Sesungguhnya
pada diri Rasulullah (Muhammad) terdapat teladan yang baik.
(QS Al-Ahzâb [33]: 21)
(QS Al-Ahzâb [33]: 21)
Setidaknya,
ada tiga pelajaran berharga yang bisa kita petik dari sosok Muhammad, sang
rasul penyebar agama Islam. Pertama, ketekunannya dalam melakukan ibadah.
Kedua, kepeduliannya terhadap persoalan sosial. Ketiga, kehidupannya yang tidak
diperbudak oleh nafsu duniawi.
Muhammad melakukan ritual ibadah, antara lain dengan
shalat, zikir, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Dalam momen ibadah ritual,
kita berusaha “berinteraksi” dengan Allah, Tuhan yang mengenggam alam semesta
dan mengendalikan kehidupan. Dengan beribadah, kita memasuki keheningan dan
terus-menerus memperbarui ikrar untuk meneguhkan ikatan batin kita dengan
kehidupan.
Dalam momen ibadah ritual, seseorang juga berusaha
mengasah ruang “batin” dan “ruhani”-nya terus-menerus agar bisa menapaki
kehidupan secara lebih baik, indah, bijak, dan bermakna. Dengan beribadah
pulalah, kita berusaha menyelami kesejatian untuk melampaui fenomena duniawi
yang fana dan sementara. Kita saat ini menapaki “alam dunia”. Alam yang pernah
kita lalui adalah “alam ruh” dan “alam rahim”, sementara dua lainnya yang akan
kita jelang adalah “alam barzakh” dan “alam akhirat”.
Kembali pada persoalan ibadah ritual; karena setiap
manusia dalam kesehariannya—sadar atau tidak—sering kali terpancing (lagi)
untuk melakukan hal-hal yang buruk, jahat, dan tidak terpuji, maka ruang batin
dan ruhaninya sebaiknya terus diasah dalam suasana yang tenang, khusyuk, dan
hening. Nafsu-nafsu destruktif yang potensinya ada pada diri setiap manusialah
yang harus terus-menerus dikendalikan, antara lain, dengan laku-laku ritual
semisal shalat, zikir, puasa, dan haji.
Kalau kita cermati secara kritis, momen ritual pun
sebenarnya menyimpan makna moral dan sosial yang cukup kental. Dalam Islam,
ritual bukanlah hal yang steril dari persoalan sosial. Ritual, dengan demikian,
bukan merupakan tindakan untuk menghindar (eskapisme) dari persoalan sosial
yang nyata dan mengelilingi kehidupan manusia setiap hari.
Tak diragukan lagi, bercermin dari sejarah
kehidupannya, Muhammad adalah sosok manusia yang terlibat aktif dalam persoalan
sosial serta melakukan upaya transformasi sosial yang nyata. Kepedulian sosial
Muhammad, antara lain tampak dari sepak terjangnya dalam membantu dan membela
kaum miskin, sengsara, dan tertindas di satu sisi, serta melawan komunitas
(baca: rezim politik dan ekonomi) yang otoriter dan zalim di sisi yang lain. Komunitas
yang otoriter dan zalim ini misalnya adalah orang-orang Quraisy yang kaya dan
berkuasa.
Muhammad juga sering mendamaikan beberapa komunitas
(suku-suku Arab) yang bertikai satu sama lain. Visi sosial Muhammad sangat
tampak dalam upaya menegakkan keadilan (sosial), kesetaraan, dan perdamaian.
Selain tekun melakukan ibadah dan punya kepedulian
sosial, Muhammad juga seorang pribadi yang tidak pernah diperbudak oleh nafsu
duniawi, semisal harta, kekuasaan, dan jabatan. Muhammad adalah sosok yang
bersahaja. Meskipun mempunyai seorang istri yang kaya-raya bernama Siti
Khâdijah serta cukup sukses sebagai seorang pedagang, Muhammad tidak pernah
silau oleh materi.
Sosok zuhud dan sufi adalah orang yang mampu mengatasi
dan mengendalikan “keinginan”-nya akan harta, kekuasaan, dan jabatan di satu
sisi, serta tekun melakukan ibadah di sisi yang lain. Ibadah ini sangat penting
bagi setiap umat Islam, sebagai upaya untuk menziarahi ruang batin dan ruhani
serta mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Kesufian yang diteladankan Muhammad bukanlah sufi yang
“eskapis” (lari dari kenyataan), yakni sibuk melakukan ritual tetapi tidak
peduli sosial, melainkan sufi yang taat beribadah sekaligus sangat peduli dan
peka terhadap persoalan sosial di sekitarnya. Sama seperti nabi-nabi lainnya
yang pernah muncul dalam sejarah, Muhammad adalah sosok revolusioner yang
mencoba mengubah tatanan sosial yang timpang, tidak adil, dan menindas.
Melalui syariat dan ajaran agama yang disebarkannyalah
Muhammad dan nabi-nabi lainnya mampu mewujudkan tatanan sosial yang adil,
setara, demokratis, manusiawi, dan beradab. Untuk itu, tampaknya tak
terelakkan, dalam perjalanan hidupnya para nabi sering kali melawan para
penguasa yang zalim, otoriter, dan menindas. Nabi Ibrahim melawan raja Namrud, Nabi
Musa melawan raja Firaun, Nabi Isa melawan para penguasa Romawi, serta Nabi
Muhammad melawan para penguasa Quraisy dan suku-suku Arab lainnya yang arogan
dan zalim.
Teladan Empat Nabi Legendaris
Teladan Empat Nabi Legendaris
Ibrahim, Musa, Isa, dan (terutama) Muhammad (sang
empat nabi legendaris) adalah para sufi besar yang mampu mengekspresikan tiga
hal dalam diri mereka, sebagaimana saya sebut dalam awal tulisan ini; yaitu,
tekun beribadah, peduli sosial, serta tidak diperbudak oleh nafsu duniawi.
Nafsu duniawi yang dimaksudkan di sini adalah keinginan (yang berlebihan) akan
harta, kekuasaan, dan jabatan duniawi.
Kalaupun pernah mempunyai harta dan materi dalam
jumlah yang cukup besar, maka Muhammad adalah contoh seorang pribadi yang kaya
dan selalu berusaha mendermakan kekayaannya untuk kepentingan orang banyak yang
membutuhkan. Selain itu, kekayaan Muhammad juga untuk mendanai jihad dan
perjuangan menuju sistem sosial yang adil, demokratis, dan manusiawi.
Seorang sufi yang kaya—sebagaimana pernah diteladankan
Muhammad—seyogyanya bertekad memanfaatkan kekayaannya untuk sebanyak mungkin
manusia. Harta benda sang sufi berguna dan berkah bagi masyarakat luas. Untuk
itu, citra sufi sebenarnya tidak identik dengan kemiskinan, keprihatinan, dan
hidup pas-pasan. Seseorang tentu saja sangat sah menjadi kaya, asalkan
memeroleh kekayaan dengan cara yang baik, sehat, dan halal. Kekayaannya pun
menjadi berkah dan berfaedah untuk sebanyak mungkin manusia.
Hanya orang yang mampu secara ekonomilah yang bisa
menunaikan rukun iman kelima, yakni ibadah haji. Hanya orang yang (cukup)
kayalah yang bisa membantu rakyat miskin dan kaum papa yang terpuruk. Hanya
orang kayalah yang mampu mendermakan harta bendanya guna mendanai “perjuangan”
di jalan Allah yang baik dan mulia.
Bercermin dari sosok Muhammad, kita seharusnya tidak
hanya rajin beribadah, tetapi juga mampu “melampaui” nafsu dan kesenangan
duniawi yang acapkali menjebak dan menjerumuskan. Selain itu, jauh lebih
penting lagi kita sebaiknya punya kepedulian sosial yang tinggi terhadap
persoalan kehidupan dan umat manusia di sekitar kita, baik pada level lokal,
nasional, dan syukur bisa menyentuh level internasional.
Kepedulian sosial dalam konteks Indonesia sekarang
yang relevan, antara lain memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan kemaslahatan
di satu sisi, serta melawan korupsi, kekerasan, penindasan, dan kezaliman pada
sisi yang lain.
Dengan meneladani sosok Muhammad, marilah kita
teguhkan diri kita untuk berhijrah, yakni berpindah dan berubah, misalnya dari
kondisi yang pasif menuju tindakan aktif untuk mewujudkan kehidupan yang
lebih baik, adil, indah, dan maslahah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar