BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui data-data (naskah-naskah) yang dihasilkan oleh para pemikir terdahulu (ulama terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam dan di antara tema yang cukup dominan serta telah banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam islam.[1] Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi[2].
Dalam islam kita mengenal dua aliran tasawuf, Pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana para pengikutnya cederung pada ungkapan-ungkapan ganjil(syatahiyyat), serta mertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara hamba dengan tuhan. Kedua, aliran tasawuf amali, dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan sayriat yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.[3] Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.[4]
Diantara para sufi yang menganut aliran tasawuf Irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep fana`, baqa` dan al-Ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.
Pada makalah ini penulis dalam rumusan makalahnya mencoba untuk memaparkan Riwayat hidup Abu Yazid Al-Bustami dan konsep ajaran tasawuf-Nya yang kita kenal dengan istilah “Fana`, Baqa` dan Ittihad”.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Riwayat Hidup Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H – 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.[5]
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sanagat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiapo panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab hanafi.
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqa` dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.[6]
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.[7]
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai
II. Konsep Thasawuf Abu Yazid Al-Bustomi
1. al-Fana dan al-Baqa`
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.[8]
Sedangkan Dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur[9]. Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya“hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepantingan ketika berbuat sesuatu”.[10]
Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and disappear. (mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta`ala berada pada segala sesuatu.[11]
Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-Qusyairi menulis, “Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”[12]
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuhan.
Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus hidup),
Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.[13]
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal.[14] Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itera beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`. Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana` dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”
Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu)mud an kemarilah.”
Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana` pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`, kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” (B 132)
Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana`, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa`.
Dalam menerangkan kaitan antara fana` dan baqa` al-Qusyairi menyatakan,“Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana` dari syahwatnya. Tatkala fana` dari syahwatnya, ia baqa` dalam niat dan keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan maka ia sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam ketulusan inabahnya…”
Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif. Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti prosedur. Dalam qaul al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah (wafat 1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.[15]
Seorang calon Sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia harus mempunyai iman yang bear, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa besar (kaba-ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (shagha-ir) sebanyak mungkin. Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara-id) yang diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.[16]
Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam iterature tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.[17]
2. al-Ittihad
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya (dua benda) menjadi satu[18], yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.[19] Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya[20].
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku…”.[21]
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihadyang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya antara sufi dan tuhan.[22]
Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama tuhan.
Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya menyatakan;
Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah ydng disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).[23]
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;
Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”, sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).[24]
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis).[25]
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat[26] yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:[27]
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
قَالَ : يَا أَبَا يَزِيْدَ إِنَّهُمْ كُلَّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
فَانْقَطَعَ المُنَاجَةُ فَصَارَ الكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَ الكُلُّ بِالكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ لِي: يَا أَنْتَ، فَقُلْتُ بِهِ: يَا أَنَا، فَقَالَ لِي: أَنْتَ الفَرْدُ. قُلْتُ : أَنَا الفَرْدُ قَالَ لِي: أَنْتَ أَنْتَ: أَنَا أَنَا
Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”
إِنِّيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
Artinya:
“Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.” Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[28]
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu didalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[29]
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana`an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai tuhan seperti Fir`aun. Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah tersebut diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
- Abu Yazid mempunyai peluang yang besar untuk menjadi sufi karena memang ia dibesarkan dari keluarga yang taat beragama. Dimana Ibunya adalah zahidah ayahnya adalah pemuka masyarakat dan dua orang saudaranya termasuk sufi. Walaupun tidak seterkenal dirinya. Mulanya ia belajar agama di masjid tempat kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah dan akhir kehidupannya berubah menjadi seorang sufi dengan ajaran tasawufnya al-fana` albaqa` dan al-Ittihad.
- Sebelum Abu Yazid mencapai tingkat ittihad, ia mengawali maqamnya dengan fana` dan baqa` yang merupakan dua kembar yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian al-Ittihad, al-Fana` adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan al-Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Sedangkan al-itthad adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, untuk mencapai hal tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
- Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002)
Oman fathurrahman, Loc. Cit
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit. h. 130
Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997)
Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit
Husin al-Habsyi, Loc. Cit.
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit.
Wardana, Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin; Makassar; 2001)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 52
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 53
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 132 – 133
Harun Nasution, TASAWUF t.th. h. 42 – 43
[2] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002) h. 68
[3] Oman fathurrahman, Loc. Cit
[4] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004) h. 8
[5] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit. h. 130
[6] Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994) h. 51
[7] Ibid
[8] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997 h. 47
[9] Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997), h. 362
[10] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
[11] Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999), h. 74-75
[12] http://alawiyyahblog2.blogspot.com/
[13] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 47
[14] Husin al-Habsyi, Loc. Cit. h. 26
[15] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 48
[16] Ibid,
[17] http://alawiyahblog2.blogspot.com/
[18] Husin al-Habsyi, Loc. Cit. h. 581
[19] Wardana, Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin; Makassar; 2001) h. 7
[20] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 133
[21] Ibid,
[22] Ibid,
[23] Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit. h. 52
[25] http://alawiyyahblog2.blogspot.com/
[26] Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.
[27] DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 132 – 133
[28] http://alawiyyahblog2.blogspot.com/
[29] Op. Cit. h. 135
3 komentar:
bagus blog dan artikelnya...follow sukses, d tunggu follow dan kunjungan baliknya :)
ditunggu kunjungan baliknya ya Fah, makasih :)
Terima kasih ya, Insya Allah ntar ana kunjungin balik :)
Posting Komentar