A. Dalil Dalam Al quran
dalilnya adalah QS Annisa 43, dan QS Al Maidah 6.
1. An
Nisa(4):43
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari buang air (al-ghaith) atau kamu telah sentuh-menyentuh perempuan (al-mulamasah),
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.
Keterangan :
Lihat
bagaimana pentafsiran imam Asy-syafei dalam Kitab Al-Umm bab wuddlu
bagian : “wudhu
dari al mulamasah (sentuh-menyentuh) dan air besar (al ghaith)”
…..
(An Nisa(4):43 ).
Maka
serupalah bahwa Ia (Allah) mewajibkannya wudlu dari al- ghaith (air besar atau berak) dan Ia (Allah) mewajibkannya dari sentuh -menyentuh
( al -mulamasah).
Allah
ta’ala menyebutkan al-mulamasah itu bersambaung dengan al- ghaith, sesudah menyebutkan al-janabah (junub). Maka serupalah
al-mulamasah bahwa adalah dia itu sentuhan dengan tangan. Dan Pelukan itu bukan al-janabah.
Dikabarkan kepada kami oleh malik dari ibnu syihab, dari
salim bin Abdullah, dari ayahnya, yang mengatakan : “Pelukan lelaki akan
isterinya dan menyentuhkannya dengan tangannya itu termasuk al-mulamasah. Maka
siapa yang memeluk isterinya atau menyentuhkannya dengan tangannya, maka
haruslah ia berwudhu kembali”
Telah sampai kepada kami dari ibnu mas’ud, yang mendekati
dengan makna ucapan ibnu umar : ” Apabila seorang lelaki membawa tangannya
kepada isterinya atau sebagian tubuhnya kepada isterinya, yang tiada berlapis di
antara dia dan isterinya, dengan nafsu birahi atau tiada dengan nafsu birahi,
niscaya wajiblah ia berwudlu dan juga isterinya berwudlu kembali.
Demikian juga, kalau isterinya menyentuhnya. Maka
wajiblah ia berwudlu kembali dan juga isterinya berwudlu kembali. Samalah pada
demikian itu semua.
Artinya :
Mana saja dari badan keduanya tersentuh kepada yang lain, apabila yang lelaki menyentuh kepada kulit yang wanita atau wanita menyentuh kepada kulit lelaki, dengan sesuatu dari kulitnya.
Apabila lelaki menyentuh dengan tangannya kepada rambut wanita dan tidak menyentuh kulitnya, maka tidaklah wudlu atas lelaki itu. Adalah ia dengan nafsu birahi atau tidak dengan nafsu birahi, sebagai mana ia bernafsu kepada isterinya dan ia tidak menyentuhkannya. Maka tidak wajib ia berwudlu kembali. Tidak ada makna nafsu birahi itu, karena dia itu didalam hati. Hanya baru bermakna, bila dengan perbuatan. Dan rambut itu berbeda dengan kulit.
Kalau orang itu lebih menjaga, lalu berwudlu kembali apabila ia menyentuh rambut wanita, niscaya adalah yang demikan itu lebih aku sukai (memandangnya sebagai sunah).
Kalau
ia menyentuh dengan tangannya, akan apa yang dikehendakinya di atas badan
wanita, dari kain yang tipis, yang belum diapa-apakan lagi atau sudah dipotong
atau lainnya atau kain yang tebal tenunannya, dengan merasa kelezatan atau
tidak ada kelezatan dengan sentuhan itu dan diperbuat juga oleh wanita yang
demikian, niscaya tidaklah wajib atas salah seorang daripada keduanya berwudlu
kembali. Karena Masing-masing dari keduanya tidak menyentuh temannya. Hanya ia
menyentuh kain temannya.
Berkata Penyair :
Aku sentuhkan tapak tanganku dengan tapak tangannya.
Aku mencari kekayaan.
Aku tidak tahu, bahwa kemurahan dari tapak-tangannya,
adalah mendatangkan kesakitan.
Maka tiadalah aku memperoleh faidah
daripadanya.
Dan tiada orang yang kaya itu memberi faidah.
Ia menjangkitkan penyakit kepadaku.
Lalu aku menaburkan, yang ada padaku.
Dan tiada orang yang kaya itu memberi faidah.
Ia menjangkitkan penyakit kepadaku.
Lalu aku menaburkan, yang ada padaku.
(Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam
Asya-syafi’i R.A., Jilid I Halaman 54-55, Penerbit Victory Agencie Kuala
Lumpur, 1989)
2. Almaidah (5) ayat 6 :
”
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu
kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur…..
Keterangan Tafsir ayat diatas :
-
ayat itu merupakan
dalil bahwa bersentuhan dg kaum nisa mestilah berwudhu atau bertayammum bila
tak ada air, cuma para Imam berikhtilaf dalam makna ayat : “jika kalian
menyentuh kaum wanita”, :
-
Imam syafii berpendapat yg dimaksud menyentuh ini ya menyentuh
kulitnya,
-
Imam Ahmad bin hanbal
berpendapat yg dimaksud adalah “menyentuh” adalah Jimak,
-
dan Imam Ahmad bin
hanbal berhujjahkan dengan hadits Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw
mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. (Tapi
Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg
riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.)
-
Imam Syafii tetap
berpendapat bahwa bersentuhan itu adalah bersentuhan kulit, dan hadits Aisyah
ra itu dhoif dan tak bisa dijadikan dalil, pun bila itu dijadikan dalil maka
hal itu adalah kekhususan bagi nabi saw.
-
Imam Ahmad bin hanbal
dan Imam malik berpendapat bahwa bersentuhan dg wanita bukan muhrim bila tanpa
syahwat tidak batal wudhu dan menjadikan hadits dhoif diatas sebagai sandaran
dalil.
-
Imam Abu Hanifah (Imam
Hanafi) berpendapat menyentuh wanita tak membatalkan wudhu. (Ibanatul Ahkam
Syarh Bulughul Maraam Juz 1 hal 129)
B. Hadits Rasululloh SAW yang mendukung
pendapat imam syafei, yakni
1)
“Dari Ma’qil bin Yasar
dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang
diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita
yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani dan Baihaqi)
2)
Dari asy-Sya’bi bahwa
Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris
dari Qatar
lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak
berjabat dengan wanita.” (HR Abu Daud dalam al-Marasil)
3)
Aisyah berkata, “Maka
barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut,
Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan
saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam
bai’at itu; beliau tidak membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku
telah membai’atmu tentang hal itu.’
4)
Dalil yang terkuat
dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan
mahramnya adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat
diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah
bila telah tampak tanda-tandanya. Semua pihak, terutama 4 imam besar, mendukung
hal ini tanpa penolakan sedikitpun.
Pada umumnya, yg memegang pendapat ini adalah mazhab Syafei, mazhab Az-Zuhri, ‘Ata’ bin As-Sa’ib, Al-Auza’ie.
C. Hadits-hadits yang berlawanan dengan
hadits diatas dan penjelasannya
1)
Aisyah istri Nabi saw.
berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah dengan kedua kakiku berada di arah kiblatnya.
Apabila beliau sujud, beliau mendorongku. Lalu, aku menarik kedua kakiku.
Apabia beliau berdiri, aku memanjangkan kembali kedua kakiku.” Aisyah
menambahkan, “Pada waktu itu tidak ada lampu di rumah.” (Hadits dhoif)
keterangan :
hadits itu dhoif, dan
sebagian pendapat menafsirkan bahwa saat itu Rasul saw menyingkirkan kaki
Aisyah ra dengan menyentuh bajunya dan bukan kulit terbuka,
2)
hadits Aisyah ra yg
mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat
tanpa berwudhu lagi”. (Tapi Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam
Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah
tertolak untuk dijadikan hujjah.)
keterangan :
ada pula yang
menshahihkan hadits ini mengatakan bahwa
Rasul saw mencium istrinya, tetapi penafsiran para Muhaddits berbeda beda,
sebagian pendapat mengatakan itu adalah kekhususan Rasul saw sebagaimana
beberapa kekhususan Nabi saw yg boleh menikah hingga 9 istri, karena beliau saw
ma’shum, dan tidak diizinkan bagi selain beliau saw,
pendapat
lainnya bahwa hal itu untuk umum, bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan
wudhu, pendapat lainnya mengatakan bahwa bersentuhan dg syahwat membatalkan
wudhu jika tidak maka tidak,. pendapat lain mengatakan bahwa jika menyentuh
maka batal, jika disentuh (bukan kemauannya atau tanpa sengaja) maka tidak
batal.
namun
Madzhab Syafii mengatakan bersentuhannya pria dan wanita yg bukan muhrimnya dan
keduanya dewasa dan sentuhan itu tanpa penghalang berupa kain atau lainnya maka
membatalkan wudhu, bersentuhan suami dan istri batal wudhu, demikian dalam
madzhab kita.
D. Catatan
· jangankan menyentuh
wanita yang halal dinikahi (termasuk istri) tanpa ada pembatas… akan
membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan (farji) dan dubur
sendiri dengan menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih)
tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fathul qarib, fiqh madzab
syafei)
· juga menyentuh kemaluan/dubur binatang/anak kecil/mayat
manusia menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih)
· tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fathul
qarib, fiqh madzab syafei).
· Dalam Madzab syafei, khusus pada saat haji di masjidil
haram menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu (pengecualian).
· wanita menyentuh sesama wanita tanpa pembatas, tidak
membatalkan wudhu (karena satu jenis) . lelaki menyentuh sesama lelaki tanpa
pembatas juga tidak membatalkan wudhu
mari
kaji fiqh sunni madzab syafei….jgn mengkaji hadits tanpa dasar fiqh “imam
mujtahid” bisa-bisa ente jadi “mujtahid mutlak yang sebenarnya belum layak jadi
mutjahid” yang ahirnya sesat dan menyesatkan seperti JIL dan wahaby
wallahu a’lam
wajib bagi yang belum mujtahid….mengikut pada imam mujtahid
Abu
Haidar
Alumni
Ponpes Darussa’adah – Jl Punawirwan 7 Bandar Lampung – Indonesia
Rujukan :
- (Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam
Asya-syafi’i R.A., Jilid I Halaman 54-55, Penerbit Victory Agencie Kula Lumpur,
1989)
- Kitab shahih Bukhari
- Kitab Shahih Muslim
- Tafsir jalalain,
Beirut
- Jawaban Habib Munzir
Al-Musawa, Majelis Rasulullah
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=28&func=view&id=10739&catid=8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar