Proses khalwat nabi
yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina
Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada
keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani,
sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat
Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah
dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat Qodiryah
didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama
lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost
al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561
H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada
tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya
Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah
dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai
mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127
M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal
masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya
sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh
dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah
dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561
H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593
H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan
anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai
hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah
terus berkembang dan berpusat di Iraq
dan Syria yang diikuti oleh
jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir ,
India , Afrika dan Asia . Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13,
tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru
berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul
Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar
(mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak
1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini
dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia
berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu
seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang
sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan
Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena
keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam
kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad
ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei
(1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki
terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah,
Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah,
‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika
terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat
Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani.
Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah
dari Granada , sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun
1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.
Dari ketaudanan nabi
dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang
kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga
memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah
swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan
sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang
tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan
mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring,
keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari
Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut
tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh),
diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga
kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima ) kali. Sedangkan di luar shalat agar
berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan
lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan
menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan
bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah
kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang
sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan
menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang
tercela.
Menurut ulama sufi
(al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim
dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah
masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin
Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah
sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir
Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin
Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum,
ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli
zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat
Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.
Bai’at
Untuk mengamalkan
tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru
(syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih
dahulu, diteruskan dengan membaca surat
al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk
bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz
Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan
dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan
kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid
tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat
sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan.
Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid
akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala
perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya
dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti
yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah)
secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj.
Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati
ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam
Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas
thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan
sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam
perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua
yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran
esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk
orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal
yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya
sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru
(mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah,
talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada
silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam
sampai ke ulama sufi di Indonesia .
Ajaran Tarikat
Qadiriyah
>Pada
dasarnya ajaran Syaikh
‘Abd al-Qadir Jilani tidak
ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Aahlussunnah Waljama’ah.
Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fiqih
yang empat dan teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak
yang terpuji. Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat syaikh
al-Qadir Jilani adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur
syariat lahir dan batin. Syaikh berkata kepada para sahabatnya, “Kalian jangan
berbuat bid’ah. Taatlah kalian, jangan menyimpang.” Ucapannya yang lain: “Jika
padamu berlaku sesuatu yang telah menyimpang dari batas-batas syariat,
ketahuilah bahwa kalian dilanda fitnah, syetan telah mempermainkanmu. Maka
kembalilah pada hukum syariat dan berpeganglah, tinggalkan hawa nafsu, kerena
segala sesuatu yang tidak dibenarkan syariat adalah batil.”[1]
Menurut Syaikh ‘Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah
pemurnian aqidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan ‘Ady
ibn Musafir mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah
adalah tunduk di bawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh
serta kesatuan lahir batin. Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu,[2] serta mengabaikan keinginan melihat
manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasan jauh.[3]
Adapun ajaran spiritual Syaikh ‘Abd al-Qadir berakar pada
konsep tentang dan pengalamannaya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid
bukanlah suatu mitos teologis maupun abstraksi logis, melainkan merupakan
sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merengkuh seluruh pengalaman etis,
intelektual, dan estetis seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa Tuhan
senantiasa hadir. Kesadaran akan kehadiran Tuhan di segenap ufuk
kehidupannya merupakan tuntunan dan motif bagi kebangunan hidup yang aktif
sekaligus memberikan nilai transeden pada kehidupan. Nasehat Rasulullah
dalam hadis, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jika engkau
tidak dapat melihat-Nya,ketahuilah bahwa Dia melihatmu,”merupakan
semboyan hidupnya, yang diterjemahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Khotbahnya menggambarkan keluasan kesadarannya akan kehadiran Tuhan yang serba
meliput. Ia meyakini bahwa kesadaran ini membersihkan dan memurnikan hati
seorang manusia, serta mengakrabkan hati dengan alam roh.[4]
Suatu
hari, ketika kesadarannya sedang berada dalam keadaan ekstase, Syiakh ‘Abd
al-qadir Jilani brkat pada dirinya sendiri, “Aku merindukan suatu kematian yang
dalamnya tiada lagi kehidupan dan sebuah kehidupan yang tiada kematian di
dalamnya.”
Kemudian Syaikh ‘Abd al-Qadir menjelaskan makna ungkapan di
atas, yaitu dengan bertanya kepada dirinya. Maka aku bertanya, kematian macam
apa yang tidak memiliki kehidupan dan kehidupan macam apa yang memiliki
kematian di dalamnya. Kujawab, “Kematian yang tidak memiliki kehidupan di
dalamnya adalah kematianku dari seluruh manusia, dengan begitu aku tidak lagi
hidup bahkan ditemui di antara mereka. Dan kehidupan yang tidak memiliki
kematian adalah kehidupanku yang menyertai perbuatan Tuhanku, sedemikian rupa
sehingga di dalam keadaan itu, diriku tidak lagi memiliki eksistensi dan
kematianku adalah eksistensiku bersama-Nya.“ Setelah aku mengerti ternyata
inilah yang paling berharga dari seluruh tujuan hidupku.[5]
Dalam pandangannya, kehidupan yang ter mulia adalah
kehidupan orang-orang yang sepenuhnya membaktikan diri pada Tuhan semata.
Dan kerena alasan ini pulalah manusia dihadirkan Tuahan, seperti yang termaktub
dalam Al-Qur’an, “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembahKu” (QS. Al-Zariyat[51]: 56). Semakin manusia
berjuang “hidup demi Tuhan”, dirinya akan semakin dekat dengan
terwujudnya tujuan kehidupan ini. Seorang manusia harus menyerahkan
kehidupannya, bilamana ia berhasrat memburu kesadaran Ilahiah “Eksistensi yang
sadar Tuhan” memberikan kekuatan spiritual pada manusia; ia mengangkat
pergulatan keras duniawi untuk memperoleh kesenangan hidup dan keuntungan yang
sedikit, menuju kebahagiaan dan ketenangan spiritual, dan membuetnya akrab
dengan sumber segala kekuatan.
Ajaran
Syaikh ‘Abd al-qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia.
Kerena itu, dia memberiikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang
tertinggi. Adapun beberapa ajaran twrsebut adalah taubat, zuhud, tawakal,
syukur, ridha, dan jujur.
a.
Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan
dosa yang terus-menerus dari hati kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Ibnu
abbas ra. Berkata: ”Taubat al-nashuha adalah pentesalan dalam hati, permohonan
ampun dengan lisan , meninggalakan dengan anggota badan, dan berniat
tidak akan mengulangi lagi.” Jadi taubat al-nashuha tidak
hanya di mulut yang menyatakan penyesalan dan bertaubat, sementara hati tidak
mengikuti apa yang dikatakan oleh mulut, tidak bersungguh-sungguh bermaksud
untuk menghentikan perbuatan-perbuatan dosa itu, dan tidak melakukan tindakan
nyata untuk menghentikanya.[6]
Taubat ini sangat dianjurkan kepada setiap orang mukmin,
sebagaimana firman Allah, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” (at-tuabah: 31)
Menurut
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, taubat itu ada dua macam, yaitu:
1.
Taubat yang berkaitan dengan sesama manusia. Taubat ini tidak
terealisasi, kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang
berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya.
2.
Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu
mengucakan istigfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan betekad untuk tidak
mengulanginya lagi di masa mendatang.
b.
Zuhud
Zuhud secara bahasa adalah zahada fihi, wazahada’anhu, dan wazahadan yaitu berpaling darinya dan
meninggalaknnya kerena dosa. Sedangkan secara istilah zuhud menurut pendapat
yang paling baik adalah dari Ibn Qadamah al-Maqdisi, bahwa zuhud merupakan
gambaran tentang menhindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu
yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain, menghindari dunia kerena
tahu kehinaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat.
Menurut syaikh ‘Abd al-Qadir jilani, bahwa zuhud ada dua
macam, yaitu: zahid hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan mutazahid shuwari/ zuhud lahir (mengeluarkan dunia dari
hadapannya). Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak
rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan
untuk ketaatan kepada Allah.
Zuhud memang membawa kesucian kepada diri si salik. Zuhud mengajarkan betapa si salik harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang
kita sayangi) serta menolak semua tuntutannya. Kita tahu bahwa dalam berbagai
hal, hawa nafsulah puncak segala kecelakaan diri, baik di dunia, terlebih lagi
di akhirat. Oleh kerena itu, nafsu tidak boleh dijadikan sebagai teman, justru
harus dianggap sebagai lawan dan pembinasa manusia.[7]
c.
Tawakal
Tawakal artinya berserah diri (dalam bahasa arab, tawakal), yakni salah satu sifat mulian yang harus ada
pada diri ahli sufi. Bila ia benar-benar telah mengenal Tuhannya
melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat tawakal tersisih
dari dirinya. Sebab, mustahil jika seorang sufi yang
selalu berada di sisi Tuhan tidak memiliki jiwa tawakal. Syaikh ‘Abd al-Qadir
menekankan bahwa tawakal berada di antara pintu-pintu iman, sedangkan iman
tidak terurus dengan baik kecuali dengan adanya ilmu, hal dan amal. Intinya,
tawakal akan terrah dengan ilmu dan ilmu menjadi pokok tawakal, sementara amal
adalah buah dan maksud tawakal itu sendiri.[8]
Dengan
demikian, hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan
membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan
takdir. Sehingga dia yakin bahwa tidak ada perubahan dalam bagian, apa yang
merupakan bagiannya tidak akan hilang dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya
tidak akan diterima. Maka hatinya merasa tenang kerenanya dan merasa nyaman
dengan janji Tuhannya.
Syaikh ‘Abd al-Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan
mengutip maksud sebuah sabda Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka
Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu juga sebaliknya, bila
dengan bulat ia menyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan
dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia,
maka semakin lupa dia akan akhirat,sebagaimana dinyatakan dalamsabda Nabi, “Apabila inngatan manusia telah
condong kepada dunia, maka maka ingatannya kepada akhiratakan berkurang.[9]
Di sinilah letak perbandingan antara manusia yang mengejar
dunia, sehingg semua hati dan perasaannya ditumpukam kepada dunia yang di
kejarnya. Berusahalah dia siang dan malam kerena dunia, padahal urusan
keduniaan itu ada akhirnya. Semakin banyak yang diraihnya, semakin serakah ia
untuk terus berusaha mendapatkannya. Sebaliknya, bila ingatan manusia
condong kepada akhirat maka ingatannya terhadap dunia akan berkurang. Oleh
kerena itu, pilihlah akhirat daripada dunia, kerena akhirat lebih baik bagimu.[10]
d.
Syukur
Syukur
adalh ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan,
maupun hati. Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani hakikat syukur adalah mengakui
nikmat Allah kerena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui
bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh kepada syariat-Nya. Syiakh
‘Abd al-Qadir Jilani menyatakan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat
Allah Dialah pemilik karunia, Sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat
berasal dari Allah SWT. Dengan demikian, syukur adalah pekerjaan hati dan
anggota badan.
Syaikh
‘Abd al-Qadir Jilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama syukur dengan
lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si
penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan
ketundukan. Kedua, syukur demngan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara
melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Dala
hal ini, si penerima nikmat selalu berusaha menjalanka perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu beriti’kaf/ berdiam
ddiri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib
dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinyabahwa
semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.
e.
Sabar
Sabar adalah tidak mengeluh kerena sakitnya musibah yang
menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah kerena Allah SWT. Menguji Nabi Ayyub
as. Dengan firman-Nya, “Kami mendapatinya sebagai orang-orang yang sabar.” Padahal beliau berdo’a dan mengeluh
kepada Allah untuk menghilangkan musibah yang menimpanya seraya berkata, “Dan (ingatlah kisah) Ayyub,
ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa
penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antarasemua penyayang.” (al-Anbiya’: 83).
Menurut
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, sabar ada tiga macam, yaitu:
1.
Bersabar kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
2.
Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar
terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu dari berbagai macam
kesulitan dan musibah.
3.
Bersabar atas Allah, hyaitu bersabar
terhadap rejeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan
Allah di kampung akhirat.[11]
f.
Ridha
Ridha adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan
(takdir). Secara umum para salik berpendapat bahwa orang yang ridha
adalah orang yang menerima ketetapan Allah dengan berserah diri, pasrah tanpa
menunjukan penetangan terhadap apa yang dilakukan oleh Allah. Syaikh ‘Abd
al-Qadir mengutip ayat al-Qur’an tentang perlunya sikap ridha, “Tuhan mereka menggembirakan
mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, keridhaan dan surga.Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal.”(At-Taubah: 21).
Kemudian Rasulullah bersabda, “Yang akan merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha Allah
menjadi Tuhannya, Islam menjadi agamanya, dan Muhammad
menjadi Rasulnya.”[12]
Tidak diragukan lagi bahwa ridha dapat menenteramakanjiwa
manusia dan memasukan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalamnya;
kerena seorang hamba yang ridhadan menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya,
dia tahu bahwa yang dipilihkan Allah untuknya terbaik baginya di segala macam
keadaan. Keridhaan ini akan meringankan hidup manusia, sehingga dia akan merasa
tenang, hilang rasa gundah, dan kegalauan.[13]
g.
Jujur
Secara
bahasa jujur adalah menetapakan hukum sesuai dengan kenyataan. Sedangkan dalam
istilah sufi dan menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, Jujur adalah mengatakan
yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun yang tidak
menguntungkan.
Kejujuran
merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi dan seseorang tidak akan
berlaku jujur, kecuali jika dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih,
pandangan yang lurrus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang
dihiasi dengan keimanan, keberanian dan kekuatan.itulah yang dilakukan oleh
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani ketika beliau menghadapi para perampok pada saat
beliau berangkat menuju baghdad dari negeri Jilan.
Kejujuran adalah kedudukan yang tertinggi dan jalan yang
paling lurus, yang dengannnya dapat dibedakan antara orang munafik dan seorang
yang beriman. Kejujuran adalah rohnya perbuatan, tiang keimanan, dan satu
tingkat di bawah derajat kenabian. Syaikh ‘Abdal-Qadir mengutip ayat al-Qur’an
untuk menjelaskan pentingnya sikap jujur ini dilaksanakan, “Hai orang-orang yang beriman
bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang
benar.” (at-Taubah:
119).
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani membedakan
antara al-shadaq (orang jujur) denganal-shiddiq (orang yang sangat jujur). Al-hadiq adalah isim lazim dari kata al-shidq,sedangkan al-shiddiq adalah
untuk menunjukan kejujuran yang sangat tinggi, sehingga kejujuran merupakan
jalan kehidupan baginya. Sikap jujur ini sangat diperlukan dalam ajaran tasawuf kerena
seseorang tidak dapat berdekatan dengan Allah kecuali dengan sikap jujur dan
bersih.[14]
Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat
di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari
Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat,
Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa
Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari
Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah,
merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid
Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia
menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan
Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical
Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk
menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli
1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan
petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa
terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu
daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan
kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin
oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van
Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul
Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan
tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama
terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903
KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak
Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu
organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah
organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926.
Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi
organisasi resmi di Indonesia .
Juga pada organisasi
Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis
KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37,
sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan
Syeikh Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan
silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang
Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau
mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari
Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai
ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.
Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2,
Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad
Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin,
9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14.
Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19.
Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul
Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari,
26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi
al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf
al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far
Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein,
38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40.
Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda
satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping
berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.
Referensi
[1] Muhammad
Aqil bi Ali al-Mahdali, Dirasah fi al-Thuruq al-Shufiyah,
(Kairo: Dar al-Hadis), terj. Futuhalarifin, S.Ag. Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, (Jakarta : Azan, 2002),
cet. I, h. 201.
[2] Abu
al-Wara al-Ghanimi al-taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf
al-Islami, h. 237.
[3] ‘Amir, al-Thuruq, h. 110. Dikutip dari Mengenal Tarekat Sufi Bagi Pemula, Futuhal
Arifin, S.Ag, h.203.
[4] Seyyed
Hosein, Ensiklopedi, h. 19.
[5] Ibid, h. 20.
[6] Abdul
Majid Hj. Khatib, Rahasia Sufi Syaikh ‘Abd alQadir Jilani, (Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2003), cet. V, h. 73
[7] Ibid, h. 278.
[8] Syaikh
‘Abd al-qadir, Rahasia, h. 267.
[9] Ibid.
[10] Ibid, h. 269.
[11] Sayyid
ibn Musfir, Buku Putih, h. 506.
[12] Ibid. h. 508.
[13] Ibid. h. 5. Ibid. h. 509.
[14] Ibid. h. 514.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar