BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Globalisasi
cepat atau lambat dipastikan akan dihadapi oleh manusia. Secara logis masalah
yang akan dihadapi manusia semakin kompleks dan transenden serta memerlukan
pemecahan masalah yang sistematis dan kontinuitas. Dalam menghadapi tantangan
dunia yang semakin kompetitif ini, masih banyak para praktisi muslim memiliki
komitmen untuk lebih memprioritaskan pendidikan religiusitas dibandingkan
pendidikan umum lainnya. Sekaligus mengabaikan dan menolak segala pesan dan
invensi perkembangan yang dibawa oleh komuniti Barat. Sehingga mempermudah
mereka untuk menanamkan idealisme sekuleristik terhadap masyarakat muslim.
Moralitas,
akhlak, dan nilai-nilai islamiyah menjadi bagian yang tabu dan tidak lagi
membatasi manusia antara kekufuran dan kemaslahatan dan jika dibiarkan
berlarut-larut akan mengantarkan Islam pada kemunduran dan
kehancuran.,Antisipatif problema seperti ini yang harus
direncanakan seoptimal mungkin. Hal ini mengindikasikan bahwa umat muslim
harus mampu mengadopsi serta memfilterisasi setiap budaya dan perkembangan yang
masuk. Upaya pembenahan ini dapat dilakukan melalui pendidikan, yaitu
menciptakan sumber daya manusia yang utuh, yang selalu bertanggung jawab
terhadap keberadaannya didunia dan merencanakan untuk kehidupan akherat.
Sehingga keseimbangan antara dunia dan akherat yang menjadi tujuan terakhir
manusia sebagai khalifah Allah SWT dapat di aktualisasikan dengan maksimal.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
sistem pendidikan Islam ?
2. Bagaimana
perspektif ontologi sistem pendidikan Islam ?
3. Bagaimana
perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam ?
4. Bagaimana
perspektif aksiologi sistem pendidikan Islam?
C. Tujuan Pembahsan Masalah
1. Untuk
mengetahui pengertian sistem pendidikan Islam.
2. Untuk
mengetahui bagaimana perspektif ontologi sistem pendidikan Islam.
3. Untuk
mengetahui bagaimana perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam
4. Untuk
mengetahui bagaimana perspektif aksiologi sistem pendidikan Islam.
D. Batasan
Masalah
Agar pembahasan makalah ini
tidak melebar, maka penulis memberikan batasan pada masalah yang akan dikaji
pada makalah ini. Adapun masalah yang akan dikaji pada makalah ini
adalah pengertian sistem pendidikan islam,perspektif ontologi sistem pendidikan
Islam, perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam, dan perspektif
aksiologi sistem pendidikan Islam.
E. Manfaat
Penelitan
a. Secara
teoritis
Penelitian ini
bermanfaat bagi pengembangan khazanah ilmu pengetahuan khususnya yang
berhubungan dengan psikologi pendidikan islam terutama dalam masalah kajian
teori tentangsistem pendidikan Islam.
b. Secara
Praktis
a.
Bagi para peneliti selanjutnya maka
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan ataupun pijakan dalam
melakukan penelitian selanjutnya yang memfokuskan dalamsistem pendidikan Islam.
b.
Bagi kalangan akademis, maka makalah ini
berguna sebagai bahan referensi dalam aktifitas akademik yang diselenggarakan
yang berhubungan dengan kajian sistem pendidikan Islam.
F. Penegasan
Istilah
Teoritis
Sistem pendidikan Islam yaitu suatu kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
Sistem pendidikan Islam yaitu suatu kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
G. Metode
Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Jenis
peneitian dalam penelitian ini adalah library research yaitu penelitian
akademik yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek
manfaat praktis.
2.
Obyek Penelitian
Yang
menjadi fokus obyek penelitian dalam penelitian ini adalah konsep sistem
pendidikan Islam.
3.
Sumber Data
Sumber
data dalam penelitian ini di bagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan
sumber data skunder. Sumber data primer disini meliputi berbagai macam
informasi baik yang berupa orang maupun buku, literatur, dokumen, serta
data-data lain yang langsung memiliki keterkaitan dengan pembahasan penelitian
ini. Sedangkan sumber data sekunder adalah segala sesuatu yang secara langsung
maupun tidak langsung mendukung terhadap penelitian ini. Sumber data ini juga
meliputi arsip, buku, majalah, dokumen-dokumen ataupun artikel-artikel yang
bisa mendukung penyusunan makalah ini.
H. Sistematika
Pembahasan
Untuk
memudahkan dalam penelitian ini, maka sistematika pembahasan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Bab
I : Pendahuluan, meliputi latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan Penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan
Bab
II : Pembahasan meliputi pengertian sistem pendidikan islam,perspektif ontologi
sistem pendidikan Islam, perspektif epistemologi sistem pendidikan Islam,
dan perspektif aksiologi sistem pendidikan Islam.
Bab
III : Penutup, meliputi penutup, daftar rujukan, dan saran
A. Pengertian
Sistem pendidikan islam
Istilah
sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang artinya: suatu
keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several
parts).[1] Di antara bagian-bagian itu terdapat
hubungan yang berlangsung secara teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan
Anas Sudjana yang mengutip pendapat Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut
“Suatu sistem adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau
terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang
membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks.[2]
Sedangkan
Campbel menyatakan bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian
yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
bangsa dan negara.
Dalam
Islam, istilah pendidikan diyakini berasal dari bahasa Arab yaitu tarbiyah yang
berbeda dengan kata ta’lîm yang berarti pengajaran atau teaching dalam
bahasa Inggris. Kedua istilah (tarbiyah dan ta’lîm)
berbeda pula dengan istilah ta’dzîb yang berarti pembentukan
tindakan atau tatakrama yang sasarannya manusia.[3]
Walaupun
belum ada kesepakatan di antara para ahli, dalam kajian ini yang dimaksud
pendidikan Islam adalah al-tarbiyah, istilah bahasa Arab yang
menurut penulis dapat meliputi kedua istilah di atas. Hal yang sama dikemukakan
oleh Azyumardi Azra bahwa pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks
Islam inhern dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lîm dan ta’dzîb yang
harus dipahami secara bersama-sama.[4]
Dari
pemaparan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam berarti
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
dan negara sesuai dengan ajaran Islam.[5]
Rumusan
ini sesuai dengan pendapat Endang Saefudin Anshari yang dikutip Azra bahwa
pendidikan Islam adalah proses bimbingan oleh pendidik terhadap perkembangan
fisik dan psikis siswa dengan bahan-bahan materi tertentu dengan metoda
tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi
tertentu sesuai dengan ajaran Islam.[6]
Berdasarkan
uraian di atas, yang dimaksud sistem pendidikan adalah sistem
pendidikan Islam yaitu suatu kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur
pendidikan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
Dari
beberapa sumber yang dipelajari, dapat disimpulkan bahwa terdapat 6 komponen
pendidikan yang digunakan dalam acuan penelitian ini yaitu : 1. Tujuan, 2.
Siswa, 3. Pendidik, 4. Isi/materi, 5. Situasi lingkungan dan 6. Alat
pendidikan.
Maka
untuk menghasilkan output dari sistem pendidikan yang bermutu, hal yang paling
penting adalah bagaimana membuat semua komponen yang dimaksud berjalan dengan
baik. Yang mana pendidik, sisawa, materi pendidikan, alat pendidikan dan
lingkungan pendidikan semuanya satu langkah menuju pencapaian tujuan pendidikan
itu.
1) Komponen
Tujuan
Tujuan
pendidikan berfungsi sebagai arah yang ingin dituju dalam aktivitas
pendidikan. Dengan adanya tujuan yang jelas, maka komponen-komponen pendidikan
yang lain serta aktivitasnya senantiasa berpedoman kepada tujuan, sehingga
efektivitas proses pendidikannya selalu diukur apakah dapat dan dalam rangka
mencapai tujuan atau tidak. Dalam praktek pendidikan, baik di lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat luas, banyak tujuan pendidikan yang
diinginkan oleh pendidik agar dapat dicapai oleh siswa. Menurut Langeveld yang
dikutip Noeng Muhadjir terdapat beberapa tujuan pendidikan yaitu: (1) tujuan
umum (2) tujuan tak sempurna, (3) tujuan sementara, (4) tujuan perantara, (5)
tujuan insidental.[7] Di Indonesia tujuan pendidikan
terdiri dari lima tingkatan yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan
institusional, tujuan pendidikan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan tujuan
pembelajaran khusus.
Tujuan
pendidikan nasional adalah tujuan pendidikan yang menjadi acuan tertinggi di
Negara Indonesia apapun bentuk dan tingkatan pendidikannya. Tujuan pendidikan
nasional tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20
Tahun 2003. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi
siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam
perspektif Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Amir Faisal, tujuan
pendidikan Islam pada hakekatnya sama dengan tujuan diturunkannya agama Islam
yaitu untuk membentuk manusia yang bertakwa (muttaqîn).[8] Selanjutnya Faisal merinci manusia
yang bertakwa itu adalah yang:
1) Dapat
melaksanakan ibadah mahdah dan ghair mahdah,
2) Membentuk warga
Negara yang bertanggungjawab kepada masyarakatnya, bangsanya, dalam rangka
bertanggung jawab kepada Allah.
3) Membentuk
dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil untuk memasuki
teknostruktur masyarakatnya.
4) Mengembangkan
tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam.
2) Komponen
Siswa
Siswa/peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam
pendidikan tradisional, siswa dipandang sebagai organisme yang pasif, hanya
menerima informasi dari orang dewasa. Kini makin cepatnya perubahan sosial, dan
berkat penemuan teknologi maka komunikasi antar manusia berkembang amat cepat.
Siswa di samping sebagai objek pendidikan, ia juga sebagai subjek pendidikan,
karena sumber belajar bukan hanya guru, tapi siswa juga dapat menjadi sumber
belajar terutama dalam pembelajaran aktif. Sebagai salah satu input di lembaga
pendidikan juga sebagai komponen yang turut menentukan keberhasilan sistem
pendidikan.
3) Komponen
Pendidik
Pendidik
adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan melatih
peserta didik. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik sebagai pendidik
dan memenuhi beberapa kompetensi sebagai pendidik. Kualifikasi akademik adalah
tingkat pendidikan minimal yang yang dipenuhi oleh seorang pendidik yang
dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan. Sedangkan
kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
serta pendidikan anak pada usia dini meliputi, (1) kompetensi pedagogik, (2)
kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, (4) kompetensi sosial.[9]
4) Komponen
Materi/isi Pendidikan
Materi/isi
pendidikan adalah segala sesuatu pesan yang disampaikan oleh pendidik kepada
siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha pendidikan yang
diselenggarakan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, terdapat syarat
utama dalam pemilihan beban/materi pendidikan, yaitu: (a) materi harus sesuai
dengan tujuan pendidikan, (b) materi harus sesuai dengan kebutuhan siswa.[10]
5) Komponen
Lingkungan Pendidikan
Lingkungan
Pendidikan adalah suatu ruang dan waktu yang mendukung kegiatan pendidikan.
Proses pendidikan berada dalam suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat. Siswa dengan berbagai potensinya
akan berkembang maksimal jika berada dalam sebuah lingkungan yang kondusif.
Sesuai dengan pendapat A. Noerhadi Djamal bahwa lingkungan berpengaruh
besar dan menentukan terhadap kelangsungan berkembangnya potensi diri siswa.[11]
Situasi
lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini
meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural.
Dalam hal-hal di mana situasi lingkungan ini berpengaruh secara negatif
terhadap pendidikan, maka lingkungan itu juga menjadi pembatas pendidikan.[12] Indikator lingkungan pendidikan
adalah sebagai berikut interaksi pelaku, iklim organisasi, dan hubungan antara
madrasah dengan masyarakat.
6) Komponen
Alat Pendidikan
Alat
pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang berfungsi
sebagai perantara pada saat menyampaikan materi pendidikan, oleh pendidik
kepada siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Peristiwa pendidikan ditandai
dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi dapat berlangsung secara
efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping dibutuhkan pemilihan
bahan materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula.
Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai
tujuan. Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat disebut baik diperlukan
patokan (kriterium) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor utama yang
menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.
Dalam
prakteknya paling tidak ada dua macam alat pendidikan. Pertama alat pendidikan
dalam arti metode, kedua alat pendidikan dalam arti perangkat keras yang
digunakan seperti media pembelajaran dan sarana pembelajaran. Alat pendidikan
dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media pembelajaran
yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran aktif dan efektif. Dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP).[13] ditentukan bahwa setiap satuan
pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi, perabot, peralatan
pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis
pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan, seperti perpustakaan dan
laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan
berkelanjutan.
B. Perspektif
Ontologi Sistem Pendidikan Islam
Ontologi
merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakekat hidup. Ontologi
diartikan juga dengan hakekat apa yang terjadi. Masalah – masalah
pendidikan islam yang menjadi perhatian ontologi menurut muhaimin adalah dalam
penyelenggaraan pendidikan islam diperlukan pendirian mengenai pandangan
manusia, masyarakat dan dunia.[14] Lalu pendririan mengenai pandangan
manusia, masyarakat dan dunia yang seperti apa atau yang bagaimana yang
dikehendaki sesuai dengan pendidikan nasional. Menurut Al-Qur’an, manusia diberi
tugas Allah sebagai kholifah. Manusia mendapatkan wewenang dan kuasa untuk
melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri dan manusiapun mempunyai
potensi untuk melaksanakannya. Dengan demikian pendidikan merupakan tanggung
jawab manusia sendiri.
Untuk
dapat mendidik dirinya sendiri, manusia harus memahami dirinya sendiri. Apa
hakekat manusia, bagaimana hakekat hidup dan kehidupannya? Apa tujuan hidup dan
apa pula tugas hidupnya
C. Perspektif
Epistemologi Sistem Pendidikan Islam
Apa
sebenarnya epistemologi itu, Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa
Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan.[15] D.W. Hamlyn Mendefinisikan
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan dan pengandai-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[16] Selanjutnya, pengertian
epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa
epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[17]
Bertolak
dari beberapa pengertian di atas, kiranya dapat dirinci aspek-aspek yang
menjadi cakupan epistemologi atau ruang lingkupnya, yaitu meliputi hakekat,
sumber, dan validitas pengetahuan.
1. Objek
dan Tujuan Epistimologi
Objek
epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “Segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”.[18] Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadi sasaran atau objek teori pengetahuan dan
sekaligus berfungsi menghantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu
merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa
suatu sasaran , mustahil tujuan bisa terealisasi, sebaliknya tanpa tujuan, maka
sasaran menjadi tidak terarah.
Selanjutnya,
apa yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan,
“Tujuan epistemologi bukanlah hal utama menjawab pertanyaan, apakah saya dapat
tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan -kendatipun tidak bisa dihindari- akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin
memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan
tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika
pengetahuan. Rumusan ini menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai dia puas
dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal
untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan
sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih
berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentakan dapat
mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya acapkali tidak
mengetahui prosesnya.
Contoh,
seorang guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa empat kali lima sama
dengan dua puluh (4 X 5 = 20) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, bagi
siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan da hafalannya itu. Dia
akan mengejar bagaimana prosesnya, empat kali lima sama dengan dua puluh. Maka
guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan
mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan
perkalian angka-angka lain. Dengan demikian, seseorang tidak sekedar mengetahui
sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan
pembuktian kontektual melalui proses itu.
2. Landasan
Epistemologi
Landasan
epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab
ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki
landasan yang kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu
cara yang dilakukan ilmu dalam meyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, imu pengetahuan
merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian,
metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu,
sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.
Dari pengertian, ruang lingkup, objek, dan landasan epistemologi ini, dapat
kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan
prosedur bagaimana ilmu itu diperoleh.
Dalam
pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau
pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada
komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat
dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun
aplikatif. Epistemologi pendidikan
Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan
pengembang.
Pendekatan epistemologi membuka kesadaran dan pengertian siswa
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab
ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya.
Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan
tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui
hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui
prosesnya. Berbeda siswa yang hanya diberikan roti kemudian dia menikmatinya,
dengan siswa yang diajak untuk membuat roti, kemudian menikmatinya. Tentunya
pengetahuan siswa yang mengetahui proses pembuatan roti sampai menikmati itu
lebih utuh, kokoh, dan berkesan.
Seandainya pendekatan epistemologi ini benar-benar
diimplementasikan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam,
maka dalam waktu dekat -insyaAllah-siswa dapat memiliki kemampuan memproses
pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. Jika pendidikan Islam
mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar mengajar, maka pendidikan
Islam akan banyak menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa produsen, peneliti,
penemu, penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan. Karena epistemologi
merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi melahirkan
konsekuensi-konsekuensi logis, yaitu :
1. Menghilangkan
paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai,
tetapi bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan,
dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional. Selain itu,
perlu ditambahkan lagi dengan penggunaan indera dan akal pada wilayah obyek
ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan atau menuntun akal untuk mewarnai
ilmu itu dengan keimanan dan nilai-nilai spiritual.
2. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola
partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk
berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang
logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan.
Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk
sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
3. Merubah paradigma idiologis menjadi paradigma ilmiah yang
berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma idiologis ini -karena
otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan
dinamis. Praktis paradigma idiologis tidak memberikan ruang gerak pada
penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal,
wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti,
melakukan observasi, menemukan, ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) 17dengan petunjuk wahyu Allah SWT.18 Dan paradigma
ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu,
agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak
pada wahyu Allah.
4. Guna
menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan
rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini,
menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang
bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun
penelitian terhadap ayat qouliyah atau naqliyah (al-qur’an dan sunnah)
merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah.
Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki
pengetahuan yang komperhensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana
untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum
pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan
transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan.
Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi,
spikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar
pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan
pengalaman empiris.
5. Epistemologi
pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan
wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada perumbuhan yang
integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. 19 Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi satu
sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia
paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu
pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada “semua
bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan tugasnya
sebagai kholifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali kepada Allah
(mentauhidkan Allah)”. Bisa dikatakan bahwa hasil produk integrasi ini
adalah manusia yang beriman tauhidiyah, berilmu amaliyah, beramal
ilmiah, bertaqwa ilahiyah, berakhlak robbaniyah dan berperadaban islamiyah.
6. Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari
pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif.
Dari sini pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk
mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media
pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT.
Sabda Rasulullah SAW : “tafakkaruu filkholqi walaa tafakkaruu fil
khooliq, fainnakum laa taqdiruuna qodrohu” yang artinya “berpikirlah
kamu sekalian tentang makhluk ciptaan Allah, jangan kamu berpikir tentang
Allah, sesungguhnya kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya.” (HR.Abu
Syekh dari Ibn Abas).
7. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan
penguasaan materi yang komperhensif tentang materi ajar yang terintegrasi
antara ilmu dan wahyu.
D. Perspektif
Aksiologi Sistem Pendidikan Islam
1. Pengertian
Aksiologi
Aksiologi
adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai
merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama.
Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu
bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.[19]
Menurut
Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu
pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui
bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan
demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman
nilai yang senantiasa bertambah.[20]
Aksiologi
ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau
dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti
epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah
kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan.[21]
Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih
akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the
theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and
wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten
untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good).
Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara
tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam
“seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi
terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral
dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.[22] Secara etimologis, istilah
aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios”
yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[23]
2. Karakteristik dan Tingkatan Nilai
1. Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teroi
nilai, yaitu: :
a. Nilai
objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya,
maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan
penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
b. Nilai
absolute atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai
yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta
abash sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras,
maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua
nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan
tingkatan/hierarki nilai :
1.
Kaum
Idealis, Mereka berpandangan secara
pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada
nilai non spiritual (niai material).
2.
Kaum
Realis, Mereka menempatkan
niai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan
realitas objektif, hokum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3.
Kaum
Pragmatis, Menurut mereka, suatu
aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang
penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap
nilai-nilai yang meghargai masyarakat.
3. Jenis
Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan
menjadi 2 yaitu :
a. Etika dan Pendidikan
EtestikaIstilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani)
yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam
bidang etika menyubutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti
kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis
tentang nilai, ilmu kesusilaan yang meuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan
moral pelaksanaannya dalam kehidupan.
Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan
perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika
merupakan filsafat tentang perilaku manusia. Filsafat Pendidikan Islam dan
Etika Pendidikan Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan
erat.
Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia
untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk
mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.Sangat sulit membayangkan
perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama.
Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual
yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan
pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat
dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik
itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.
Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif.
Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental-moral dan spritual
religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam.
Oleh sebab itu -berdasarkan pada pendekatan etik moral-
pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan
keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan
tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar
yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.[24]
b. Estetika dan Pendidikan
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan
kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni.
Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat
dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dan sebagainya. Filsafat
Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan. Adapun yang mendasari hubungan antara
filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan
kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni.
Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh
Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni :
Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman, Seni
sebagai alat kesenangan, Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang
pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu,
maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting
dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan
estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari
perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu
siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan
Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif,
berseni (sesuai dengan Islam).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah
yang telah penulis ajukan dimuka tadi maka penulis membuat kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Sistempendidikan Islam yaitu suatu kesatuan
komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam.
2.
Ontologi diartikan juga dengan hakekat
apa yang terjadi. Masalah – masalah pendidikan islam yang menjadi perhatian
ontologi menurut muhaimin adalah dalam penyelenggaraan pendidikan islam
diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Lalu
pendririan mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia yang seperti apa
atau yang bagaimana yang dikehendaki sesuai dengan pendidikan nasional.
3.
Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu
membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin
dipikirkan. Atau juga bisa dipahami bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan
pengandai-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
4.
Dalam perspektif aksiologi berarti pendidikan
Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif,
berseni (sesuai dengan Islam).
B. Saran
Sekiranya dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan mohon pembaca dengan kritik dan sarannya dapat mengirimkan ke alamat
website saya: http://alawiyahblog2.blogspot.com/
[2] Anas
Sudjana, Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung:
Rosda Karya, 1997), 21-26
[5] Imam Barnadib, Sistem
Pendidikan Nasional Menurut Konsep Islam dalam ”Islam dan Pendidikan
Nasional” (Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN, 1983), 135-136.
[6] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), 65
[10] Djohar, Evaluasi
atas Arah Pendidikan dan Pemikiran Fungsionalisasi Pendidikan Indonesia untuk
Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik (Jakarta: Yayasan Fase Baru
Indonesia, 25 Oktober 1999), 7
[11] A
Nurhadi Djamal, ”Ilmu Pendidikan Islam Suatu Telaah Reflektif
Qur’an” dalam Ahmad TafsirEpistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam (Bandung:
Fakultas Tarbiyah IAIN SGD, 1995), 27
[12] A.
A. Navis, ”Pendidikan dalam Membentuk Bangsa” makalah disampaikan dalam
Diskusi Ahli tentangPendidikan untuk Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik (Jakarta:
Yayasan Fase Baru Indonesia, 25 Oktober 1999), 7
[13] A.
A. Navis, ”Pendidikan dalam Membentuk Bangsa” makalah disampaikan dalam
Diskusi Ahli tentangPendidikan untuk Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik …,
4
[17] Syahminan Zaini, “Prinsip-prinsip
Dasar Konsepsi Pendidikan Islam” (Jakarta:Kalam Mulia, 1986), 4
[20] Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak Syari’ah IAIN
SUSQA). Filsafat Umum Suatu Pengantar. Untuk Kalangan
Sendiri, 33
[21] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih
Bahasa Soejono Soemargono( Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996), 327
[24] http://elmuttaqie.wordpress.com dari A.
Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam & Dakwah (Yogyakarta : SIPress, 1994), 256
Tidak ada komentar:
Posting Komentar