Jumat, 12 Oktober 2012

Mustholahul Hadits


BAB I
MACAM-MACAM HADITS BERDASARKAN SIFAT SANAD

1. HADITS MUTTASHIL


Muttashil menurut bahasa asdalah isim fa’il dari kata kerja ittashala lawan kata dari inqatha’a artinya bersambung.



Hadits Muttashil ialah:

ما اتصل سنده، وسلم من الانقطاع، ويصدق ذلك على المرفوع والموقوف .

"Hadits yang bersambungsambung sanadnya dan terhindatr dari terputusnya sanad, dan yanh termasuk dalam hadits ini adalah hadits marfu’ dan mauquf". Persambungan sanad itu dinamai ittishal. 



Hadits muttashil tidak harus berupa hadits marfu’, akan tetapi bisa berupa hadits marfu’ atau hadits mauquf yang disandarkan pada shahabat atau tabiin akan tetapi dengan syarat tidak ada sesuatu yang mengindikasikan terputusnya sanad (inqitha’).



Dengan demikian setiap hadits yang munqathi’ tidak bisa dikatakan hadits muttshil baik terputus di permulaan isnad, di akhir isnad maupun diantara keduanya. Maka hadit Mu’allaq, hadits Mu’adlal, hadits mursal dan juga hadits mudallas tidak termasuk dalam kategori hadits muttasil.



Begitu juga tidak termasuk hadits Muttashil apabila seorang perawi menerima hadits dari gurunya dengan melalui salah satu dari dua cara penerimaan hadits yang dlaif. 
Hadits muttasil berkaitan dengan sanad bukan pada matan hadits. 



Contoh dari hadits yang marfu’ (hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW):



عن جابر قال رسول الله ص. حسن الملكة يمن وسوء الخلق شؤم


Artinya: dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah pelajaran dan buruk kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir).


Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu karena dengan terang-terangan Jabr mengatakan “قال رسول الله”.



Contoh dari hadits Muquf (hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi) :



عن عبد الله بن مسعود قال : لا يقلدن احدكم دينه رجلا فان امن امن وان كفر كفر (رواه ابو نعيم 136:1


Artinya: dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah hendaknya salah seorang dari kamu taqlid agamanya dari seseorang, karena jika seseorang itu beriman, maka ikut beriman, dan jika seseorang itu kufur, ia pun ikut kufur”. (R. Abu Na`im 1:136).


Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud.



Contoh dari hadits Maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi`in atau orang yang berada pada tingakat dibawahnya):



عن عبد الله بن سعيد بن ابي هند قال : قلت لسعيد بن المسيب ان فلانا اعطس والامام يخطب فشمته فلانقال : مره فلا يعودن


Artinya: dari Abdillah Bin Sa`Id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku pernah bertanya kepada Sa`Id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin, padahal imam sedang berkhutbah, lalu orang lain ucapkan “yarhamukallah” (bolehkan yang demikian?) jawab Sa`Id Bin Musayib “perintahlah kepadanya supaya jangan sekali-kali diulangi”. (al atsar 33).


Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum.



2. HADITS MUSNAD



Menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata asnada yang berarti menyandarkan atau menisbahkan.



Hadits Musnad, ialah: "tiap-tiap hadits marfu' yang sanadnya muttashil." Sebagian ulama menamai musnad segala hadits muttashil, walaupun mauquf, atau maqthu'. Dan sebagian yang lain menamai musnad, segala hadits marfu', walaupun mursal, mu'dlal ataupun munqathi'. Pendapat yang pertama, itulah yang terkenal dan terkuat.



Hadits musnad memiliki sifat bersambung (ittishal) dalam sisi matannya dan juga ittishal pada sanadnya. Mak hadits muttashil terkumpul di dalamya dua macam hadits, yaitu hadits muttashil dan marfu’. Maka apabila kriteria kedua macam hadits ini terkumpul dalam suatu hadits maka hadits tersebut dihukumi hadits Musnad. 



Dengan demikian suatu hadits dikatakan Hadits musnad apabila terpenuhi dua syarat:
1. Disandarkan pada Nabi
2. Sand-sanadnya muttashil (tidak terputus)


Apabila dijumpai suatu hadits yann sanadnya muttashil namun disandarkan pada sahabat bukan pada Nabi maka tidak bisa dikatakan hadits Musnad. Begitu juga sebalikny, apabila ditemukan suatu hadits yang di sandarkan pada Nabi akan tetapi terdapat sanad yang terputus (munqathi’) maka juga tidak disebut dengan hadits Musnad.


Contoh hadits Musnad:



Hadits yang dikeluarkan oleh Bikhari, yang berkata, “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abi Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seekor anjing meminum di dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak tujuh kali.”



Hadits ini sanadnya bersambung dari awal hingga akhir, juga marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.



3. HADITS MU’AN’AN



Hadits Mu'an'an. "Hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafad "an", yang diriwayatkan secara an'anah, seperti dikatakan: diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi SAW." Sesuatu hadits yang diriwayatkan secara tersebut, maka Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi-perawi itu harus semasa harus mu'asharah. Al Bukhary mensyaratkan orang-orang itu di samping mu'asharah, pernah pula berjumpa satu sama lainnya, yakni diisyaratkan liqa’. 


Segolongan ulama yang lain mensyaratkan, bahwa orang itu harus pernah mempelajari hadits pada yang selainnya yaitu, 'An'anah yang dibuat oleh seseorang yang terkenal mudallis, tidak diterima.


Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:



a) Bahwa hadits yang jalurnya (sanad) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:



1) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:


  • Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
  • Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
  • Perawi bukan termasuk mudallis.

2) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:

  • Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
  • Perawi bukan termasuk mudallis.
  • Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu


b) Bahwa hadits mu’an’an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’anan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.


Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu ((سمعت. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .



Contoh hadis mu’an’an:



حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قالقال رسول الله صلى الله عليه وسلمالد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر )رواه مسلم(

4. HADITS MUSALSAL



Musalsal ini, merupakan salah satu sifat yang terdapat pada sanad (rawi) saja. Berlainan dengan Marfu’ yang merupakan salah satu sifat yang terdapat pada matan saja. Sedang shahih merupakan sifat yang terdapat baik pada sanad maupun pada matan. Jika pada rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits atau pada periwayatannya, terdapat satu sifat atau keadaan yang selalu sesuai, maka hadits yang mempunyai sifat-sifat demikian disebut hadits musalsal (tali-temali).



Secara definitif yang disebut dengan hadits musalsal ialah:



هو ما تتابع فيه رجال الاسناد واحدا واحدا على صفة واحدة او حال واحدة او قول واحد


"Suatu hadits yang rawi-rawi (sanad)-nya Baling mengikuti se¬orang demi seorang mengenai satu sifat, keadaan atau perkataan".


Dengan memperhatikan di mana sifat-sifat yang selalu sesuai itu terdapat, maka hadits musalsal dapat diklasifisir kepada:



a. musalsal fi'r-ruwah dan
b. musalsal fi'r-riwayah. 



I. Sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai terdapat pada para rawinya, dapat mengenai:



(1) Ucapannya, misalnya hadits Mu'adz bin Jabal yang men¬jelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda padanya, ujarnya:



يامعاذأحبك افقل فى دبركل صلاة: (اللهم أعنى على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك)

“Wahai Mu'adz! Aku cinta padamu. Karena itu, ucapkanlah la akhir setiap salat (doa) ini : Ta Allah, tolonglah aku untuk menzikiri-Mu dan membaguskan ibadahku kepada-Mu".



Rawi-rawi kemudian yang meriwayatkan hadits Mu'adz ini, di kala meriwayatkan kepada orang lain, selalu menggunakan kalimat "uhibbuka" (aku mencintaimu), yang sesungguhnya kalimat itu spesifik pujian Nabi kepada Mu'adz saja. 



(2) Perbuatannya, misalnya hadits Abu Hurairah r.a., ujarnya:



شبك بيدى أبوالقاسم صلعم وقال : خلق الله الأرض يوم السبت والجبال يوم الأ حد ..الحديث



'Abul-Qasim (Nabi Muhmmad) saw menjejerkan jari-jarinya dengan jari-jariku, seraya bersabda: ‘Allah menjadikan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari Ahad, dan seterusnya”.
Abu Hurairah r.a. dan rawi-rawi selanjutnya, bill meriwayat¬kan hadits, tersebut selalu dengan menjejerkan jari-jarinya de¬ngan jari-jari orang yang diberi riwayat.



(3) Perkataan dan perbuatan bersama-sama. Misalnya hadits Anas r.a., ujarnya:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لايجدالعبد حلا وة الاءيمان حتى يؤمن بالقدرخيرة وشره وحلوهومره). وقبض رسول الله صلعم على لحيته وقال (امنت بالقدرخيره وشره وحلوه ومره) 

"Seseorang tidak akan mendapatkan kemanisan iman, sehing¬ga ia mempercayai qadar Allah, baik qadar yang baik atau buruk, maupun yang manis atau yang getir". Rasulullah setelah bersabda demikian itu, lalu memegang, janggut Anas dan seraya bersabda: "Aku percaya kepada qodar, baik qadar yang baik atau buruk, maupun yang nth atau yang getir.
Anas r.a. melakukan dan mengatakan persis dengan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi. Demikian juga rawi berikutnya, melakukan demikian di kala meriwayatkan hadits tersebut.



II. Adapun sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai pada periwayatannya (musalsal fi'r-Riwayah) itu, dapat mengenai:



a. shighat meriwayatkan hadits, misalnya apabila masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat yang dipakai rawi yang pertama, seperti kalau rawi pertama memakai shighat sami'tu / samina haddatsani / haddatsana, akhbarani/ akhbarana dan lain sebagainya, maka rawi yang kemudian pun demikian.



b. Zaman meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a., ujarnya:

شهدت مع رسول الله صلعم يوم عيد فطراواضحى، فلما فرغ من الصلاة اقبل علينا بوجهه فقال : ايها الناس قداصبتم خيرا فمن احب ان ينصرف فلينصرف ومن احب ان يقيم حتى يسمع الخطبة فليقم


"Saya hadir bersama Rasulullah saw pada salat Idul Fitri dan Idul Adha. Ketika selesai dari salat beliau memandang kepada kami seraya bersabda: 'Wahai manusia! Kamu sekali¬an telah memperoleh kebaikan. Maka siapa yang ingin pu¬lang, pulanglah dan siapa yang ingin tinggal mendengarkan khotbah, tinggallah! 


Hadits tersebut musalsal pada hari raya, yakni setiap rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu di saat-saat hari raya fitri atau Adha.



c. Tempat meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a. tentang doa yang mustajab, yang diucapkan di suatu tempat tertentu, yang disebut dengan Multazam. Kata Ibnu 'Abbas ra : 

ماد غاأحدفى هذاالملتزم إلااستجيب له. وقال ابن عباس : وانا ماعوتالله فيه الا استجيب لى
Tidaklah seorang mendoa di Multazam ini, kecuali selalu di¬kabulkan. Ibnu 'Abbas selanjutnya berkata: Aku tidak mendoa kepada Allah di tempat ini, selain selalu dikabulkannya.
Demikianlah setiap rawi yang mendoa di tempat tersebut, se¬lalu dikabulkan-Nya.



Hukum Hadits Musalsal itu adakalanya:
1. Sifat musalsalnya tidak shahih, tetapi matannya shahih. Seperti hadits musalsal-musabbakah (menjejerkan jari-jari) tertera di atas menurut pendapat As-Sakhawy, matannya ada¬lah shahih, karena terdapat di dalam kitab shahih Muslim, sedang tasalsulnya menjadi masalah yang diperbincangkan oleh seluruh ulama.



2. Sifat tasalsul dan matannya tidak shahih. Misalnya seperti hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu 'Atha' dalam kitab Miftahul Falah:



بالله العظيم لقد حدثنى جبريل اوقال : باالله العظيم لقد حدثنى اسرافيل اوقال : قال الله تبارك وتعالى : يااسرافيل بعزتى وجلالى وجودى وكرمى من قرأ بسم الله الرحمن الرحيم متصلا بفاتحة الكتاب مرة واحدة اشهدوا على، انى قد غفرت له وقبلت منه الحسنات وتجاوزت عنه السيئات، ولا احرق لسانه فى النار واجيره من عذاب القبر وعذاب النار وعذاب القيامة والفزع الاكبر، ويلقانى قبل الانبياء والاولياء اجمعين


"Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Jibril telah bercerita padaku, ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Mikail telah bercerita kepadaku, ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Israfil telah bercerita kepadaku, ajar. nya: Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: Wahai Israfil, dengan kegagahan-Ku, keagungan-Ku, kedermawanan-Ku dan kemurahan-Ku, maka barang siapa yang membaca basmalah terus disambung dengan al-Fatihah sekali, saksikanlah pada-Ku, bahwa Aku mengampuni dosa-dosanya, menerima keba¬jikannya, menghapus kejelekannya, tidak Kuhanguskan lidahnya dengan api, Kuhapus siksa kuburnya, siksa nerakanya, siksa hari kiamatnya, kegelisahannya dan dapat menemui Aku sebelum para Nabi dan wall seluruhnya."


Menurut Al-Hafidh As-Sakhawy, bahwa redaksi dan susunan kalimat hadits tersebut adalah batal sama sekali, baik dari segi sifat tasalsulnya, maupun dari segi matannya.



3. Tasalsul itu tidak selalu terjadi terus-menerus pada selu¬ruh rawi yang menerimanya, tetapi adakalanya terputus di awal, di tengah atau di akhirnya.



Misal yang putus di awal (awwaliyah):



الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من فى الارض يرحمكم من فى السماء



Pengasih-pengasih itu bakal dikasihi oleh Zat Yang Maha¬ asih. Karena itu kasihilah orang-orang di permukaan bumi ini, tentu orang-orang yang ada di langit mengasihimu sekalian. 
Hadits tersebut bertasalsul hanya kepada Ibnu 'Uyainah (yang pertama-tama menerima hadits) dari Ibnu Dinar, dan Ibnu Dinar (yang pertama-tama menerima) dari Abu Qabus dan Abu Qabus (yang pertama-tama menerima) dari 'Abdullah bin 'Amr dan Ibnu 'Amr (yang pertama-tama menerima) dari Nabi Muhammad saw. 


Setup rawi yang meriwayatkan hadits tersebut mengatakan: "Inilah hadits yang pertama saya dengar dari guru saya.


Jadi hadits itu merupakan hadits pertama yang diterimanya dari gurunya dan kemudian disampaikan kepada orang yang barn pertama kali menerima hadits daripadanya.



Faedah mengetahui hadits musalsal ini, ialah untuk menambah penilaian tentang kekokohan ingatan para rawi.



Kitab yang terbaik yang khusus mengumpulkan hadits-hadits musalsal, ialah kitab "Fihrisu'l-Faharis wa’l-atsbat", karya al-Hafidh Muhammad 'Abdul Hayyi al-Kattany. 

5. HADITS ‘ALI DAN NAZIL

Sebuah hadits yang di-isnad-kan kepada Nabi Muhammad saw. kadang-kadang hanya melalui rijalu's-sanad,(rawi hadits) yang banyak. Hadits yang melalui rijalu's-sanad yang sedikit jumlahnya disebut Hadits 'Aly, sedang yang melalui rijalu's sanad yang banyak disebut Hadits Nazil (safil). Hadits yang melalui sanad lebih sedikit disebut 'aly (tinggi), karena dari jumlah sanad yang sedikit itulah dapat memperkecil noda-no¬da yang terdapat pada sanad. 

Sebab setiap rijalu's-sanad itu, adalah manusia biasa yang tidak terpelihara dari kekhilafan, baik sengaja ataupun tidak disengaja. Dengan sedikitnya rija¬lu's-sanad, sedikit pula kemungkinan adanya cacat dan noda. Sedangkan banyaknya rijalu's-sanad tidak menutup adanya kemungkinan banyaknya noda.

Oleh karena itu, derajat hadits yang bersanad banyak, lebih rendah (nazil) daripada yang bersanad sedikit.

من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراأوليصمت ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم جارهومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau berdiam diri; Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendahlah memuliakan tetangganya; Dan Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya".

Hadits Muslim yang bersanad: Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah dan Abu Hurairah (6 orang), adalah hadits nazil.

Sedang hadits Bukhary yang bersanad Qutaibah bin Sa'id, Abul-Akhwash, Abu Hashin, Abu Shalih dan Abu Hurairoh (5 orang) adalah hadits 'aly, karena sanadnya lebih sedikit.

Di samping tentang jumlah sedikit atau banyaknya sanad juga, disyaratkan keduanya bernilai shahih, bukan dla'if atau rawinya, bukan orang yang tertuduh dusta. Sesuatu hadits, walau. pun sanadnya sedikit tetapi dla'if bukan termasuk hadits, 'aly.

Macam-macam Hadits 'Aly dan Nazil 

Hadits 'ali itu ads 5 macam, yakni:

1. 'Aly-Mutlak. Hadits 'aly seperti pada contoh di atas, disebut dengan 'aly-mutlak. Bagian ini adalah bagian yang terpenting dan terutama. Dengan ketentuan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta. Adapun kalau sanadnya dla'if, hilanglah keutamaannya. Apalagi dalam sanadnya terdapat seorang pendusta, yang mengaku mendengar hadits dan sahabat. 

Seperti Ibnu Hudabah, Nu'aim bin Salim, Ya'la bin al-Asydaq dan lain sebagainya.

Kata Al-Hafidh Adz-Dzahaby: "Manakala kamu mengetahui: seorang Muhaddits bangga dengan ke-'aly-an sanadnya, anggaplah ia itu bodoh."

2. 'Aly-Nisby. Yaitu bila ukuran dekatnya (karena rawinya sedikit jumlahnya) itu bukan kepada Nabi, tetapi kepada imam-imam hadits, yang mempunyai sifat-sifat tinggi mengenai kehafalannya, kedlabithannya, kemasyhurannya dan lain sebagainya. Seperti Ibnu Juraij, Az-Zuhry, Syu'bah, Malik, Asy-Syafi'iy, Al-Bukhary, Muslim dan lain sebagainya, walaupun kadang-kadang sanad antara imam-imam tersebut dengan Nabi, banyak jumlahnya. 

Misalnya:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان من اعظم الفرى ان يدعى الرجل الى غير ابيه وايرى عينه مالم تراو يقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم مالم يقل
Rasulullah saw. bersabda: 'Sebesar-besar dusta ialah mendakwakan ayah kepada yang bukan ayahnya, memper¬lihat-lihatkan apa yang tidak dilihat oleh matanya atau mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan."

Hadits Imam Syafi'iy (I) bersanad Abdu'l-'Aziz, Muhammad bin Ajlan, Abdu'l-Wahab bin Bukht, Abdu'l-Wahid An-¬Nashry dan Watsilah bin Al-Asqa'.

Hadits Al-Bukhary (II) bersanad 'Aly bin 'Ayyas, Hariz, Abdu'l-Wahid An-Nashry dan Watsilah bin Al-Asqa'.

Jika dinisbatkan kepada Abdu'l-Wahid An-Nashry, hadits Bukhary adalah lebih dekat, karena sanadnya hanya dua orang, daripada hadits Syafi'iy, yang sanadnya tiga orang. Oleh karena itu hadits Bukhary-lah yang "'aly-nisby". Dalam pada itu juga dapat dikatakan 'aly-mutlak karena jumlah sanad Bukhary sampai kepada Nabi adalah lebih sedikit daripada jumlah sanad Asy-Syafi'iy sampai kepada Nabi.

'Aly-nisby itu derajatnya lebih rendah daripada 'aly-mutlak. Sungguh pun demikian, syarat-syarat mengenai keshahihan hadits dan ketiadaan cacat, masih diperlukannya.

3. 'Aly-Tanzil. Yakni bila ukuran dekatnya itu dinisbatkan kepada suatu kitab dari kitab-kitab yang mu'tamad. Seperti kedua kitab shahih Bukhary dari Muslim, kitab-kitab sunan dan kitab musnad Imam Ahmad.

'Aly-Tanzil ini ada 4 macam yaitu:
  1. Muwafagah. Misalnya seorang' muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab mu'tamad, kemudian sanad yang dicari oleh muhaddits tersebut bertemu dengan guru dari penyusun kitab yang mu'tamad dan ternyata sanadnya lebih sedikit dari pada sanad yang terdapat dalam kitab mu'tamad.
  2. Badal. Misalnya seorang muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu kitab yang mu'tamad, kemudian sanad yang diusa¬hakannya bertemu dengan guru dari gurunya pengarang kitab mu'tamad.
  3. Musawah. Misalnya jumlah sanad seorang muhaddits dari awal sampai akhir bersamaan jumlahnya dengan jumlah sanad yang terdapat pada suatu kitab mu'tamad.
  4. Mushafahah. Yakni bila jumlah sanad muhaddits tersebut kelebihan seorang daripada sanad pengarang kitab mu'tamad.
4. ‘Aly bitaqdimi'l-wafat. Misalnya suatu hadits yang diri¬wayatkan dari dua orang, dari Al-Baihaqy dari Al-Hakim ada¬lah lebih tinggi daripada hadits yang diriwayatkan dari tiga orang, dari Abu Bakar bin Khalaf dari Al-Hakim. Karena Al ¬Baihaqy lebih dahulu meninggal daripada Abu Bakar bin Khalaf.

5. 'Aly bitaqdimis-sama'. Misalnya suatu hadits yang diri¬wayatkan oleh seorang yang lebih dulu mendengarnya dari se¬orang guru adalah lebih 'aly daripada hadits yang diriwayat¬kan oleh kawannya yang mendengar kemudian dari guru ter¬sebut.

Sebagaimana hadits 'aly terbagi menjadi 5 macam seperti ter¬sebut di atas, maka hadits nazil pun demikian halnya.



BAB II

MACAM-MACAM HADITS DITINJAU DARI DITERIMA ATAU DITOLAKNYA MENJADI HUJJAH

A. Hadits Maqbul dan Permasalahannya 

i) Pengertian

Maqbul menurut bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang dibenarkan. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya . Adapun syarat-syarat penerimaan hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat. 

Hadits maqbul ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama sepakat bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik hadits shohih maupun hadits hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima (Maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi hadits shohih, tetapi rawi hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melakukan dusta.

ii) Klasifikasi Hadits Maqbul

Yang termasuk kedalam kategori hadits maqbul ialah :
1. Hadits Shohih, baik shohih lidzatihi maupun shohih ligahirih.
2. Hadits Hasan, baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi.

Kedua macam hadits tersebut wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan lain yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.

Maka dari itu, apabila ditinjau dari sifatnya. Maka hadits maqbul terbagi pula menjadi dua, yakni Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat pula diamalkan, inilah yang disebut dengan hadits maqbul ma’mulun bih. 

Disamping itu juga ada hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul ghairu ma’mulin bih. Berikut ini adalah rincian dari masing-masing hadits tersebut yakni sebagai berikut :

a) Hadits Maqbul yang Ma’mul bih.

1. Hadits Muhkam

Al-Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantara dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikitpun.

Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.

2. Hadits Mukhtalif.

Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.

3. Hadits Rajih

Yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya.

4. Hadits Nasikh

Yakni hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.

Contoh dari hadits Maqbul ma’mulul bih banyak sekali. Secara garis besar pembagiannya ialah hadits yang tidak ada perlawanannya dengan hadits lain dan hadits yang terjadi perlawanan dengan hadits lain. Sebagai contoh akan dikemukakan tentang hadits yang tidak memiliki perlawanan dengan hadits lain (Hadits Muhkam) berikut ini.

“janganlah kamu larang isterimu untuk pergi kemesjid (untuk bersembahyang), tetapi sembahyang dirumah lebih baik bagi mereka” (H.R Abu Daud dari Ibnu Umar)[4]

Contoh Hadits yang memiliki perlawanan dari hadits lain tetapi salah satu dari hadits tersebut telah menghapus ketentuan hukum yang terkandung dari hadits yang turun sesudahnya (hadits nasikh). Yakni sebagai berikut :

Barra berkata : “sesungguhnya nabi saw. pernah sembahyang menghadap baitul maqdis selama enam belas bulan”. (Riwayat Bukhari)

Hukum menghadap kiblat ke baitul maqdis itu telah dinasikhkah oleh Allah pada firmanNya : 
“Hendaklah kamu menghadapkan m
ukamu kearah masjidil haram (ka’bah). (QS. Albaqarah :144)

b) Hadits Maqbul Ghairu Ma’mul bih

1. Hadits Mutasyabih
yakni hadits yang sukar dipahami maksudnya lantaran tidak dapat diketahui takwilnya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.

2. Hadits Mutawaqqaf fihi
Yakni dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits ini hendaklah dibekukan sementara.

3. Hadits Marjuh

Yakni sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh oleh hadits Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh,

4. Hadits Mansukh

Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni maqbul yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.

5. Hadits Maqbul yang maknanya berlawanan dengan alQur’an, Mutawatir, akal yang sehat dan ijma’ ulama.

Contoh dari hadits Maqbul ghairu ma’mul bih ini salah satunya ialah tentang hadits yang bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :

”Konon termasuk yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan di malam hari dan nabi melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu Abi Hatim dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)[6]

Hadits tersebut secara akal sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah lupa sedangkan menurut akal sehat dan putusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari dosa dan kelupaan (ma’shum) dalam menyampaikan syariat dan wahyu.

iii) Persoalan seputar hadits Maqbul

Apabila kita mendapati dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya, maka :
  1. Hendaklah kita berusaha untuk mengumpulakan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya. Dalam hal ini apabila dapat dikumpulakan, maka kedua hadits tersebut wajib diamalkan.
  2. Kalau usaha pertama gagal, maka kita mencari, mana diantara kedua hadits tersebut yang datang lebih dahulu (Nasikh), dan mana yang datang kemudian (mansukh).[7]
  3. Kalau usaha mencari nasikh tidak pula berhasil, beralih pada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad ataupun matannya untuk ditarjihkan. Dalam hal ini hadits yang lebih kuat tersebut (rajih) diamalkan, sedangkan hadits yang lemah tersebut (marjuh) untuk tidak diamalkan.[8]
  4. Jika usaha terakhir juga gagal, maka hadits tersbut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya.

B. Hadits Mardud dan Permasalahannya 

i) Pengertian Hadits Mardud

Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima. Secara istilah Hadits Mardud ialah hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Dalam definisi yang ekstrim disebutkan bahwa hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi dhoif[9]

Simpulan tentang penyebab-penyebab tidak diterimanya hadits ini akan dijelaskan berdasarkan klasifikasi hadits mardud ini sebagai berikut :

ii) Klasifikasi Hadits Mardud 

(1) Adanya Kekurangan pada Perawinya
Dalam hal ini, kekurangan pada perawinya dapat disebabkan oleh ketidakadilannya maupun kehafalannya. Yakni terbagi menjadi :
  • Dusta (hadits maudlu)
  • Tertuduh dusta (hadits matruk)
  • Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
  • Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
  • Menyalahi riwayat orang kepercayaan
  • Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
  • Penganut Bid’ah (hadits mardud)
  • Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

(2) Karena sanadnya tidak bersambung
  • Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
  • Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
  • Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
  • Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’ 

(3) Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’. 


BAB III
ILMU JARH DAN TA’DIL

A. Ta’rif 

Lafadz 'Jarh ", menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.

Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraan¬nya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men¬ta'dilkannya.

Ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritik¬an adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh watta'dil ".

Dr. 'Ajjaj Al-Khathib menta'rifkannya sebagai berikut:
هوا العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dart segi diterima atau ditolak periwayatannya.

B. Faedah Ilmu Jarh wat-Ta'dil

Faedah mengetahui Ilmu Jarh wat-Ta'dil itu ialah untuk mene¬tapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh Oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

Macam-macam keaiban rawi

Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam raja. Yakni:
1. Bid'ah (melakukan tindakan tercela, di luar. ketentuan syari'at),
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu'l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan
5. Da'wa'l-ingitha' (diduga kerns sanadnya tidak bersambung). 

Orang yang disifati dengan bid'ah adakalanya tergolong orang' yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasik¬kan. Mereka yang dianggap kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada Sayyidina 'Ali, dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa 'Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.

Sedang orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai itikad berlawanan dengan dasar syari'at. Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadits berlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat dijama'kan. Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan kalau perlawanannya itu berkesangatan atau rawinya sangat lemah hafalannya, periwayatnnya (haditsnya) disebut munkar.

Ghalath (salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenal hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatnnya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath.

Maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad)nya. Sedang apabila tidak didapati selain dengan jalan (sanad) nya hendaklah ditawaqufkan.

Adapun seorang rawi yang disifati dengan sedikit kesalaha¬nnya, seperti lemah hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka ditetapkan seperti ketentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayat mutabi’at yang terdapat dalam shahih Bukhary itu lebih banyak daripada riwayat yang terda¬pat pada mereka. Jahalatu'l-hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya selama belum jelas identitasnya. 

Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkari¬nya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya (rnenafikannya).

Da'wa'l-inqitha' (pendakwaan terputus) dalam sanad, misal¬nya mendakwa rawi men-tad-lis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.

Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya 

Dalam uraian yang baru lalu telah (dikemukakan bahwa: men-ta'dil-kan (menganggap adil seorang rawi) ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang membawa ke-'adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat.

Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu jari dua ketetapan berikut:

Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa din terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu'bah bin al-Hajjaj, Asy-Syafi'iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh ka¬rena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalang¬an para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diper¬bincangkan tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah) Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil . yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.

Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:

a. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta'dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat kebanyakan Muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.

b. Setup orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:

a. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.

b. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

1. Syarat-syarat bagi orang yang men-ta'dil-kan dan men-tajrih-kan

Bagi orang yang men-ta'dil-kan (mu'addil) dan orang yang men-jarh-kan (Jarih) diperlukan syarat-syarat. Yakni:
  1. Berilmu pengetahuan.
  2. Takwa.
  3. Wara,' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
  4. Jujur.
  5. Menjauhi.fanatik golongan dan
  6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.

2. Dapatkah pen-ta'dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya

Sebagaimana kita ketahui, bahwa men-ta'dil-kan atau men-taj¬rih-kan seorang rawi itu adakalanya mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Untuk mubham ini, diperselisihkan oleh para ula¬ma, dalam beberapa pendapat:

1) Men-ta'dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, dite¬rima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa me¬nyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam, mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinan¬nya, tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia tercacat atau tidak, perlu diterangkan sebab sebabnya.

2) Untuk ta'dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta'dil- kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang mentaj-rih-kan tidak.

3) Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.

4) Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebab¬nya. Sebab, si jarih dan mu'addil sudah mengenal seteliti-¬telitinya sebab-sebab tersebut.

Pendapat yang pertama adalah pendapat yang dianut oleh kebanyakan Para muhadditsin, semisal Bukhary-Muslim, Abu Dawud dan lain-lainnya.

3. Jumlah orang yang dipandang Cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi
Dalam masalah ini juga diperselisihkan:

  1. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
  2. Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta'dil-kan dan men-tajrih rawi-rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
  3. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun da¬lam soal syahadah. Adapun kalau ke-'adalah-annya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-¬ahli ilmu, maka tidak memerlukan orang yang men-ta'dil-kan (muzakky = mu'addil). Seperti Malik, As-Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu'l-Mubarak, Syu'bah, Is-haq dan lain-lainnya.

4. Perlawanan antara jarh dan ta'dil

Apabila terdapat ta'arudl antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta'dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat:

1) Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu'addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu'addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu'addil.
Pendapat ini dipegang oleh jumhuru'l-ulama.

2) Ta'dil harus didahulukan daripada jarh.
Karena si jarih dalam meng-aibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk men-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu'addil, sudah barang tentu tidak serampangan men-ta'dil-kan se¬seorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.

3) Bila jumlah mu'addil-nya lebih banyak daripada jarih¬nya, didahulukan ta'dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.

4) Masih tetap dalam ke-ta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khi¬laf ini, ialah jika jumlah mu'addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu'addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma' .

5. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi
lafadh-lafadh yang digunakan untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu's Shalah dan Imam Nawawy, lafadh-lafad itu di¬susun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh Ad-Dzahaby dan Al-'Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar menyusun¬nya menjadi 6 tingkatan, yakni:

Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan rawi-rawi.

Pertama : segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af'alut-tafdil atau ungkapan Yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:

اوثق الناس Orang yang paling tsiqah,اثبت الناس حفظا وعدالة Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya,اليه المنتهى فى الثبت Orang Yang paling top keteguhan hati dan lidahnya 
ثقة فوق الثقة Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah. 
Kedua : memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna, Misalnya:

ثبت ثبت : Orang yang teguh (lagi) teguh,ثقة ثقة : Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,حجة حجة : Orang yang ahli (lagi) patah lidahnya,ثبت ثقة : Orang yang teguh (lagi) tsiqah,حافظ حجة : Orang yang hafidh lagi petah lidahnya.ضابظ متقن : Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya.
Ketiga : menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:ثبت : Orang yang teguh (hati dan lidahnya)متفق : Orang yang meyakinkan (ilmunya), 
ثقة : Orang yang tsiqah,حافظ : Orang yang hafidh (kuat hafalannya),حجة : Orang yang petah lidahnya.

Keempat : menunjuk keadilan dan kedlabithan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:صدوق : Orang yang sangat jujur,مأمون : Orang yang dapat memegang amanat,لابأس به : Orang Yang tidak cacat. 
Kelima : menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabithan. Misalnya:محله الصدق : Orang yang berstatus jujur,جيد الحديث : Orang yang baik haditsnya, 
حسن الحديث : Orang yang bagus haditsnya,مقارب الحديث : Orang yang haditsnya berdekatan de¬ngan hadits-hadits orang lain yang tsiqah.
Keenam : menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadh "insya Allah", atau lafadh tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti). atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:صدوق إنشاء الله : Orang yang jujur, insya Allah.فلان أرجو بأن لابأس به : Orang yang diharapkan tsiqatفلان صويلح : Orang yang sedikit kesalehannya 
فلان مقبول حديثه : Orang yang diterima haditsnya.
Para ahli ilmu menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita'dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawi yang dita'dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.

Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk mentajrih rawi-rawi.

Pertama : menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. 

Misalnya:اوضع الناس : orang yang paling dusta,اكذب الناس : orang yang paling bohong,اليه المنتقى فى الوضع : orang yang paling top kebohongannya
Kedua : menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan la¬fadh berbentuk shighat muballagah. 

Misalnya:كذاب : orang yang pembohong, 
وضاع : orang yang pendusta, 
دجال : orang yang penipu.
Ketiga : menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. 

Misalnya:فلان منهم بالكذب : orang yang dituduh bohong, 
اومهم بالوضع : orang yang dituduh dusta,فلان فيه النظر : orang yang perlu diteliti,فلان ساقط : orang yang gugur,فلان ذاهب الحديث : orang yang haditsnya telah hilang, 
فلان متروك الحديث : orang yang ditinggalkan haditsnya.
Keempat : menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. 

Misalnya:مطرح الحديث : orang yang dilempar haditsnya, 
فلان ضعيف : orang yang lemah,فلان مردود الحديث : orang yang ditolak haditsnya.
Kelima : menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. 

Misalnya:فلان لايحتج به : orang yang tidak dapat dibuat huj¬jah haditsnya,فلان مجهول : orang yang tidak dikenai identitasnya.فلان منكر الحديث : orang yang mungkar haditsnya, فلان مضطرب الحديث : orang yang kacau haditsnya, 
فلان واه : orang yang banyak menduga-duga.
Keenam : menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. 

Misalnya:ضعف حديثه : orang yang didla'ifkan haditsnya,فلان مقال فيه : orang yang diperbincangkan,فلان فيه خلف : Orang yang disingkiri 
فلان لين : Orang yang lunak 
فلان ليس بالحجة : orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya,فلان ليس بالقوى : orang yang tidak kuat.
Orang-orang yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai seba¬gai i'tibar (tempat membandingkan).

Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh kebanyakan Muhadditsin bahwa para sahabat itu seluruhnya dipandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima.

Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wat¬ta'dii ini ialah rawi-rawi selain sahabat.

Untuk diperhatikan

Apabila kita temui sebagian ahli jarh dan ta'dil men-jarh-kan seorang rawi, maka kita tidak perlu segera menerima pen tajrih-an tersebut, tetapi hendaklah diselidiki lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendati¬pun yang men-tajrih-kan tersebut orang-orang atau ulama-ulama yang masyhur sekalipun, tidak boleh terus kita terima pen¬-tajrih-annya. Sebab kadang-kadang, sebab-sebab yang diguna¬kan untuk men-jarh-kannya, setelah kita adakan penelitian da¬pat dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.

Hal itu disebabkan adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain, ialah si jarih sendiri termasuk orang yang di-tajrih-kan oleh orang lain, hingga pen-tajrih-annya dan pen-ta'dil-annya tidak harus segera kita terima selama orang-orang lain tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih termasuk orang yang berkesangatan dalam men-tajrih¬kan seseorang. Sedang menurut pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta'dil, lebih ringan.

Para ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama Muhad¬ditsin yang terkenal berkesangatan dan menjemukan bila men¬tajrih seseorang rawi. Mereka itu, ialah: Abu Hatim, An¬Nasa'iy. Yahya bin Main, Yahya bin Khaththan dan Ibnu Hibban."

C. Kitab-kitab Ilmu Jarh wat-Ta'dil

Para penulis kitab-kitab Jarh wat-Ta'dil berbeda-beda dalam menyusun buku-bukunva. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi bebera¬pa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu rijalus-sanad.

Di samping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang hanya menulis ten¬ting rawi-rawi yang dla'if dan bohong saja. ada yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja, dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain:

  1. Ma'rifatu'r-rijal. Karya Yahya Ibni Ma' in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuskrip (tulisan tangan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
  2. Ad-Dlu'afa'. Karya Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhary (194 - 252 H.). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
  3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.). Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi. Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap. 
  4. Al-Jarhu wat-Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat-Ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H. ki¬tab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid sebagai mu¬kadimah, sedang tiap-tiap jilid yang ash dijadikan dua jilid.
  5. Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748 H.). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biarpun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
  6. Lisanu'l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah mencakup isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. ia dicetak di India pada tahun 1329 - 1331 H. dalam 6 jilid.

BAB IV
SEJARAH SINGKAT SHAHABAT YANG BANYAK MERIWAYATKAN HADITS DAN PENTAKHRIJ HADITS

A. Riwayat tokoh-tokoh Rijalul Hadits dari kalangan sahabat

1. Abu Hurairah

Abu Hurairah ialah Abdur Rahman ibn Sakhr (Abdulah ibn Skhr) Ad Dausy At Tamimy.

Para ahli sejarah berbeda-beda pendapat mengenai nama beliau ini. Demikian pula tentang nama ayahnya. Beliau sendiri menerangkan, bahwa di masa jahiliyah beliau bernama Abu Syam. Setelah memeluk Islam, beliau diberi nama oleh Nabi dengan Abdur Rahman atau Abdullah, ibunya bernama Maimunah, yang memeluk Islam berkat seruan Nabi.

Beliau lahir tahun 21 sebelum Hijrah = tahun 602 M.

Abu Hurairah datang ke Madinah pada tahun Khaibar yakni pada bulan Muharram tahun 7 H, lalu memeluk nama Islam. Setelah beliau memeluk Islam, beliau tetap beserta Nabi dan menjadi ketua Jama'ah Ahlus Suffah. Karena inilah beliau mendengar hadits dari Nabi.

Menurut pentahqikan Baqy ibn Makhlad, seperti yang dikutib oleh Ibn Dausy, beliau meriwayatkan hadits sejumlah 5374 hadits, menurut Al Kirmany 5364. Dari jumlah tersebut, 325 hadits disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri meriwayatkan 93 hadits dan Muslim sendiri sejumlah 189 hadits.

Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Nabi sendiri, dan dari shahabi, di antaranya ialah Abu Bakr, 'Umar, Al Fadlel ibn 'Abbas ibn 'Abdil Munththalib, 'Ubay ibn Ka'ab, Usamah ibn Zaid, 'Aisyah.

Hadits-haditsnya banyak diriwayat oleh Sahabat dan Tabi’in.

Di antara para sahabat Wah lbnu Abbas, Ibnu 'Umar, Anas, Watsilah ibn Al Asqa', Jabir ibn 'Abdullah Al Anshary.

Di antara para thabi'in besar, ialah: Marwan ibn Al Hakam, Said ibn Al Musaiyab, 'Urwah ibn Az Zubair, Sulaiman Al. Asyja'y Al Aghr, Abu Muslim, Syuraih ibn Hani', Sulaiman ibn Yasr, 'Abdullah ibn Syaqiq, Hamdlalah Al Aslamy, Tsabit ibn Iyadl, Sa'id ibn 'Amr ibn Sa'id Al 'Asy, Abu Al Habbab,Sa'id ibn Yassar, Muhammad ibn Sirrin, 'Abdur Rahman ibn Sa'ad, Abdullah ibn'Uqbab ibn Masud, Atha ibn Abi Rabah, Atha ibn Yassar.

Lebih dari 800 perawi menerima hadits dari beliau.

Kata Asy Syafi'y, "Abu Hurairah adalah orang yang paling banyak menghafal hadits di masanya."

Tersebut dalam Ash Shahih, bahwa Abu Hurairah berkata, "Ya Rasulullah, saya mendengar dari tuan banyak hadits, tetapi saya banyak lupa. Mendengar itu Nabi bersabda, "Hamparkan selimutmu". Maka Nabi mengambil kain itu dengan tangannya. Kemudian Nabi berkata, "Berselimutlah!" Selanjutnya Abu Hurairah berkata, "Maka saya pun berselimut. Setelah itu saya tidak pernah lupa sesuatu yang saya dengan dari Nabi." Abu Hurairah adalah orang yang pertama di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.

Al Hafidl ibn Hajar telah menerangkan keistimewaan Abu Hurairah dalam kitabnya Al Ishabah.
Abu Hurairah pemah menjadi gubernur Madinah, dan pada masa pemerintahan umar, beliau diangkat menjadi gubernur di Bahrain, kemudian beliau diberhentikan.

Beliau meninggal di Madinah pada tahun 59 H = 679 M. 

2. Abdullah ibn Umar

Abdullah ibn Umar ialah Abu Abdur Rahman 'Abdullah ibn 'Umar ibn Al Khaththab Al Quraisyi Al Adawy, seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam lapangan ilmu dan aural.

Abdullah dilahirkan di Makkah pada tahun 10 s.H = 618 M.

Dalam usia 10 tahun Beliau berhijrah Madinah beserta ayahnya. Ada yang menyatakan ketika berusia 13 tahun. Beliau adalah saudara kandung dari Hafshah, permaisuri Rasul. 'Abdullah dapat menyaksikan peperangan Khandak. Bai'atul Ridlwan dan peperangan-peperangan yang sesudahnya. Beliau adalah seorang dari empat 'abadilah.

'Abdullah meriwayatkan sejumlah 2630 hadits.

Sejumlah 1700 di antaranya disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri meriwayatkan 81 dan Muslim sendiri meriwayatkan 31 hadits.

Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari sahabat. Di antaranya ialah ayahnya sendiri Umar, pamannya Zaid, saudara kandungnya Hafshah, Abu Bala, Utsman, Ali, Bilal, Ibnu Mas'ud, Abu Dzar dan Mu'adz.

Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh sahabat dan tabi'in.

Di antara para sahabat ialah Jabir dan Ibnu Abbas, putera-putera beliau sendiri yaitu Salim, 'Abdullah, Hamzah, Bilal dan Zaid.

Di antara tabi'in ialah Nafi, Said ibn Al Musaiyab, Alqamah ibn Waqqash Al Laitsy, Abu Abdur Rahman Al Qahry Masruq, Abdur Rahman ibn Abi Laila, Mus'ab ibn Sa'ad ibn Abi Waqqash, Urwah ibn Az Zubair.

Di antara para mawaly ialah 'Abdullah ibn Dinar Al Adawy, Musa ibn 'Uqbail Atha' ibn Abi Rabah, Thariq ibn'Amral Amawy, Mujahid ibn Ja'far, Ibn Sirrin, Muhammad Abu Bakr Al Bishry Al Hasan ibn Abi Hasan Al Bishry, Shafwan ibn Sulaiman, Az Zuhry.

Menurut Malik, "Selama 60 tahun sesudah Nabi wafat ibn Umar memberi fatwa dan meriwayatkan hadits."

Ibn Al Bakr mengatakan, "Ibnu 'Umar menghafal semua yang didengar dari Rasul dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis Rasul tentang tutur dan perbuatan Rasul.

'Abdullah ibn 'Umar adalah orang yang kedua antara 7 sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.

Beliau tidak mau campur tangan atas segala rupa fitnah yang terjadi di masanya. Dalam kalangan sahabat beliau terkenal sebagai orang yang sangat meneladani segala gerak-gerik Rasul.

"Abdullah ibn 'Umar wafat di Makkah pada tahun 73 H = 693 H. 

3. Anas Ibn Malik

Anas ibn Malik ialah Abu Tsumamah (Abu Hamzah) Anas ibn Malik ibn Nadler ibn Dlamdlam Al Najjary Al Anshary, seorang sahabat yang tetap selalu meladeni Rasulullah selama 10 tahun.
Anas dilahirkan di Madinah pada tahun 10 s. H = 612 M, setelah Rasul tibadi Madinah, Ibunya menyerahkan Anas kepada Rasul untuk menjadi khadam Rasul. Setelah Rasul wafat, Anas pindah ke Bashrah sampai akhir hayatnya.

Beliau meriwayatkan sejumlah 2276 atau 2236 hadits. Sejumlah 166 hadits disepakati oleh Bukhary Muslim, 93 di antaranya diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 70 diriwayatkan oleh Muslim sendiri.

Anas menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari banyak sahabat. 

Diantaranya ialah: Abu Bakar, Umar, 'Utsman, 'Abdullah ibn Rahawah, Fathimah Az Zahra, Tsabit ibn Qais, Abdur Rahman ibn'Auf, ibnu Mas'ud, Abu Dzar, Malik ibn Shasha'ah, Mu'adz ibn Jabal, 'Ubadah ibn Shamit dari ibunya sendiri Ummu Sulaim dan saudara-saudara ibunya Ummu Hiram, dan Ummu Fadlel.

Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh anak-anaknya, yaitu Musa An Nadir dan Abu Bakr.
Di antara tabi'in yang meriwayatkan haditsnya ialah: Al Hasanu Bishry, Sulaim at Tamimy, Abu Qilabah, 'Abdul'Aziz ibn Suhaib, Ishaq ibn Abi Thalhah, Abu Bakr ibn'Abdur Rahman, 'Abdullah Al Muzany, Qatadah, Tsabit Al Bana'iy, Humaid At Thawil, Al Ja'ad Abul 'Utsman, Muhammad ibn Sirrin, Anas ibn Sirrin, Az Zuhry, Yahya ibn Sa'id Al Anshary, Sa'id ibn Jubair.

Qatadah mengatakan, bahwa di hari Anas wafat, Muwarrid berkata, "Pada had ini telah lenyap seperdua ilmu."

Anas ibn Malik adalah orang ketiga di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau wafat di Bashrah pada tahun 93 H 912 M, dalam usia 100 tahun.

4. 'Aisyah Ash Shiddiqiah

'Aisyah Ash Shiddiqiah ialah Aisyah binti Abi Bakr Ash Shiddieq.

Ibunda beliau bernama Ummu Ruman binti 'Amr ibn Umaimir Al Kinaniyah.

'Aisyah dilahirkan sesudah Nabi di bangkit menjadi Rasul.

Menurut riwayat yang masyhur Nabi mengawini beliau di Makkah di waktu beliau berusia enam tahun, sesudah sebulan Nabi kawin dengan Saudah, yaitu tiga tahun sebelum hijrah. Pada bulan Syawal sesudah 8 bulan Nabi berhijrah ke Madinah di kala itu 'Aisyah berusia 9 tahun, baru Nabi berumah tangga dengan beliau. Di kala Nabi wafat, beliau baru berusia 13 tahun.

Beliau meriwayatkan 2210 hadits. Bukhary Muslim menyepakati sejumlah 174 hadits. Bukhary sendiri meriwayatkan 64 hadits dan Muslim sendiri meriwayatkan 63 hadits.

Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari para sahabat. Di antaranya ialah ayahanda beliau sendiri, Umar Hamzah ibn Al Aslamy, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Fathimah az Zahra.

Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi'in.

Di antara para sahabat tersebut ialah: 'Amr ibn 'Ash, Abu Musa Al Asy'ary, Zaid ibn Khalib Al Juhany, Abu Hurairah, 'Ibnu'Umar, Rabi'ah ibn Abbas, saudaranya sendiri Ummu Kaltsum bint Abi Bakr, saudara sesusuannya 'Auf ibn al Harits dan anak saudaranya Al Khisim ibn Muhammad.

Di antara para tabi’in ialah: Sayid ibn al Musaiyab 'Abdullah ibn 'Amr ibn Rabi'ah, Urwah, Asy Sarby' Atha, Mujahid, Mu'adzah al 'Adawiyah, Nafi' Maula ibn 'Umar.

Asy Syaby berkata, "Apabila Masruq meriwayatkan hadits dari 'Aisyah beliau berkata, kepadaku diceritakan oleh Shiddiqiah binti As Shiddiq, habibah habibillah."

Banyak para sahabat dan tabi'in menerima berbagai macam hukum dari beliau.

Pernah orang mengatakan, bahwa seperempat hukum syari'at diperoleh dari beliau.

Hisyam Ibn ‘Urwah mengatakan., "Aku tidak melihat seseorang yang mengetahui tentang Fiqh, obat-obatan dan syi'ir Arab selain 'Aisyah."

'Atha' berkata, "'Aisyah adalah sepandai-pandai ulama."

Menurut Az Zuhry, jika dibandingkan ilmu yang dimiliki oleh 'A,isyah dengan seluruh ilmu yang dipunyai oleh permaisuri-permaisuri Rasul yang lain dan ilmu para sahabat, maka ilmu yang dimiliki oleh 'Aisyah masih lebih unggul.

Ulama-ulama sahabat bertanya kepada 'Aisyah tentang soal-soal fara'idl.

'Aisyah adalah orang yang keempat di antara tujuh orang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.

Beliau wafat pada bulan Ramadlan sesudah melakukan shalat whir pada tahun 57 atau 58 H = 668 M.

5. Abdullah ibn Abbas

Abdulllah ibn Abbas ialahAbul 'Abbas ibn Abbas ibn 'Abdil Muththolib, seorang putera paman Rasulullah.

lbundanya bernama Ummu Fadlel Lubabah Al Qubra binti Al Harts Al Hilaliyah, saudara perempuan Maimunah permaisuri Rasul.

Beliau dilahirkan di Makkah ketika Bani Hasyim berada di Syi'ib, 3 atau 5 tahun sebelum hijrah. Di kala Rasul wafat beliau barn berusia 13 atau 15 tahun.

Beliau meriwayatkan sejumlah 1660 hadits. Bukhary dan Muslim menyepakati sejumlah 95 hadits, 29 buah di antaranya diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 49 buah diriwayatkan oleh Muslim sendiri.

Beliau menerima hadits dari Nabi dan dari para sahabat.

Di antara para sahabat ialah, ayahandanya, bundanya, saudaranya Al Fadliel, makciknya Maimunah, Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman, 'Ali, 'Abdur Rahman ibn'Auf, Mu'adz ibn Jabal, Abu Dzar, Ubay ibn Ka'ab, Abu Hurairah dan lain-lain.

Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh putra-putranya, yaitu, 'Ali dan Muhammad cucunya Muhammad ibn 'Aly, saudaranya Katsir ibn Abbas.

Di antara para sahabat yang meriwayatkan hadits beliau ialah, 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khaththab, Tsa'labah ibn al Hakam, Abul Thufail dan lain-lain.

Di antara para tabfin ialah, Abu Umamah ibn Sahal, Said ibn Musayyab, 'Abdullah ibn Harts ibn Naufal, Abu Salamah ibn Abdur Rahman ibn 'Auf, Abu Raja'. Abdullah ibn 'Abdullah ibn 'Utbah ibn Abi Waqqash, Ikrimah, Atha, Sa'id ibn Jubair, Sa'id ibn Abil Hasan al Bishry dan Sa'id ibn Yatsar. 

Banyak sekali laqab-laqab Ibn Abbas ini.

Beliau bergelar Al Hijr dan Al Bahr, karena sangat luas ilmunya.

Ibnu 'Umar berkata, "Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling mengetahui tantang apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW. di antara orang¬-orang yang masih tinggal."

Menurut Masruq, "Apabila beliau melihat Ibnu 'Abbas, beliau mengatakan bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling gagah, apabila ia berbicara, beliau mengatakan, Ibnu 'Abbaslah orang yang paling fasih lidahnya dan apabila ia meriwayatkan hadits beliau mengatakan, bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling alim."

Kata 'Amr ibn Dinar, "Aku belum pernah melihat suatu majlis yang mengumpulkan semua kebajikan selain dari majlis Ibnu 'Abbas. Majlisnya menerangkan hukum halal dan haram, kesusasteraan Arab dan syair."

Beliau wafat di Thaif pada tahun 68 H = 687 M dalam usia 71 tahun. Jenazahnya disembahyangkan oleh Muhammad ibn Hanafrah.

B. Sejarah singkat enam perawi hadits

1. Imam Bukhari

Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadith (pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. 

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi."

Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.

Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:

"Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."

Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.

Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.

Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Pengembaraannya

Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Shahih dan pendahuluannya.

Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.

Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadith."

Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri Khurasan.

Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.

Kemasyhuran Imam Bukhari

Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.

Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. 

Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya."

Imam Bukhari Difitnah

Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. 

Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."

Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.

Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.

Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Shahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. 

Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.

Imam Bukhari, kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.

Kewafatannya

Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.

Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnya ini: "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana."

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.

Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.

Guru-gurunya

Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.

Murid-muridnya

Keluasan ilmu beliau terdengar ke berbagai pelosok bumi ini sehingga tidak heran jika begitu banyak penuntut ilmu yang mendatanginya untuk talaqqi ilmu. Menurut Muhammad bin Yusuf Al Firabri jumlah murid yang mendengarkan dan meriwayatkan dari beliau kitab shohih Bukhari berjumlah 90.000 orang.

Diantara murid beliau yang terkenal :

  1. Abul Husain Muslim bin Hajjaj An Naisaburi (wafat 261 H); penyusun kitab Shahih Muslim
  2. Abu Isa Muhammad bin Isa Tirmidzi (wafat 279 H); penyusun kitab Jami’ atau Sunan Tirmidzi dan beliau salah seorang murid yang terdekat dengan Imam Bukhari
  3. Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib An Nasaai (wafat 303 H); penyusun kitab Al Mujtaba’ atau Sunan Nasaai
  4. Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi (wafat 255 H); penyusun kitab Sunan Darimi
  5. Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazi (wafat 294 H); faqih, hafizh, imam dan penulis beberapa kitab yang bermanfaat seperti Ta’zhim Qadri Ash Sholah dan Qiiyam Al Lail
  6. Abu Hatim Muhammad bin Idris Al Hanzhali Ar Rozi (wafat 277 H); hafizh dan salah seorang ulama al jarh wa at ta’diel.
  7. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat 311 H); imamnya para imam dan penyusun kitab Shohih Ibn Khuzaimah
  8. Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq Al Harbi (wafat 285 H); salah seorang tokoh ulama di zamannya yang digelari dengan Syaikhul Islam, Daraquthni pernah mengatakan bahwa beliau disamakan dengan Imam Ahmad dari sisi zuhud, ilmu dan wara’nya.
  9. Muhammad bin Yusuf Al Firabri (wafat 330 H); salah seorang yang meriwayatkan shohih Bukhari dan riwayatnya adalah riwayat yang paling dikenal
  10. Abu Ishaq Ibrahim bin Ma’qil An Nasafi (wafat 295 H); termasuk yang meriwayatkan shohih Bukhari dengan sanadnya di negeri Maghrib

Keutamaan dan Keistimewaan Imam Bukhari

Kerana kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung hadithnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). 

Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmidzi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari.

Dalam bidang kekuatan hafalan, ketazaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadith, juga dalam bidang ilat-ilat hadith, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadith lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadith shahih, dan 200.000 hadith yang tidak shahih."

Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadith di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadith, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadith ini diberi sanad hadith lain dan sanad hadith lain dinbuat untuk matan hadith yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. 

Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadith kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadith, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadith yang Anda sebutkan ini." Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya."

Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadith pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadith kedua isnadnya yang benar adalah beginii…"

Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadith. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadith-hadith yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang hadith.

Sebahagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji cuba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah kerana Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadith secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.

Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadith pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadith sahabat dan tabi'in, yakni hadith-hadith mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW."

Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadith dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma'il al-Bukhari."

Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadith, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadith melebihi Muhammad bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Iraq yang melebihi kealimannya."

Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap. Bahawa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadith dan dokter ahli penyakit (ilat) hadith." Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."

Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."

Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: "Hadithnya diingkari."

Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadith yang diriwayatkan seseorang hanya kerana orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahawa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan."

Selain dikenal sebagai ahli hadith, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadith, bukan sebagai ahli fiqh.

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.
Karya-karya Imam Bukhari

Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :

• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Bukhari).
• Al-Adab al-Mufrad.
• At-Tarikh as-Sagir.
• At-Tarikh al-Awsat.
• At-Tarikh al-Kabir.
• At-Tafsir al-Kabir.
• Al-Musnad al-Kabir.
• Kitab al-'Ilal.
• Raf'ul-Yadain fis-Salah.
• Birril-Walidain.
• Kitab al-Asyribah.
• Al-Qira'ah Khalf al-Imam.
• Kitab ad-Du'afa.
• Asami as-Sahabah.
• Kitab al-Kuna.

Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH (Shahih Bukhari) 

Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebahagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadith Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' as-Shahih."

Dalam menghimpun hadith-hadith shahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadith-hadithnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti keshahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling shahih. 

Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadith selama 16 tahun." Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahawa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahawa hadith itu benar-benar shahih."

Maksud pernyataan itu ialah bahawa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-hadith dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.

Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Kerananya tidak menghairankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadith Nabi yang Paling Shahih."

Diriwayatkan bahawa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-Jami' as-Shahih ini kecuali hadith-hadith yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadith shahih kerana khawatir membosankan."

Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadith yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in.

Jumlah Hadith Kitab Al-Jami'as-Shahih (Shahih Bukhari) 

Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.

Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahawa semua hadith shahih mawsil yang termuat dalam Shahih Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadith. Sedangkan matan hadith yang mu'alaq namun marfu', yakni hadith shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. 

Semua hadith Shahih Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya.


11. Imam Muslim


Penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.

Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu

Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.

Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadith kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadith kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadith yang lain.

Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadith, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. 

Muslim dalam Shahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadith dalam Shahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Shahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.

Wafatnya

Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.

Guru-gurunya

Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.

Murid-muridnya

Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim. Di antaranya terdapat ulama-ulama besar yang sederajat dengannya, seperti Abu Hafidh al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Tawwanah al-Ishfiroyini, dan Abu Isa al-Tirmidzi. Selain ulama-ulama di atas, yang juga tercatat sebagai murid Imam Muslim antara lain; Ahmad bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishak bin al-Siraj. Di antara sekian banyak muridnya itu, yang paling istimewa adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih lagi zahid. Ia adalah perawat utama kitab Shahih Muslim.

Keahlian dalam Hadith 

Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith shahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadith, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.

Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.

Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadith hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadith terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadith itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim 

Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :

• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Muslim).
• Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadith).
• Kitabul-Asma' wal-Kuna.
• Kitab al-'Ilal.
• Kitabul-Aqran.
• Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal.
• Kitabul-Intifa' bi Uhubis-Siba'.
• Kitabul-Muhadramin.
• Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
• Kitab Auladis-Sahabah.
• Kitab Awhamil-Muhadditsin.


Kitab Shahih Muslim

Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Shahih, terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Shahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.

Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Shahihnya.

Bukti konkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadith."

Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadith.

Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahawa perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.

Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya: "Tidak setiap hadith yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya. Aku hanya mencantumkan hadith-hadith yang telah disepakati oleh para ulama hadith."

Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini."

Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadith dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadith daripadanya melainkan dengan alas an pula."

Imam Muslim di dalam penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.

12. Imam Abu Dawud

Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.

Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Perkembangan dan Perlawatannya

Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal.

Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith.

Guru-gurunya

Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.

Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya)

Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.

Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."

Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji

Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:

“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”

Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.

Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:

"Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Pujian Para Ulama Kepadanya

Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:

"Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia."

Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan."

Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.

Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: "Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.

Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.

Madzhab Fiqh Abu Dawud

Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i.

Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.

Tanggal Wafatnya

Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.

Karya-karyanya

Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
• Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
• Kitab Al-Marasil.
• Kitab Al-Qadar.
• An-Nasikh wal-Mansukh.
• Fada'il al-A'mal.
• Kitab Az-Zuhd.
• Dala'il an-Nubuwah.
• Ibtida' al-Wahyu.
• Ahbar al-Khawarij.

Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap eredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama unan Abi Dawud.

Kitab Sunan Karya Abu Dawud 

Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya

Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.

Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.

Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:

"Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. 

Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadith tersebut adalah, yang artinya:

Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."

Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."

Ketiga: "Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."

Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati."

Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.

Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.

Hadith ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.

Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan haram.

Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.

Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud

Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam." Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.

Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik

Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud

Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.

Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.
13. Imam Tirmidzi

Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal.

Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.

Perkembangan dan Lawatannya

Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.

Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.

Guru-gurunya

Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka.

Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.

Murid-muridnya

Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.

Kekuatan Hafalannya

Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:

“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. 

Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang dihafalnya. 

Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. 

Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadith yang tergolong hadith-hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”

Pandangan Para Kritikus Hadith Terhadapnya

Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:

"Tirmidzi adalah salah seorang ul
ama yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”

Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat mendalam.

Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya

Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:

“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya.”

Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata: “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.

Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).”

Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”

Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:

• Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
• Kitab Al-‘Ilal.
• Kitab At-Tarikh.
• Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
• Kitab Az-Zuhd.
• Kitab Al-Asma’ wal-kuna.

Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.

Sekilas tentang Al-Jami’

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.

Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.

Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”

Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.

Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadith.

Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”

“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”

Hadith ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn Munzir.

Hadith-hadith da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan haram.

14. Imam Nasa'i 

Imam Nasa'i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa'i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.

Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu 'Abdurrahman Ahmad bin 'Ali bin Syu'aib 'Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.

Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa' pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.

Pengembaraannya

Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa', sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur'an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang 'Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.

Nasa'i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu'awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa'i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu'awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.

Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan "Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu'awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?" Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.

Wafatnya

Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-'Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.

Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa'i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja'far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.

Sifat-sifatnya

Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.

Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa "menjaga jarak" dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa'i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.

Fiqh Nasa'i

Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.

Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa'i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi.

Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami'ul Usul-nya, bahawa Nasa'i bermazhab Syafi'i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi'i, rahimahullah.

Karya-karyanya

Imam Nasa'i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
• As-Sunan ul-Kuba.
• As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
• Al-Khasa'is.
• Fada'ilus-Sahabah.
• Al-Manasik.

Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.

Sekilas tentang Sunan An-Nasa'i

Nasa'i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa'i Sa'id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, 'Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami'.

Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu'jam, Abu Ja'far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu'awiyyah bin al-Ahm
ar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa'i.

Ketika Imam Nasa'i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: "Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?" "Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya," jawabnya. "Kalau demikian," kata sang Amir, "Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja." Atas permintaan Amir ini maka Nasa'i berusaha menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.

Imam Nasa'i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: "Kedudukan kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadith dha'if yang tedapat di dalamnya."

Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa'i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan dha'if, hanya saja hadith yang dha'if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith shahih.

Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa'i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang telah disepakati oleh ulama kritik hadith untuk ditinggalkan.

Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada Nasa'i, misalnya dikatakan, "hadith riwayat Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah "riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra", kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab 'Aunul-Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: "Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini diriwayatkan oleh Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, "diriwayatkan oleh Nasa'i" adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.

Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa'i adalah salah satu kitab hadith pokok yang menjadi pegangan.

15. Imam Ibn Majah 

Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.

Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi'i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata "Majah" dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.

Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.

Pengembaraannya

Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.

Aktivitas Periwayatannya

Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin 'Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.

Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin 'Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.

Penghargaan Para Ulama Kepadanya

Abu Ya'la al-Khalili al-Qazwini berkata: "Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith."

Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadith besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.

Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam Bidayah-nya: "Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu'."

Karya-karyanya

Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:

  • Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith yang Pokok).
  • Kitab Tafsir Al-Qur'an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
  • Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
  • Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah 
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.

Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedang jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah hadith.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.

Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadith

Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok "Kitab Hadith Pokok" mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.

Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok), yaitu:
• Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
• Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
• Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
• Sunan Nasa'i, karya Imam Nasa'i.
• Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
• Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.

Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul 'A'immatis Sittah.

Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz 'Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma' ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.

Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa'idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta', yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.

Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta' susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam'i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa'adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi'i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi'i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.

Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah

Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da'if (lemah), bahkan hadith-hadith munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.

Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadith-hadith da'if di dalamnya.

Oleh karena itu tidak seyogyanyanya kita menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.

Sulasiyyat Ibn Majah

Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.


BAB V
KITAB-KITAB HADITS

1) Pengertian Kitab Hadis

 Para muhaddisin telah menulis berbagai jenis kitab dalam berbagai bidang bahasannya. Hal ini merupakan suatu khazanah ilmu hadis yang dapat menjawab semua masalah yang di jumpai oleh para ulama dan peneliti berbagai kitab . Selanjutnya inilah yang disebut sebagai kitab hadis

2) Kitab Hadis Ditinjau dari Kriterianya
i) Kitab Shahih
kitab shahih merupakan kitab yang penyusunannya hanya menyatakan hadis-hadis yang shahih saja . Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis-hadis shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Kemudian disusul oleh sahabat yang juga muridnya Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi. Kedua kitab ini adalah kitab yang paling shahih. Tetapi Bukhari lebih kuat karena Bukhari dalam mengeluarkan hadis mensayaratkan dua hal, yakni:

1. Perawi harus semasa dengan gurunya.

2.Perawi benar-benar bertemu atau mendengar langsung dari gurunya.
Sedangkan Muslim tidak mensyaratkan poin yang kedua, tetapi hanya mensyaratkan yang pertama .

ii) Kitab Sunnan
Kitab Sunnan adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu' dan disusun berdasarkan bab-bab fikih. Kitab-kitab yang masyhur adalah Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah.

Keempat kitab sunan ini masyhur dengan sebutan al-Sunnan al-Arba'ah. Bila dikatakan al-Sunan al-Tsalasah, maka maksudnya ketiga sunan yang pertama, yakni selain Sunan Ibnu Majah.

Bila dikatakan al-Khamsah, maka yang dimaksud adalah al-Sunan al-Arba'ah dan Musnad Ahmad.

Bila dikatakan al-Sittah, maka yang dimaksud adalah Shahihaini dan al-Sunnan al-Arba'ah. 

iii) Kitab Musnad

Di dalam sistem ini pengatur mengatur secara sistematis (tertib) mulai nama-nama dari sahabat yang lebih utama beserta seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta sahabat yang lebih rendah derajatnya beserta hadis-hadisnya. 
Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a dengan menyebut seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan nama Umar r.a dengan mencantumkan seluruh hadis yang beliau riwayatkan dan seterusnya berturut-turut nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Umar dengan seluruh hadisnya. 

iv) Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis shahih dan kitab tersebut mengikuti syarat kitab hadis shahih yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah al-Mustadrak al-Hakim. Di situ al-hakim menyebutkan hadis-hadis shahih yang sesuai syarat dri Bukhari-Muslim atau salah satu syarat dari keduanya, tetapi keduanya tidaka mengeluarkan hadis tersebut. 

3) Kitab Hadis Ditinjau dari Cara Penggunaannya
i) Kitab Mu'jam

Kitab Mu'jam menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan susunan guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, sehingga penyusun mengawali pembahasan kitab mu'jamnya dengan hadis-hadis yang diterima dari Aban, lalu yang dari Ibrahim dan seterusnya.

Diantara kitab mu'jam yang terkenal adalah tiga buah kitab mu'jam karya al-Muhaddits al-Hafidz al-Kabir Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani (w. 360 H). Ketiga kitab mu'jam itu adalah: al-Mu'jam al-Shaghir , al-Mu'jam al-Ausath , dan al-Mu'jam al-Kabir .

Satu lagi kitab mu'jam adalah Mu'jam al-Buldan. Kitab ini disusun berdasarkan nama kota. Merupakan karya dari Abi Ya'la Ahmad bin Ali al-Muslihi. Beliau wafat pada tahun 307 H. 

ii) Kitab Takhrij
Yaitu kitab yang disusun untuk mentakhrij hadis-hadis kitab tertentu. Di antara kitab takhrij yang terpenting adalah:

Nahbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafidz Jamluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila'I al-Hanafi (w. 762 H). kitab ini merupakan takhrij hadis-hadis kitab al-Hidayah, sebuah kitab fikih madzhab Hanafi, yang disusun oleh ali bin Abu Bakar al-Marghinani, salah satu seorang pemuka fuqaha Hanafi (w. 593 H).

Kitab ini mengungkap secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faedah, dan mengupas setiap hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah dusertai riwayat dan hadis-hadis lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkpkan pembahasan mengenai hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat dengan ulama hanafiah secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis. 

iii) Kitab Jarh wa Ta'dil

Lahirnya kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil merupakan jerih payah para kritikus dan kajian mereka terhadap perilaku para perawi, dilihat dari sisi diterima atau tidak diterimanya hadis mereka. 

Para ulama yang menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil menggunakan methode yang berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang menyebutkan para pendusta dan para perawi yang lemah di dalam kitabnya. Ada yang menambahkan dengan menyebutkan sebagian hadis palsu. Ada yang menulis kitab hanya tentang perawi yang tsiqah, dan ada pula yang menulis kitab tentang para perawi yang lemah dan perawi yang tsiqah. 

iv) Kitab al-Athraf

Kitab al-Athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pad kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan lengkap dan sebagian lainnya hany menyebutkan sebagiannya. Kitab-kitab ini tidak memuat matan hadis secara lengkap dan bagian hadis pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual. Kitab ini disusun berdasarkan nama perawi pada tingkat sahabat.

4) Kitab Hadis Ditinjau dari Sejarahnya

Buku-buku dan catatan kecil yang muncul pertama kli tau bahkan pada awal abad kedua, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok; pertama, buku-buku yang berisi hadis-hadis Nabi semata, koleksi acak, tanpa sistemasi bahan. Kedua, buku-buku kecil (catatan) yang berisikan hadis-hadis Nabi yang msih bercampur dengan keputusan (resmi) yang diarahkan oleh para khalifah dan sahabat lainnya, bahkan para tabi'in. 

Pada abad kedua, terjadi perubahan trend sedikit dan buku-buku yang kebanyakan membahas masalah hukum muli bermunculan. Al-Muwatha' termasuk dalam kategori ini. Buku tersebut telah diatur menurut judul-judul dalam masalah hukum yang berkaitan dengan keseluruhan jaringan kehidupan manusia; dari ibadah (ritual), zakat, haji, perkawinan, perceraian, pertnian, perdagangan dan lain-lain. 

Berikutnya pada abad ketiga, kebanyakan buku-buku yang muncul adalah berisikan hadis-hadis semata. Sejumlah buku muncul, pada periode ini, yang mengikuti pada pola abad kedua, seperti Mushannaf, karangan Abdur Razaq dan Ibnu Abu Syaibah (w. 235 H), al-Awsath, karangan Ibnu al-Mundzir (w. 319 H). Buku-buku inti dikarang dengan pola yang berbeda dan disebut Musnad, Jami', Shahih, Sunan, Mustakhraj atau Mu'jam. 

Abad keempat dan kelima adalah masa pengisnadan hadis dan muncul kitab al-Mustadrak, yaitu kitab hadis yang standar keshahihannya sama dengan standar Imam yang lain tetapi tidak terdapat dalam kitab asli. Abad ketujuh dan kedelapan mulai muncul kritik sanad dan matan. Yaitu dengan munculnya kitab jarh wa ta'dil.

5) Urgensi Pengkajian Kitab Hadis
• Membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwiyatkan oleh
para sahabat dari Nabi SAW dan mempermudah pengecekannya. 
• Mempermudah mengetahui sanad-sanad hadis, kerena sanad-sanad itu terkumpul dalam satu tempat.
• Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan hadis
tersebut serta bab hadis dalam sumber-sumber tersebut. 

6) Contoh-Contoh Kitab Hadits

JENIS KITAB NAMA KITAB PENGARANG TAHUN
الجامع صحيح الإمام البخاري , محمد بن إسماعيل 256 هـ
صحيح الإمام مسلم الإمام مسلم 261 هـ
صحيح ابن خزيمة محمد بن إسحاق 311 ه
صحيح الإمام ابن حبان محمد بن حبان 354 هـ
السنن سنن أبي داود السجستاني أبي داود السجستاني 275 هـ 

سنن الترمذي – ويسمى بالجامع أيضا الترمذي 279 هـ 

سنن النسائي ( المجتبى ) أحمد بن شعيب 
302 هـ .
السنن الكبرى أحمد بن شعيب

سنن ابن ماجة القزويني 
ابن ماجة القزويني 
275 هـ .
سنن سعيد بن منصور 
سعيد بن منصور 
227 هـ
سنن الدارمي عبد الله بن عبد الرحمن 255 هـ
سنن البيهقي سنن البيهقي , أحمد بن الحسين 458 هـ
المعجم المعجم الكبير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الأوسط لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الصغير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
معجم الصحابة لأحمد بن علي بن لال الهمداني 398 هـ
معجم الصحابة لأبي القاسم عبد الله بن محمد البغوي 317 هـ
المصنف المصنف لأبي بكر عبد الله بن محمد بن أبي شيبة الكوفي 
المصنف لأبي بكر عبد الرزاق بن همام الصنعاني ( 211 هـ) 
المصنف لبقي بن مخلد القرطبي 276 هـ
المصنف لأبي سفيان وكيع بن الجراح الكوفي 196 هـ 
المصنف لأبي سلمة حماد بن سلمة البصري 167 هـ
المسند مسند أحمد بن حنبل أحمد بن حنبل 204 هـ 
مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي 212 
مسند أبي داود سليمان بن داود الطيالسي أبي داود سليمان بن داود الطيالسي 228 هـ 
مسند أسد بن موسى الأموي أسد بن موسى الأموي 229 هـ 
مسند مسدد بن مسرهد الأسدي البصري مسدد بن مسرهد الأسدي البصري 213 هـ 
مسند نعيم بن حماد نعيم بن حماد 234 هـ
مسند عبيد الله بن موسى العبسي عبيد الله بن موسى العبسي 307 هـ 
مسند أبي خيثمة زهير بن حرب أبي خيثمة زهير بن 249هـ 
مسند أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي 307 هـ 
مسند عبد بن حميد (249 عبد بن حميد (249هـ 
الاطراف تحفة الأشراف بمعرفة الأطراف للحافظ الإمام أبي الحجاج يوسف بن عبد الرحمن المزي 742هـ .
إتحاف المهرة بأطراف العشرة للحافظ ابن حجر العسقلاني 
أطراف المسانيد العشرة لشهاب الدين أبي العباس أحمد بن أبي بكر الكناني البوصيري الشافعي نزيل القاهرة ، المتوفى سنة 840هـ 
ذخائر المواريث في الدلالة على مواضع الحديث لشيخ عبد الغني النابلسي المتوفى سنة 1143هـ 
اطراف المسند المعتلى بأطراف المسند الحنبلي للإمام ابن حجر 
أطراف الأحاديث المختارة للضياء المقدسي للإمام ابن حجر 
أطراف مسند الفردوس للإمام ابن حجر 
المستدرك المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري 



Tidak ada komentar: