al-Munziri (w. 656 H)

Pada abad VII selain karya-karya ulama dalam bidang hadis yang disusun dalam bentuk mustakhrajat dan atraf, juga para ulama abad VII dan seterusnya menyusun karya dalam bentuk syuruh, mukhtas\arat, al-zawaid, dan ma’ajim. Adapun karya-karya para ulama pada abad VII dan seterusnya dapat diklasifikasiakan sebagai berikut:

1. Kitab al-Syuruh mrupakan kitab hadis yang memuat uraian dan penjelasan terhadap atas kandungan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya ulama Mutaqaddimin dengan memberikan beberapa hubungan dengan atau relasi baik dari Al-Qur’an , hadis, maupun kaodah-kaidah syara’ lainnya. Adapun karya-karaya yang disusun dalam bentuk syuruh dapat diklasifikasikan berdasarkan kitab-kitab himpunan sebagai berikut:

1. Kitab Syarah untuk Sahih al-Bukhari
  • Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani
  • Irasyad al-Sari oleh al-Qast}lani (w. 923 H)
  • ’Umadat al-Qari’ oleh al-’Aini (w. 855 H)

2. Kitab Syarah untuk Sahih Muslim

  • Al-Minhaj oleh al-Nawawi
  • Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi (w. 743 H)
  • Kitab Syarah untuk al-Sahihain: Zad al-Muslim oleh al-Syinqiti
  • Kitab Syarah untuk Sunan Abu Daud :
    1. ’Aun al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-’Azim al-Abadi bersama dengan syarah Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah.
    2. Ma’alim al-Sunan oleh al-Khattabi (w. 388 H)

5. Kitab syarah untuk Sunan al-Tirmizi
  • Tuhfat al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
  • ’Arid} al-Ah}wazi oleh Ibnu al-’Arabi (w. 543 H)

6. Kitab Syarah untuk Sunan al-Nasa’i
  • Ta’liq oleh al-Suyuti
  • Ta’liq oleh al-Sindi

7. Kitab syarah untuk Sunan Ibnu Majah
  • Ihdau al-Dibajah oleh Ahmad al-’Adawi
  • Syarah Suanan Ibnu Majah oleh al-Maglatayi (w.767 H)

8. Kitab-Kitab Syaraj untuk Himpunan Hadis-hadis Ahkam
  • Subul al-Salam oleh al-San’ani terhadap Bulug al-Maram oleh Ibnu Hajar al-’Aqalani
  • Nail al-Autar oleh al-Syaukani terhadap muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Abdussalam.
  • Kitab Mukhtasarat adalah kitab yang berisi ringkasan-ringkasan dari satu kitab hadis. Diantara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk muktasarat adalah: kitab al-Jami’ al-Sagir karya al-Suyuti dan kitab Mukhtasar Sahih Muslim.
  • Kitab Zawaid adalah kitab yang didalamnya terhimpun hadis-hadis yang terdapat dalam satu karya mutaqaddimin tertentu dan tidak terdapat dalam kitab himpunan hadis lainnya, salah satu kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah Zawaid al-Sunan al-Kubra oleh al-Busiri, yang mnghimpun riwayat-riwayat yang terdapat dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihqi yang tidak terdapt dalam Kutub al-Tis’ah. 
  • Kitab Ma’ajim atau disebut juga dengan kitab indeks hadis yakni kitab yang berisi perunjuk-petunjuk praktis untuk mempermudah pencarian matan-matan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab himpunan hadis riwayah tertentu, salah satu dianttara kitab tersbut adalah Miftah Kunuz al-Sunnah yang merupakan terjemahan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dari karya A.J. Wensink, kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam 14 kitab himpunan hadis, dan disusun dalam bentuk tematik.

Selain dari kitab-kitab di atas pada abad VII dan seterusnya tersusun pula kitab himpunan hadis-hadis Qudsi dianatar kitab himpunan hadis-hadis Qudsi adalah : Al-tuhfah al-Saniyyah oleh Al-Munnawi dan al-Kalimat al-Tayyibah oleh Ibnu Taymiyyah, dan banyak lagi lainnya.

PENELITIAN HADITS PERIODE KONTEMPORER

Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimin dan disempurnakan pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai berikut:
  1. Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
  2. Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtas\ar Sahih Muslim.
  3. Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
  4. Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah : 
      • Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah sanad.
      • Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah, maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-Hadis.
      • Program Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh para ulama baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.



Tidak ada komentar: