I. PENDAHULUAN
Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, segala
persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau
memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam
keadaan tertetu beliau juga memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang
disebut hadits atau as-sunnah.
Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab begitu juga Al-Qur’an.
Maka dalam pemahamannya terhadap segala bentuk hal atau upaya untuk memformulasikan
hukum bagi para sahabat tidaklah memperoleh kesulitan yang berarti. Hal ini
didasari dengan pemahaman mereka yang mendalam tentang bahasa arab dan segala
bentuk hal yang melatar belakangi dalam turunnya ayat-ayat hukum.
Apabila para sahabat menemukan suatu kejadian
yang memerlukan ketentuan hukum, mereka mencari jawabanniya didalam al-Qur’an.
Bila tidak ditemukan maka mereka mencari pada koleksi hadits nabi.
Dalam tataran selanjutnya, ialah mengembalikan perkara hukum tersebut kepada
kesepakatan para imam mujtahid yang dikeneal dengan ijma’ karena
mereka merupakan orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam soal
hukum. Bila juga tidak ada maka mereka menggunakan daya nalar dengan
menggunakan ijtihad.
Dalam metode terakhir ini mereka mencari
titik kesamaan dari sesuatu kejadian dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an yang
dikenal dengan metode qiyas. Proses penetapan hukum yang
berturut-turut ini didasari dengan firman Allah yang berbunyi :
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Dalam perkembangan Islam yang mencakup seluruh
dimensinya, dihadapkan pula dengan kejeadian-kejadian hukum yang memerlukan
suatu ketetapan-ketetapan hukum baru. Dalam hal ini, para ulama mujtahid
berusaha untuk merumuskan kaidah-kaidah atau aturan permainan yang menjadi
pedoman untuk merumuskan hukum berdasar dari sumber-sumbernya. Kesemuanya ini
merupakan topik pembicaraan dalam ushul fiqh.
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai
rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh;
dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu
Syari’ah. Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushuldan
kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah,
sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Fiqih secara bahasa
berarti paham yang mendalam. Dalam istilah hukum, fiqih merupakan ilmu tentang
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari
dalil-dalil tafsili. Sedangkan kata ushul merupakan jamak dari
kata “ashal” secara bahasa berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang
lainnya.
Secara istilah ilmu ushul fiqh berarti :ilmu tentang
kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya
yang terinci. Dalam artian sederhana adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan
cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
Dalam pembahasan ini. Istilah ushul fiqih dan fiqih dapat
dibedakan dengan pengertian yang sederhana bahwa, Ushul Fiqih adalah pedoman
atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti
seseorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari
dalil-dalilnya; sedangkan fiqih adalah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan
dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditetapkan.
B. Objek dan Pembahasan Ushul Fiqh
Objek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi
tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad.Sesuai dengan keterangan tentang
pengertian Ilmu Ushul Fiqh di depan, maka yang menjadi obyek pembahasannya,
meliputi :
1. Pembahasan tentang dalil.
Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul
Fiqh adalah secara global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau
syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan
tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu
persatu dalil bagi setiap perbuatan. Dalam prakteknya, ilmu ushul fiqih ini
mempelajari tentang dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak
disepakati dan juga membahas kaidah-kaidah ushuliyah.
2. Pembahasan tentang hukum.
Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul
Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap
perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang
macam-macam hukum seperti hukum takhlifi, wadh’I dan takhyiri, yang menetapkan
hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih) dan
syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan
perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
3. Pembahasan tentang kaidah.
Pembahasan tentang kaidah yang digunakan
sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai
macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.
4. Pembahasan tentang ijtihad
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya,
syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan
orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.
C.
Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqih
Ilmu Ushul Fiqh sebagai metode istinbath, baru tersusun
sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke 2 hijriah. Pada dasarnya ilmu ushul
fiqh muncul berbarengan dengan fiqih. Fakta logisnya ialah, pada prekteknya
tidak mungkin fiqih lahir tanpa adanya metode istinbath dan metode ini menjadi
inti dari apa yang dinamakan dengan ushul fiqh.
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul
persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para
sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW
sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak
lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa
sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam
mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah
menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang
bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran
di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang
memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan
penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul
dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang
berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga
mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi
perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan
jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja
antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama
yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.
Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk
menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan
tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah
kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama
Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya
penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,
kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan.
Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan
dalam memahami nash-nash syara’.
Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami
nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan
kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah
terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa
ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu
Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai
kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf,
bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan
disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204
H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab
tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada
kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah
pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fiqh ini, kemudian
dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.
D. Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqih
Dalam membahas Ilmu Ushul Fiqh, para ulama
tidak selalu sepakat dalam menetapkan istilah-istilah untuk suatu pengertian
dan dalam menetapkan jalan-jalan yang ditempuh dalam pembahasannya. Dalam hal
ini mereka terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Mutakallimin dan Aliran
Hanafiyah.
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam
pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam
yakni menetapkan kaidah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan
nash) maupun ‘aqliy (dengan akal fikiran) tanpa terikat dengan hukum
furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai
kaidah dengan hukum-hukum furu’ tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini
diikuti oleh para ulama dari golongan Mu’tazilah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini,
yaitu :
1. Kitab Al-Mu’tamad disusun
oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu’taziliy asy-Syafi’iy
(wafat pada tahun 463 Hijriyah).
2. Kitab Al-Burhan disusun
oleh Abdul Ma’aliy Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy
asy-Syafi’iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada tahun 487
Hijriyah).
3. Kitab
AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy
Syafi ‘ iy ( wafat pada tahun 505 Hijriyah).
Dari tiga kitab tersebut yang dapat ditemui hanyalah
kitab Al Mushfa, sedangkan dua kitab lainnya hanya dapat dijumpai
nukilan-nukilannya dalam kitab yang disusun oleh para ulama berikut, seperti
nukilan kitab dari Al Burhan oleh A1 Asnawiy dalam kitab Syahrul Minhaj.
Kitab-kitab yang datang berikutnya yakni kitab Al Mahshul
disusun oleh Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar Raziy Asy Syafi’iy (wafat pada
tahun 606 Hijriyah). Kitab ini merupakan ringkasan dari tiga kitab yang
disebutkan di atas.
Selain kitab Al Mashul yang merupakan ringkasan dari
kitab-kitab Al Mu tamad, Al Burhan dan Al Mushtashfa, masih ada kitab yang juga
merupakan ringkasan dari tiga kitab tersebut, yaitu kitab AI Ihkam fi Ushulil
Ahkam, disusun oleh AbduI Hasan Aliy yang terkenal dengan nama Saifuddin Al
Amidiy Asy Syafi’iy (wafat pada tahun 631 Hijriyah). Kitab Al Ihkam fi Ushulil
Ahkam ini kemudian diringkas oleh Abu Amr Utsman bin Umar yang terkenal dengan
nama Ibnul Hajib AI Malikiy (wafat pada tahun 646 Hijriyah) dalam kitabnya yang
diberi nama Muntahal Su ‘li wal Amal fi .Ilmil Ushul wal Jidal.
Kemudian kitab itu beliau ringkas lagi dalam sebuah
kitab, dengan nama Mukhtasharul Muntaha. Kitab ini mirip dengan kitab Minhajul
Wulshul ila I.lmil Ushul, sulit difahami karena ringkasnya. Hal ini mengundang
minat para ulama berikutnya untuk menjelaskannya. Di antara mereka ialah ‘
AdldIuddin ‘Abdur Rahman bin Ahmad Al Ajjiy (wafat tahun 756 Hijriyah) dengan
menyusun sebuah kitab yang menjelaskan kitab Mukhtasharul Muntaha tersebut.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya,
berangkat dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam (madzhab) mereka;
yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu’ yang
diterima dari imam-imam mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan
hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah
sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut. Jadi para
ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum
furu’ yang diterima dari imam-imam mereka.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini,
yaitu : kitab yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin’ Aliy yang terkenal dengan
sebutan Al Jashshash (wafat pada tahun 380 Hijriyah), kitab yang disusun oleh
Abu Zaid ‘ Ubaidillah bin ‘Umar Al Qadliy Ad Dabusiy (wafat pada tahun 430
Hijriyah), kitab yang disusun oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As
Sarkhasiy (wafat pada tahun 483 Hijriyah). Kitab yang disebut terakhir ini diberi
penjelasan oleh Alauddin Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (wafat pada tahun
730 Hijriyah) dalam kitabnya yang diberi nama Kasyful Asrar .Dan juga kitab
Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini ialah kitab yang disusun oleh Hafidhuddin
‘Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah) yang berjudul
‘Al Manar, dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.
Dalam abad itu muncul para ulama yang dalam pembahasannya
memadukan antara dua aliran tersebut di atas, yakni dalam menetapkan kaidah,
memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya
dengan hukum-hukum furu’. Di antara mereka itu ialah : Mudhafaruddin Ahmad bin
‘Aliy As Sya’atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis
kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy
dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy; dan
Syadrusiy Syari’ah ‘Ubaidillah bin Mas’ud Al Bukhariy Al Hanafiy (wafat pada
tahun 747 Hijriyah) menyusun kitab Tanqihul Ushul yang kemudian diberikan
penjelasan-penjelasan dalam kitabnya yang berjudul At Taudlih .
Kitab tersebut merupakan ringkasan kitab yang disusun
oleh A1 Bazdawiy, kitab AI Mahshul oleh Ar Raziy dan kitab Mukhtasharul Muntaha
oleh Ibnul Hajib. Demikian pula termasuk ulama yang memadukan dua aliran
tersebut di atas, yaitu Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin’ Aliy As Subkiy Asy Syafi’iy
(wafat pada tahun 771 Hijriyah) dengan menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan
Kamaluddin Muhammad ‘Abdul Wahid yang terkenal dengan Ibnul Humam (wafat pada
tahun 861 Hijriyah) dengan menyusun kitab yang diberi nama At Tahrir.
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu
dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy ( wafat pada
tahun 760 Hijriyah) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi
nama A1 Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga
dibahas tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Kemudian perlu pula diketahui kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh
yang disusun oleh para ulama pada masa belakangan ini, antara lain: kitab
Irsyadul Fuhul i/a Tahqiqi/ Haq min ‘I/mil Ushu/ oleh Imam Muhammad bin’ A1iy
Asy Syaukaniy (wafat pada tahun 1255 Hijriyah), kitab Tashilu/ Wushu/ i/a
‘Ilmi/ Ushu/ oleh Syaikh Muhammad ‘Abdur Rahman A1 Mihlawiy (wafat pada tahun
1920 Hijriyah); kitab Ushu/u/ Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak (wafat
pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi) dan kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang
lain
III. Penutup
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa ilmu ushul fiqih terlahir didasari dengan tuntutan zaman. Dalam
pembahsannya ilmu ushul fiqh mempelajari kaidah-kaidah yang menjadi aturan main
sekaligus juga pedoman bagi para mujtahid untuk mengistinbathkan hukum. Tentu
hal ini memerlukan kajian yang konferehensip menyangkut segala macam hal-hal
yang menjadi pokok pembahasan ilmu ini.
Maka dari itu, merupakan kelaziman untuk mempelajari ilmu
ini. Terutama pada saat ini, berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi telah
merubah era menjadi zaman yang canggih dan tentunya seiring dengan hal
tersebut, bermunculan pula kajadian-kejadian baru yang menjadi fokus untuk
dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu ushulul
Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema
Risalah Press, 1997
Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji
dan memahami hukum islam secara komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim,
2004
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh
Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman. Dasar-dasar
pembinaan hukum islami. Bandung : Al-Ma’rif,1993.
A. Sebagai Susunan Idlafiyah
Untuk menjelaskan ini, lafadz ushul al fiqh harus dipisah,
yakni menjadi ushul dan al fiqh.
Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl. Secara etimologi berarti: asal-muasal dari sesuatu, baik secara inderawi maupun rasio. Ulama ushul biasa menggunakan kata ‘ashl’ untuk beberapa makna di bawah ini:
Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl. Secara etimologi berarti: asal-muasal dari sesuatu, baik secara inderawi maupun rasio. Ulama ushul biasa menggunakan kata ‘ashl’ untuk beberapa makna di bawah ini:
1. Dalil
Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal masalah ini adalah ijma’’ adalah berarti “dalil masalah ini adalah ijma’”. Jadi, ushul fiqh dengan makna ini berarti: dalil-dalil fiqh, sebab fiqh dibangun berdasarkan dalil-dalil rasional.
2. Rujukan
Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal dari ucapan itu adalah hakikatnya” adalah berarti “rujukan ucapan itu adalah kembali pada hakikat, bukan majas”. Pernyataan “asal qiyas adalah al Quran” adalah berarti “rujukan qiyas adalah al Quran”.
3. Kaidah
Pernyataan “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari asal” adalah berarti “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari kaidah umum”. Pernyataan “hukum asal dari fa’il adalah rofa’” adalah berarti (kaidah umum yang berlaku adalah fa’il dibaca rofa’) atau (fa’il harus dibaca rofa’ merupakan kaidah ilmu Nahwu).
4. Hukum Asal
Pernyataan “hukum asal adalah bebas dari tanggungan” berarti “yang dijadikan hukum asal adalah bebasnya seseorang dari sebuah tanggungan, selama tidak ada hal yang menetapkan tanggungan itu padanya.”
Secara etimologi, fiqh berarti: “mengerti atau paham”.
Yang dimaksud mengerti bukanlah mutlak mengetahui, melainkan memahami secara
mendalam, mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata
‘fiqh’ dalam al Qur’an, di antaranya surat Hud: 91, “Mereka (penduduk Madyan)
berkata: hai Syu’aib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu
katakan.” Dan surat An Nisa’: 78, “Maka mengapa orang-orang (munafik) itu
hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?.”
Menurut terminologi ulama, fiqh adalah: diskursus tentang
hukum-hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil
spesifik. Atau fiqh adalah hukum itu sendiri.
Penjelasan:
Ahkam yang merupakan bentuk plural dari hukm mempunyai
arti “menetapkan sesuatu”, baik dalam bentuk kalimat negatif maupun positif.
Contoh: “matahari terbit” atau “matahari tidak terbit” dan “air itu panas” atau
“air itu tidak panas”.
Akan tetapi yang dimaksud dengan ahkam dalam ilmu ushul
fiqh adalah: ketetapan yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni wujub
(wajib), nadb (sunnah), hurumah (haram), karahah (makruh), ibahah (mubah),
shihhah (sah), fasad (rusak) atau buthlan (batal).
Tidak harus mencakup semua hukum syariah untuk bisa disebut fiqh, tetapi cukup sebagiannya saja.
Tidak harus mencakup semua hukum syariah untuk bisa disebut fiqh, tetapi cukup sebagiannya saja.
Orang yang mengetahui fiqh disebut dengan faqih, selama
dia memiliki kemampuan untuk melakukan istinbath. Syariah: hukum-hukum itu
harus bernuansa syariah, yakni diambil dari dalil syariah (al Qur’an dan
hadits) baik secara langsung maupun tidak.
Dengan demikian, hukum yang tidak bernuansa syariah tidak
termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqh seperti (1) hukum akal.
Misalnya: keseluruhan itu lebih banyak dari sebagian, satu adalah separuh dari
dua, alam adalah baru. (2) hukum inderawi, yakni hukum rasa. Misalnya: api panas.
(3) trial (eksperimen). Misalnya: racun yang dapat membunuh. (4) hukum
asas/dasar.
Misalnya : kaana dan yang berlaku seperti kaana berfungsi
me-rafa’-kan mubtada’ dan me-nashab-kan khabar. Amaliyah: yakni berhubungan dengan perbuatan mukallaf,
yakni shalat, jual-beli, tindak pidana dan hal-hal lain terkait ibadah dan
mu’amalah.
Oleh karena itu, sesuatu yang tidak berhubungan dengan
perbuatan tidak termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqh seperti
(1) akidah atau kepercayaan. Misalnya: iman kepada Allah dan hari kiamat. (2)
akhlak atau etika. Misalnya: keharusan jujur dan larangan dusta.
Hal-hal di
atas tidak dibahas dalam ilmu ushul fiqh, tetapi dibahas dalam ilmu
tauhid/kalam dan ilmu akhlak/tashawuf.Penetapan (muktasabah): yakni ditetapkan berdasarkan
dalil spesifik dengan jalan penelitian (an-nadhr) dan pengambilan dalil
(istidlal).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ilmu Allah terhadap hukum, ilmu Rasulullah
dan para penganutnya tidak dapat disebut dengan fiqh dan orangnya tidak dapat
dipanggil ‘faqih’. Alasannya, ilmu Allah terhadap hukum dan dalil adalah sifat
yang melekat pada dzat-Nya, ilmu Rasulullah didapat dari wahyu, bukan hasil
penetapan, dan ilmu para penganut (mukallid) Rasul didapat dari taklid (ikut),
bukan hasil penelitian atau ijtihad.
Dalil spesifik (tafsil): suatu dalil partikular (juz’i) yang membahas masalah
khusus dan telah memiliki nash tersendiri. Contoh:
- Firman Allah: “…diharamkan bagimu ibu-ibumu…” (An-Nisa’: 23). Ayat ini adalah dalil spesifik atau dalil partikular yang membahas masalah khusus, yakni menikahi ibu. Dan telah menunjukkan hukum yang spesifik pula, yakni haram menikahi ibu.
- Firman Allah: “…janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan…” (Al-Isra’: 32). Ayat ini adalah dalil particular (juz’i) dengan mengangkat masalah khusus, yakni zina. Hukumnya juga khusus, yakni haramnya zina.
- Firman Allah: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka semua kekuatan yang kamu mampu dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang…” (Al-Anfal: 60). Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan. Hukumnya juga khusus, yakni wajibnya menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan untuk menumpas musuh.
- Sabda Nabi SAW: “Membunuh dengan sengaja harus diqishash”. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni membunuh dengan sengaja. Hukumnya juga khusus, yakni qishash.
- Ijma’ (konsensus) ulama tentang bagian 1/6 yang diperoleh nenek dari harta waris. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni bagian waris nenek. Hukumnya khusus yakni wajib memberi nenek bagian 1/6 dari harta waris.
Contoh-contoh di atas itulah yang dimaksud dengan dalil spesifik (tafsili),
dalil yang menunjukkan hukum suatu masalah. Dalil spesifik inilah yang menjadi
objek pembahasan ulama fiqh sebagai sarana untuk mencari tahu hukum yang akan
timbul darinya dengan menggunakan kaidah-kaidah pencetusan hukum dan metode
pengambilan dalil yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh. Ulama ushul fiqh (ushuliyyun)
tidak membahas dalil spesifik ini, tetapi membahas dalil umum (ijmal) atau
dalil universal untuk menemukan hukum-hukum universal pula yang pada akhirnya
untuk meletakkan suatu kaidah yang dapat digunakan oleh ulama fiqh untuk
menerapkan dalil-dalil spesifik/partikular yang bertujuan untuk mengetahui
hukum syariah.
B. Definisi Ushul Fiqh Secara Terminologis
Sebagai sebutan dari sebuah ilmu, ushul fiqh adalah: sebuah ilmu tentang kaidah
dan dalil-dalil umum yang digunakan untuk mencetuskan hukum fiqh sesuai cakupan
kaidah dan dalil itu.
Kaidah adalah: diskursus umum yang mencakup hukum partikular (juz’i), dengan
kaidah inilah hukum juz’I dapat diketahui .
Kaidah “Al-Amru yufid al-wujub illa idza sharafathu qarinatuh ‘an dzalik” (Amar
(perintah) menunjukkan wajib, kecuali jika ada indikasi yang dapat
memalingkannya dari wajib). Kaidah ini mencakup semua nash partikular. Seperti
firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu…” (Al
Maidah: 1) dan “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah pada Rasul…”
(An Nur: 59) semua kata yang menunjukkan amar (perintah) masuk dalam kategori
kaidah di atas.
Dengan kata amar itulah hukum wajib dalam ayat-ayat itu dapat
diketahui. Seperti wajibnya menepati janji, wajibnya shalat, menunaikan zakat
dan taat pada Rasul.
Contoh kaidah: “Nahi (larangan) menunjukkan haram, kecuali jika ada indikasi
yang dapat memalingkannya dari haram”. Kaidah ini mencakup semua nash yang
nenujukkan kata nahi (larangan), dengan kata nahi itulah hukum haram dalam nash-nash
itu dapat diketahui. Seperti firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu mendekati
zina…” (Al Isra’: 32) dan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara batil. (An-Nisa’: 29),
dengan kaidah itu, maka diketahui bahwa hukum melakukan zina adalah haram,
begitu pula makan harta dengan cara batil.
Dengan contoh kaidah di atas, seorang mujtahid dapat mencetuskan hukum fiqh,
yakni mencetuskan hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan
berdasarkan dalil spesifik. Jika misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui
hukumnya shalat, maka ia membaca firman Allah, “Aqiimu ash-shalah” (dirikanlah
shalat). Karena kata (Aqiimu) adalah bentuk amar (perintah), maka kaidah “amar
menunjukkan wajib, kecuali ada indikasi lain” diterapkan, dari penerapan itu
kemudian diketahui bahwa hukum melaksanakan shalat adalah wajib.
Yang dimaksud dengan dalil ijmal (umum) adalah sumber-sumber hukum syariah,
seperti Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi). Mengetahui
dalil ijmal berarti mengetahui argumentasi dan kedudukannya dalam proses
pengambilan dalil, mengetahui apa yang ditunjukkan oleh nash, makna dan syarat
ijma’, macam-macam Qiyas dan ‘illat-nya (indikasi), metode menemukan ‘illat dan
sebagainya.
Ulama ushul membahas dalil ijmal yang menunjukkan (memiliki dalalah) hukum
syariah.
Ulama fiqh membahas dalil juz’i untuk mencetuskan hukum juz’i dengan bantuan
kaidah ushul dan mengaitkannya dengan dalil ijmal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar