Sebenarnya niat merupakan inti dari setiap pekerjaan. Sebab, baik tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:
"Segala
perbuatan hanyalah tergantung niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa
yang diniatkan." (Shohih al-Bukhori, no 1).
Demikian juga dalam
sholat. Niat adalah rukun yang pertama. Akan tetapi, karena niat tempatnya di
dalam hati maka disunnahkan mengucapkan niat tersebut dengan lisan untuk
membantu gerakan hati (niat).
Jika seseorang salah
dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan
niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah
niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat
‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak
mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Memang tempatnya niat
ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal,
yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan
tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu
yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat.
Menurut ulama fiqh,
niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan
kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan
orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah
dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat
‘Ashar.
BAGAIMANA PENDAPAT
ULAMA’ TENTANG MELAFALKAN NIAT SHOLAT?
- Imam Ramli (wafat tahun 1004 H.) dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj mengatakan:
"Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati
(kalimatusholli) sebelum takbir, agar supaya lisan bias membantu hati, sehingga
bias terhindar dari was-was (keragu-raguan) hati akibat bisikan syetan). Dan
agar bias keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan.
- Syaikh Khatib As-Syarbiniy {w. 997 H} mengatakan dalam "Mughniy Al-Muhtaj " pada juz 1 halaman 150:
“Dan sunnah mengucapkan niat, menjelang takbiratul ihram,
gunanya agar lisan membantu niat dalam hati, dan karena mengucapkan niat jauh
dari rasa was-was". {Mughniy al-Muhtaj Juz 1/150}.
- Syaikh Zakariya Al-Anshariy {w. 926H} mengatakan dalam Kitabnya Fathu Al-Wahhab sebuah kitab fiqih yang sangat ter-kenal pada juz 1 hal .38.
“Dan sunnah mengucapkan niat, menjelang takbiratul ihram,
gunanya untuk membantu niat dalam hati. {Fathu al-Wahhab Juz 1/38}
- Syaikh Zainuddin Al-Malibariy mengatakan dalam kitab "Fathul Mu’in" pada halaman 16 :
“Dan sunnah mengucapkan niat, menjelang takbiratul ihram,
gunanya membantu niat dalam hati, dan untuk keluar dari khilafiyah bagi yang
mewajibkannya".{ Fathu al-Mu'in hal. 16}
Bagaimana Pendapat 4 Madzhab Tentang Melafadzkan Niat Sholat?
1. MADZHAB HANAFI
Ulama' Hanafiyah berpendapat bahwa niat shalat adalah bermaksud
untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati. namun tidak di
syaratkan melafadhkan dengan lisan. Adapun melafadhkan fiat dengan lisan sunnah
hukumnya, untuk membantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis
shalat yang dikerjakan dalam niat adalah lebih afdlal.
Rujuk :{al-Badai' 1/127. AdDurru al-Muhtar I/ 406. Fathu
al-Qadir 1/185 dan al-Lubab1/66}
2. MADZHAB MALIKI
Ulama Malikiyah berpendapat, niat adalah bermaksud untuk
melakukan sesuatu ibadah dan letaknya dalam hati. Niat shalat adalah syarat
sahnya shalat, dan sebaiknya tidak melafadzkan kecuali ragu, maka sunnah
melafadzkan niat, agar hilang keraguannya. Niat dalam shalat wajib bersamaan
dengan takbiratul ihram, juga wajib menentukan jenis shalat yang dikerjakan.
Rujuk : (al-Syarhu al-Shaghir Wa-Hasyiyah ash-Shawl I/
303-305. al-Syarhu al-Kabir ma'ad-Dasuqy 1/233 dan 520);
4. MADZHAB SYAFI’I
Ulama Syafi'iyah berpendapat, niat adalah bermaksud untuk
melakukan sesuatu ibadah yang disertai dengan perbuatan. Letaknya dalam hati.
Sunnah melafadhkan niat shalat menjelang takbiratul. Wajib menentukan jenis
shalat yang dilakukan.
Rujuk : {Hasyiyah Al-Bajury 1/149. Mughniy al-Muhtaj
1/148-150, 252- 253. al-Muhadzab I/70 , Al-Majmu' Syarh al-Muhadzab III/
243-252}
5. MADZAB HAMBALI
Ulama Hanbaliah mengatakan bahwa niat adalah bermaksud untuk
melakukan ibadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa
niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadhkan dengan lisan . Disyaratkan
Pula menentukan jenis shalat serta tujuan mengerjakan.
Rujuk : (Al-Mughny 1/ 464-469. dan 11/ 231. Kasy-Syaaf
al-Qona' 1/ 364-370)
Dalam beberapa
kesempatan Nabi SAW pernah melafalkan niat. Misalnya dalam ibadah haji. Dalam
sebuah hadits dijelaskan:
عن أنس رضي الله عنه
قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول لبّيك عمرة وحجا
"Dari sahabat
Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan, Labbaika aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji." (Shahih Muslim, no 2168). Dari Umar ra, is
berkata: Saya mendengar Nabi saw, di lembah al-Aqiq berkata: Datang kepadaku
tadi malam salah seorang utusan Allah, berkata kepadaku: "Shalatlah di
lembah ini yang diberkahi dan ucapkanlah niat "Aku penuhi panggilan-Mu
untuk ibadah Umrah dan Haji"
(Shahih Al-Bukhary 1/189}
Sekalipun hadits
tersebut menerangkan melafadzkan niat dalam ibadah haji dan umroh, namun bukan
berarti khusus untuk ibadah yang dimaksud, tetapi berlaku bagi semua ibadah
selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Sesuai Qaidah al-Ushuliyah:
"Apabila ada
nash yang bersifat umum karena sebab khusus, maka yang dianggap adalah umumnya
lafadz {nash} dan bukan khususnya sebab" {Ibnu Qudamah wa-atsaruhu
al-Ushuliyyah hal. 233}
Kesimpulan :
Melafalkan niat
sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika
ditinggalkan pun tidak berdosa. Karena melafalkan niat itu hanya merupakan
perbuatan sunnah bukan merupakan amalan fardlu. Adapun memfitnah, bertentangan
dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi
syari’at Allah SWT. Lihatlah para ulama salaf dan imam mujtahid empat madzab
tidak ada satupun yang menyatakan melafadzkan niat shalat sebagai Bid’ah sesat.
Wallahu alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar