a. Tahammul al-hadist
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau
menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam
masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para
kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh),
apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga
berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al karmani-pada boleh dan tidaknya hadits
tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah
sebaliknya.
b. Ada’ al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan)
hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau
proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, dalam hal
ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam
memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
- ketahanan ingatan informator (dlabitur rawi)
- integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqatur rawi).
- mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka
yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang
selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari
orang lain adalah:
- Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
- Berakal sempurna.
- Tamyis.
3. Syarat-syarat ada’ul-hadits.
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru
yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat
(dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan
tingkat kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan
hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri
seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang
yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap
agamanya.
Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus
memenuhi empat syarat yaitu:
- Islam
- Balig
- Berakal
- Takwa
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti
diungkapkan al zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau
pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena
tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki
banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan
yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh
kelebihannya. Sighat tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya
terhadap-persambungan sanad
4. Sighat tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya terhadap persambungan
sanad.
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan
macam yaitu :
a. Sima’ (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean), dan
tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak
merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari
gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى,قال لى فلان.
Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir
mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada
masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada
dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu
dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar
langsung hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan
pada bersambungnya sanad.
b. Al qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah sendiri memaparkan yang juga disebut al ard memiliki dua bentuk.
Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia
hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada
orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi
mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang
hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar
pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak
hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al juwaini
menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang
terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag
berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits
adalah al zuhri, al bukhari, mayoritas ulama kufah, hijaz, dll. Riwayat dengan
cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru
memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada
dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau
mendengar langsung dari sang guru. Ibnu hazm menentang riwayat dengan ijazah
dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin,
namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang
terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan
pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua
belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu
dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran
praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar
berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi dengan
demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak
dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar
disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut shiddiq basyir nashr dalam
bukunya dlawabith al riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai
dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama
dibagi menjadi beberapa macam :
- Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
- Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
- Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis)
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan
hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan
kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada
ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam
yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang
masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia
juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita
menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-i’lam (memberitahukan)
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa
kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa
disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini
apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu,
bolehkah saya menyampaikannya?” Lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah
satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun
demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini
dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat
singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh al-ghozali
dan ibnu sholah dalam bukunya al-muqoddimah.
g. Wasiat
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa
sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang
diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang
diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan
pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada
muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan
cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan i’lam, sekalipun
memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri
hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan
mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima
dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena
dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga
sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima
hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau
qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode,
atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak
mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas
dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para
kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin
meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber
data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya
dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa
mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan
sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia
menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para
ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1. jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya
adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-qodhi iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2. jika proses tahamul itu dengan menggunakan qiroah, maka rowi yang
meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3. ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya
adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4. ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5. ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang
digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6. ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan
adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7. ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian
menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
ketika proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau
buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Ringkasan Shighat Tahammul Hadits
Shigat Metode Tahammul
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني السماع
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه القراءة
أجازنى فلان, أنبأنى الاجازة
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة المناولة
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة الكتابة
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام الاعلام
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية الوصية
وجدت بخط فلان, قال فلان
الوجدة
Tidak ada komentar:
Posting Komentar