BAB I
PENDAHULAN
Sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu
pesantern dan madrasah bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa
serta keseluruhan, sedangkan secara khusus pendidikan Islam dan bertanggung
jawab atas kelangsungan tradisi ke Islaman dalam arti yang seharusnya.
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa
posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan
Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan
Islam sebagai nilai.
Pendidikan Islam sebagai
mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah
mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran
ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Reformasi
Sebagian menganggap bahwa reformasi sudah
tercapai manakala penyelenggara negara yang sudah 32 tahun berhenti, sehingga
bagi mereka mundurnya Presiden Soeharto pada hari kamis, 21 mei 1998 merupakan
puncak kemenangan. Ada yang memandang reformasi sebagai upaya pembersihan
penyakit KKN dan kawan-kawan, sehingga identik dengan penciptaan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa. Reformasi juga diartikan perubahan terhadap semua
sistem kepemerintahan secara Totolitas.[1]
Pendidikan Islam di Indonesia
Dari berbagai karya tentang pendidikan Islam
yang sempat di telaah oleh Azra (1999), menunjukkan bahwa kajian pemikiran dan
teori kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan,yaitu:
A. Mendekatinya secara sangat doktrinal,
normatif, idealistik yang kadang-kadang justru mengaburkan kajian atau
konteksnya dengan Pemikiran Islam itu sendiri.
B. Mengadopsi filsafat, pemikiran, dan
teori-teori kependidikan Barat, tanpa kritisisme yang memadai bahkan hampir
terjadi pengambilan mentah-mentah.
C. Memberi lagi timasi terhadap pemikiran dan
filsafat pendidikan Barat dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits tertentu, sehingga
menjadi titik tolak adalah pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran
kependidikan Islam), yang belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran
kependidikan Islam.
D. Pemikiran kependidikan Islam atau relevan
dengannya yang dikembangkan para ulama, pemikir-pemikir dan filosof muslim
sedikit sekali diungkapkan dan dibahas.
Indonesia yang masyarakat penduduknya
beragama Islam ternyata belum mampu menumbuhkan budaya teknologi dan
deversifkasi sumber budaya manusia. Hal ini dapat terjadi di samping masalah
strategi pendidikan yang belum sepenuhnya mengarah pada penuasaan teknologi
tinggi. Kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia masih banyak berantung pada
beberapa aspek, seperti sumber daya alam. Penyebaran pendudukan dan
kesejahteraan yang belum merata.
Oleh sebab itu, pendidikan Islam Indonesia
pada masa kini memerlukan suaru arientasi baru sebagai uapay terhadap perubahan
kearah pengembangan teknologi atau merombak pola pikir pendidikan Islam.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara
struktur Intelektual masa akan datang masih sama seperti yang ada pada saat
sekarang yaitu:
1. Pendidikan model Pondok Pesantren.
2. Pendidikan Madrasah.
3. Pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
4. pendidikan umum yang mengajarkan mata
pelajaran/kuliah agama Islam.
Dua yang pertama tidak menuntut penjelasan.
Sementara yang terakhir dapat menumbuhkan pemahaman yang tumpang tindih.
Jenis ketiga dapat dijelaskan dengan contoh:
seperti AMP Al-Irsyad, SMA Muhammadiyah dan Universitas Islam Indonesia,
sementara jenis yang keempat dapat dijelaskan dengan contoh: seperti SMP PGRI,
SMU Negeri dan UGM.
Pada tingkat tinggi, depag telah
menyelenggarakan program pembibitan dosen bagi para lulusan IAIN. Program MA
dan Ph. D di Universitas terkemuka di negara-negara Barat. Setelah mereka
kembali ke Indonesia, mereka direkrut sebagai dosen di Program Pascaserjana,
alasan pengiriman pada lulusan IAIN adalah sederhana yaitu untuk
mengintegrasikan Intelektualisme Islam dengan Intelektualisme nasional. Bila
para ekonomi, sosial, sarjanawan dan lain-lainnya dapat didik di barat, mengapa
Intelektual Islam tidak bisa dilaksanakan dan tidak terlalu bergantung dengan
cendekiawan Muslim di Timur tengah saja.[2]
Pembinaan Pendidikan Islam
Salah satu tuntunan reformasi adalah adanya
otonomi daerah, berkenaan dengan itu berlakunya dua undang-undang. Pertama,
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah. Arus dari tuntunan otonomisasi ini adalah demokratisasi. Suara dari
segala penjuru dunia sangat gencar saat sekarang ini untuk menegekkan
demokratisasi dan hak Asasi manusia (HAM).
Uraian tentang dasar pemikiran yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diungkapkan beberapa hal
yang relevan dengan pembahasan ini, yaitu penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memberi kewenanggan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab
kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang keadilan erta perimbangan keuangan pusat
dan daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksaan otonomi daerah itu dilaksanakan
dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Salah satu bagian dari penyelenggara negara
yang diotonomkan adalah pendidikan. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan
menurut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan. Beberapa dampak ari
sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformasi. Uniformasi itu
mematikan inisiatif dan kreativitas serta inovasi. Di tengah-tengah masyarakat
yang majemuk seperti Indonesia ini sangat perlu pula dihargai adanya sisi perbedaan
itu akan tumbuh kreativitas dan inovasi.
Selama ini pendidikan Islam terutama
kelembagaan madrasah secara full dan otonom berada di bawah pengolaan Departema
Agama. Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 salah satu bidang yang tidak
diotonomikan adalah agama, sedangkan pendidikan termasuk bagian yang
diotonomikan.
Banyak pemikiran yang timbul di sekitar
persoalan tersebut. Pertama, ada pendapat yang menginginkan agar pendidikan
agama dan keagamaan tetap berada di bawah naungan Departeman Agama, untuk
menjaga kemurnian visi dan misi pendidikan agama. Dengan anggaran biaya
Pemerintah Pusat. Kedua, ada pemikiran yang menginginkan bahwa pendidikan agama
dan keagamaan berada di bawah naungan Pemerintah Daerah, dalam hail ini Dinas
Pendidikan, agar pendidikan agama dan keagamaan lebih berkembang. Ketiga,
adanya keinginan mencari konvergensi di antara keduanya, yaitu kebijakan tetap
berada di tangan Depertemen Agama, teknis operasional berada di tangan
Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan.
Pemikiran tentang pengelolaan lembaga
pendidikan Islam dalam hal ini madrasah telah lama muncul di Indonesia, jarak
sebelum lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 UU tentang sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 192 telah pernah keluar Surat keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972
tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan Pasal 33 Surat
Keputusan tersebut berbunyi: ruang lingkup pembidangan tugas dan tanggung jawab
dalam melaksakan pembinaan pendidikan dan latihan dimaksudkan dalam Pasal 1
Keputusan presiden ini diatur sebagai berikut:
1. Menteri Pendidikan dan kebudayaan
bertanggung jawab atas pembinaan dan pendidikan umum dan kejuruan.
2. Menteri Tenaga Kerja bertugas bertanggung
jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai
negeri.
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas
bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai
negeri (Darajat, 1980; 48).
Setelah mempelajari arus pemikiran dan
aspirasi yang berkembang selama proses dan pengumpulan bahan-bahan masukan bagi
penyusun konsep undang-undang Sistem Pendidikan nasional yang kemudian
malahirkan UU No. 2 tahun 1989 serta seperangkat Peraturan Pemerintah tentang
pendidikan, yang menyimpulkan bahwa madrasah tetap berada pengelolaannya di bawah
naungan Departemen Agama.
Dari berbagaia uraian tersebut diatas
dapat dipahami bahwa diskusi tentang perkembangan pendidikan Islam yang menjadi
perhatian para perkembangan dan pemikirnya, semakin memperkaya Khazanah
pemikran tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sebagai disiplin
ilmu yang berdiri sendiri.[3]
BAB III
PENUTUP
Dari titik pandangan ini, pendidikan Islam,
baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan
mendukung secara penuh dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri. Pada
dasarnya pendidikan Islam mengutamakan pada aspek keagamaan dengan metode
klasiknya, tidak jarang sekolah atau madrasah yang menolak bantuan dari
pemerintah.
Kesadaran akan kerjasama yang baik antara
lembaga-lembaga pergolakan pendidikan Islam di Indonesia dengan pokok-pokok
pemerintah atau penguasa terkadang masih merupakan kendala-kendala dan mewujudkan
peran pendidikan Islam dalam era pembangunan dimasa ini.
Inti kajian ini adalah proses pertumbuhan dan
perkembangan lembaga pendidikan Islam dengan memperhatikan segi-segi dalam dan
segi-segi luar atau faktor internal dan eksternal, sehingga mempengaruhi
terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, H. Haidar Putra, Sejarah
Pertumbuhandan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2007.
Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Siradj, Said Adiel, Islam Kebangsaan,
Jakarta::Pustaka Ciganjur, 1999.
Muhaimin, Wacana Perkembangan
Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar: Jogja, 2003.
[1] Prof. Dr. KH. Said
Adiel Siradj, MA, Islam kebangsaan (Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999). Hal: 126
[2] Drs. H. A. Mustafa
– Drs. Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam DI Indonesia (bandung:Pustaka
Setia, 1999). Hal” 165-166
[3] Dr. Muhaimin, MA, Wacana
Perkembangan Pendidikan Islam (Jogja: Pustaka Pelajar, 2003), hal:
100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar