Pada umumnya ulama ushul
Fiqih membagi hukum syar’i menjadi dua bagian : hukum taklifi dan hukum
1 Hukum Taklifi
Yang
dimaksud dengan hukum taklifi ialah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang mengandung pilihan
antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 41)
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian
: ijab, nadb, tahrim, karabah, dan ibadah.
Ijab (wajib) adalah firman yang menuntut melakukan
suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah
(2) : 43 :
“Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
Nadb
(Sunnah) adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan
perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya untuk berbuat.
Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah
(2) : 282 :
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
Tahrim (Haram) adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah
ayat 3 :
‘Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi’
Karahah (Makruh) adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan
sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran
untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah
ayat 101 :
“Janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu
……”
Ibahah (Mubah) adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, Allah dalamsurat Al-Baqarah
235 :
“Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran ….”
Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian yaitu dengan membagi
firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua
bagian, yaitu fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak
melakukan suatu perbuatan dengan pasti kepada dua bagian takrim dan karahah
tanzih.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i seperti
dalil Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun,
bila suruhan itu berdasärkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab.
Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, ia disebut
karahah tanzih.
Dengan pembagiari seperti tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum
taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb dan ibadah.
Walaupun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh
bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepadalima bagian
seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap
perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli
fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. (H.Alaiddin Koto, 2004,
hal. 42-44)
a. Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi
pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (‘iqab) apabila meninggalkannya.
Misalnya, mengerjakan beberapa rukun Islam yang lima.
Dihhat dari beberapa segi,
wajib terbagi empat :
1. Dilihat
dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat
dibagi dua :
a. Wajib
mu’ayyan (ditentukan) yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya
membaca fatihah, atau tahiyyat dalam sholat.
b. Wajib
mukhayyar (dipilih) yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan
tiga alternatif, membeni makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian
sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
2. Dilihat
dan segi siapa saja yang mengharuskan memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua bagian:
a. Wajib
‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukhalaf. Misalnya,
mengerjakan sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya.
Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b. Wajib
kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota
masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu
telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap
yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua
anggota masyarakat tersebut. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan,
mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan sholat jenazah, dan lain
sebagainya.
3. Dilihat
dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua :
a. Wajib
muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya,
jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat sholat, dan lain-lain.
b. Wajb
ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya.
Misalnya, membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad, tolong-menolong, dan
lain sebagainya. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 44-46)
b. Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang
melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang meninggalkannya diberi
pahala. Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi
tanggungan, dan lain sebagainya.
Perbuatan ini disebut juga
maksiat, qabih.
Secara garis besarnya haram
dibagi kepada dua :
1. Haram
karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada
pokoknya adalah haram yang memang diharapkan sejak semula. Misalnya, membunuh,
berzina, mencuri, dan lain-lain.
2. Haram
karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang
datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi
haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan
yang semula wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan
menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lamnnya.
(H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 46)
c. Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dila1ukan akan mendapatkan pahala, tetapi
bila tidak dilakukan akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasanya, mandub ini
disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada :
1. Sunat
‘ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk
dikerjakan, misalnya sholat sunat rowatib.
2. Sunat
kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
salah seorang saja dan suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendo’akan
orang bersin, dan lain-lain.
Selain itu, sunat juga
dibagi kepada :
1. Sunat
muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, atau
lebih banyak dikerjakan Rasul dan pada tidak dikerjakannya. Misalnya, sholat
sunat han raya.
2. Sunat
ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan
Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin. (H.Alaiddin Koto, 2004, hal. 47)
d. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang
meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat
dosa (‘iqab). Misalnya : merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang
tidak sedap, dan lain sebagainya.
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian :
1. Makruh
tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada
mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut di atas.
2. Makruh
tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu
zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging
ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah). (H. Alaiddin Koto, 2004, hal.
46-47)
e. Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena
perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini
dinamakan juga halal atau jaiz. (H. Alaiddin 2004, hal. 48)
2. Hukum
Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadhi’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu
yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain
tersebut. Oleh karenanya, ulama membagi hukum wadh’i ini kepada : sebab,
syarat, mani’. Namun, sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan
rukhshah. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 49)
a. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab
adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan
tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya
sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
Ulama membagi sebab ini
kepada dua bagian :
1. Sebab
yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab
bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai
sebab wajibnya sholat.
2. Sebab
yang berada dalam kesanggupan mukalafi. Sebab ini dibagi dua:
a) Yang
termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib
melaksanakan puasa (QS. Al-Baqarah (2):185). Begitu juga keadaan sedang dalam
perjalanan menjadi sebab bolehnya tidaknya berpuasa di bulan Ramadhan (QS.
Al-Baqarah (2): 185).
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur”.
b) Yang
termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan
antara suami menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya (H.
Alaiddin Koto, 2004, hal. 49 – 50)
b. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum
dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan
tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya
hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu
sudah berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu tahun itu belum
terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat berjalan, satu
tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada
sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab, (H. Alaiddin Koto, 2004, hal.
50)
c. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’
adalah segala sesuatu yang dengan adanya . dapat meniadakan hukum atau dapat
membatalkan sebab hukum. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu
terbagi kepada dua macam :
1. Mani
terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan
diwarisi adalah mani (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk
saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat
di tubuh atau di pakaian orang yang sedang sholat. Dalam contoh ini tidak
terdapat salah satu syarat sah sholat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu,
tidak ada hukum sahnya sholat. Hal ini disebut mani’ hukum.
2. Mani
terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib
mengeluarkan zakatnya Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai
mengurangi nisab zakat Ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya
tidak cukup senisab lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab
wajibnya zakat. Namun, keadaannya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan
penghalang sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh
ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut mani’ sebab. (H.
Alaiddin Koto, 2004, hal. 52-53)
3. Perbedaan
Antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Dari uraian sebelumnya
dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadhi dari dua hal :
a. Dilihat
dari sudut pengertiannya, hukum takilfi adalah hukum Allah yang berisi
tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau
membolehkan memilih antara berbuat dan tidak.berbuat. Sedangkan hukum wadh’i
tidak mengandung tuntutan atau memberi. pilihan, hanya menerangkan sebab atau
halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
b. Dilihat
dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam
kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan
hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan
kadang-kadang tidak. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 58-59)
B. Mahkum
Bihi
Mahkum bihi, yaitu perbuatan orang mukallaf yang berhubungan hukum syara’ atau
yang dibebani hukum syar’i. Contoh, firman Allah swt
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al Baqarah :183)
Firman Allah swt di atas berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu
berpuasa, sehingga dapat diambil pengertian bahwa status hukum puasa adalah
wajib.
Contoh lain, firman Allah
swt :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra’ : 32)
Firman Allah di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu
mendekati zina, di mana status hukumnya adalah haram. Setiap hukum syara’
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Adapun syarat-syarat mahkum bihi
adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya
tuntutan perbuatan yang yang dikenai hukum itu diketahui dengan jelas dan pasti
oleh orang mukallaf sehingga ia bisa menunaikannya sesuai dengan yang dituntut.
2. Perbuatan
yang dikenai hukum itu bisa diketahui oleh orang mukallaf bahwa beban hukum
tersebut berasal dan Allah, sehingga dalam mengenjakannya ada kehendak dan rasa
keinginan untuk ta’at kepada Allah dan semata-mata untuk mendapat keridhoaNya.
3. Beban
hukum (Taklif) tersebut adalah hal yang mungkin terjadi, karena. tidak ada
taklif terhadap perbuatan yang mustahil terjadi atau diluar batas kemapuan
manusia
4. Taklif
tersebut jelas dan Mukallaf dapat membedakan antara perbuatanperbuatan tersebut
dengan yang lainya, supaya ditentukan niat terhadap perbuatan tersebut bila
hendak mengerjakannya.
C. Mahkum
Alaih
Mahkum alaih ialah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum Syar’i
atau dengan kata lain orang Mukallaf menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
Dinamakan MukAllah sebagai mahkum ‘alaih adalah karena dialah yang kenai hukum
syara’. Singkat kata yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah mukallaf itu
sendiri sedang perbuatannya dinamakan mahkum bihi.
Kemudian tuntutan-tuntutan akan perbuatan tersebut ditujukan kepada orang
mukallaf, dan tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang yang sedang
mengalami gangguan jiwa atau gila. Tuntutan-tuntutan Allah (taklif) selalu
disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua tuntutan hukum baik yang berkaitan
dengan hak-hak Allah maupun hak-hak sesama manusia tidak dituntutkan kecuali
kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Oleh karena itu,
kemampuan menjadi dasar adanya takHf. Allah berfirman:
Artinya : “Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Adapun kondisi manusia
untuk melaksanakan hukum-hukum Allah ada tiga kemungkinan, antara lain sebagai
berikut :
1. Tidak
memiliki kemampuan sama sekali untuk berbuat, contohnya anak kecil atau orang
yang mengalami ganguan jiwa atau orang gila. Mereka tidak memilki kemampuan
untuk melaksanakan hukum Allah karena belum/tidak sempurna akalnya.
2. Memiliki
kemampuan untuk berbuat akan tetapi belum sempurna, yaitu anak yang sudah
mumayyiz (anak yang sudah membedakan baik buruknya perbuatan). Perbuatan
mumayyiz tersebut yang berkaitan dengan hak-hak Allah seperti shalat, puasa,
dan lain-lain dihukumi sah tetapi belum berkewajiban untuk menunaikannya.
Memiliki kemampuan berbuat secara penuh dan sempurna, yaitu semua orang yang
sudah baligh dan berakal. Semua perbuatannya yang dengan hak-hak Allah maupun
yang berhubungan dengan hak-hak sesama manusia, berlaku padanya
ketentuan-ketentuan hukum beserta sanksi-sanksinya dan akibatnya secara penuh,
kecuali jika terdapat udzur, baik yang muncul dari tindakan manusia sendiri
seperti : mabuk, bepergian, paksaan, maupun yang timbul diluar dari perbuatan
manusia itu sendiri seperti : sakit, gila, lupa dan tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar