1. Pengertian
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Secara defitif hadits mutawatir adalah:
خبر عن محسوس رواه عدد جم يخب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكب
“ Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut adapt kebiasan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat dusta”
Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam
setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab),
orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong. Tentang seberapa
banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah
ketentuan yang jelas. Sebagian ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu tidak
kurang dari dua puluh perawi.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang.
Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang
telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat
65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.
Hal tersebut diqiyaskan dengan pernyataan Allah sebagai berikut :
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yuhsha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam.
Sebagian besar ulama
sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi hukum dan pengetahuan
yang positif (yaqin) sehingga hadits ini dapat dijadikan hujjah baik dalam
bidang aqidah maupun dalam bidang syari’ah. Hadits mutawatir memberikan faedah
ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang
diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang
keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits
mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti
tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari
hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (pelibatan pancaindera).
Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits mutawatir apabila memenuhi
beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut
:
- Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
- Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
- Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
- Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam
mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan
kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. . Diantara mereka
ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah
tersebut.
Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada
kesaksian perbuatan zina.
Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang, hal ini
diqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
Ada yang
berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah
pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah
mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka
12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12).
Ada yang menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah
dalam suat Al anfal 65. selain itu adal pula yang menetpkan jumlah tersebut
sekurang-kuangnya 40 orang dengan menqiyaskan pada firman Allah pada surat al
anfal ayat 64.
Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian
khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya
syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits.
2. Pembagian hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ada 2 yaitu :
a. Mutawatir Lafdzi
Hadist Mutawatil Lafdzi adalah;
ما تواتر لفظه
Hadist mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis
sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula,
juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi, hadist mutawatir dengan susunan
sedikit berbeda, arena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang
berbeda tetapi jelas sama akna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan
perincian makna hadist itu tetap sama.
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Adapun silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan
bahwa hadits itu diterima 200 sahabat
b. Mutawatir Ma’nawi
ما تواتر معناه دون لفطه
Yaitu hadits yang isi serta kandungannya diriwayatkan secara mutawatiakan
tetapi redaksinya tidak. Sehingga redaksinya bisa berbeda-beda.
Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :
ما رفع صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطيه في شيئ من دعائه الا في الاستسقاء
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain
dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang
dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang
ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كان يرفع يديه حذو منكبي
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
c. Hadist Mutawatir ‘amali
Hadist mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang menyangkut perbuatan
Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang
banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang
banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau
disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali.
Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup banyak.
Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.
3. Hukum Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mengandung ilmu dlarury yang harus diyakini yang mengharuskan
kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga para rawinya
tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya
Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya;
tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah
qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para
perawinya .
Taraf kepastian bahwa hadist mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari
Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus
persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi
sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan
menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadist
mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadist ahad.
4. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir
sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku
tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :
- Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
- Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
- Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
- Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
B. HADITS AHAD
1. Pengertian
Suatu hadits yang tidak memenuh syarat-syarat Hadits mutawatr disebut hadits
ahad.
Ulama’ Muhadditsin mendefinisikan sebagai berikut:
هو ما لا ينتهي الى التواتر
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang
yang tidak mencapai derajat mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi
hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas
kesinambungan sanadnya.
2. Pembagian Hadist Ahad
a. Hadist masyhur (hadist mustafidah)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer.
Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi
menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist
yang sudah tersebar atau tersiar.
Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa
para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam
pengartian istilah ilmu hadist yaitu:
ما رواه الثلاثة فأكثر ولم يصل درجة التواتر
"Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan belum
mencapai derajat hadist mutawatir.”
Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada
setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang,
maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan
tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim,
dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap
tingkatan.
b. Hadist ‘aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulia atau yang kuat dan juga berarti
jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang
kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang
adanya.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما رواه اثنان ولو كانا في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذلكجماعة
”Hadist ‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua
rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak
rawi”.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada
tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh
lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
Contoh hadist ‘aziz adalah hadist berikut ini:
نحن الاخرون السابقون يوم القيامة
“Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu
di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah
dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu
diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja
dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu
termasuk hadist ‘aziz.
c. Hadist gharib
1. Definisi
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain.
Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari
yang lain.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما انفرد برواتيه شخص في اي موضع وقع التفرد به من السند
"Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi
(sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.”
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh
seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh
banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang artinya: “ Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya
(memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan
lain-lain) “
Kendati hadist ini diriwayatkan oleh banyak imam hadist, termasuk Bukhari dan
Muslim, namun hadist tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh
seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan pada tingkatan kedua juga
diriwayatkan oleh hanya satu orang tabi’in, yaitu ‘Alqamah.
Dengan demikian hadist itu dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh satu
orang dan termasuk hadist gharib.
2. Klasifikasi
Ditinjau dari segi bentuk peyendirian rawi, maka hadits gharib terbagi kepada
du macam:
a. Gharib Muthlaq
Apabila peyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya,
maka hadits yang diriwaytkan disebut gharib muthlaq. Penyendirian rawi hadits
gahrib mutlq harus berpangkal pada ashsus sanad, yakni tabi’iy, bukan sahhabat.
Sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian rawi dalam hadits
gharib di sini adlah unuk menetapkan apakah ia masih dterima periwayatannya
atau ditolak sama sekali. Sedanglkan kalau yag menyndiri tu seorng sahabat,
sudah tidak perlu diperbincangkanlag, karea sudah diakui oleh umum bahwa sahabat-sahabat
itu adalah adil semuanya.
b. Gharib Nisby
apbila enyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi,
maka hadits yang diriwayaknnya disebut dengan hadits gahrib nisby.
Sifat atau
keadaan tersebut mempunyai bebarapa kemungkinan:
- Sifat keadalan dan kedlabitan (ketsiqahan) rawi
- Tentang kota atau tempat tnggal tertentu.tentang merwayatkannya dari rawi tertentu.
Disamping pembagan hadts gharib sebahaman di atas, kalua penyendrian itu
ditinjau dar segi letaknya, d matakah atau di sanad, aka ia terbagi lagi
menjadi tiga bagian, yakni;
- gharib pada matan dan sanad
- Gharib pada sanadnya saja
- gharib pada sebagian matannya.
3. Istilah-istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan Hadits gharib
Gharib dan Fard adalah dua istilah yang muradlif. Kedua istlah itu dalm segi
penggunaannya dibedakan. Pada umumnya istilah gharib diterapkan untuk hadits
fard nisby (Gharib nisby). Sedangkan fard diterapkan untuk fard muthlaq (gharib
mutlaq).
Dari segi kata kerjanya para muhadditsin tidak menhgadakan perbedaan
satu sama lain.
Misal
تفرد به فلان sama dengan اغرب به فلان
Istilah-istlah yang sering dipakai untuk memberi cirri hadits gharb antara lan;
ISTILAH KETERANGAN
هذا حديث غريب - Hadits ini diterapkan untuk hadits fard
nisby
Menurut al Baghawi: istilah ini diterapkan untuk hadits syad.
غريب من هذا الوجه - Istilah spesfik at turmudzi ini
dimaksudkan untuk memberi nilai suatu hadits yang gharib seluruh sanadnya,
sedang matannya shahih.
غريب مشهور - Hadits yanh gharib pada awalnya, kemudan menjadi masyhur
pada akhirnya.
تفر به او اغرب بهفلان - Hadits gharib yang tidak
mempunyai muttabi’ atau syahid
تفرد به اهل بصرة - Hadits gharib yang dinisbatkn kepad para
perawi dari bashrah
لم يروه ثقة الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan
kepada rawi-rawi yang tsiqah hanya seorang saja yang meriwayatkan, sedang jika
dinisbatkan kepada rawi-rawi selainnya, adalah dla’if.
لم يروه عن فلان الا فلان - Hadits gharib yang
dinisbatkan kepada rawi trtentu, sedangkan raw yang lain tidak ada yang
meriwayatkannya.
غريب الحديث - Matan hadits yang sukan difahamkan maksudnya, karena
sebagian lafadznya ada yang musykil dan tidak popular dalam penggunaannya.
له متابعة - Hadist gharib yang mempunyai muttabi*
له مثله - Hadits gharib yang mempunyai syahid** billafdzi (sesuai
makna dan redaksinya)
له نحوه - Hadits gharib yang mepunyai syahid bil ma’na
له شواهد Hadist gharib yang mempunyai beberapa syahid.
Keterangan:
- Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru 9yang terdekat itu)
- Syahd adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na (ma’na sama tapi redaksi berbeda)
4. Cara-cara untuk menetapkan keghariban hadits
Untuk menetapkan suatu hadts tu gharib, hendaklah diperksa lebih dahulu pada
kitab-kitab hadit, semisal kitab Jami’ atau Musnad, apakah hadisttersebut
apakah hadist tersebut mempunyai sanad lain selain sanad yang dicari
kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada maka hilanglag sifta gharibnya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadp hadits yang diperkrakan gharib dengan
maksud apakah hdist tersebut mempunyai muttabi’ atau syahid, disebut I’tibar.
Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang
terdekat atau guruny guru (yang terdekat itu)
Syahid adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid asa
dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na (ma’na sama
tapi redaksi berbeda)
3. Kedudukan Hadist Ahad
Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW,
maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal dari
Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan
ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari
Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi
diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist
ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Dengan kata lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist
ahad, bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus
ditolak.
C. PERBEDAAN HADIST AHAD DENGAN HADIST MUTAWATIR
1. Dari segi jumlah rawi
Hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada
setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak mungkin)
mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad diriwayatkan oleh rawi
atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan dia atau
mereka sepakat untuk berdusta.
2. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan
Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu
dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu
sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya.
Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang bersifat
dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga kebenarannya
masih berupa dugaan pula.
3. Dari segi kedudukan
Hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran
Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
4. Dari segi kebenaran keterangan matan
Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan
dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an. Sedangkan keterangan matan hadist ahad
mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar