A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul
secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit
para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat
Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada
masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam
kehidupan mereka.
Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam
kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu
berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka
mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum-
hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera
menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam
penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah
untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang
yang mereka temui.
"بلغوا عنى ولو أية"
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”
Dalam hadits lain disebutkan
,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "
“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada
yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang
menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang
mendengar (langsung dariku).
Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits.
Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah
maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah
diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh
langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara–saudara mereka
yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut
berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
- Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
- Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
- Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya
Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke
mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak
bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits.
Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan
hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah,
dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya
hadits Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi,
"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa
yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya.
Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka
bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan
menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman
bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya
hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi
al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan
tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di
kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang
penulisan dan pembukuan hadits adalah :
- Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
- Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
- Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa
fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah
membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada
seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato
tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk
Abu Syah.
"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain),
tuliskanlah untuknya.”
B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar
Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan
semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan
bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan
yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn
al-Khattab.
Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan
Periwayatan Hadits
(عصر تقليل رواية الحديث).
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah
penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam
permasalahan yang umum.
Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua
khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap
periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus
dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang
diriwayatkan oleh Imam Malik.
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh
Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab,
"Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku
meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku
dengan cambuknya."
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam
menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun
di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits.
Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah
riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki
orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka
untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua."
2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua
khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah
khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para
sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu
Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan
ini lebih banyak daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut
dengan عصر إكثار رواية الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik
pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu,
wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk
mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.
Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah
berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah
dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan
politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa
dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong
pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh
periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri
pada 2 tipologi periwayatan.
- Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
- Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika
ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap
saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak
dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil
dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan
jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk
mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah
dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan
upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits.
Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan
dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah
semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan
hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang
paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah
ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya
hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam
terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits
mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah
Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan
pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan
mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang
bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits
golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh
golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai
"Pabrik Hadits Palsu".
2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat
banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya
:
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
b. Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
c. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
d. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
e. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
f. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori
kodifikasi hadits)
g. Mesir
-Yazid ibn Habib
h. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani
PERIODE MUTAAKHIRIN
Yang dimaksud dengan mutaakhkhirin adalah periode anatara Abab IV-VII Hijriyah.
Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan
penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi pada masa dinasti ’Abba
siyah angkatan ke dua yaitu pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai
al-Mu’tasim Billah.
Pada periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi
tudak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak sedikit
ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dan
mengembangkan hadis.
Pada periode ini ulama pada umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis
terdahulu, sebab pada IV H hadis-hadis telah terhkodofikasi dalam bentuk kitab
sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling
menonjol pada periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis
Nabi saw yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa
dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang dengan
tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang
saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab
yang telah disusun oleh mutaqaddimin.
Para ulama hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan mnyusun hadis dalam
bentuk mus}annaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru seperti
Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;
1. Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan bagian-bagian
matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan saanad dan matannya,
ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah; Atraf
alSahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H), Atraf al-Sahihaini karya Abu
Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah
karya Ibnu Asakir (w. 571 H), Atraf Kutub al-Sittah karya Muhmmad Ibnu Tahir
al-Dimasyqi (w. 507 H), Atraf al-Ahadis} al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani
(w. 852 H), Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H), Atraf al-Masand
al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).
2. Kitab Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian penyusun
meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda. Dianatara
kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah; Mustakhraj Sahih
al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216
H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan
al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ih}ya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali,
Takhrij ahadis al-Baagawi karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij
hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij
ahadis al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis
yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).
3. Kitab al-Mustadrak adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan
syarat-sayarat al-Bukhari dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya,
dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah :
al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya
al-Daruqutni(w. 385 H).
4. Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitan yang telah adalah,
dianatar kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk seperti ini adalah;
1. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim:
- Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
- Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-H{umaidi (w. 488 H)
- Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)
2. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadi dari Kutub al-Tis’ah:
- Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan oleh Ibnu al-Asir al- Jazairipada kitab yang diberi judul ”al-Jami’u al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
- Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
3. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
- Maabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al- Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih}”
- Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w. 579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-Tabari.
- Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).
4. Kitab yang disusun berdasarkan pokok masalah, dianatara kitab-kitab hadis
yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan masalah-masalah tertentu dari
kitab-kitab hadis terdahulu adalah :
1. Himpunan Hadis-hadis hukum
- Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majdu al-Din Abdussalam Ibnu Abdillah (w. 625 H)
- Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baihqi (w. 458 H)
- Al-Ahkam al-Sugra, karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H)
- ’Umdatu al-Ahkam, karya Abdulgani al-Maqdisi (w. 582)
- Bulug al-Maram min Adillat al-Ah}kam karya Ibnu H{ajar al-’Asqalani.
2. Himpunan hadis-hadis al-Targib wa al-Tarhib (hadis-hadis tentang
menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri perbuatan dosa yang dibenci)
salah satu diantara kitab tersebut adalah kitab al-Targib wa al-Tarhib karya
al-Munziri (w. 656 H)
Pada abad VII selain karya-karya ulama dalam bidang hadis yang disusun dalam
bentuk mustakhrajat dan atraf, juga para ulama abad VII dan seterusnya menyusun
karya dalam bentuk syuruh, mukhtas\arat, al-zawaid, dan ma’ajim. Adapun
karya-karya para ulama pada abad VII dan seterusnya dapat diklasifikasiakan
sebagai berikut:
1. Kitab al-Syuruh mrupakan kitab hadis yang memuat uraian dan penjelasan
terhadap atas kandungan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya ulama
Mutaqaddimin dengan memberikan beberapa hubungan dengan atau relasi baik dari
Al-Qur’an , hadis, maupun kaodah-kaidah syara’ lainnya. Adapun karya-karaya
yang disusun dalam bentuk syuruh dapat diklasifikasikan berdasarkan kitab-kitab
himpunan sebagai berikut:
1. Kitab Syarah untuk Sahih al-Bukhari
- Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani
- Irasyad al-Sari oleh al-Qast}lani (w. 923 H)
- ’Umadat al-Qari’ oleh al-’Aini (w. 855 H)
2. Kitab Syarah untuk Sahih Muslim
- Al-Minhaj oleh al-Nawawi
- Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi (w. 743 H)
- Kitab Syarah untuk al-Sahihain: Zad al-Muslim oleh al-Syinqiti
- Kitab Syarah untuk Sunan Abu Daud :
- ’Aun al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-’Azim al-Abadi bersama dengan syarah Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah.
- Ma’alim al-Sunan oleh al-Khattabi (w. 388 H)
5. Kitab syarah untuk Sunan al-Tirmizi
- Tuhfat al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
- ’Arid} al-Ah}wazi oleh Ibnu al-’Arabi (w. 543 H)
6. Kitab Syarah untuk Sunan al-Nasa’i
- Ta’liq oleh al-Suyuti
- Ta’liq oleh al-Sindi
7. Kitab syarah untuk Sunan Ibnu Majah
- Ihdau al-Dibajah oleh Ahmad al-’Adawi
- Syarah Suanan Ibnu Majah oleh al-Maglatayi (w.767 H)
8. Kitab-Kitab Syaraj untuk Himpunan Hadis-hadis Ahkam
- Subul al-Salam oleh al-San’ani terhadap Bulug al-Maram oleh Ibnu Hajar al-’Aqalani
- Nail al-Autar oleh al-Syaukani terhadap muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Abdussalam.
- Kitab Mukhtasarat adalah kitab yang berisi ringkasan-ringkasan dari satu kitab hadis. Diantara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk muktasarat adalah: kitab al-Jami’ al-Sagir karya al-Suyuti dan kitab Mukhtasar Sahih Muslim.
- Kitab Zawaid adalah kitab yang didalamnya terhimpun hadis-hadis yang terdapat dalam satu karya mutaqaddimin tertentu dan tidak terdapat dalam kitab himpunan hadis lainnya, salah satu kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah Zawaid al-Sunan al-Kubra oleh al-Busiri, yang mnghimpun riwayat-riwayat yang terdapat dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihqi yang tidak terdapt dalam Kutub al-Tis’ah.
- Kitab Ma’ajim atau disebut juga dengan kitab indeks hadis yakni kitab yang berisi perunjuk-petunjuk praktis untuk mempermudah pencarian matan-matan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab himpunan hadis riwayah tertentu, salah satu dianttara kitab tersbut adalah Miftah Kunuz al-Sunnah yang merupakan terjemahan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dari karya A.J. Wensink, kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam 14 kitab himpunan hadis, dan disusun dalam bentuk tematik.
Selain dari kitab-kitab di atas pada abad VII dan seterusnya tersusun pula
kitab himpunan hadis-hadis Qudsi dianatar kitab himpunan hadis-hadis Qudsi
adalah : Al-tuhfah al-Saniyyah oleh Al-Munnawi dan al-Kalimat al-Tayyibah oleh
Ibnu Taymiyyah, dan banyak lagi lainnya.
PENELITIAN HADITS PERIODE KONTEMPORER
Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimin dan disempurnakan
pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian
melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan
mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara
metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer
dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai
berikut:
- Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
- Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtas\ar Sahih Muslim.
- Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
- Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah :
- Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah sanad.
- Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah, maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-Hadis.
- Program Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh para ulama baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar