Jumat, 12 Oktober 2012

Klasifikasi Hadits Berdasarkan Jumlah Perawinya

A. HADITS MUTAWATIR 

1. Pengertian



Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. 

Secara defitif hadits mutawatir adalah:

خبر عن محسوس رواه عدد جم يخب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكب

“ Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adapt kebiasan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta”


Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas. Sebagian ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu tidak kurang dari dua puluh perawi. 

Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. 

Hal tersebut diqiyaskan dengan pernyataan Allah sebagai berikut : 
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yuhsha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam. 

Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) sehingga hadits ini dapat dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang syari’ah. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir. 

Dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan pancaindera). 

Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
  2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
  3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
  4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.

Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. . Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut.

Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina. 

Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang, hal ini diqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi. 

Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12). 

Ada yang menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam suat Al anfal 65. selain itu adal pula yang menetpkan jumlah tersebut sekurang-kuangnya 40 orang dengan menqiyaskan pada firman Allah pada surat al anfal ayat 64. 

Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits.

2. Pembagian hadits Mutawatir

Hadits Mutawatir ada 2 yaitu : 

a. Mutawatir Lafdzi

Hadist Mutawatil Lafdzi adalah;

ما تواتر لفظه

Hadist mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi, hadist mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, arena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama akna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadist itu tetap sama.

Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

“Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.” 

Adapun silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat

b. Mutawatir Ma’nawi 

ما تواتر معناه دون لفطه

Yaitu hadits yang isi serta kandungannya diriwayatkan secara mutawatiakan tetapi redaksinya tidak. Sehingga redaksinya bisa berbeda-beda. 

Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :

ما رفع صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطيه في شيئ من دعائه الا في الاستسقاء

“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كان يرفع يديه حذو منكبي

“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

c. Hadist Mutawatir ‘amali

Hadist mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.

Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali. Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.

3. Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir mengandung ilmu dlarury yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga para rawinya tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .

Taraf kepastian bahwa hadist mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.

Oleh karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadist ahad.

4. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir

sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :
  • Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
  • Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
  • Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
  • Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.


B. HADITS AHAD

1. Pengertian

Suatu hadits yang tidak memenuh syarat-syarat Hadits mutawatr disebut hadits ahad. 

Ulama’ Muhadditsin mendefinisikan sebagai berikut:

هو ما لا ينتهي الى التواتر

“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”

Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas kesinambungan sanadnya. 

2. Pembagian Hadist Ahad

a. Hadist masyhur (hadist mustafidah)

Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. 

Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: 
ما رواه الثلاثة فأكثر ولم يصل درجة التواتر

"Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat hadist mutawatir.”

Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir.

Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “

Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.

b. Hadist ‘aziz

‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya. 

Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: 
ما رواه اثنان ولو كانا في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذلكجماعة


”Hadist ‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi”.

Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.

Contoh hadist ‘aziz adalah hadist berikut ini:

نحن الاخرون السابقون يوم القيامة

“Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah) 

Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.

c. Hadist gharib

1. Definisi 

Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. 

Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: 
ما انفرد برواتيه شخص في اي موضع وقع التفرد به من السند
"Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.”

Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.

Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:

Yang artinya: “ Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “

Kendati hadist ini diriwayatkan oleh banyak imam hadist, termasuk Bukhari dan Muslim, namun hadist tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh hanya satu orang tabi’in, yaitu ‘Alqamah.

Dengan demikian hadist itu dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadist gharib.

2. Klasifikasi

Ditinjau dari segi bentuk peyendirian rawi, maka hadits gharib terbagi kepada du macam:

a. Gharib Muthlaq
Apabila peyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya, maka hadits yang diriwaytkan disebut gharib muthlaq. Penyendirian rawi hadits gahrib mutlq harus berpangkal pada ashsus sanad, yakni tabi’iy, bukan sahhabat. Sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian rawi dalam hadits gharib di sini adlah unuk menetapkan apakah ia masih dterima periwayatannya atau ditolak sama sekali. Sedanglkan kalau yag menyndiri tu seorng sahabat, sudah tidak perlu diperbincangkanlag, karea sudah diakui oleh umum bahwa sahabat-sahabat itu adalah adil semuanya.

b. Gharib Nisby
apbila enyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi, maka hadits yang diriwayaknnya disebut dengan hadits gahrib nisby. 

Sifat atau keadaan tersebut mempunyai bebarapa kemungkinan:

  1. Sifat keadalan dan kedlabitan (ketsiqahan) rawi
  2. Tentang kota atau tempat tnggal tertentu.tentang merwayatkannya dari rawi tertentu.
Disamping pembagan hadts gharib sebahaman di atas, kalua penyendrian itu ditinjau dar segi letaknya, d matakah atau di sanad, aka ia terbagi lagi menjadi tiga bagian, yakni;
  1. gharib pada matan dan sanad
  2. Gharib pada sanadnya saja
  3. gharib pada sebagian matannya. 
3. Istilah-istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan Hadits gharib

Gharib dan Fard adalah dua istilah yang muradlif. Kedua istlah itu dalm segi penggunaannya dibedakan. Pada umumnya istilah gharib diterapkan untuk hadits fard nisby (Gharib nisby). Sedangkan fard diterapkan untuk fard muthlaq (gharib mutlaq). 

Dari segi kata kerjanya para muhadditsin tidak menhgadakan perbedaan satu sama lain. 

Misal
تفرد به فلان sama dengan اغرب به فلان
Istilah-istlah yang sering dipakai untuk memberi cirri hadits gharb antara lan;

ISTILAH KETERANGAN

هذا حديث غريب - Hadits ini diterapkan untuk hadits fard nisby

Menurut al Baghawi: istilah ini diterapkan untuk hadits syad.

غريب من هذا الوجه - Istilah spesfik at turmudzi ini dimaksudkan untuk memberi nilai suatu hadits yang gharib seluruh sanadnya, sedang matannya shahih.

غريب مشهور - Hadits yanh gharib pada awalnya, kemudan menjadi masyhur pada akhirnya.

تفر به او اغرب بهفلان - Hadits gharib yang tidak mempunyai muttabi’ atau syahid

تفرد به اهل بصرة - Hadits gharib yang dinisbatkn kepad para perawi dari bashrah

لم يروه ثقة الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi-rawi yang tsiqah hanya seorang saja yang meriwayatkan, sedang jika dinisbatkan kepada rawi-rawi selainnya, adalah dla’if.

لم يروه عن فلان الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi trtentu, sedangkan raw yang lain tidak ada yang meriwayatkannya.

غريب الحديث - Matan hadits yang sukan difahamkan maksudnya, karena sebagian lafadznya ada yang musykil dan tidak popular dalam penggunaannya.

له متابعة - Hadist gharib yang mempunyai muttabi*

له مثله - Hadits gharib yang mempunyai syahid** billafdzi (sesuai makna dan redaksinya)

له نحوه - Hadits gharib yang mepunyai syahid bil ma’na

له شواهد Hadist gharib yang mempunyai beberapa syahid.


Keterangan:
  • Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru 9yang terdekat itu)
  • Syahd adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na (ma’na sama tapi redaksi berbeda)


4. Cara-cara untuk menetapkan keghariban hadits

Untuk menetapkan suatu hadts tu gharib, hendaklah diperksa lebih dahulu pada kitab-kitab hadit, semisal kitab Jami’ atau Musnad, apakah hadisttersebut apakah hadist tersebut mempunyai sanad lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada maka hilanglag sifta gharibnya.

Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadp hadits yang diperkrakan gharib dengan maksud apakah hdist tersebut mempunyai muttabi’ atau syahid, disebut I’tibar.

Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru (yang terdekat itu)

Syahid adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na (ma’na sama tapi redaksi berbeda)

3. Kedudukan Hadist Ahad

Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.

Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir. Dengan kata lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad, bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak.

C. PERBEDAAN HADIST AHAD DENGAN HADIST MUTAWATIR

1. Dari segi jumlah rawi

Hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.

2. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan

Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya. Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.

3. Dari segi kedudukan

Hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.

4. Dari segi kebenaran keterangan matan

Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an. Sedangkan keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat al-Qur’an.


Tidak ada komentar: