1. Biografi Singkat Al - Ghazali
Nama lengkap adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i
Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan , Iran ,
tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat, pada
saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad
dititipkan kepada seorang sufi.
Setelah lama
tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar pada
pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di sana ia
mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian ia
memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru kepada Imam Haramain
(Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh,
filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu
belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam
Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang
menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan
pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada
para penentangnya.
Al-Ghazali banyak
meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai
300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Nasisabur dan
ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi beberapa bidang
ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir,
tasawuf dan akhlaq.
Di dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah
Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya
adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam
karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif
terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan
wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan
diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
a.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali,
ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan
Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada
sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu
dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak
keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan
cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini
sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b.
PandanganAl-Ghazali tentang-As-As’adah
Menurut Al-Ghazali,
kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah)
di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan)
itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya;
nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah,
nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
Dalam konteks ini semua aktivitas ketasawufan,
langsung atau tidak bekaitan dengan penghayatan dan ma’rifah pada Allah. Hal
ini bukan hasil pengamatan panca indera atau penalaran rasio, tetapi merupakan penghayatan
spiritual atau pengalaman yang bersifat mistik (mysticalexperience). Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia
tasawuf disebut fana’. Terjadinya
kondisi fana’ kerena begitu
mendalamnya rasacinta yang termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari.
Dalam mabuk cinta itu, sang sufi akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud, apa saja yang dipandang
tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli, misalnya, pernah menyatakan:“Aku tak pernah
melihat sesuatu kecuali Tuhan”.Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah
zikir. Melalui konsentrasi dalam zikir, yang oleh sufi disebut dengan
menenggelamkan hati dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada
pengalaman dan prenghayatan fana’
secara total pada Allah. Fana’ adalah
proses beralihnya kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan atau
alam batin.
Oleh karena itu kondisi fana’
merupakan bagian yang esensial dalam tasawuf. Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad aau menyatu dengan wujud
Allah digambarkan sebagai berikut:Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri
dan sifat-sifat peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu
lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai
menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan
terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap
sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian
akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah
merasa lebur menyatu dalam wujud Allah.
Kutipan di atas
memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad
seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran
akan alam sekelilingnya
lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf.
Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah
penghayatanma’rifatullah. Yang
mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.
Pada tingkat ketiga atau
pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’
alfana’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar