Mengenal Sosok
Suhrawardi
Nama lengkap Suhrawardi adalah Abu al-Futuh
Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada
tahun 549 H/ 1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat
Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of
Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Sebagaimana umumnya para intelektual muslim,
Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya.
Wilayah pertama yang ia kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan .
Di kota ini ia
belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk
memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini. Tampaknya
tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh bagi
Suhrawardi.
Pengembaraan ilmiahnya kemudian berlanjut ke
Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir al-Din al-Qari. Dia juga
mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan
al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan perjalanannya ke Anatolia Tenggara dan
diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan
Suhrawardi berlanjut ke Persia
yang merupakan “gudang” tokoh-tokoh sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran
tasawuf dan akhirnya menekuni mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya
mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus
mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani
hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola
hidup seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian
sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan
sebagai seorang filosof sekaligus sufi.
Perjalanannya berakhir di Aleppo ,
Syria .
Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha sehingga akhirnya ia dihukum
penjara oleh gubernur Aleppo Malik al-Zahir atas perintah ayahnya Sultan
Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang tidak suka dengan
pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M/578 H dalam
usia 36 tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender qamariyyah). Namun
demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui secara pasti, hanya
menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya yang tragis ini
merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya yang berseberangan
dengan para tokoh pada masa itu.
Kondisi Sosial dan
Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi
Melihat pada tahun hidupnya, peradaban Islam pada masa Suhrawardi berada pada fase kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah panjang peradaban Islam, terutama sejak bani Abbasiyah menjadi penguasa dunia Islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiah klasik ke dalam bahasa Arab peradaban Islam terus berkembang. Kegiatan penerjemahan ini pada gilirannya mendorong lahirnya para intelektual muslim dengan berbagai karya monumental mereka sebagai indikator yang paling real bagi masa keemasan Islam mulai abad X hingga mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara garis besar, wacana pemikiran Islam
pada masa ini memiliki tiga alur utama, pertama, falsafi yang dipelopori oleh
tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, kedua, mistis
(tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, dan al-Ghazali di
antara pionir-pionirnya, ketiga¸ gabungan dari dua aliran itu melahirkan aliran
yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran teosofi ini selain bertumpu pada
rasio, ia juga bertumpu pada rasa (dhawq) yang mengandung nilai mistis.
Berdasarkan pembagian ini, agaknya pada aliran ketiga inilah Suhrawardi
mengembang-kan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai orang yang mencoba menggabungkan dua
aliran pemikiran yang sudah berkembang, pemikiran Suhrawardi tentu tidak
terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran itu. Dalam bidang filsafat,
Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Zoroasterianisme, filsafat
Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus, serta al-Farabi dan Ibn Sina
dari kalangan filosof Islam. Di samping itu, sebagai seorang sufi, Suhrawardi
juga banyak terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya seperti Dhu al-Nun
al-Mis}ri (w. 860), Abu Yazid al-Bustami (w. 974), dan al-Ghazali (w. 1111).
Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang sebagai wujud ketidak-puasannya
terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.
Karya-karya Suhrawardi
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein
Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima
kategori sebagai berikut :
·
Memberi interpretasi
dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara
lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan H}ikmah
al-‘Ishraq.
·
Membahas tentang
filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami :
Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
·
Karya yang bermuatan
sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al
Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
·
Karya yang merupakan
ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi
al-‘Ishq.
·
Karya yang berupa
serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).
Ajaran Tarekat Suhrawardiyah
Sebagaimana ditegaskan oleh Abu
al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah terdapat
pada kitab Awarif
al-Ma’arif yang
banyak membicarakan tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa
ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
- Ma’rifah, yaitu
mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan
memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti
memahami wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah
adalah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan
amalan-amalan, kemudian meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi
mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud dihadapan Allah.
Ma’rifah
ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :
a.
Setiap akibat yang timbul
adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah);
b.
Setiap akibat yang berasal dari
Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah;
c.
Dalam keangungan setiap sifat
Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah;
d.
Sifat Ilmu Allah, diketahui
dalam ma’rifah-Nya sendiri.
- Faqr, yaitu
tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke
tujuan, kecuali jila ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang
menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah
sekedar angan-angan belaka.
Sebab Faqr bermakna
tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak
memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki
harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam
kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang
lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik
hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta,
sifat alami itu tidak akan berubah.
Dalam hal ini ada beberapa
golongan Faqr, yaitu :
·
Mereka yang memandang dunia dan
harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan
memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam
kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti;
·
Mereka yang tidak
memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya
dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun;
·
Mereka yang dengan kedua sifat
ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral
Allah;
·
Mereka yang tidak menganggap
zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal,
maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan
apa-apa di dunia dan di akhirat.
3
Tawakkul,
yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan jaminan
rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan),
sebab yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari
kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini
terbagi kepada dua, pertama Tawakkul al-inayah,
artinya tawakal dalam anugerah Allah, keduatawakkul al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan
dan kehendak Allah, bukan tawakal dalam kecukupan.
4
Mahabbah,
artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal,
seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan
hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Ada dua jenis mahabbah :
1). Mahabbah ‘am, yaitu
mahabbah yang memiliki sifat :
a.
kecenderungan hati untuk
memperhatikan keindahan sifat-sifat;
b.
Sebuah bulan muncul karena
memandang sifat-sifat keindahan;
c.
Seberkas cahaya yang mengisi
wujud;
d.
Sebuah tanda yang berkata “aku
meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat
gamblang”;
e.
Anggur terbaik, tersegel dan
terperam oleh waktu;
f.
Sejenis anggur yang murni dan
tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat.
2). Mahabbah Khas, memiliki
sifat :
a.
Kecenderungan jiwa untuk
menyaksikan keindahan zat;
b.
Bagaikan matahari, yang terbit
dari horizon zat;
c.
Api yang memurnikan wujud;
d.
Sebuah tanda yang berkata
“jangan hidup dan jangan terbakar”;
e.
Benar-benar sumber murni;
f.
Sejenis anggur kemurnian dalam
kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
5
Fana’ dan Baqa’,
Fana’ artinya akhir daei
perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam
Allah. Perjalan menuju Allah berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan di
dalam Allah bisa diuji ketika, sesudah fana’ mutlak.
Ada
yang mengatakan fana’ berarti :
a.
Fana’ dalam berbagai perbedaan;
b.
Menurunnya keinginan akan
segala kesenangan duniawi;
c.
Menurunnya keinginan akan
segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti;
d.
Menurunnya kadar sifat-sifat
tercela;
e.
Tersembunyinya segala sesuatu.
Sementara
Baqa’ berarti :
- Baqa’ dalam keselarasan;
- Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di
akhirat kelak;
- Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah;
- Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji;
- Kehadiran Allah. Fana terbagi pula
kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan
keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat
dan zat).
Pemikiran Teosofis
Suhrawardi
Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari
kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang
berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti
pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan.
Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaannya terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.
Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan
bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh
melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang
yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan
penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.
Konsep Teosofi Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada
konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara
rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung
makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat
matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi,
Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah
pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal
sebagai wajib al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3)
sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri
sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan
dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak
al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs
al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al
yang menyebabkan adanya alam. (Gambaran lengkap mengenai emanasi al-farabi dan
Ibn Sina lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai pembanding dari teori emanasi di
atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang
sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi.
Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal
sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah.
Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan
kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal
seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki
persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh
karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah
akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis
proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur
al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna,
Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah.
Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab.
Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya
terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya
kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari
cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam,
begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak.
Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya
menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator
meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga
setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar
secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah
pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah
ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang
digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi
Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh
tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II
memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV
memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI
memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya
VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan
cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran
sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di
atasnya.
Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi
ini juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada
tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh
secara berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of
fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of mars,
the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of mercuri, the sphere
of moon, the sphere of ether, dan the sphere of zamharir yang dikenal sebagai
ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang
iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nu>r ayat 35
berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi
pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang
menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita
besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali
terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur
al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak
cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti
inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka
agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi
Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.
Pengaruh Teosofi
Suhrawardi
Suhrawardi boleh saja dihentikan hidupnya, akan tetapi warisan yang ditinggalkannya tetap hidup. Dia mampu survive di tengah kekuasaan yang mengekang kebebasan intelektualnya. Idealisme tinggi yang ia miliki mendorongnya untuk tetap berjuang mempertahankan apa yang diyakini sebagai kebenaran.
Hasil pemikiran Suhrawardi juga mampu
mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Hal ini dapat ditelusuri melalui
karya-karya yang muncul belakangan yang indikatornya antara lain terlihat dari
adanya tanggapan yang ditunjukkan oleh generasi setelahnya baik berupa
komentar, sanggahan ataupun kritik. Pengaruh pemikirannya ini dapat ditelusuri
melalui aspek geografis, kontinuitas hubungan antara guru dan murid, dan
perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya.
Dari aspek geografis, pengaruh pemikiran
Suhrawardi berkembang di Persia
lalu menyebar ke India-Pakistan , Syria , Anatolia ,
dan bahkan ke Eropa. Di Persia perkembangan pengaruh pemikiran Suhrawardi ini
didukung oleh beberapa faktor antara lain : faktor tanah kelahiran, faktor historis
dan kultur, serta dukungan politis penguasa Safawi terhadap pengembangan
intelektual di Persia .
Di India penyebaran pengaruh pemikiran Suhrawardi berawal dari penerjemahan karya-karyanya, terutama karya monumentalnya Hikmah al-Ishraq yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Sanskrit. Penyebaran ini juga ditopang oleh perhatian penguasa, seperti Sultan Muhammad ibn Tughlug (1325 M), yang besar terhadap pengembangan intelektual di
Jejak pemikiran Suharawardi di Syria dan Anatolia
dapat ditelusuri melalui koleksi-koleksi manuskrip yang terdapat di
perpustakaan Turki. Data-data koleksi pustaka yang ada mengindikasikan bahwa
pemikiran Suhrawardi juga dipelajari oleh para sarjana Turki. Sementara itu,
seperti sudah diketahui bahwa dalam pengembaraan intelektualnya Suhrawardi
pernah singgah di Syiria untuk berdiskusi dan berdebat dengan para sahabatnya.
Dari diskusi dan perdebatan itu serta sejumlah karya yang ia selesaikan di Syria
ikut membuka peluang bagi dipelajarinya pemikiran Suhrawardi di negeri ini.
Berbeda dengan kawasan-kawasan yang telah
disebutkan di atas, di Eropa, pemikiran Suhrawardi pada mulanya kurang mendapat
perhatian yang serius, tidak seperti filosof muslim lainnya seperti Ibn Sina,
al-Farabi, dan Ibn Rushd yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Eropa. Karya-karya Suhrawardi tidak diterjemahkan sehingga mereka
tidak mengenal dengan baik pemikiran teosofis Suhrawardi.
Baru pada abad XX sejumlah sarjana Barat
seperti Carra de Vaux, Max Horten, Lois Massignon, Otto Spies, dan Henry Corbin
mulai melirik karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap sebagai tokoh penting
pasca Ibn Sina.
Sedangkan dari segi kontinuitas hubungan
antara guru dan murid serta perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya,
pengaruh pemikiran Suhrawardi ini terlihat dari lahirnya tokoh-tokoh yang
berusaha melestarikan ajarannya dari abad ke abad. Pada abad XIII, misalnya,
lahir komentator pemikiran Suhrawardi seperti Shams al-Din Muhammad Shahrazuri
(w. 1288) dan Sa’d bin Mans}ur
Ibn Kammunah (w. 1284). Pada abad XIV muncul tokoh Qut}b al-Din al-Shirazi (w.
1311), pada abad XVI ada Jalaluddin Muhammad Ibn Sa’d al-Din al-Dawwani (w.
1502) dan Ghiyath al-Din Mans}ur al-Shirazi (w. 1542), pada abad XVII lahir
tokoh Muhammad Sharif Niz}am al-Din al-Harawi dan S}adr al-Din al-Shirazi, pada
abad XIX terdapat Mulla Ali Nuri (w. 1830) dan Mulla Hadi Sabziwari (w. 1878),
dan pada abad XX terdapat tokoh Muhammad Hussein Tabattaba’i serta Seyyed
Hossein Nasr.
Penutup
Dari serangkaian pembahasan yang tertuang
dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan filosof muda
Islam yang sangat cerdas sehingga mampu membongkar pemikiran-pemikiran para
filosof peripatetik yang sudah mapan sebelumnya, sekaligus menawarkan sebuah
pemikiran baru yang bercorak filosofis-mistis, yang kemudian lebih popular
dengan sebutan teosofi.
Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas proses penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas proses penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini dibangun
dengan cara yang sama dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui pancaran
atau limpahan, tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua teori ini.
Hal tersebut dapat terlihat pada instrumen yang digunakan dan keberlangsungan
proses pancaran dari kedua teori tersebut. Bila teori emanasi menggunakan
istilah akal sebagai instrument, maka teori iluminasi menggunakan istilah
cahaya yang inspirasinya diambil dari Q.S. al-Nu>r ayat 35. Bila pada teori
emanasi penyebaran akal hanya terbatas pada akal ke-10, maka pada teori
iluminasi pancaran cahaya itu tidak terbatas. (artikel ini ditulis oleh teman
penulis bernama al-Mujahidin, seorang guru Agama Islam di Kepulauan Riau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar