Tarekat
Alawiyyah atau Tarekat Ba 'Alawi adalah tarekat sufi Islam sebagai
warisan dari Nabi Muhammad, Ahlul bait, Alawiyyin dan ulama,
Thariqah Alawiyyah adalah
suatu thariqah yang ditempuh oleh para salafus sholeh.
Dalam thariqah ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnahkepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri
tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati
dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.
Penjelasan di atas dinukil dari buku Qutil Qulub, karya Abul Qosim Al-Qusyairy,
dan dari beberapa kitab lain.
Mereka
menerangkan dengan terinci, bahwa thariqah As-Saadah Bani
Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka :
dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya.
Demikian
seterusnya mereka menyampaikan thariqah ini kepada anak cucu mereka sampai saat
ini. Oleh karenanya, thariqah ini dikenal sebagai thariqah yang langgeng sebab
penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati. Dari situlah
dapat diketahui, bahwasanya thariqah ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan
As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya.
Jelasnya,
Thariqah Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah
mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni
muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis
ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab.
Dengan
kata lain, thariqah ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan
Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia). Selain itu,
thariqah ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh)
dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi.
Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke
tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga
tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di
zamannya.
Banyak
pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan
Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh
kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para
pendiri dan penerusnya, thariqah ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap
eksis sampai saat ini.
[Diambil
dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 1-5, penerbit 'Isa
Al-Khalabi Mesir]
Thariqoh Sa’adah Bani Alawi
Al-Habib
Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawi pernah ditanya, “Apa dan
bagaimana thariqah Saadah Aal Abi ‘Alawi (keluarga Bani Alawy) itu?. Apakah
cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah?. Apakah
terdapat pertentangan di antara mereka?. Apakah thariqah mereka bertentangan
dengan thariqah-thariqah yang lain?.” Beliau pun menyampaikan jawabannya
sebagai berikut : “Ketahuilah, sesungguhnya thariqah Saadah Aal Abi ‘Alawi
merupakan salah satu thariqah kaum sufi yang
asasnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah, pokoknya adalah sidqul
iftiqôr (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhûdul minnah
(menyaksikan bahwa semuanya merupakan karunia Allah).
Thariqah
ini mengikuti ittiba’ manshûsh dengan cara khusus dan menyempurnakan semua
dasar (ushûl) untuk mempercepat wushûl. Melihat hal ini, maka thariqah Saadah
Aal Abi ‘Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan
mempelajari hukum-hukum dhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan
universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang mengikat
orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan bahwa kedudukan
manusia dalam beragama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus
untuk orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash, ilmu
yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas.
Demikian
itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut.
Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya
perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh
kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi
adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam
bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang
diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya.
Jalan
ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan
tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan
seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta
mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh
orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan
perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah, sebagaimana
syairku dalam Ar-Rasyafaat.” [Diambil dari 'Iqdul Yawaaqiitul Jauhariyyah,
Al-Habib Idrus bin Umar AlHabsyi]
Intisari Thariqoh ‘Alawiyyah
Kalam
Al-Habib Muhammad bin Husin bin Ali Ba’bud Sesungguhnya asas thariqah para
salafunas sholihin dari Bani Alawy yaitu adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, dan
yang menjadi bukti tentang itu semua adalah perjalanan hidup mereka yang
diridhoi oleh Allah dan hal ihwal mereka yang terpuji. Secara garis besar,
thariqah mereka itu adalah sebagai berikut : -Menjaga waktu-waktu yang
diberikan Allah dan memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah dan mendekatkan
diri kepada-Nya. -Selalu terikat dan hadir dalam majlis-majlis ilmu dan majlis
yang bersifat dapat mengingatkan diri kepada Allah. -Berakhlak dengan adab-adab
yang baik, menjauhi ketenaran, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, dan
menghilangkan semua atribut kecuali atribut kebaikan. -Membiasakan diri dalam
membaca dzikir terutama dzikir-dzikir Nabawiyyah sesuai dengan batas
kemampuannya, seperti amalan-amalan dzikir yang disusun oleh Al-Imam Abdullah
bin Alwi Alhaddad.
Ziarah
kepada para ulama dan auliya baik yang masih hidup ataupun yang telah
meninggal, selalu ingin bermaksud menghadiri perkumpulan-perkumpulan yang penuh
dengan dzikir khususnya yang mengandung unsur mengingatkan diri kepada Allah,
dan menghadirinya dengan penuh rasa husnudz dzon (berbaik sangka), dengan
syarat bahwa perkumpulan-perkumpulan tersebut bebas dari perbuatan-perbuatan
mungkar yang dipandang oleh agama.
[Diambil
dari Nafaaisul 'Uquud fii Syajaroh Aal Ba'bud, karya Al-Habib Muhammad bin Husin
bin Ali Ba'bud, hal. 15, manuskrip]
Dimanakah Para Salaf Bani Alawy Berjalan ?
Kitab
Ar-Risalah Al-Muawanah, karangan Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad. Di dalam
buku tersebut, Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata : “Hendaklah
kamu selalu membaikkan dan meluruskan aqidah dengan mengikuti kelompok yang
selamat, yang dikenal di antara berbagai kelompok Islam sebagai Ahlu Sunnah wal
Jamaah, yang berpegang teguh pada teladan Rasulullah serta para Sahabatnya.”
Buku Aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, yang dibiayai oleh Al-Habib Al-Qutub
Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik untuk disebarkan. Pada cover depan buku
tersebut, Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata dalam suatu syairnya yang
berbunyi : “Jadikankanlah Asy’ariyyah sebagai aqidahmu…” (Asy’ariyyah
adalah salah satu dari 2 aliran aqidah dalam Ahli Sunnah wal Jamaah, disamping
Maturidiyyah)
Kitab
‘Uquudul Almas, karangan Al-Habib Alwi bin Thohir Alhaddad Mufti Johor, hal.
89. Di dalam buku tersebut, Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata :
“Hendaklah kamu membentengi aqidahmu dan memperbaiki pondasinya di atas jalan
kelompok yang selamat, yang dikenal di antara seluruh firqoh-firqoh Islam yaitu
kelompok Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang berpegang teguh dengan apa-apa yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau.”
Kitab
Majmu’ Kalam Al-Imam Abdulah bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, karangan Al-Imam
Abdulah bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, hal. 105. Di dalam kitab tersebut,
Al-Imam Abdulah bin Husin Bin Thohir Ba’alawy berkata : “Sesungguhnya
itulah jalan yang ditempuh oleh sebagian besar para Tabi’in dengan mengikuti jalan
para Sahabat, begitu juga hal ini diikuti oleh Tabi’ Tabi’in seperti Al-Imam
Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Malik, Al-Imam Abu Hanifah, dan
juga diikuti oleh orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka, dan seperti
para Saadah kita. Maka Itulah mereka yang disebut Sawaadhul A’dhom dan golongan
yang selamat.
Karena mereka berjalan di atas apa-apa yang telah dijalankan oleh
Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau dengan sebaik-baiknya aqidah dan suluk
di atas jalan kebenaran dan petunjuk dengan tanpa mengecam salah seorang pun
dari para Sahabat dan tidak juga mengundat (mencaci/melaknat) mereka…”
kitab
Al-’Iqdul Yawaaqit Al-Jauhariyyah, karangan Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi,
juz 1, hal. 28. Di dalam buku tersebut, Al-Imam Idrus bin Umar Alhabsyi
berkata : “…Maka menjadi sucilah lembah itu (Hadramaut) berkat adanya
Al-Fagih Al-Muqoddam. Beliau senantia sa membangun pondasi ketakwaan di masjid
yang ada di lembah itu, sehingga semakin tampaklah disana aqidah Ahli Sunnah
wal Jamaah…”
Kitab
Al-Maslak Al-Qorib, karangan Al-Imam Thohir bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, pada
bagian akhir. Di dalam buku tersebut, Al-Imam Thohir bin Husin Bin Thohir
Ba’alawy berkata : “Sesungguhnya thariqah Alawiyah adalah suatu thariqah
dari golongan sufi yang berdasarkan atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang
bersumber dari para Sahabat yang mulia, Tabi’in dan para pengikut Tabi’in yang
utama…”
(Hal senada di atas juga telah diungkapkan oleh Al-Habib Umar bin
Muhammad Bin Hafidz dalam kitabnya Khulasoh Al-Madad An-Nabawi, hal. 26)
Kitab
Al-’Alam An-Nibros, karangan Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, penerbit ‘Isa
Al-Khalabi Mesir. 1. Di dalam buku tersebut, hal. 6-8, Al-Imam Abdullah bin
Alwi Al-Atthas berkata : “…Dalam segi akidah, mereka tidak menyimpang
walau seujung kaki semut pun dari akidah Asy’ariyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah
dengan bermadzhabkan Syafi’i…” 2. Di dalam buku tersebut, hal. 10-15, Al-Imam
Abdulah bin Alwi Al-Atthas berkata : “…Mereka itulah yang dikatakan
sebagai golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dikategorikan pada golongan yang
selamat bersama Nabi SAW…”
Kitab
Maulud Simtud Duror, Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi, pada bagian
syair. Dalam syairnya, beliau berkata : “Ya Allah, berilah kekuatan pada
kami untuk berjalan di atas jalan yang benar, yaitu di atas jalan Nabi dan
jalan yang ditempuh Saadah Syadziliyyah.” Dalam riwayat lain ditulis
dengan : “…dan jalan yang ditempuh Saadah Alawiyyah.” (Dua-duanya, baik
Thariqah Syadziliyyah ataupun Alawiyyah berada dalam koridor Ahli Sunnah wal
Jamaah) Kitab Al-Bidh’ah Al-Muhammadiyyah, Al-Ustadz Alwi bin Muhammad
Bilfagih, hal. 137-140, dalam bab Madzhab Al-Imam Al-Muhajir.
Di
dalam buku tersebut, Ustadz Alwi menuliskan : “Sungguh teranglah bahwa
madzhab Al-Imam Al-Muhajir adalah madzhab Asy-Syafi’i dan tidak berseberangan
dengan jalan yang ditempuh oleh para datuknya. Menurut sumber-sumber sejarah di
masa itu dikatakan bahwa beliau menganut madzhab Imamiyyah. Akan tetapi menurut
sumber-sumber yang lebih dapat terpercaya, pendapat tersebut tidak dapat
diterima. Apalagi ada bukti yang lebih kuat bahwa putera beliau Abdulloh
(terkenal dengan Ubaidillah) berguru kepada Abu Thalib Al-Makki yang menganut
faham Ahli Sunnah. Bagaimana mungkin Al-Imam Al-Muhajir dikatakan bukan
menganut madzhab Asy-Syafi’i, padahal beliau adalah orang pertama yang
menyebarkan atau memasukkan madzhab Syafi’i ke Hadramaut setibanya beliau
disana.”
Menyingkap
sifat-sifat aimmah Thariqah Alawiyyah
Kalam
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas Mereka salafunas sholeh lebih cenderung
kepada merendahkan diri dengan hidup sederhana dan mereka puas dengan hal itu,
padahal mereka adalah para aimmah (pemimpin) keluarga Bani Alawy. Mereka
sebagai pemimpin thariqah ini lebih menyukai untuk mengorbankan diri mereka
sendiri demi kepentingan orang lain sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang
mendesak.
Telah
berkata salah seorang ulama dari salafunas sholeh tentang keluarga Bani Alawy,
“Banyak dari mereka yang menjadi ulama-ulama besar dan iImam sebagai panutan
umat di zamannya. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang kita kenal
sebagai seorang Wali Allah yang mempunyai karomah. Hati mereka itu tenggelam
dalam lembah cinta kepada Allah SWT. Disamping itu mereka mempunyai perhatian
yang besar sekali terhadap kitab-kitab karangan Al-Imam Al-Ghazaly, terutama
kitab Ihya’, Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz.
Lagipula tidak jarang dari
mereka yang mencapai derajat Al-Huffadz (orang yang banyak menghafal
hadits-hadits Nabi SAW).” Kalau kita teliti sejarah mereka, setiap orang dari
aslafunas sholihin berkhidmat kepada orang-orang, makan bersama orang-orang
miskin dan anak-anak yatim piatu. Bahkan mereka memikul hajat orang-orang
miskin dari pasar, berjabat tangan kepada orang yang kaya dan yang miskin, para
pejabat dan rakyat jelata. Oleh karenanya, berkata Al-Imam Abdullah bin Alwi
Alhaddad, “Barang siapa yang melihat salah seorang dari mereka, begitu menatap
pandangannya kepada mereka, pasti akan merasa kagum akan keanggunan budi
pekerti mereka.”
Telah diuraikan oleh salah seorang ulama terkenal yaitu
Al-Imam Ahmad bin Zain Alhabsyi bahwa dalam diri mereka keluarga Bani Alawy
terdapat ilmu dhohir dan batin. Dalam segi akidah, mereka tidak menyimpang
walau seujung kaki semut pun dari akidah Asy’ariyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah
dengan bermadzhabkan Syafi’i. Mereka tidak terpengaruh oleh beraneka ragam
bid’ah dan kerawanan lilitan harta duniawi. Itulah sebagian daripada
sifat-sifat aimmah Bani Alawy dan masih banyak lagi sifat-sifat mereka jika
kita mau meninjau jejak mereka dan menyingkap lembaran hidup mereka.
[Diambil
dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 6-8,
penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir]
Tanggung
jawab para orangtua ‘Alawiyyin
Kalam
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas
1. Menjaga putra-putri alawiyyin khususnya dan para generasi muda umumnya dari
sifat-sifat ambisi untuk mencari pengaruh dan pangkat/kedudukan yang di
puja-puji oleh semua orang. Sebagaimana sikap Nabi SAW terhadap para sahabatnya
seakan-akan seperti ayah mereka, beliau SAW tidak takut akan kemiskinan yang
bersifat duniawi yang akan menimpa mereka.
Telah
berkata Ath-Thiby ra., “Seorang ayah yang materialis (cinta kepada harta-harta
duniawi) khawatir apabila anaknya ditimpa miskin harta. Sedangkan ayah yang
religius (yang kuat pendidikan moral dan agamanya) khawatir apabila anaknya
miskin akan ilmu-ilmu agama.”
Sebagaimana
hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. :
“Celakalah
penyembah dinar dan dirham serta penyembah karpet dan selimut. Bila ia diberi,
rela dan senang, dan jika tidak ia diberi, tidak senang (benci).”
Telah
berkata seorang ulama besar di zamannya Hamdun Al-Qoshshor,
“Jika
berkumpul iblis dan bala tentaranya, mereka tidak gembira pada suatu hal
seperti kegembiraan mereka akan tiga perkara berikut :
Orang
mukmin membunuh seorang mukmin.
Orang
yang mati di atas kekafiran.
Orang
yang hatinya ada rasa takut kepada kemiskinan harta.
2. Menjaga putra-putri ‘Alawiyyin dari akidah-akidah yang bejat dan rusak serta
melarang mereka untuk memperbincangkan apa-apa yang terjadi di antara para
sahabat (rodhiyalloohu ‘anhum ajma’iin). Mereka bahkan mendambakan
putra-putrinya untuk berpegang teguh dengan apa yang ada dalam kitab Ihya’,
sebagaimana mereka telah mengamalkan apa yang ada di dalam kitab tersebut.
Sehingga berkata Al-Habib Abdurrahman Assegaf ra. :
“Barang
siapa yang tidak menelaah kitab Ihya’, maka tidak ada pada dirinya rasa malu.”
[Diambil
dari kitab Al-'Alam An-Nibroos, karangan Al-Imam Abdullah bin Alawi Al-Atthas,
hal 15-20]
Anjuran
kepada putra-putri ‘Alawiyyin
ra
leluhur yang saleh dan mulia, kita akan dibimbing kepada jalan yang penuh
petunjuk dari Allah SWT. Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad Basaudan
RA di dalam kitabnya Al-Futuuhah Al-Arsyiah, setelah menyebutkan beberapa kitab
yang terkarang dimana disana disebutkan riwayat hidup para Saadah. Beliau
berkata, “Pintasilah jalan yang penuh cahaya sebagaimana yang telah dipaparkan
dalam kitab Ihya Ulumiddin, supaya anda tergolong dari orang-orang yang punya
rasa malu, dan pintasilah jalan hidayat dengan mengamalkan apa yang ada di
dalam kitab Bidayatul Hidayah.”
Berkata
Sayyiduna Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Ahmad bin Zein Alhabsyi,
“Qodho (ketetapan) itu tidak dapat dipungkiri, dan syariat harus diikuti tanpa
dikurangi dan ditambahi. Para imam kita keluarga Bani Alawy telah melintasi
jalur yang mulus dan jalan yang lurus. Barangsiapa yang mencari aliran baru
untuk dirinya sendiri atau untuk putra-putrrinya dengan cara tidak menempuh di
jalan para datuk-datuknya yang saleh dan mulia, maka pada akhir umurnya ia akan
menemui kekecewaan dan kebinasaan.”
Mereka
itulah yang dikatakan sebagai golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
dikategorikan pada golongan yang selamat bersama Nabi SAW. Mereka itulah
orang-orang yang bakal mendapat syafaat beliau SAW.
Berkata
Sayyiduna Al-Imam Al-Ahqof As-Sayyid Umar bin Saggaf Assaggaf kepada anaknya,
“Aku berpesan kepadamu, hendaklah kau bersungguh-sungguh mengikuti perjalanan
para Salafuna As-sholeh dari Ahlul Bait An-Nabawy, terlebih-lebih dari keluarga
Bani Alawy. Bersungguh – sungguhlah dan bergiatlah dalam mengikuti perjalanan
mereka niscaya kau akan sukses.”
[Diambil
dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 10-15,
penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar